Keberuntungan sedang berpihak pada Mitty. Nasib baik datang menyertainya. Betapa tidak! Mulai Sabtu ini sekolah libur satu Minggu. Khususnya bagi anak kelas 10 dan 11. Biasa kan, soalnya anak kelas 12 sedang menghadapi UAS. Dan itu berarti Mitty tidak akan ketinggalan pelajaran terlalu banyak. Walau toh harus menunggu Revita dan ibunya di Rumah Sakit sampai besuk lusa.
Seperti halnya Mitty yang tengah berjuang merawat Revita dan ibunya, di sebuah desa yang bernama Selopuro, Dirga cs dan beberapa anak SMAN Tunas Bangsa yang anti kenakalan sedang berjuang pula memeras tenaga bergotong royong melaksanakan bakti sosial bersama warga setempat yang dimotori oleh ABRI sebagai pelaksanaan program ABRI Masuk Desa. Semua bahu-membahu dalam bekerja, tanpa kenal lelah. Ada yang membersihkan jalan, mengapur pagar, merenovasi balai pertemuan dan masih banyak lagi. Juga pembangunan jembatan dan pos kampling.
Semua pekerjaan dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan semangat persatuan yang tinggi. Mulai dari anak-anak, para remaja, bapak-bapak, bahkan para ibu PKK. Walau hanya berkutat di dapur umum, tapi tidak kalah semangat pengabdiannya. Warga laki-laki beraksi dengan cangkul, sabit, sekrop dan palu. Sedang warga wanita, tangkas dengan sapu lidi dan serok sampahnya.
Sungguh inilah bukti nyata kemanunggalan ABRI dan rakyat. Sebagai perwujudan dari sebuah semboyan Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Yang memang sangat sesuai dengan Dwi Fungsi ABRI.
Di antara kesibukan kerja itu nampak Dirga dan kawan-kawan sedang berbaur dengan remaja setempat. Dirga dan Dwi asyik mengayunkan cangkul. Membersihkan lumpur dari dalam selokan di depan pasar. Dita kebagian jatah memasukkan lumpur itu ke dalam gerobak yang telah tersedia. Setelah gerobak terisi penuh, giliran Gino mendorongnya ke tengah jalan dan ditumpahkannya lumpur itu di sana.
Maklum jalan-jalan di situ banyak yang berlubang karena memang belum di aspal. Satu lagi hampir lupa, saat mendorong gerobak itu, Gino dibantu oleh empat remaja desa. Kan gotong royong namanya. Dan begitu isi gerobak sudah tumpah seluruhnya, remaja yang lain segera meratakannya. Begitu seterusnya. Tanpa kenal lelah mereka terus bekerja. Sambil sesekali diselingi canda dan tawa. Maklum, namanya juga anak muda. Sudah tradisi kan!
Pak Santoso selaku Kepala Desa yang sekaligus adalah pamannya Dirga, tersenyum bangga melihat Dirga dan kawan-kawannya berbaur akrap dengan warga setempat. Mereka benar-benar merakyat, tidak seperti para wakil rakyat yang juatru jauh dari rakyat.
Memang sih, Dirga pernah cerita pada pamannya perihal sepak terjang dari anak-anak SMAN Tunas Bangsa yang punya maksud mengangkat martabat kaum muda yang selama ini dicap sebagai sumber kenakalan oleh sebagian besar kalayak ramai.
Mereka ingin bangkit. Mereka ingin memulihkan kembali nama baik, eksistensi, dan harga diri generasi muda di mata masyarakat. Dan salah satu jalan yang baik ya ikut terlibat dalam kegiatan sosial seperti ini. Melibatkan langsung pada hal-hal yang berguna bagi masyarakat. Di samping lewat hasil karya tulisnya tentang peran pemuda dalam pembangunan yang sering dimuat di berbagai media massa.
Sebagai paman tentu saja Pak Santoso begitu antusias menyambut maksud Dirga cs yang begitu mulia. Jarang kan kaum muda yang mau peduli pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya? Apalagi di saat libur seperti ini. Sebagian kaum muda lebih senang tenggelam dalam keasyikan. Hanyut oleh dunianya sendiri. Dunia kaum muda.
