Read More >>"> Dunia Alen (Membolos) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Alen
MENU 0
About Us  

Renata mengatur semua makanan di meja sementara menunggu anak-anaknya turun. Akhir-akhir ini ia sibuk mengisi rubrik untuk kolom sastra di surat kabar lokal. Setelah bertahun-tahun bekerja sama dengan banyak surat kabar, akhirnya Renata memiliki kolom rubrik sendiri—yang harus ia isi setiap minggu dengan berbagai hal yang berkaitan dengan sastra.

Pagi ini Renata hanya sempat memasak nasi goreng dan telur dadar untuk sarapan. Sejak bercerai dengan suaminya karena perbedaan persepsi, Renata harus bekerja di luar dan di rumah secara ekslusif. Ia perlu menafkahi putri-putrinya dengan baik agar kelak pemuda yang menikahi mereka tidak menyesal dan memutuskan untuk menceraikan mereka seperti Renata diceraikan suaminya. Renata juga perlu mengurus rumah untuk sekadar memperlihatkan pada anak-anaknya bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik dan cakap di dapur.

Tapi sepertinya soal cakap di dapur, Renata gagal. Hampir setiap hari menu sarapan yang ia buat adalah nasi goreng, telur, tahu, atau tempe. Renata tidak semiskin itu untuk menyajikan hidangan yang monoton. Ia hanya tidak punya waktu untuk memasak—yang berarti ia gagal menunjukkan pada anak-anaknya bahwa ia cakap di dapur meski harus membagi waktu untuk mencari uang.

Tiga piring nasi goreng dan telur dadar tersaji rapi di meja makan. Sekarang tugas Renata hanya memanggil anak-anak turun. Renata baru saja mengambil ancang-ancang untuk memanggil kedua putrinya, tapi matanya sudah lebih dulu menangkap anak bungsunya menuruni tangga dengan wajah muram.

“Mana Alice?” Renata menginterupsi putri bungsunya dengan pertanyaan.

“Panggil dulu Alice supaya kita bisa makan bareng.” Sambung Renata. Ia sempat melihat bungsunya mengembuskan napas dengan lelah sebelum kembali ke atas dan turun lagi bersama yang sulung, Alice.

“Nasi goreng lagi?” Alice yang baru datang, mengeluh melihat piring-piring berisi nasi goreng di meja makan. Renata, sementara itu bertingkah tidak mendengar apapun.

“Nah, silakan dimakan. Jangan lupa berdoa.” Ucap Renata. Ia memejamkan matanya sebentar untuk berdoa, setelah itu ia mulai menyendok nasi goreng dan mengunyah cepat. Segala hal dalam hidupnya harus dilakukan dengan cepat. Ada banyak hal yang menunggu Renata di luar sana. Ia harus cepat kalau tidak ingin kehilangan kesempatan menghasilkan uang untuk kedua putrinya.

“Ma,” Suara Alice memecah hening ruang makan. Renata menatap putri sulungnya masih sambil mengunyah.

“Hari ini ada jadwal pemotretan lagi.”

“Oh ya?” Renata menelan kunyahan nasi gorengnya, lalu meneguk air putih. Menyendok lagi nasi, menyendok lagi, menyendok lagi sampai piringnya tandas licin.

Alice mengangguk. “Alice udah dapat surat izin sekolah. Sekarang jadwalnya pagi.”

Renata baru menyadari kalau Alice tidak mengenakan seragam sekolah.

“Bisa antar Alice ke lokasi? Kalau naik bus, takutnya telat.” Renata tampak berpikir sejenak. Ia mengerling putri bungsunya yang sejak tadi mengaduk-aduk nasi goreng dengan bahu melorot.

“Jangan cuma diaduk.” Komentar Renata gemas. Alen berdeham, lalu cepat-cepat melahap nasi gorengnya.

“Kamu bisa berangkat sendiri?” Renata memandangi putri bungsunya yang sepertinya tidak sadar kalau ia sedang ditanya.

“Alen.”

Alen menoleh. “Oh, apa?”

“Kamu bisa berangkat sendiri?” Renata mengulang pertanyaannya dengan gemas. Putrinya yang satu ini memang sering kehilangan fokus. Entah itu sedang makan atau menonton televisi, Alen selalu hilang fokus.

