Bagaimana bisa manusia percaya pada cinta dan segala omong kosongnya? Jika cinta itu bahkan tidak pernah ada baginya. Setidaknya, itu yang Thalia Adiswara Soeharisman pikirkan sekarang. Segalanya sempurna dalam dirinya. Karir yang matang, pendidikan yang tinggi, latar belakang keluarga yang baik, dan hal-hal yang diinginkan banyak perempuan di luaran sana.
Tapi, tidak untuk satu hal itu. Thalia benci pada cinta. Thalia tidak percaya pada cinta. Sangat membencinya bahkan hingga ke tulang-tulang rusuknya. Thalia bersumpah dalam hidupnya, tidak akan pernah percaya lagi pada cinta selamanya.
“Thal, minggu depan aku nikah sama Reval.”
Ini sudah— entah, undangan ke-berapa yang Thalia terima minggu ini. Thalia hanya meremasnya perlahan.
Thalia benci undangan pernikahan. Setiap melihatnya atau menerimanya, tangannya ingin memusnahkan kertas berwarna keemasan
itu. Thalia benci pernikahan. Thalia mungkin tidak ingin menikah, tidak ingin punya suami, tidak ingin punya anak... Thalia hanya ingin hidup sendirian. Bersama dirinya sudah lebih dari cukup. Thalia tidak butuh apapun lagi. Thalia percaya pada dirinya sendiri. Dan Thalia hanya ingin menghabiskan waktunya untuk bekerja dan belajar. Dunia ini penuh kemunafikan dan dia tidak akan menaruh kepercayaan pada laki-laki manapun lagi.
“Thal, are you okay?” lirih Starla saat mendapati undangan miliknya nyaris diremas kasar. “Thal? Beib...”
Thalia hanya berdeham, panik. Menahan malu merapikan kartu undangan yang nyaris dia patahkan jadi dua itu. “Ma—Maaf, La.”
Melupakan segala mimpi buruknya yang terus terulang. Thalia melepaskan kacamata yang sejak tadi bertengger di matanya. Lalu menutup laptop. Diam-diam mengamati setiap sudut kafe yang didatanginya. Dulu kafe adalah suatu tempat yang disenanginya. Membuatnya tenang untuk singgah. Tapi sekarang, tidak ada apapun lagi yang dia suka. Tidak ada. Setiap sudut dunia ini adalah kosong baginya.
“Kamu mau datang, kan?”
Senyuman Thalia terkembang. “Tentu, La. Aku pasti datang ke acara nikah kamu dan Reval.”
Starla hanya menghembuskan napas panjang menatap penuh sesal sahabatnya itu. “Mau ke tempat Dokter Adam hari ini? Membicarakan research atau projek baru kalian mungkin?”
Thalia menggeleng. “I don’t have schedule.”
“Are you interested with him, Beib?” canda Starla kemudian.
“No!”
“Another man?”
“No!”
“What about Langit? If you don’t get any man in this world, you should marry him, right?”
“No!”
Starla tersenyum manis. “Setelah aku pikir-pikir, Langit itu lucu juga. Mungkin kamu belum kenal aja, Thal. Sepertinya...” kedikan muncul di bahu Starla, “dia nggak buruk-buruk amat. Namanya juga cocok disandingkan sama kamu di kartu undangan, hihi.”
Cakrawala Langit Chandra. Ah, laki-laki itu.
Lucu? Batin Thalia bergejolak. Lucu dari bagian mana? Mamanya mungkin hidup di masa kolonial. Sampai mengenalkannya pada laki-laki aneh itu— yang bahkan tidak jelas asal-usulnya. Dari keluarga seperti apa, pekerjaannya apa, pendidikannya bagaimana? Dari sekian ratus juta manusia di muka bumi ini, mengapa harus laki-laki itu yang dijadikan pilihan terakhir? Omong kosong!
Bagaimana mungkin Thalia menerima laki-laki asing untuk kedua kalinya masuk ke dalam hidupnya? Setelah Kalla— mantan tunangannya— yang serba sempurna, tapi berkhianat di belakangnya. Selamat, congratulation of you, Sakalla Tanubradja! Thalia ingin menusuknya hidup-hidup!
Congratulation, you make me hate all of men in this kinda world! You, jerk!
Benar-benar menjijikkan. Thalia tidak akan pernah mengizinkan makhluk jahanam bernama laki-laki untuk masuk ke dalam hidupnya lagi. Membodohinya dua kali? Oh, tidak sama sekali.
Dan sekarang, bagaimana bisa mamanya menyuruh dia menikahi Langit? Oh, memang benar, keluarganya yang terpandang sudah menanggung malu akibat perbuatan tidak tahu diri mantannya itu— yang tiba-tiba membatalkan pernikahan mendekati hari H. Dan malah menikahi wanita lain. Mau ditaruh mana mukanya? Thalia sakit hati. Lebih dari itu— dia dan orang tuanya— menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitar dan keluarga besar mereka.
Tapi, menikahi Langit? Laki-laki yang bahkan membuat Thalia ilfeel pada pertemuan pertama mereka. Langit yang tidak sengaja hampir ditabraknya waktu di jalan raya dekat Bunderan HI. Tengah asyik dengan seragam ojeknya yang berwarna hijau rumput. Sibuk mengantarkan order makanan dari pelanggan larut malam. Thalia yang saat itu mengemudi sambil melamun menyenandungkan lagu-lagu dari radio— lagu favorit mantannya itu, yang sering diputar di mobilnya— tanpa sadar menyenggol motor mlik Langit. Mengakibatkan kemacetan panjang di lampu merah.
