Alen terpaku pada dua butir obat putih di tangannya. Gadis itu kemudian beralih memandang ponselnya dengan perasaan yang kacau balau.
Pernah membayangkan seseorang berdiri di ketinggian seratus meter, dipaksa untuk menyerahkan diri pada sekelompok pembunuh bayaran atau pasrah saja terjatuh dari ketinggian yang bisa meremukan seluruh bagian tubuh? Seperti itulah perasaan Alen saat ini.
Di satu sisi, ia merindukan Galen. Meski Alen tahu pemuda itu hanyalah manifestasi dirinya sendiri dan sebuah khayalan yang tak patut untuk dirindukan, tapi sulit mengingkari kenyataan bahwa selama ini Galenlah yang menenangkan kecamuk dalam diri Alen jika ia sedang dalam kondisi terburuknya. Di sisi lain, Alen ingin menyerah saja. Ia ingin melupakan Galen dan hidup normal tanpa berharap apa-apa lagi pada seorang pemuda khayalan. Sulit sekali memilih salah satu di antara kedua pilihan itu.
Memilih terus menerus memikirkan Galen sama saja dengan menyerah pada sakit jiwanya, tapi melupakan Galen juga terasa menyiksa. Biasanya, saat seperti ini, Alen bisa menghubungi pemuda itu, lalu berakhir di taman dan mengobrol hal-hal yang tidak penting.
Alen memutuskan meneguk kedua obatnya. Ia menandaskan gelasnya, lalu mengembuskan napas. Mungkin seumur hidupnya ia harus mengonsumsi obat-obatan seperti ini supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman seperti berteman dengan seseorang yang tak pernah ada. Senyum kecut mengembang di bibir Alen.
“Sudah minum obat?”
Alen mendongak terperanjat ketika seseorang menepuk bahunya. Berbalik, Alen mendapati Renata tersenyum tipis.
Senang rasanya diperhatikan, tapi sayang sekali perhatian Renata baru muncul setelah keadaan Alen sudah begini menyedihkan. Alen memilih pergi tanpa mengatakan apa-apa. Gadis itu baru akan meninggalkan ruang tamu, tapi Renata sudah lebih dulu menggenggam tangannya.
“Tadi pagi kamu nggak sarapan, kan? Sekarang makan dulu, yuk?”
Alen bergeming. Ia mengempaskan tangan Renata. Niatnya meninggalkan ruang tamu lagi-lagi terhenti. Sekarang karena Alice menatapnya dari ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang makan.
“Mama ngomong sama lo.”
Melelahkannya memiliki keluarga seperti ini. Alen baru pulang sekolah dan harus menghadapi situasi yang tidak mengenakan. Sebelumnya pagi tadi Alen sudah disuguhi pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat. Di rumah ini, Alen yang sakit, tapi perhatian yang Alice dapatkan jauh lebih banyak dan lebih besar. Ciuman di pagi hari didapatkan kakaknya meski ia dalam keadaan baik-baik saja.
“Gue lagi males ngomong.” Alen menukas ketus.
“Alen!”
Alen tersentak. Suara Alice memantul di telinganya, menciptakan tensi tegang yang mencekik.
Di hadapannya, Alice menautkan kedua alisnya, membiarkan kedua matanya menajam.
Apa-apaan tatapan Alice?
"Jangan egois Alen." Alice mendekat. Wajahnya merah padam dan napasnya tersengal. Entah setan apa yang merasuki gadis itu, tapi sekoyong-koyong ia marah.
Oh, benar juga sih. Alice dan Renata kan saling menyayangi. Wajar kalau sekarang Alice marah saat Alen mengabaikan Renata.
“Mama tanya, lo udah makan belum?”
“Udah. Puas?”
“Udahlah, Alice.” Renata terdengar menyela
“Nggak bisa gitu, Ma. Selama ini kita khawatir sama keadaan Alen, tapi makin hari Alen makin ngelunjak. Aku tahu, Mama beberapa hari ini diabaikan Alen, kan?”
Alen menekan bagian dalam pipinya dengan lidah. Sesuatu yang menyesakkan merambat cepat ke ubun-ubunnya. Tensi ruangan yang menyesakkan seolah tak cukup untuk mencekik Alen, sekarang ia harus mendengar Alice menyalahkan dirinya.
Oke, Alen akui, ia memang mengabaikan Renata beberapa hari ini. Tapi apa itu salah Alen? Kenapa Renata bisa mengabaikan Alen selama ini, sementara Alen tak boleh? Ia punya hak dan kewajiban untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Dan mengabaikan Renata membuat Alen merasa lebih tenang dan nyaman meski ia tahu itu dosa.
“Jadi Mama boleh bersikap abai, tapi gue nggak bisa?” Alen tak kuasa menahan apa yang ingin ia katakan. Nada suaranya meninggi membuat Alice mengerjap sekilas.
“Alen, pikiran lo di mana, sih? Selama ini Mama yang udah ngurus kita—“
“Iya. Gue nggak punya pikiran. Gak punya otak. Tapi Alice, maaf ya, selama ini gue nggak ngerasa Mama ngurus gue. Dia cuma sayang sama lo.”
“Lo ngomong apa sih?”