“Gatau.” Jawaban Alen membuat Renata semakin gemas saja. Gadis itu sudah sering kehilangan fokus, sering juga mengatakan sesuatu secara tak jelas. Seperti jawaban barusan, tak jelas apa maksudnya.

“Kamu sudah cukup dewasa untuk berangkat sekolah sendiri, kan?”

Alen mengangguk.

Kadang Renata ingin sekali meninggikan suaranya pada Alen dan mengajarkan putrinya itu untuk berkomunikasi lebih baik saat seseorang berbicara padanya, tapi Renata tak punya waktu untuk itu. Pikir Renata, kelakuan Alen yang nampak membosankan, tertutup, dan penyendiri, hanya bagian dari masa pubertas. Toh, Renata sendiri juga begitu saat ia masih muda.

Renata merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia meletakkannya di meja, lalu mendorong uang ke arah Alen.

“Naik bus, ya.”

Lama Alen terdiam. Gadis itu menatap lekat lembaran uang yang disodorkan padanya.

“Alice juga bisa pakai bus, kan?” Alen bertanya tiba-tiba, terdengar sedikit arogan.

Renata mengembuskan napas. Kadang ia tidak mengerti kenapa Alen tidak pernah mengikuti kata-katanya tanpa berkomentar sekali saja. Alen selalu mengatakan sesuatu yang secara tak langsung menentang keinginan atau perintah Renata. Mungkin sikap Alen yang satu itu juga merupakan bagian dari masa pubertas, sayang sekali Renata tidak selalu bisa menoleransi cara membangkang Alen yang tidak tampak seperti membangkang. Kehidupan Renata sudah cukup melelahkan. Baginya kebahagiaan itu hanya ketika anak-anak gadisnya mau mengikuti semua peraturan, perintah, dan saran yang Renata berikan. Sangat melelahkan untuk Renata jika salah satu di antara kedua gadisnya terlalu banyak bertanya, apalagi kalau secara tak langsung pertanyaan itu bertendensi membangkang.

“Kakakmu ada jadwal pemotretan. Kalau naik bus, bisa telat dan arah lokasi pemotretan dengan sekolah beda, Alen.” Sampai sini Renata masih mencoba bicara dengan nada yang netral. Pagi hari bukanlah waktu yang tepat untuk meninggikan suaranya.

“Aku juga bisa telat ke sekolah kalau naik bus.”

Baru setelah jawaban Alen tadi, Renata hilang sabar. Ia menggebrak meja sampai kedua putrinya terlonjak di tempat duduk mereka.

“Jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Lagi pula rute bus langsung menuju ke sekolah, lain lagi kalau ke lokasi Alice.” Renata mendapati suaranya keras dan tegas. Sejurus kemudian ia memegang dahinya lelah. Hancur sudah pagi yang ia pertahankan.

“Kamu sekali saja ikuti kata Mama tanpa banyak alasan, bisa? Seperti Alice, apa susahnya, sih?”

#

Apa alasannya? Apa karena Alice sudah bisa menghasilkan uang? Alen mendorong dirinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu selagi ia duduk, menyandarkan kepalanya ke kaca jendela bus yang melaju dengan kecepatan memuakkan. Alen selalu bertanya-tanya apa yang membuat Renata terkesan condong pada Alice setiap saat.

Sekarang sepertinya jawabannya jelas. Karena Alice sudah bisa menghasilkan uang. Lain dengan Alen yang setiap hari harus dapat uang tambahan untuk ongkos naik bus ke sekolah. Tapi naik bus bukan keinginan Alen. Renata tidak harus memberikan uang lebih kalau ia tidak menyuruh Alen naik bus ke sekolah. Lagi pula sebenarnya Alen punya cukup uang untuk naik bus. Alen tidak keberatan naik bus. Ia hanya merasa tidak adil. Ketika ia harus berdesak-desakan dengan orang asing, kakaknya bisa duduk nyaman di mobil, diantarkan Renata secara ekslusif.

Memang, kadang Renata juga mengantarkan Alen ke sekolah, kadang juga tidak mengantarkan siapapun dan menyuruh supir untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah kalau ia sedang ada pekerjaan penting di rumah. Tapi seringnya Renata mengorbankan Alen untuk kepentingan Alice. Alen lelah sebenarnya, tapi apa boleh buat? Sekali membangkang, hasilnya seperti tadi pagi. Alen akan diserang nada-nada menyentak yang tidak mengenakan.

