“Ayah, aku mau es krim lagi.”, kata Jack sambil menunjuk truk penjual es krim di depan kami. Suara mungilnya itu membuatku selalu merindukannya saat aku harus bertugas ke Ohiyo selama musim dingin. Bekerja untuk pemerintah memang membuatku harus meninggalkan keluargaku dalam waktu yang cukup lama. “Ayah, lihat pria aneh itu.”. Pandanganku berpindah ke seberang taman. Seorang pria sedang duduk sambil membaca sebuah surat kabar Chicago Tribune. Pria itu tua dan berpakaian sangat rapi setiap harinya. Aku sudah melihatnya sejak pertama kali aku dan Jack mengunjungi taman ini di musim panas. Raut mukanya menunjukkan bahwa dia pernah mengabdi di militer. Surat kabar yang dipegangnya pun berisi tentang kilasan peristiwa penyerangan sebelas September. Dia terlihat sedih.
“Dia tertidur.”, gumamku dalam hati. Dia masih kecil dan baru berulang tahun yang kelima bulan lalu. Yang dia tahu hanya tidur, makan es krim dan mengelilingi taman Oak Street dengan sepeda beroda tiga yang kubelikan saat dia berulang tahun yang keempat. Hari ini jalanan terasa mengganggu. Kawanan kambing gunung sepertinya sedang bermigrasi untuk mencari tempat tinggal baru yang ada sungainya. Berkali-kali mereka membentur mobil tuaku ini dengan tanduk-tanduk mereka yang keras. “Ayah, apa kita sudah sampai ?”, aku tidak menyadari Jack sudah bangun. Mungkin karena kambing-kambing sialan ini.
“Kenapa kamu bangun, Nak ?”.
“Aku ingin melihat rumah Bibi Anna, apakah sudah lewat ?”
“Kita sudah melewatinya, Nak.”
“Jam berapa sekarang ?”
“Jam tujuh lebih dua puluh.”
“Aku terlambat untuk siaran balap sepeda di saluran tiga.”
“Sejak kapan kau suka sepeda ?”
“Minggu lalu Paman Ed mengajakku menonton siaran itu di rumahnya dengan televisi besar miliknya. Itu lebih bagus dari milik kita.”
“Tentu saja.”
“Ayah, kau lihat pria tadi itu.”
“Pria di taman ?”
“Ya. Dia masih di sana saat kita pulang. Dia masih di sana sekarang ?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa kau tahu kenapa dia seperti itu.”
“Tidak juga.”
“Apakah ayah juga akan seperti itu ?”
“Mengapa kau berpikir begitu ?”
“Ayah juga bekerja untuk pemerintah.”
Untuk sejenak aku mulai berpikir bahwa anakku sudah memahami situasiku saat ini. Aku rasa dia sudah siap kehilangan, seandainya hal yang buruk terjadi padaku. Hal yang wajar karena sejak lahir pun aku sudah meninggalkan dia di rumah bersama istriku yang kunikahi tujuh tahun silam. Aku bahkan tidak mendengarnya mengucapkan kata pertamanya atau mengajarinya naik sepeda. Orang ia kenal hanyalah ibu dan pamannya yang bekerja di perusahaan ekstraksi anggur di kota. Dia mengajari Jack segalanya.
Aku menggendong Jack ke kamarnya. Dia tertidur lagi sejak kami tiba di distrik sembilan. Kurasa kali ini dia tidak akan terganggu lagi. Istriku menghampiriku, dia sudah menyiapkan minuman untukku. Dia benar-benar baik.
“Dia merepotkanmu ?”
“Tentu tidak. Aku sudah berkeliling bersamanya seharian ini.”
“Dia masih perlu menyesuaikan diri.”
“Dia pernah bertanya tentang diriku ?”
“Saat dia kuajak ke museum di taman kota dan melihat anak-anak bermain bersama ayah mereka.”
“Lalu kau bilang apa padanya ?”
“Seperti yang selalu kau bilang padaku ‘Dia sedang bekerja sebagai pahlawan’.”
“Anak kecil itu mudah percaya.”
“Sebenarnya dia tidak percaya dengan kata-kataku. Dia selalu tahu ayahnya bekerja sebagai angkatan laut.”
