Sore hari Langit berhasil melajukan Vixion miliknya kembali ke bengkelan tempatnya biasa mangkal. Dompetnya terisi lumayan. Hasil kerja lembur bagai kuda hari ini. Lumayan, stres yang dirasakannya sedikit terangkat setelah menarik ojek seharian.
“Woy, gue banjir duit lagi! Duittt, bro! Duit!”
Aldan— temannya di perbengkelan, sekaligus rumah susun— langsung berjengit. Melupakan motor yang sedang direparasinya. Namanya juga duit. Siapa, sih, yang tidak tergiur? Belum juga Yayan dan Dewa—temannya yang lain. Ikutan menyerbunya. Semua penghuni bengkel adalah mata duitan. Uang milik satu orang, artinya milik semua orang.
“Anjir, lu! Panen duit mulu! Bagi sini! Gue butuh banget!” jeritan Dewa melolong.
Yayan tidak mau kalah. “Wa, emang awakmu aja yang butuh duit? Gue juga!”
Langit hanya tertawa mengejek. “Lo bertiga mau duit?! Kerja, dong! Kerja! Enak aja minta-minta duit gue! Duit gue, nih!”
Aldan mendorong Langit. “Heh, kampret! Inget, perjanjian kita di rusun! Duit, duit semua! Nggak ada tuh lo seneng-seneng sendiri! Kalau lo nggak mau bagi, dah, pindah dari rusun ini! Hush! Hush!”
“Ampuuun, Boss! Ampun!” tawa Langit pecah, “Iya, iya, nih, buat lo pada!” kemudian diserahkannya sekantung lembaran merah yang tadi dia cabut dari mesin ATM. Ini baru penghasilan dari aplikasi. Belum lagi kalau pacar jadi-jadiannya yang lain juga mengasihaninya dan memberi uang.
Ada Sita, Melanie, Tante Vida, Christin... Ah, Langit tidak bisa mengabsennya satu per satu. Yang ada otaknya pecah nanti. Kadang dia bersyukur karena bisa memoroti wanita-wanita kaya. Maklum, bengkel saja tidak cukup untuk menopang hidupnya yang pas-pasan di rusun. Belum lagi untuk membantu teman-temannya yang kesusahan finansial, karena dia yang paling tua dan bertanggung jawab. Kalau bisa ngepet, Langit pasti sudah melakukannya dari lama.
Dewa tersenyum-senyum mencium uang di tangannya. “Lang, boleh juga, nih, duit lu. Gua bisa bayar sekolah adek gua!”
Tawa Langit mengencang santai. Perlahan menepuk pundak Dewa, “Sok, bayar gih. Udah mau ganti semester, Wa. Adek lo tetep harus sekolah, ya,” sambil melepas jaket kulit dari tubuh, dilemparkannya diri ke sofa.
Matanya berputar menatap keadaan gelap bengkel di sekelilingnya. Mengapa Langit berada di sini? Kadang masih terbayang-bayang dalam otaknya. Oh, beberapa tahun lalu dia kabur setelah kepulangannya dari London. Hampir enam tahun lamanya. Hubungannya tidak pernah membaik dengan mamanya. Untuk apa dia bertahan di sana?
Langit menghilang. Kabur dari segala tanggung jawabnya pada perusahaan. Hampir saja dicoret dari kartu keluarga dan daftar pewaris. Tapi, masa bodoh, dia tidak peduli. Memilih hidup bebas dengan caranya sendiri. Melupakan hidupnya yang lama. Dalam persinggahannya bertemu mereka di rumah susun yang dia sewa. Ada Dewa, Aldan, dan Yayan— punya nasib hidup yang sama. Kabur dari realita. Atau mungkin kasarannya, ada yang dibuang. Beban bagi keluarga. Ingin mencari keluarga versi sendiri. Dan terbentuklah mereka. Kemudian dibangunlah usaha bengkel ini untuk kepentingan bersama.
“Muka lu ganteng, sih, makanya duit lu ngalir! Cipika-cipiki dikit aja, lu dapet duit! Pada kasian liat muke ganteng kok miskin! Kok cuma tukang bengkel? Jadi, pada ngasih lu bansos! Iye, nggak?” sembur Dewa puas. “Beda kalau gua, yang ada digampar!”
Aldan menyahut. “Ya elah, bambang, iyalah! Temen kita ini calon OKB! Orang Kaya Baru!”
“Rek, gue curiga!” Yayan menelisik sambil menyambar seplastik nasi goreng dari motor Langit. “Asal-usul lo bisa kenal sama Thalia Adiswara? Lo nggak mau cerita apa gitu, Rek? Gue kepo. Atau bapak lo dulu pernah mengharumkan nama bangsa?”
Langit hanya tertawa renyah. “Emang pahlawan? Kagaklah, Yan, apa banget bapak gue pahlawan. Kalau gue anak pahlawan, gue udah dimuseumin, dong.”
“Bisa ae, lu. Buset, dah. Terus lo anak apa, dong?”
“Gue anak Sang Surya yang menyinari dunia!”
Dan tawa menyembur dari sana. “Halah, nge-jokes mulu, ye!”
“Terus bakal nikah ama dia lo?” tanya Aldan kepo.
Tawa Langit menguar lagi. “Kenapa enggak? Gue bakal jadi kaya, Dan. Ntar gue dapet uang, rumah, kalau gue nikah ama dia! Iyalah, gue mau! Gila apa, gue nggak mau? Cuma nikah doang, kan?”
“Pertanyaannya, si Thalia-Thalia itu mau ama lo atau kagak?” Aldan meringis sangsi, “muka, sih, oke! Lah, idup lo nggak jelas! Kecup sana, kecup sini! Minta uang sana, minta uang sini! Mau idupin anak orang pake duit bengkel? Mana cukup!”
“Mulut lo!” Langit melemparkan bekas sandalnya ke muka Aldan, “Tujuan gue nikah sama dia, ya, biar gue kaya! Ngapain gue masih ngepet kalau udah nikah sama dia, ngab!”
“Iya, sih, bener juga!” Yayan mengangguk. “Ya udah, gih, nikahin si Mbak Thalia itu! Tapi kalau lo kaya bagi-bagi, ya!”
“Oke, beres! Tapi, ntar, dah, gue pikirin dulu gimana caranya biar dia mau ama gue!” putus Langit, bangkit dari dudukannya. Sambil meraup mukanya dengan sebotol air mineral yang disemburkan.
***