Hancur sudah semuanya. Sama sekali tidak ada yang berjalan baik di rumah.
Renata memijat kepalanya, menatap ke langit-langit persegi. Sebenarnya apa yang salah dengan dirinya? Apa selama ini usaha Renata benar-benar tidak berarti? Orang bilang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Tapi apa ini? Setelah semua perjuangan Renata membesarkan kedua putrinya sebagai orang tua tunggal, salah satu di antara dua putrinya malah merasa ada kasih sayang yang tak sebanding. Kasih sayang yang timpang.
“Alen nggak akan apa-apa kan, Ma?” Alice mengalihkan perhatian Renata dari langit-langit persegi yang kosong. Renata berbaring di kamarnya, ditemani Alice yang duduk di tepian ranjang setelah keributan tadi.
“Semoga nggak apa-apa.” Renata menjawab lirih. Ia berbaring menyamping, menatap punggung putri sulung yang membelakanginya. Rambut Alice hitam mencapai bahu. Dulu rambut itu menjuntai sampai ke pinggang, tapi Renata memutuskan untuk memotongnya. Renata tidak tahan melihat helaian rambut Alice berserakan di ranjang setiap kali membereskan kamar putri sulungnya itu.
“Ini salah aku.”
Renata bangkit. Ia beringsut lemas ke sisi Alice lalu duduk di samping putrinya dan menyandarkan kepalanya di bahu Alice. “Kamu bilang ini bukan salah siapapun.”
“Maksudku, Alen mengurung diri lagi di kamar. Salahku.”
Renata mengembuskan napas. Alen bergegas mengunci pintu, mengurung diri di kamar. Lagi. Setelah mendengarkan rentetan kata-kata Alice yang mungkin benar-benar menyakiti hatinya. Gadis itu kembali bersembunyi, mengabaikan panggilan Renata seperti saat pertama kali mengetahui kenyataan soal Galen.
Renata khawatir tentu saja, tapi ia juga lelah. Untuk saat ini, Renata tidak ingin melakukan apapun. Mungkin begitu juga yang dirasakan Alen. Gadis itu pasti lelah.
“Kalau aku bisa lebih ngontrol emosi…”
“Sudahlah.”
“Kalau aku nggak bentak-bentak Alen tadi, mungkin dia nggak akan mengurung diri lagi.”
“Alice....” Renata mengelus puncak kepala putrinya “Kamu sendiri yang bilang sama Mama. Ini bukan salah siapapun. Mungkin Alen cuma butuh waktu untuk menenangkan diri. Dia pasti mau keluar besok.”
Ada benarnya, sedikit banyak ini salah Alice. Tapi Renata juga paham keadaan Alice. Putri sulungnya itu pasti ingin kondisi rumah kembali seperti semula secepatnya. Ia pasti ingin Alen sembuh secepatnya dan kembali menjadi Alen yang dulu meski tetap pribadi tertutup yang lugu.
Renata memeluk putrinya, mengelus lagi rambutnya dengan lembut. Renata pernah dengar bahwa kerja sama yang baik antara ibu anak kelak akan memudahkan tujuan yang disusun tercapai. Orang sering menasehati Renata : kalau Renata gagal dalam pernikahannya, tak masalah. Pernikahan memang sesuatu yang sakral dan menjadi istimewa saat dilakukan sekali seumur hidup, tapi hubungan ibu dan anak jauh lebih sakral. Mantan suami atau istri ada, tapi tak ada yang namanya mantan anak.
Jadi, jika Renata berhasil melalui badai di rumahnya dan memperbaiki keretakan antara dirinya dengan Alen, maka ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membentuk kerjasama yang hebat bersama kedua putrinya. Membangun rumah yang nyaman sebagai tempat untuk berkumpul dan berlindung. Juga membentuk pilar yang kuat untuk mempertahankan hubungan mereka sebagai ibu dan anak.
#
Benar. Seperti yang Renata katakan kemarin malam, Alen keluar kamar keesokan harinya. Gadis itu mondar-mandir di rumah seolah tak pernah terjadi apapun. Wajahnya datar, dihiasi gurat lelah. Tubuh Alen yang sebelumnya kurus sekarang menjadi lebih kurus lagi.
