Jam 04.00 pagi.
Mbok Darmi sudah sibuk di dapur guna mempersiapkan makan pagi bagi keluarga majikannya yang saat itu masih terlelap di balik selimut tebal. Sambil menunggu matangnya nasi, Mbok Darmi tidak tinggal diam. Tangannya sibuk memasak sayur dan menggoreng lauk. Sekali-kali ia mencicipi masakannya, takut jika kurang garam atau malah kelebihan, yang bisa membuat majikannya naik pitam.
Jujur sebenarnya Mbok Darmi kurang betah bekerja di keluarga ini. Karena Nyonya rumah yang bernama Pratiwi cerewetnya setengah mati. Mbok Darmi salah sedikit saja, memarahinya bisa lebih dari dua jam. Tapi mau bagaimana lagi? Mbok Darmi terdesak oleh kebutuhan. Suaminya yang hanya seorang buruh tani, pendapatannya tak cukup buat menutupi kebutuhan. Apalagi sekarang anaknya sudah mulai masuk SMP. Jadi betah tidak betah, Mbok Darmi mencoba tetap bertahan.
Selesai masak dan mempersiapkan makan pagi, Mbok Darmi menyapu lantai dan lantas mengepelnya pula. Ketika keluarga majikannya sarapan, Mbok Darmi masih harus menyeterika baju seragam anak majikannya.
Tepat jam 06.45, semua keluarga itu berangkat ke tempat tugas masing-masing. Kini Mbok Darmi tinggal sendirian. Tapi bukan berarti ia bisa istirahat. Sebab setumpuk piring bekas makan pagi dan seember baju kotor sudah menanti untuk dicuci. Sedang perutnya sama sekali belum terisi.
Ketika jam di dinding berdentang 9 kali, Mbok Darmi baru saja selesai menjemur cucian. Saat itulah ia baru berniat untuk sarapan. Ia pun segera ke dapur. Mengambil nasi, sayur, dan lauk seperlunya saja. Yang penting bisa menambah tenaganya.
Tapi ketika Mbok Darmi baru menelan sesendok nasi, tiba-tiba panggilan Nyonya Pratiwi sudah terdengar keras.
“Mbok Darmiiii!!”
Pembantu itu buru-buru meletakkan piringnya dan langsung berjalan tergopoh-gopoh menemui majikannya..
“Iya, saya Nyonya. Kok tumben jam segini Nyonya sudah pulang? Ada apa Nyonya?”
“Iya, ada sesuatu yang ketinggalan. Kamu tadi menyapu kamar saya, kan?” balik tanya majikannya tanpa melihat sang pembantu.
“Iya Nyonya.”
“Nah, kau pasti tahu di mana cincinku berada? Tadi aku letakkan di meja rias.”
“Tapi Nyonya, saya benar-benar tidak tahu cincin itu.”
“Jangan bohong! Atau kau sengaja mencurinya, ya?” tuduh sang majikan pula.
“Ya Alloh, Nyonya. Saya memang miskin, tapi pantang bagi saya mengambil barang yang bukan hak saya.”
“Allaa ... ngaku saja! Di rumah ini yang ada kan cuma kamu. Jadi kau mengaku saja lah, kau sembunyikan di mana cincin itu?” Sambil berkata begitu Nyonya Pratiwi mendorong tubuh Mbok Darmi ke dinding. Lalu dengan kasar tangannya menggeledah seluruh tubuh Mbok Darmi yang kini menangis sesenggukan.
Karena tak menemukan cincin yang dicari, Nyonya Pratiwi semakin naik pitam.
“Dasar pembantu tak tahu diuntung! Cepat katakan, di mana cincin itu kau sembunyikan? Kalau tidak, aku laporkan ke polisi kamu!!”
“Ampun Nyonya, saya benar-benar tidak mengambilnya. Saya benar-benar tidak tahu. Ampun Nyonya, jangan bawa saya ke polisi. Ampuun.”