Sedang mereka, anak-anak SMAN Tunas Bangsa ini malah dengan suka rela menawarkan jasa dan tenaga. Coba pikir! Bukankah lebih baik mempergunakan waktu luang untuk kegiatan sosial yang berguna buat masyarakat banyak, daripada cuma untuk acara hura-hura yang justru banyak mengeluarkan biaya, waktu, dan tenaga. Malah tidak jarang penuh bahaya. Acung jempol buat Dirga dan kawan-kawannya.
Satu hal yang lebih membanggakan mereka, yaitu ikut terlibatnya seorang wartawan yang beberapa saat lalu pernah meliput kegiatan mereka di Balai Kota. Dan sekarang ternyata ada juga di sini. Meliput kegiatan bakti ABRI di desa ini. Terang saja mereka bertambah semangat. Satu jalan lurus seakan terbentang di depan mereka. Jalan untuk membuktikan pada dunia bahwa generasi muda tidaklah sebiru seperti yang mereka sangka.
“Lorek..lagi!” goda Gino ketika mendorong gerobak dan berpapasan dengan seorang gadis yang memakai kaos bergaris-garis warna merah hati. Dan memang sih, motif pakaian seperti itu sedang ngetrend saat itu.
Sejenak gadis itu berhenti. Menoleh pada Gino yang sedang asyik mendorong gerobak. Gadis itu tersenyum manis. Gino membalasnya. Sedang ketiga temannya cuma nyengir kayak kuda.
“Aduh …. Dek!” seru Gino pula.
Kembali gadis itu tersenyum lalu meneruskan langkahnya sambil melambaikan tangan. Senang hati Gino tidak karuan. Dasar Gino memang paling bisa menggoda perempuan. Walau sampai saat ini dia belum laku-laku juga. Tidak ada yang mau kali. Mungkin takut melihat tubuh Gino yang super gendut. Memang sih, banyak juga cewek-cewek di sekolah yang melirik dia, ya terutama bagi cewek yang merasa duitnya dipinjam oleh dia. Habis tidak bayar-bayar sih!
Akh, cantik juga gadis itu. Tidak heran kalau mereka pada ingin menggoda juga. Walau tetap sambil mendorong gerobaknya lo. Dan karena mata mereka asyik tertuju ke gadis itu, mereka jadi tak sadar kalau jalan gerobaknya sudah terlalu menepi.
Glodag! Gerobak itu ambruk. Rodanya masuk selokan. Terkejut juga mereka, tapi segera sadar. Lalu buru-buru menarik gerobak dari selokan. Dengan susah payah tentu saja. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali sudah mereka berusaha. Tapi tak berhasil juga. Payah … deh. Sejenak mereka diam, menyeka keringat yang bergantungan di wajah. Sedang gadis itu malah cekikikan, terus pergi. Meninggalkan mereka yang mulai berhasil menarik gerobaknya pada hitungan yang ke enam.
“Sialan!” umpat Gino kesal.
****
Hari ke tiga. Dirga cs terlibat dalam pembangunan jembatan di utara desa. Para paserta yang punya keterampilan di bidang bangunan sudah sejak tadi njebur ke sungai. Sementara warga yang di atas bertugas menyiapkan bahan. Ya bikin adonan pasir, gamping, dan semen, ngayak pasir, juga ada yang mengusung batu dan bata merah.
Dalam kesempatan ini Gino yang kebagian mengangkut semen, sempat menunjukkan keperkasaannya. Biasa, itu anak paling semangat kalau kerja di hadapan banyak cewek. Juga saat itu, mentang- mentang banyak gadis desa yang membantu, Gino makin naudzubillah gayanya. Lihat saja, semen kan berat, Dirga ngangkat satu sak saja sudah keder, tapi Gino ngangkatnya langsung dua-dua. Padahal semen itu satu pick up banyaknya.
“Dikit-dikit aja Gino, yang penting selesai.” Dirga nyoba mengingatkan. Dia kan kasihan juga melihat badan Gino yang sudah mengkilat, basah keringat. Tapi dasar sok, Gino tak mau terima maksud baik Dirga. Dia malah mengejeknya.