Renata tak melepaskan perhatiannya dari Alen. Ia bertanya beberapa kali apa Alen sudah minum obat atau belum, apa yang ingin Alen makan, apa Alen mau pergi ke sekolah atau tidak, tapi tak ada satu pun yang Alen jawab. Gadis itu memang menampakkan dirinya, tapi jiwanya seolah tak ada. Seperti ia tak pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan Renata. Seperti mayat hidup.
Tapi tak masalah. Semuanya akan segera berlalu. Lagi pula, Alen juga akan merasa lelah, kan? Dan selama Alen masih belum juga buka suara, Renata tak akan tinggal diam. Ia akan terus mengajukan macam-macam pertanyaan sampai Alen menjawab, setidaknya satu pertanyaan saja.
“Hari ini Mama antarkan ke sekolah, ya?”
Alen bergeming. Gadis menyuap sarapannya, tampak tidak berselera. Setelah tiga suapa Alen berhenti. Ia meletakan sendok, lalu membawa piring ke dapur dan membuang sisa makanan ke wastafel. Renata memperhatikan. Ia mendengar suara keran dinyalakan, disusul oleh denting piring dan sendok yang dicuci.
Alen bergegas meninggalkan ruang makan yang merangkap sebagai dapur setelah selesai mencuci piring. Ia kembali ke kamarnya, lalu keluar lagi dengan menenteng cross bag-nya. Jaket merah yang selalu ia pakai setiap hari juga ikut ditenteng. Beberapa saat kemudian Alen meninggalkan rumah. Gadis itu pergi, mengenakan seragam sekolah tanpa pamit pada Renata, apalagi pada Alice.
“Ma…”
Renata menoleh begitu Alice menginterupsi perhatiannya dari sosok Alen yang menghilang di balik pintu.
“Alen gak akan kenapa-kenapa, kan?”
Sebenarnya Renata juga takut. Ia sempat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan Alen dalam kondisi kesehatannya yang tidak stabil. Apalagi Alen merasa tidak dicintai di rumah. Apa yang paling mungkin dilakukan seorang anak saat ia merasa tidak berharga dan tidak diperlukan di keluarganya? Minggat? Bunuh diri? Renata menggigil memikirkan semua itu.
Meski begitu, Renata yakin, Alen bukan tipikal gadis dangkal yang mengatasi masalah dengan hal-hal semacam itu. Renata percaya putrinya masih akan memberikan kesempatan untuk sebuah penjelasan. Juga membukakan pintu untuk memperbaiki semua kesalahpahaman.
#
Ini sudah beberapa hari sejak insiden di ruang tamu. Teriakan marah Alice dan tuduhan-tuduhan gadis itu soal Alen yang terlalu merendahkan diri, juga kata-kata jahat tentang Alen yang terlalu sensitif dalam menyikapi segala hal sering terngiang di malam hari. Membangunkan Alen dari tidur yang sebenarnya tak pernah nyenyak.
Malam ini pun begitu. Alen bangun dalam sekali sentakan.
Lo tuh terlalu sensitif. Nganggap diri lo sendiri rendah dan selalu berlebihan dalam setiap situasi. Ini itu dibikin sedih. Tapi itu salah lo sendiri. Salah lo nggak pernah cerita. Salah lo selalu tertutup. Lo bikin gue malu di sekolah. Banyak gosip yang beredar soal lo di kelas gue. Lo nggak pernah nganggap gue sama Mama ada, kan?
Ucapan itu yang menorehkan luka paling besar dalam diri Alen.
Alen menyeka keringat yang merembes keluar di dahinya. Gadis itu menggapai gelas di nakas. Tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu yang tipis di sisi gelas. Sebuah kertas. Alen menarik kertas itu, membaca sesuatu yang tertulis di sana setelah meminum seteguk air.
Alen, kalau nanti pagi kamu masih tidak ingin bicara dengan Mama dan Alice, tak masalah. Tapi jangan lupa untuk makan dan minum obat. Mama percaya kamu.
Wajah Alen berubah masam. Gadis itu melempar kertas pesan di tangannya setelah meringsekkan kertas itu dalam kepalan kuat.
Apa semua hal bisa diselesaikan dengan maaf? Kalau begitu apa gunanya polisi, hakim, dan pengacara?
Oke. Perasaan terluka Alen mungkin bukan sesuatu yang bisa dibawa ke pengadilan, tapi bukan juga sesuatu yang bisa diselesaikan dengan maaf saja. Maaf mungkin bisa menyembuhkan luka, tapi tidak menghilangkan bekas luka yang diberikan seseorang.