“Akh!!”
Nyonya Pratiwi menepis tangan Mbok Darmi yang hendak memeluk kakinya dengan kasar dank eras. Mbok Darmi terhempas kelantai. Tapi Nyonya Pratiwi tak peduli. Ia melangkah ke kamar Mbok Darmi yang ada di sisi kanan dapur. Diacak-acaknya semua barang milik Mbok Darmi hingga berserakan ke lantai. Bahkan ada yang hampir masuk tempat sampah.
Mbok Darmi hanya bisa menangis pilu. Sampai akhirnya datanglah dua orang polisi yang telah ditelepon Nyonya Nelly. Mbok Darmi ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk di interogasi.
****
Di kantor polisi, Mbok Darmi tetap menyangkal semua yang dituduhkan sang majikan. Tapi Nyonya Pratiwi tetap ngotot dengan tuduhannya.
“Pak Polisi, jebloskan saja pembantu sialan ini ke dalam penjara. Biar kapok. Lagi pula mana ada maling yang mau mengaku??”
“Tenang Nyonya, kita harus ikuti prosedur hukum. Polisi tidak mau memenjarakan seseorang dengan tuduhan yang belum ada bukti dan saksinya.”
“Mau bukti apa lagi Pak Polisi? Sudah jelas hanya dia yang ada di rumah, mau siapa lagi yang mencuri kalau bukan dia!”
“Jadi cuma Nyonya dan Bu Mbok Darmi ini yang tinggal di rumah?”
“Tidak Pak Polisi. Masih ada suami dan anak saya.”
“Baiklah, untuk sementara Nyonya boleh pulang. Tapi sewaktu-waktu akan kami panggil lagi untuk dimintai keterangan.”
Tanpa menyahut Nyonya Pratiwi pergi, meninggalkan kantor polisi.
****
Dua hari kemudian. Siang itu Tuan Gunarto suami Nyonya Pratiwi, baru saja keluar dari sebuah restoran mewah tempat ia meeting bersama klien bisnisnya. Begitu masuk mobil, tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata bapak Kepala Sekolah SMA Harapan yang meneleponnya. Meminta agar Tuan Gunarto saat itu juga datang kesekolah. Karena Revita putrinya sedang terkena suatu masalah.
Tuan Gunarto pun segera meluncur ke SMA Harapan. Di sana ia buru-buru menuju ke ruang Kepala Sekolah. Begitu ia masuk, Bapak Kepala Sekolah sudah menunggu. Revita juga ada di situ. Juga dua orang polisi yang entah sedang apa.
“Selamat siang, Pak. Apa yang terjadi dengan Revita putri saya ?” tanya Tuan Gunarto tampak cemas.
“Duduklah dulu, Tuan Gunarto. Biar Pak Polisi saja yang menjelaskan semuanya.”
Polisi yang ditunjuk oleh Kepala Sekolah menganggukkan kepala dan kemudian langsung menjawab.
“Begini Tuan Gunarto, ketika anak-anak sekolah ini sedang melaksanakan upacara kami sengaja datang ke sekolah untuk melakukan razia pada tas anak-anak. Karena kami sinyalir bahwa di sekolah ini ada peredaran narkoba.”
“Lalu apa hubungannya dengan Revita?”
“Hubungannya jelas, Tuan. Dari tas Revita, kami temukan sepuluh butir pil haram dan sejumlah uang yang kami duga dari hasil transaksi obat-obatan terlarang itu, Tuan.”
“Tidak mungkin, Pak Polisi. Ini pasti salah. Lagi pula dari mana Revita punya uang sebanyak itu?”
“Soal itu, silakan Tuan tanya sendiri pada Revita .”
Tuan Gunarto menghampiri anaknya yang duduk menunduk dengan wajah pucat pasi. Belum sempat Tuan Gunarto bertanya, Revita sudah bersimpuh seraya merangkul kedua kaki papanya dengan tangis membuncah..