Bus berhenti sebentar untuk menaikan penumpang, saat itulah Alen memasang headset ke kedua telinganya. Suara penyiar dari siaran radio favoritnya terdengar menggantikan instrumen lagu yang perlahan menghilang. Sambil mendengarkan baik-baik ocehan penyiar, Alen menutup matanya. Gadis itu mungkin bisa menikmati sisa perjalanan ke sekolah dengan tidur atau setidaknya mendengarkan radio dengan tenang jika seseorang tidak tiba-tiba mencolek bahunya dan melepas headset-nya.

Alen menoleh merespon colekan di bahunya. Ia terpekur beberapa saat sebelum mulai merasakan lelah yang hebat di sekujur tubuhnya.

Bagus sekali. Pagi ini sudah diawali dengan sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan, dan sekarang Alen harus bertemu lagi pemuda aneh yang akhir-akhir ini menganggunya.

Galen lagi.

Galen mengangkat sebelah tangan, lalu menatap lurus ke depan dan menyadarkan bahu. Melihat laki-laki duduk di sampingnya, Alen menjadi jengkel tanpa alasan. Maksud Alen, harinya sudah cukup buruk dengan naik bus dan dibentak Renata saat sarapan. Kenapa pula ia harus bertemu Galen yang kehadirannya selalu tiba-tiba di tempat yang tak terduga.

“Sepertinya sudah tidak terkejut lagi bertemu saya.” Galen menyeletuk tanpa menoleh atau mengerling Alen. Pemuda itu menatap ke depan dengan wajah stoic.

“Kenapa selalu mengikuti saya?” Alen merespon dengan pertanyaan balik.

“Saya tidak mengikuti kamu. Saya naik bus ini setiap hari.” Galen menjawab santai.

Entah pengaruh insiden pagi yang menjengkelkan atau pengaruh dari kemunculan Galen yang lebih menjengkelkan, Alen merasa kedua bola matanya panas dan memburam. Gadis itu lalu merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipinya. Tanpa sadar ia menyeka wajah seraya terisak kecil. Galen yang duduk di sampingnya menoleh refleks.

“Kenapa kamu?”

Alen menggeleng, menutup wajah frustrasi. Ia juga tak tahu kenapa tiba-tiba menangis cengeng seperti ini. Alen yakin ia hanya lelah. Jengkel. Dan kesal juga. Untunglah Galen tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Laki-laki itu sepertinya mengerti kenapa Alen berubah jadi cengeng. Ia juga tampaknya mengerti kalau Alen sedang tidak ingin menjelaskan apapun.

Bus yang Alen tumpangi akhirnya berhenti di depan terminal dekat sekolah. Alen cepat-cepat menyeka wajahnya. Ia tidak mau menghadapi teman-teman sekelasnya dengan wajah berantakan atau mereka akan berasumsi yang tidak-tidak seperti Alen menangis sendiri atau asumsi lainnya yang mengarah pada hipotesis kejiwaan.

Kaki Alen melangkah tegas melewati Galen yang masih tetap duduk. Awalnya Alen memutuskan untuk turun lebih dulu dan menghindari percakapan dengan si aneh itu, tapi karena pemuda itu terus duduk, bahkan ketika Alen hampir turun dari bus, Alen tergoda untuk kembali dan memastikan.

Entah untuk alasan apa, Alen merasa ia harus memastikan Galen ikut turun dengannya. Aneh, memang.

“Nggak turun?” tanya Alen datar.

Galen memandangnya tak kalah datar. “Nggak.”

“Kenapa? Sekolahmu di sini.” Kata Alen, menunjuk gerbang sekolah Galen yang bersebrangan dengan sekolahnya.

“Saya mau bolos.” Alen mengernyit.

“Apa?”

“Bolos. Kamu mau ikut?”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Because We Are Family
394      300     0     
Short Story
If I Called Would You Answer
362      252     1     
Short Story
You called her, but the only thing you heard was ' I'm Busy '
Interaksi
406      282     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
Metamorf
115      95     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
Acropolis Athens
4435      1828     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
639      452     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Toko Kelontong di Sudut Desa
4574      1756     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
Kani's World
1442      669     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
The Flower And The Bees
3080      1424     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...
Dunia Sasha
5324      1933     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...