“Kalau sudah nggak kuat, kau berhenti saja Ga. Biar aku selesaikan sendiri.”
Jelas saja, Dirga mencibir, kesal. Sombong amat ini anak. Pingsan baru tahu rasa kau, rungut Dirga di hati. Dan …. ya ampun, entah doa Dirga yang manjur atau memang karena kebetulan saja, tiba-tiba …
Bruugt! Terdengar suara benda berat jatuh. Dirga cuek saja. Ia kira itu suara Gino yang meletakkan semen pada tumpukannya. Tidak tahunya, eh, cewek-cewek sudah pada ribut semua. Penasaran, Dirga pun segera melihat apa yang menjadi sumber keributan itu. Dirga menyeruak di antara puluhan gadis desa. Astaga! Dirga tak percaya melihat Gino yang sudah telentang di tanah tanpa gerak dan suara. Muka dan bibirnya pada biru semua.
Jelasnya Gino pingsan. Ya kelelahan sih. Karena Gino tadi tidak mau sarapan. Tidak selera sama sayurnya. Lodeh tewel atau nangka muda. Entahlah Gino memang paling anti sama lodeh tewel. Barangkali ia malu, lantaran bentuk tubuhnya yang rada-rada mirip dengan tewel. Hanya beda sedikit, kalau tewel banyak durinya sedang Gino tidak punya duri dia. Kalau panu sih, banyak!
Aduh, Dirga menyesal juga. Kenapa tadi pakai omong soal pingsan segala. Kalau sudah pingsan beneran begini kan susah. Iya kalau yang pingsan cewek, enteng dan suka saja ia mengangkatnya. Sedang Gino, aduh …. minta ampun, empat orang warga masih keberatan juga mengangkatnya.
Maklum, memang tubuh Gino sebesar gajah bengkak. Jadinya ya kerja bakti yang semestinya untuk merenovasi jembatan, sementara harus beralih menjadi kerja bakti untuk menyadarkan Gino dari pingsannya.
Akh, Dirga ngiri juga ketika seorang gadis desa yang cukup manis mengoleskan balsam ke hidung, kening, kaki, serta dada Gino dengan lembutnya. Malah pakai senyum lagi.
Duh … ngiler juga ia. Kenapa tadi bukan Dirga saja yang pingsan, biar dapat elusan gadis desa yang lumayan manisnya. Tapi gimana ia mau pingsan kalau dalam waktu empat jam, dia baru mengangkat tiga sak semen. Itu pun berduaan pula. Dasar sirik aza ya!
Untunglah tidak seberapa lama Gino sudah siuman. Bapak-bapak ABRI kembali kerja. Juga warga yang ada. Cuma seorang yang tidak, yaitu gadis yang tadi ngolesi balsem buat Gino, dan kini masih menemani Gino duduk di bawah pohon pisang. Dari bisik- bisik para ibu yang sempat melihat, ketahuan Gino pingsan lantaran tidak sarapan. Hasilnya ya gadis itu juga yang kembali memberikan pertolongan.
Diambilnya sebungkus nasi buat Gino. Lantas disuapinya sekalian. Brengsekk! Gino memang keterlaluan kok. Sebenarnya nih Gino itu sudah kuat kembali. Wajahnya sudah cerah kembali. Cuma ia tetap pura-pura lemes. Ya biar disuapi itu tadi. Herannya gadis itu kok ya nurut saja.
Huh, Dirga makin kesal saja melihat ulah Gino. Tapi mau apa, wong kelihatannya gadis itu juga suka melakukannya. Mungkin sudah rezeki Gino. Cuma yang membuat Dirga heran kok sekarang Gino doyan makan. Padahal sayurnya tetap lodeh tewel. Kenapa kini ia tidak anti lagi? Apa lantas karena yang nyuapi cewek manis, lodeh tewel itu lantas berganti rasa menjadi sambal goreng ati?
Entahlah, tidak usah diterusin, membuat Dirga makin iri.