Aku tahu, aku tahu, aku memang disukai banyak orang. Tapi apa ini? Wartawan? Konferensi? Kamera? Sejak kapan pamorku setara dengan penyanyi opera? Kenapa pakai acara memanggil media segala?
“Dengar, ya—“
“Dengar apa?”
Alen mengatupkan bibir. Ia membidik Alice yang menatapnya dengan kepala miring. “Lo nggak berkhayal lagi, kan?”
Lagi. Pasti lagi-lagi Alen tersedot dalam khalayannya yang seindah dongeng. Kali ini sepertinya khayalan Alen tentang dirinya menjadi publik figur yang sedang disorot media. Ah, memang gila.
“Alen?”
“Nggak.” Alen menjawab cepat, terburu-buru meninggalkan Alice yang menatap curiga. Kalau sampai kakaknya itu mengadu lagi soal khayalan Alen pada Renata—ibunya, Alen benar-benar akan dibawa ke psikiater dan diberi obat-obatan untuk orang depresi.
Perlu digaris bawahi, Alen tidak depresi. Alen sangat sadar dengan dirinya, keluarganya, serta segala hal yang ada di sekitarnya. Alen hanya terlalu sering terkoneksi dengan imajinasinya. Kebiasannya terlarut-larut dalam imaji selalu lepas kendali.
Walaupun berupaya tetap tenang, menghadapi sesuatu yang ganjil dalam dirinya Alen kelabakan. Gadis itu mencari-cari di internet, merasa kalap setiap kali mendapati dirinya sedang berbicara sendiri di depan cermin. Setelah mencari dengan berbagai kata kunci, Alen menemukan salah satu artikel yang membahas soal kesehatan mental.
Katanya, orang yang terlalu sering berkhayal sampai terlarut dalam khayalannya, mungkin pernah mengalami trauma psikis. Orang yang merasa dirinya berpotensi tersakiti akan melarikan diri dari realita dan menciptakan alur cerita yang menurutnya pantas ia jalani ketimbang kehidupannya di dunia nyata. Kedengaran konyol.
Tapi Alen mengiyakan artikel itu. Toh, ia merasa sudah banyak terluka dan kemungkinan kesehatan mentalnya terganggu karena trauma psikis sangat besar. Apalagi kalau dipikir-pikir, Alen selalu berkhayal soal menjadi sosok lain dengan kehidupan yang sepenuhnya berbeda. Misalnya menjadi aktris yang memerankan tokoh utama di film besar atau menjadi gadis yang tinggal dan bersekolah di luar negeri, lalu bertemu pemuda baik hati. Bukan sebagai Alena Marissa yang orang tuanya bercerai, selalu dibanding-bandingkan, dan dianggap kena kutukan oleh teman seangkatannya.
Alen menoleh ke belakang, memastikan kakaknya tidak menguntit dan memata-matai dirinya. Kecenderungan Alice sok-sok-an menjadi detektif semakin menjadi-jadi sejak ia tahu Alen sering biacara di kamar. Setelah yakin Alice tidak membuntuti langkahnya, Alen berderap ke kamar, mengunci pintu, dan duduk di bibir ranjang.
Gadis itu merebahkan tubuh, menatap ke langit-langit persegi, membayangkan dirinya adalah sesosok peri kecil berbaju hijau. Terbang mengitari bola lampu dengan kerlip-kerlip emas yang ajaib. Alen terbang, merasakan getaran dari sayapnya yang berwarna cerah dengan salur perak. Di belakangnya teman-teman peri bermunculan satu per satu. Berbaju biru, berbaju oranye, berbaju pink. Alen berhenti sejenak. Ia tersenyum menatap teman-teman perinya yang melambaikan tangan dengan hangat. Tidak ada senyum palsu, apalagi wajah pura-pura.
Ting.
Alen terhenyak. Denting dari ponsel menariknya dari dunia peri ke dunia nyata.
Kemarin Alen baru menonton serial ketiga film Tinkerbell. Animasi tentang peri itu pasti sudah mempengaruhi otaknya. Alen meraih ponselnya, memeriksa pesan yang masuk. Sebuah pesan dari nomor asing. Alen mengernyit sejenak sebelum membuka pesan itu.
[Hari ini ada waktu?]
Kernyit di dahi Alen semakin tebal. Ia memutuskan untuk tidak menggubris pesan itu. Alen tidak pernah menerima pesan dari siapapun. Teman-teman sekelasnya tidak tertarik berurusan dengan Alen setelah salah seorang dari mereka memergoki Alen bicara sendiri di kamar mandi sekolah. Secara serentak mereka menjauhi Alen, bersikap seolah Alen adalah mahluk berbahaya. Dari sana, Alen tahu, kecil kemungkinan teman-temannya mengirim pesan atau menelpon. Alen juga tidak punya kenalan di luar sekolah, jadi pesan tadi sudah pasti hanya pesan salah kirim.