Sewaktu Alice meneriaki Alen di ruang tamu, Renata tak mengatakan apa-apa. Bukankah sebagai ibu seharusnya Renata menengahi anak-anaknya? Atau setidaknya Renata menghentikan Alice. Sekali pun Renata tidak peduli dengan Alen, tapi ada baiknya Renata tidak membiarkan Alice meninggikan suara. Apa kata tetangga nanti? Sudah ada anggota keluarga yang gila, ada pula anggota lain yang temperamen.
Alen tersenyum terpaksa. Keluarganya memang tidak bisa diandalkan. Dan tidak layak diandalkan.
Alen merebahkan lagi tubuhnya di ranjang. Ia merasakan napasnya tenang dan lembut. Sementara itu, pikirannya berpacu. Potongan-potongan teriakan Alice terdengar lagi. Jelas, terasa sangat nyata, seperti Alice sedang berdiri di depan dan mengucap ulang semua kata-kata pedasnya pada Alen waktu itu.
Sekoyong-koyong Alen merinding. Katanya, orang yang punya masalah dengan kesehatan mentalnya memang kesulitan mengendalikan pikiran, tapi sama sekali tak terbayangkan maksud dari kesulitan mengendalikan pikiran adalah dihantui berbagai hal yang tak patut ditakuti, seperti suara-suara yang menyakitkan.
Tubuh Alen berguling ke samping. Ia memejamkan mata, tapi ketika kesadarannya hampir tenggelam dalam tidur, suara Alice muncul lagi. Alen tersentak. Ia bangun lagi, mengambil lagi gelas di nakas dan meminum isinya sampai tandas. Lelah, Alen melirik jam. Pukul 2 malam.
Apa sekarang saat yang tepat untuk menyiksa Alen dengan suara-suara itu?
Alen menggigit bibirnya. Ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, meringkuk, kemudian mulai sesak oleh suara-suara dalam benaknya. Suara itu tak mau pergi. Suara Alice yang membentak dan menyakitkan, tiba-tiba bercampur dengan bayangan menakutkan.
Renata tersenyum sinis di belakang Alice, sedetik kemudian tertawa lepas. Renata tertawa. Senang sekaligus merendahkan. Alen meringkukkan badannya lebih dalam. Gadis itu menutup mata rapat. Tapi semakin rapat matanya, semakin jelas suara di benaknya. Ketika Alen menutup telinganya, tawa Renata mendominasi.
Lalu rasa takut merambat cepat.
Alen tak bisa begini. Gadis itu menyibak selimut yang menggulung seluruh tubuhnya. Jangan terlarut. Jangan terlarut. Alen harus tetap waras. Ya.
Alen kemudian meraih ponsel. Kalau Alen tak boleh tidur, tak masalah. Alen masih bisa melakukan hal lain untuk mengalihkan perhatiannya. Dibukanya sebuah aplikasi pemutar podcast.
Di tengah-tengah siaran podcast yang Alen dengar, ada sesuatu yang menarik.
Sakit hati itu seperti penyakit HIV yang mati jika inangnya mati.
Pertanyaan itu sektika muncul.
Apa Alen akan baik-baik saja jika ia mati?
Cinta Semi
1904
844
2
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Hear Me
489
354
0
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Amor Vincit Omnia
554
403
1
Short Story
\'Cinta menaklukkan segalanya\'. Umpama darah yang mengalir ke seluruh tubuh, cinta telah menaklukkan rasa benci yang bagai melekat dengan tulang dan daging. Jika hujan mampu sampaikan pesan pada ibu, maka ia akan berkata, “Aku sungguh mencintainya. Dan aku berjanji akan menjaganya hingga berakhir tugasku di dunia.”
API DI DEPAN MATA
469
333
0
Short Story
cerita ini menceritakan kisah seorang anak yang bekerja untuk membantu ibunya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya, dirinya harus bertahan sementara kakaknya selalu meminta uang dari ibunya.
Let's See!!
1774
823
1
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji.
"Hah?"
Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih?
"Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian.
Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Baniis
634
391
1
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya.
(Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
Jelita's Brownies
3388
1407
11
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies.
Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
Surat Kaleng Thalea
3831
1098
2
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan.
-Kahlil Gibran-
Pacarku Arwah Gentayangan
4731
1525
0
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada.
Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Dream of Being a Villainess
1118
649
2
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya.
Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...