“Maafkan Revita, Pa. Maafkan Vita. Vita selama ini sudah salah pergaulan. Vita terjebak hingga jadi pemakai narkoba.”
“Jadi … semua ini benar, Vita?”
Ditanya begitu, tangis Revita semakin menjadi-jadi.
“Lalu darimana kau dapatkan uang-uang itu?”
“Maafkan Vita, Pa! Vita terpaksa mengambil dan menjual cincin mama, karena Alya terjerat hutang pada pengedar, Paa,” kata Revita masih dalam isak tangisnya.
Tuan Gunarto langsung lemas. Tak menyangka bahwa ia dan istrinya yang selama ini sibuk bekerja, justru melupakan perhatian untuk anaknya, hingga terjadi hal yang serumit ini.
****
Mbok Darmi sedang duduk di bangku bambu di depan rumah kecilnya ketika Tuan Gunarto dan Nyonya Pratiwi keluar dari mobil dan menghampirinya. Sebab sejak perseteruan dengan majikannya soal cincin itu, sang pembantu memutuskan untuk berhenti kerja dari rumah Tuan Gunarto. Ia terlanjur sakit hati, meski tuduhan itu tak terbukti. Ia tak rela harga dirinya terinjak-injak.
“Mbok Darmi … atas nama keluarga saya minta maaf. Terutama atas apa yang telah di lakukan oleh istri saya. Sebab ternyata, cincin itu yang mengambil dan menjual adalah Vita. Sekarang ia berurusan dengan polisi karena masalah narkoba. Istri saya sekarang sedih banget. Jadi saya mohon Bu Mbok Darmi mau kembali kerja di rumah saya.” Tuan Gunarto berkata dengan hati tulusnya.
“Iya Mbok, sungguh saya minta maaf. Sekarang saya mohon Mbok Darmi kembali ke rumah saya. Karena Vita hanya dekat dengan Mbok Darmi. Jadi saya mohon, Mbok Darmi mau bantu saya. Saya janji hal seperti kemarin tak akan terulang lagi. Kalau perlu gaji Mbok Darmi akan saya naikkan dua kali lipat. Tolonglah Mbok, demi Vita.” sambung Nyonya Pratiwi memelas.
Mbok Darmi yang terlanjur sakit hati, tak tergiur lagi oleh janji-janji manis Nyonya Pratiwi. Rasanya cukup sekali itu ia berurusan dengan polisi. Ia tak mau harga dirinya terinjak- injak lagi. Makanya dengan tegas Mbok Darmi menolak.
“Tidak! Saya tidak bisa!” ujar Mbok Darmi langsung masuk rumah. Seolah tak mau lagi melihat Nyonya Pratiwi yang telah menggoreskan luka dihatinya.
Mbok Darmi bertekad, lebih baik ia jadi pembantu di luar negeri saja. Karena di negeri ini yang namanya majikan selalu bertindak sewenang-wenang. Padahal mereka sama-sama orang Indonesia yang mengerti Pancasila. Sehingga harusnya tercipta satu sinergi di mana antara majikan dan pembantu harus saling mengerti dan memahami, bahwa mereka saling membutuhkan. Bukan saling menjatuhkan!
Karena pembantu juga manusia!
****
Braaakk!
Gunarto menggebrak meja dengan keras dengan mata melotot tajam ke arah istri dan anaknya. Emosi bercampur kekecewaan benar-benar telah memenuhi rongga dadanya. Kenyataan bahwa anak semata wayangnya terjerat kasus narkoba terasa benar telah mencoreng mukanya.
