A2T Cafebook libur. Aku bosan seharian di rumah. Jadilah sore jalan-jalan sendirian ke mal. Mataku menangkap dua sosok yang sepertinya aku mengenal mereka. Leci dan Rizaldi. Mereka sedang milih-milih baju di toko branded ternama.
Aku pikir nggak ada salahnya beli baju di sana juga. Terakhir beli baju pas lebaran kayaknya. Sudah enam bulan lalu. Sekalian menyapa mereka. Aku berjalan menghampiri mereka.
Aku sudah di depan toko. Mereka sibuk memilih baju sehingga nggak menyadari kehadiranku. Ketika ingin menyapa mereka, sayup-sayup aku mendengar obrolan mereka.
"Yank, bener nggak sih Kak Allura jadian sama Renaldy, sepupumu itu? Masih nggak percaya aja."
"Nggak percaya karena selera Allura kebanting banget ya dari dua mantannya? Jangankan kamu, aku juga nggak percaya." Rizaldi menyunggingkan senyum meremehkan. "Sebenarnya itu juga berkat saranku sih biar Renaldy bisa lunasin hutang-hutangnya lewat melorotin Allura. Daripada aku yang keseret ditagih debt. collector."
Jleb!
Ucapan Rizaldi barusan sungguh menghujam jantungku. Bagai ditusuk ribuan palu raksasa. Sejahat itu Renaldy ke aku? Kukira dia akan jadi rumah impian segala kebahagiaan, nyatanya dia lembah neraka yang apinya siap membakar seluruh tubuh. Cairan bening keluar begitu saja dari pelupuk mataku.
"Dih, kamu kok jahat banget saranin kayak gitu. Kak Allura itu sahabatku tau, aku nggak suka kalian memperlakukan Kak Allura sejahat itu." Leci membelaku.
Dia membalikkan badan. Dia kaget melihatku. "Mbak Allura?"
Aku langsung kabur dari mal ini.
***
Aku nggak langsung pulang. Malah ke rumah Tante Liana.
Tok … Tok
Tante Liana membuka pintu. "Loh, Allura ngapain malam-malam ke sini? Ini lagi, kenapa nangis?"
Aku langsung memeluk Tante Liana erat. Air mataku makin deras mengalir. "Tan, ucapan Adrish dan Taqi benar soal Renaldy," ucapku dengan terisak.
Tante Liana melepas pelukanku. "Maksudnya? Oke, masuk dulu yuk. Biar enak jelasinnya."
Aku mengekor Tante Liana masuk ke rumah. Lalu dipersilakan duduk.
"Nah, kamu bisa jelasin kenapa nangis?"
Aku menceritakan semua secara panjang kali tinggi kali lebar. "Aku malu Tan, ngeyel ke Taqi Adrish karena over belain Renaldy."
"Hmmm … sudah aku duga. Terkadang sesama cowok tuh bisa merasakan sinyal ketidakberesan cowok lainnya."
"Iya, aku nyesel belain Renaldy mati-matian. Eh, ternyata mereka bener."
Tante Liana bergerak ke dapur. Kembali membawakan air putih. "Ini minum dulu biar tenang."
Aku meneguk air pemberian Tante Liana. "Tan, aku boleh nginep di sini nggak? Males pulang. Hatiku lagi kacau. Ntar Mama kepo aneh-aneh."
"Boleh. Tapi udah izin belum? Ntar mereka panik nyari kamu."
"Ya udah, aku WA Mama dulu."
Aku mengetik chat WA ke Mama.
Ma, aku malam ini nginep di rumah Tante Liana ya. Tante kesepian katanya makanya aku temenin tidur.
Aku kembali memeluk Tante Liana. "Makasih, Tan, selalu ada saat aku down dan mendengar semua curhatanku."
Tante Liana mengecup keningku. "Sama-sama, Sayang. Tante seneng kok jadi tempat bersandar ponakan Tante tersayang ini."
"Uh, Tante sweet banget sih. Aku doain Tante cepet dapet pengganti mantan-mantan suami Tante yang dakjal itu. Biar mereka nyesel menyia-nyiakan Tante."
"Taqi?"
"Secinta itu ya Tante sama Taqi?"
"Dibilang cinta sih nggak juga. Tante cuma kagum aja sama dia. Di usianya yang masih muda, dia memiliki pola pikir yang dewasa, ontime sangat menghargai waktu dan tenang menghadapi masalah."
Tante Liana cerita tentang Taqi di tempat kerja. Hal ini membuatku mengantuk. Lama-lama hijrah ke alam mimpi.
***
Beruntung ketika ke kafe, semua karyawan belum pada datang. Lagi-lagi aku menangis. Ingat kejadian kemarin sore. Sanggupkah aku bertemu Renaldy hari ini? Apa yang harus kulakukan ke dia?
"Loh, Kin, pagi-pagi kok udah nangis aja?"
Tiba-tiba Adrish dan Taqi muncul. Buru-buru aku mengusap mata. "Kalian juga ngapain pagi-pagi ke sini? Nggak kerja?"
"Ra sah nanya balik. Kowe urung jawab, kenapa nangis?"
"Nggak nangis. Kelilipan debu aja abis ngelap meja."
Adrish menatapku curiga. "Nggak usah boong. Aku sudah mengenalmu 15 tahunan."