“Alen?” suara Renata samar-samar terdengar dari balik pintu, menarik perhatian Alen dari ponsel di genggamannya.
“Ya?”
“Bisa keluar sebentar?”
Meski berpikir ia bisa mengabaikan permintaan Renata seperti mengabaikan pesan barusan, Alen tetap membuka pintu. Gadis itu menarik knop, berusaha agar pintu tidak terbuka terlalu lebar.
“Kenapa, Ma?”
“Alice ada jadwal pemotretan hari ini. Bisa antar dia ke lokasi? Mama masih ada kerjaan.”
Tanpa menunggu jawaban Alen, Renata pergi. Alen sendiri tak perlu menjawab, gadis itu keluar dari persembunyiannya. Ia meraih jaket merah kesayangannya sebelum pergi keluar dan menyusul Alice yang pasti sudah menunggu di mobil.
Tidak ada gunanya menolak. Alen selalu punya alasan untuk menuruti ibunya.
#
Alice memandang adiknya tak nyaman. Sejak masuk ke mobil, Alen langsung memasang wajah stoic yang terkesan menakutkan.
"Sori. Tadinya mau berangkat bareng Mama, tapi dia masih harus nulis untuk terbitan minggu depan." Alice sekoyong-koyong menjelaskan, berpikir mungkin Alen menampakkan wajah begitu karena tak suka hari minggunya diganggu.
"Kalau ke lokasi sendiri, gue takut, jadi minta anter." Ucap Alice, masih berusaha menjelaskan dengan sia-sia. Sementara itu, yang diajak bicara fokus melayangkan pandangan keluar jendela.
Mata Alen berkilat-kilat, seperti di luar sana ada hal-hal menakjubkan. Alice tergoda untuk mengikuti arah pandangan adiknya, tapi Alice tahu betul, di luar sana sebenarnya tidak ada yang menarik.
"Kalau udah selesai nanti, mau ke Plaza?" Kali ini Alice bertanya, mencoba memancing perhatian Alen, namun gadis itu tampaknya lebih senang memandangi deretan gedung dan pejalan kaki melalui jendela yang dilapisi kertas film kehitaman. Sama sekali tidak memberikan jawaban.
Sekelumit perasaan yang menakutkan menyergap Alice. Dulu Alen tidak begitu. Alen gadis yang ceria walaupun pada dasarnya ia memang pendiam. Alice lupa kapan tepatnya Alen menjadi pribadi lain yang menakutkan.
Bagaimana tidak, Alice beberapa kali melihat Alen bicara sendiri di dapur. Gerak-gerik Alen seolah gadis itu memang punya teman bicara. Kadang Alen seperti melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ia lakukan. Misalnya memungut barang yang jatuh, sementara tidak ada apapun yang Alen pungut. Beberapa kali pula Alice mendengar Alen mengobrol di kamarnya yang terkunci. Entah dengan siapa. Yang jelas, tak pernah ada yang masuk ke kamar Alen kecuali keluarga dan tentunya Alen sendiri.
Alice khawatir setengah mati dengan kelakuan adiknya itu. Sempat terpikir bahwa adiknya mungkin sejenis indigo atau punya indra keenam, ketujuh—apapun yang bisa membuatnya bicara dengan mahluk lain, tapi ayolah, Alice tak percaya hal-hal begitu. Semakin Alice meyakinkan diri bahwa adiknya memang punya teman tak kasat mata, semakin Alice tak percaya.
Merasa hal-hal gaib tak masuk akal, Alice berhipotesis kalau adiknya mungkin sakit. Alice melaporkan hipotesisnya pada Renata dan dengan gegabah mengajak Alen ke psikiater. Alice tak pernah berpikir kalau hipotesisnya bisa menyinggung perasaan Alen.
Sejak itu, Alen lebih dari sekadar menakutkan. Gadis itu menjauh sedikit demi sedikit kemudian menutup diri secara total. Kehadirannya di rumah menjadi bias.
Alice selalu merasa pribadi Alen yang sekarang adalah tanggung jawabnya. Kadang ia tertekan sendiri, menyesali kecerobohannya berhipotesis dan menyebabkan adiknya membuat jarak tak terlihat antara dirinya sendiri dengan keluarganya.
Mobil yang Alice tumpangi menepi dua puluh menit kemudian. Lokasi pemotretan tampak riuh dihiasi peralatan fotografi dan beberapa properti.
"Yuk." Alice menawarkan tangannya untuk digenggam Alen. Alen menatap lekat tangan Alice sebelum akhirnya menggeleng.
"Gue tunggu di mobil aja." Katanya datar.
"Tapi pemotretannya mungkin bakal lama." Alice memaksa, berharap Alen berubah pikiran.
"Gak apa-apa. Sana, nanti telat."
Cara Alen menjawab dengan nada kosong membuat Alice langsung menyerah. Ia membuka pintu mobil, lalu keluar tanpa menoleh lagi pada Alen.