“Itu kenyataannya, kan, Ma?”
Renata gelagapan tak menjawab.
“Mama nggak jawab, berarti bener, kan? Selama ini cuma lo yang disayang Mama.”
“Alen, tolong ya. Selama ini Mama udah berusaha yang terbaik buat kita berdua. Lo nuduh Mama cuma sayang gue? Gila lo.”
Kata-kata itu membungkam Alen. Ia membeku di tempatnya berdiri, merasa seperti baru saja ditebas pedang tepat di urat nadi.
Gila lo. Kata-kata itu menari-nari di benaknya.
Sekoyong-koyong Alen tersenyum meski kecut. Berapa kali sih orang-orang harus mencap dirinya gila? Bahkan, Alice, anggota keluarganya sendiri bisa mengatakan itu dengan mudah.
Menyadari perubahan raut wajah Alen, Alice menelan ludah. Ia berniat menggenggam tangan Alen, tapi Alen menepisnya.
“Jangan dekat-dekat orang gila.” Ucap Alen dingin.
“Alen, bukan itu…”
“Lo sama Mama emang dari dulu nganggap gue gila, kan? Sekarang gimana? Psikiater bilang emang ada yang salah sama mental gue. Senang?”
“Alen!” Alice mendecakkan lidah. Ia maju selangkah, lalu menunjuk Alen dengan mata berapi-api.
“Oke. Gue emang nganggep lo gila selama ini. Tapi lo jangan bertingkah seolah-olah gue sama Mama orang jahat di sini. Lo juga selalu mikir negatif, kan tentang gue sama Mama?”
Alen mengernyitkan dahi. Pelipisnya berkedut-kedut. Bagaimana Alice bisa dengan mudah mengatakan itu?
“Salah siapa gue sama Mama gini? Salah lo sendiri! Lo yang selalu ngejauh dan nutup diri.” Suara Alice meninggi, menusuk Alen yang sudah sejak tadi kehilangan kata-kata.
“Lo tingkahnya udah kaya korban, tapi sebenarnya gue sama Mama yang jadi korban.”
Alen tidak pernah bertingkah sebagai korban. Ia selalu menutup rapat-rapat perasannya. Tidak pernah sekali pun Alen bercerita macam-macam pada teman-temannya dengan menambahkan bumbu-bumbu yang membuat Alice dan Renata terkesan jahat. Dan sekalinya Alen bercerita—pada Nurseu—Alen menceritakan yang sebenarnya, bukan bertingkah sebagai korban apalagi membuat cerita yang menyebabkan Alice dan Renata jadi tokoh jahat. Alen hanya mencurahkan perasannya.
“Lo terlalu sensitif. Nganggap diri lo sendiri rendah dan selalu berlebihan dalam setiap situasi. Ini itu dibikin sedih. Tapi itu salah lo sendiri. Salah lo nggak pernah cerita. Salah lo selalu tertutup. Lo bikin gue malu di sekolah. Banyak gosip yang beredar soal lo di kelas gue. Lo nggak pernah nganggap gue sama Mama ada, kan?”
Cukup. Alen tidak mau mendengar apa-apa lagi. Kepalanya bisa pecah kapan saja jika ia terus mendengar teriakan-teriakan Alice yang penuh amarah.
“Oke. Semuanya salah gue.”
Mama Tersayang
418
328
2
Short Story
Anya, gadis remaja yang ditinggalkan oleh ayah yang amat dicintainya, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan. Kini, ia harus hidup berdua dengan ibu yang tak terlalu dekat dengannya. Senang atau tidak, Anya harus terus melanjutkan hidup tanpa ayah. Yang Anya tidak sadari, bukan hanya ia yang kehilangan ayahnya, ibunya pun kehilangan suami, dan teramat mencintai dia, Anya, putri satu-sa...
KataKu Dalam Hati Season 1
6077
1596
0
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Caraphernelia
1067
553
0
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya.
Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Potongan kertas
961
496
3
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!"
"Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya."
Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Call Me if U Dare
5764
1695
2
Mystery
Delta Rawindra:
1. Gue dituduh mencuri ponsel.
2. Gue gak bisa mengatakan alibi saat kejadian berlangsung karena itu bisa membuat kehidupan SMA gue hancur.
3. Gue harus menemukan pelaku sebenarnya.
Anulika Kusumaputri:
1. Gue kehilangan ponsel.
2. Gue tahu siapa si pelaku tapi tidak bisa mengungkapkannya karena kehidupan SMA gue bisa hancur.
3. Gue harus menuduh orang lain.
D...
Kemana Perginya Ilalang
717
464
0
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
27th Woman's Syndrome
10804
2069
18
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya,
Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya.
Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya.
Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun.
Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu
Aku 27 tahun, dan aku single...
Single?
Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Lukisan Kabut
567
408
4
Short Story
Banyak cara orang mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang lain. Hasilnya tergantung bagaimana cara orang lain menerima perilaku ungkapan sayang itu terhadap dirinya.
Rewrite
9766
2798
1
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya.
Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan.
Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
SECRET IN SILENCE
6830
1717
3
Fantasy
"Kakakmu kabur. Adikmu dijual. Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
Didasari oleh ra...
bagus
Comment on chapter Yang tidak diketahui