"Sama. Aku kenal kowe sejak SD malah. Dadi kowe nggak iso ngapusi aku."
Gini nih kalau terlalu lama kenal sama mereka. Susah bohong. Akhirnya aku menceritakan tentang pertemuan Rizaldi dan Leci di mal kemarin serta ucapan mereka.
Brak!
Adrish meninju meja. Raut mukanya berubah merah. Terlihat jelas dia sedang menahan amarah.
"Kurang ajar tuh Tengil. Beraninya dia ngelakuin itu ke kamu," ucap Adrish berapi-api.
"Apa aku bilang dia tuh nggak baik buat kowe."
Aku hanya menunduk. Jujur, aku malu sama mereka. Mereka kemarin memperingatkanku tentang Renaldy, akunya malah membela Renaldy. Alhasil, aku membuktikan sendiri ucapan mereka benar.
"Terus sekarang apa yang mesti kita lakuin ke Renaldy? Aku pasrah kalau kalian langsung pecat dia. Nggak bakal aku belain lagi."
"Jangan, ntar dia malah ngedrama di sosmed atau tempat lain kalau kita dzolim," sahut Taqi.
"Benar sih. Kita harus punya bukti kuat dulu biar Renaldy nggak berkutik mencari pembelaan. Kalau perlu bukti bisa jeblosin dia ke penjara," timpal Adrish.
Tangan Taqi bertopang di dadunya. Itu tanda dia lagi berpikir keras. "Itu artinya kita harus jebak dia! Allura, tetep mesra sama dia kayak biasa. Pura-pura nggak tau aja bobroknya Renaldy."
Aku mengernyitkan dahi. Idenya nggak masuk akal. "Jadi kamu mau aku makin sakit hati karena terus sama dia?"
"Justru itu kita bikin Renaldy bahagia dulu, terus kamu pancing biar dia ngaku dengan perbuatannya. Blablabla." Taqi kembali menjelaskan ide penjebakan Renaldy. Wajahku seketika cerah. Boleh juga dicoba.
"Setuju. Nanti aku coba kontak Riant atau temenku yang di UMY siapa tau mereka bisa memberikan bukti atau jadi saksi bahwa Renaldy bukan dosen di sana."
Aku melihat Diani, Imel, Aruna, Ira, dan Renaldy datang. Mereka memarkirkan motor terlebih dahulu.
"Eh, soal hal ini, karyawan jangan sampe tahu dulu ya. Entar heboh. Kan Imel Diani, ember. Suka keceplosan."
"Oke, beres." Taqi mengacungkan jempolnya.
***
Jam istirahat aku coba makan bareng sama A2T Cafebook. Namun, nggak ada Renaldy. Katanya izin salat di musala sekalian maksi di warteg.
"Mbak Allura, kok nggak post bab baru lagi di AT Menulis? Bentar lagi masa penjurian loh, entar nggak bisa diedit lagi," celetuk Aruna.
Ah, saking pusingnya memikirkan drama Renaldy, Adrish dan Taqi, aku hampir lupa sama naskah di AT Menulis. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan naskah itu, sedangkan orang yang aku kira memberikan bahagia justru membawa luka kembali?
"Ntahlah. Mentok idenya. Bingung lanjutin bab macam mana lagi. Keknya mau nyerah aja deh," ujarku lesu.
"Eh, jangan. Sayang loh, udah 50% bab terunggah, kan?" cegah Diani.
"Eh, menurut kalian arti bahagia itu gimana? Siapa tau pendapat kalian bikin otakku tokcer buat nulis bab baru."
"Bahagiaku sederhana. Nek gajian lancar. Nggak jauh-jauh dari duit lah," sahut Imel.
"Setuju sama Imel. Duit emang nggak bisa beli kebahagiaan, tapi baju, makan dan semuanya beli make duit." Aruna menimpali dengan penuh semangat.
"Menurut Mbak Allura sendiri arti bahagia gimana? Kan udah punya kafe, duit ngalir, keluarga lengkap pula." Ira ikut bersuara.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku sendiri masih mencari kebahagiaan itu."
"Seru banget ngobrolnya. Lagi gibahin siapa? Ikut dong," sambar Taqi. Di sebelahnya ada Adrish. Hmmm … dua cowok itu suka banget muncul dadakan kayak hantu.
"Nah, tuh sumber kebahagiaan Mbak Allura muncul," kata Diani.
Seketika aku terdiam. Benarkah yang dikatakan Diani bahwa sumber bahagiaku sebenarnya ada di Taqi dan Adrish? Di lubuk hatiku terdalam, aku nggak menampik hal tersebut. Walau hubungan kami bertiga absurd, bersama tapi tak saling memiliki, aku bahagia. Mereka selalu ada saat susah dan senang. Ya kadang rese lembur terus. Setidaknya mereka jadi garda terdepan melindungiku dari luka serta marabaya.
Kini aku menyadari bahwa bahagia yang aku kejar di tempat lain, pantas nggak kunjung terwujud, ternyata bahagia itu ada di depan mataku sendiri. Entah gimana ending perjalanan kami bertiga, lihat nanti. Biar waktu dan Yang Maha Kuasa menentukan. Aku cukup menjalani hidup apa adanya serta selalu bersyukur dikelilingi orang-orang baik.
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)