“Semua ini adalah salah kalian berdua. Sudah tahu papamu ini sibuk ngurusi bisnis untuk mencukupi kebutuhan kalian, tapi kalian malah berbuat semaunya. Terutama kau, Ma! Sebagai seorang mama tidak seharusnya kau sibuk sendiri dengan rutinistasmu yang gak penting itu! Harusnya kau bisa punya waktu lebih banyak untuk memperhatikan anak gadismu. Jadi tidak sampai terjadi hal seperti ini!” damprat Gunarto seraya menuding ke wajah istrinya.
“Enak saja! Tidak bisa begitu dong, Pa! Revita itu bukan hanya anakku tapi juga anakmu. Jadi jangan hanya nyalahin aku saja. Di sini Papa juga punya tanggung jawab untuk mendidik dan mengawasi Revita!” bantah Pratiwi.
“Tapi kau kan Mamanya. Sudah seharusnya kau punya lebih banyak waktu untuk keluarga, terutama anakmu!” tukas Gunarto. Kali ini pandangannya beralih pada Revita yang sedari tadi tak bersuara.
“Satu hal lagi Ma, selama ini kau sering mengisi seminar tentang kenakalan remaja, dampak negatipnya, dan juga cara mengatasinya. Tapi giliran mengawasi anak sendiri, kau malah nggak sempat. Waktumu cuma habis buat ngomongin gossip yang gak penting sama teman-temanmu itu. Apa itu tidak memalukan, Ma? Pikir! Coba piker itu!” lanjut Gunarto sambil menatap wajah istrinya yang mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Revita menunduk kelu. Tak berani ia mendongakkan kepala sesaatpun manakala papanya sedang murka. Kiranya keterlibatan Revita dalam kasus narkoba di sekolahnya telah membuka kesadaran di hati sang papa bahwa selama ini ia dan istrinya telah mendidik anak semata wayangnya dengan salah. Uang dan segala materi melimpah yang selama ini diandalkannya akan mampu membahagiakan seluruh anggota keluarga, nyatanya justru menjerumuskan anak gadisnya.
“Sudahlah Pa, Ma, tidak perlu rebut. Semua ini aku yang salah!” sahut Revita dengan bibir bergetar. Dipandangnya papa dan mamanya secara bergantian.
“Sekarang keputusan papa sudah bulat. Daripada tetap bertahan di sini tapi nantinya mencetak dirimu menjadi anak yang salah asuhan, maka papa akan pindahkan kau ke Blitar yang masih jauh dari pengaruh yang nggak bener,” kata Gunarto sambil menatap anak dan istrinya dengan tajam.
“Apa nggak salah Pa, keputusanmu ini? Rumah kita di Blitar kan hanya di tinggali oleh pembantu, apa nggak kasihan kalau Vita hanya tinggal sama pembantu. Papa tega banget ya sama anak sendiri,” bantah istrinya.
“Ini bukan soal tega atau nggak tega, Ma. Tapi ini demi masa depan Vita.”
“Masa depan bagaimana Pa kalau harus jauh dengan orang tua?’
“Selama ini Vita selalu bersama kita. Tapi apa yang terjadi, Ma? Di saat aku sibuk ngurusi bisnis, Mama justru sibuk dengan urusan Mama sendiri, sampai lupa kewajiban Mama pada anak,” tukas Gunarto tandas ke hati Pratiwi.
“Sudahlah Ma, saya pikir keputusan Papa adalah yang terbaik untukku. Aku bersedia tinggal dan pindah sekolah ke Blitar,” sela Revita menengahi perdebatan kedua orang tuanya.
“Bagus. Besuk surat-surat kepindahanmu akan papa urus. Jadi paling lambat hari Senin, kau sudah bias berangkat ke sana.”
“Baik Pa,” jawab Revita sambil tetap menunduk.
Dalam hati Revita, bagaimana pun kondisinya ia tak mau menyalahkan papa atau mamanya. Ia sadar bahwa bukan karena mereka dirinya menjelma menjadi gadis salah asuhan. Semua terjadi semata-mata karena dirinya yang kurang mawas diri.
Untuk itu Revita siap menerima segala resikonya.