“Dia memang anak yang pintar.”
Malam itu kuhabiskan waktuku bersama keluargaku. Aku selalu berpikir malam bersama keluargaku adalah malam terakhir dalam hidupku. Tapi aku berharap itu tidak benar-benar terjadi. Aku menyayangi mereka dan aku tak ingin mereka kehilanganku. Tidak lagi
**
Biang lala dan komedi putar tak sama sekali membuatnya tertarik. Aku rasa dia sudah sering melihat benda-benda itu. “Ayah, aku sama sekali tidak merasa senang.”. Wajahnya yang lugu menatapku dengan penuh kesedihan. Aku tahu Ed selalu membawanya berlibur ke Sunny Land saat musim panas tiba. Dia mengajaknya makan es krim.
“Ayah, tak bisakah kau lebih lama denganku ?”
“Aku ingin melakukannya.”
“Lalu kenapa tidak kau lakukan saja ?”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa begitu ?”
“Aku harus menjadi pahlawan untuk banyak anak di luar sana yang kehilangan orang tua mereka.”
Kuantar dia kemanapun dia mau pergi. Agar dia senang, tentu saja. Aku tidak tahu kalau dia tertarik pada lukisan kuno abad pertengahan di Bougenville Park Museum. Mereka terlihat membosankan menurutku.
“Ayah, lihatlah mereka membawa pedang dan perisai seperti pahlawan sungguhan.”
“Apa maksudmu ?”
“Seorang ksatria lebih hebat dari seorang tentara.”
“Mengapa kamu berpikir demikian ?”
“Itu hanya perasaanku saja.”
Anak kecil mengatakan apa yang menurut mereka benar dan mereka tidak akan bikin masalah. Aku selalu merasa bersalah meninggalkan dia di rumah bersama Ed yang peminum. Andai aku bisa lebih lama bersama dia. Aku selalu menginginkan membacakan dongeng tentang tiga ksatria dan membuatkannya cokelat panas sebelum dia tertidur di ranjang. Aku tahu dia menginginkan itu. Kasih sayang seorang ayah yang tak pernah didapatkannya.
Aku memarkir mobilku di depan toko pakaian musim panas tempatku biasa membeli blues bersama dengan teman-temanku di sekolah menengah atas. Aku masih mengingat pajangan pohon palem tiruan yang mereka letakkan di sisi luar toko setiap kali musim panas tiba. Bentuknya masih tetap seperti itu, hanya saja warnanya berubah menjadi lebih hijau sekarang.
“Ayah, aku tidak ingin beli baju.”
“Ayah tidak mengajakmu ke sini untuk hal itu.”
“Berapa lama aku tertidur ?”
“Sembilan puluh menit.”
“Aku bermimpi tentang para prajurit dan pahlawan.”
“Apa yang terjadi pada mereka.”
“Mereka mati.”
“Itu tidak benar.”
“Apakah semua pahlawan akan mati.”
“Mereka mati dengan rasa bangga.”
“Berarti kau juga akan mati, kan ?”
“Mungkin suatu saat nanti, siapa yang tahu ?”
“Itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak berharap itu akan terjadi.”
“Aku juga tidak. Mau es krim ?”
“Kenapa tidak ?”
Dia menatap pemandangan lampu bar yang berjejer di pinggiran kota dengan tatapan kosong. Perasaan hatinya sedang tidak baik. Dia kemudian tertidur dalam dinginnya udara malam itu. Aku menggendongnya ke tempat tidur dan menyalakan lampu tidurnya. Dengan terburu-buru aku mengenakan seragam dan lencanaku yang berkilau diterpa sinar rembulan. “Kau akan pergi lagi, sayang ?”, istriku bertanya dengan raut muka penuh kesedihan. Aku tak pernah tega meninggalkannya. Aku menyayanginya. Dia lalu mencium keningku dan memelukku dalam dinginnya malam. “Aku menyangimu, Hera.”. Aku lalu menyalakan mobil dan pergi. Aku tidak lagi memikirkan tentang hari ini begitu meninggalkan rumah. Di tempat tidur, Jack yang tadinya sangat lelah tertidur dengan nyenyaknya ditemani boneka simpanse kesayangannya. Dia bermimpi tentang prajurit dan pahlawan.