Dan laki-laki itu turun dari motornya sambil marah-marah. Muka dan sekujur tubuh lecet-lecet. Bahkan menggedor-gedor kaca jendelanya. Thalia tertegun, melamun saat membuka jendela. Perawakan tinggi jangkung, kulit kecoklatan yang eksotis, dan tampan. Thalia mengerjap beberapa kali.
Ternyata namanya Langit. Langit yang di pertemuan selanjutnya datang dengan jeans sobek-sobek yang membuat matanya sakit, yang tidak punya pekerjaan. Ck, bagaimana Thalia mengatakannya? Punya sebuah bengkel itu apa pekerjaan? Thalia tidak menjamin manusia bernama Langit itu bisa membiayai hidupnya.
Atau memang benar laki-laki itu hanya mengincar hartanya? Mamanya mengancam akan memberikan rumah pribadinya di Pantai Indah kepada Langit? Si mata duitan itu, yang tidak bisa membayar makanan mereka di resto! Mengharuskan Thalia yang merogoh kocek! Dan masih meminta ongkos bensin untuk perjalanan pulang?! Yang bahkan membuat napsu makannya hilang karena bersendawa keras di hadapannya?! Juga merampas sisa makanannya di piring! Astaga, laki-laki macam apa itu? Dari Kalla turun kasta menjadi Langit?
“So… What’s your job?”
Langit hanya tertawa keras dan santai. “My job?! I don’t have it!” gelaknya puas membuat Thalia terbengong-bengong.
“What?! Are you jobless?”
Langit masih tertawa, dan Thalia pikir mereka bertemu hanya untuk menebar lelucon begitu? Kesabaran Thalia hampir habis menghadapinya. Tapi dia senang membercandainya, “Gue punya bengkel? Pagi sampe malem gue kerja di bengkel. Malemnya gue ngojol,” matanya menyipit sebelah, “kalau itu bisa dibilang pekerjaan? Haha.”
“Bengkel?”
“Iya, bengkel. Itu yang di seberang jalan pas mobil lo mogok. Vincenzo Bengkel,” Langit mengangguk santai, melirik sisa makanan di piring Thalia, “Tuh, mau dimakan, nggak?”
Thalia hanya bengong. “Apanya?”
Langit menatap sisa spagetinya di piring. “Makanan lo? Gue makan, ya!”
Thalia bahkan belum menjawab. Tapi Langit benar-benar tidak sopan. Menarik piring miliknya sesuka hati. Lalu merebut garpunya dan melahap habis sisa spageti di sana. Bahkan menjilati saus bolognaise yang masih menempel di permukaan kaca.
“What are you doing?!” Thalia jengkel setengah mati.
“Makan?”
Semakin menyebalkan saat dia kabur tanpa dosa setelah meminta Thalia membayar semua bon restoran. Tanpa tahu malu masih kembali beberapa menit setelah pamit. Kemana akhlaknya itu pergi?
“Apalagi?”
“Gue boleh pinjem duit, nggak, Thal? Bensin gue abis...”
Mau tak mau Thalia mengeluarkan selembar merah ke atas meja. Membuat senyuman Langit langsung mengembang heboh.
“Okay, thank you... Ups—” langkahnya berbalik lagi, “So Thal, if you are sure to marry me, please contact me as soon as possible. Cause other woman can’t wait me. But, you’re too special. So, I gave you VIP opportunity. My number is—”
Wow, hanya dalam sekali pertemuan Thalia langsung mengambil kesimpulan. Langit adalah manusia paling urakan dan berandal yang pernah dia temui di muka bumi ini. Spesies yang paling dia benci. Secara otomatis masuk ke dalam daftar laki-laki yang dia blacklist di hidupnya. Oh, bersama Kalla tentu saja.
Dan mungkin semua laki-laki di belahan bumi ini. Thalia akan menjadi single selamanya. Single happy forever.
Dehaman Starla kembali menyadarkannya. Membuat Thalia berdecak, melupakan pertemuannya dengan Langit beberapa waktu lalu.
“Jadi.... siapa yang kamu mau? Mmm,” Starla masih mencoba bersuara, “gimana kalau kamu kenalan sama temen aku—”
“No! Enough!” bantah Thalia lagi. “No! Please, no, La! Jangan mengasihaniku! Aku nggak butuh siapapun!” dipaksakannya senyuman, “harus berapa kali aku bilang, La? I’m okay. I’m fine. Aku belum mau menikah. Aku masih ingin hidup sendiri. Itu prinsipku sekarang.”
Starla bergidik. “Thal, itu nyeremin, Beib. Come on! Mmm, what about being pregnant and getting child? So kyut! Kyuut!”
Starla bahkan memperagakannya dengan cuteness overload. Dua tangan yang diremas-remas seperti squishy. Muka yang gemas melebihi bayi. Tapi tidak juga membuatnya luluh. Bagaimana Thalia percaya bahkan saat dia sendiri sempat punya keinginan mencekik bayi Kalla yang baru lahir di inkubator.
“I hate it, La.”
Astaga, perempuan macam apa dia ini? Tidak punya perasaan. Bukankah dia akan menjadi ibu juga? Tapi dia sudah bertekad tidak akan melakukan apa yang dia benci.
“Beib, your Mom and Dad will be sad if you like this...”
Thalia menghembuskan napas panjang mengakhiri malam bersama Starla. Saat perempuan itu pamit bersama calon suaminya, Thalia memilih tingggal. Menikmati sisa kafe yang hampir tutup. Dan Thalia tahu, tangisnya perlahan turun.
***