Mobil Lexus hitam kepunyaan Joshua Yamaguchi Sanjaya terparkir di depan rumahku. Astaga, Tuhan! Apakah aku tidak salah melihat? Mobil itu tampak mencolok dan mewah sendiri di antara seisi gang kumuh tempat tinggalku yang berlokasi di pinggiran Jakarta ini.
Aku langsung membuka gerbang kecil di depan rumahku yang terbuat dari besi berkarat.
“Joshua? Sedang apa di sini?” tanyaku dengan intonasi yang tinggi karena keheranan sewaktu melihat Joshua membuka pintu mobilnya untuk turun.
“Jason yang mengajakku kemari,” balas Joshua. “Dan aku mendapatkan alamat rumahmu dari Michael, asistenku di kantor.”
Dan benar saja, tak lama kemudian Jason melompat keluar dari pintu di sebelah Joshua. Dia langsung menghampiriku dengan mimik wajahnya yang secerah matahari siang ini.
“Kenapa tidak bilang padaku kalau mau les piano hari ini? Kan aku bisa menghampiri kalian ke sana…,” kataku, menyesali penampilanku yang terlalu gembel bila dibandingkan dengan Joshua yang berkemeja rapi dan bercelana bahan hitam bak eksekutif muda.
“Tidak apa, Kak Viola,” Jason berucap. “Aku juga bosan di rumah terus. Lagi pula, aku bukannya mau latihan piano kok. Aku ke sini ingin mengajak Kak Viola untuk menemani aku ke sekolah baruku. Ups, maksudku, calon sekolah baruku. Hehehe.”
“Benarkah?” Kedua mataku terbelalak. Secepat inikah realisasinya? Padahal, baru kemarin aku memberitahukan pada Joshua perihal keinginan Jason untuk belajar di sekolah formal seperti anak-anak sebayanya yang lain.
“Kau tidak mempersilakan tamu masuk ke rumahmu?”
Kulihat Joshua menatapku dengan tajam, seperti biasa.
“Oh, ya ampun. Maafkan aku. Ayo, ayo, masuk dulu,” ajakku langsung setelah sindiran Joshua. “Tapi maaf ya kalau rumahku terlihat seperti tempat sampah dan jauh dari kata mewah seperti rumah kalian yang besar itu. Aku ini orang miskin, tidak seperti kalian.” Kemudian aku terkekeh pelan karena merasa malu teramat sangat.
Sejurus kemudian, Joshua dan Jason sudah duduk di bangku kayu ruang tamuku yang menyedihkan. Sungguh, aku sangat bingung harus menjamu mereka dengan apa dan seperti apa. Maksudku, hei, orang kaya raya seperti mereka bertamu ke rumah rakyat jelata sepertiku? Ini sungguh gila. Di luar nalar! Sangat mengherankan!
Akhirnya aku memutuskan membeli dua botol minuman dingin rasa teh dan beberapa camilan kemasan di warung yang ada di sebelah rumahku untuk Joshua dan Jason. Aku undur diri dari hadapan mereka untuk bersiap-siap dengan terburu-buru tapi berusaha serapi mungkin. Untunglah tadi pagi aku sudah mandi, jadi sekarang tinggal memilih pakaian yang pantas saja, serta memulaskan make up tipis agar wajahku tidak terlihat pucat pasi bagaikan mayat hidup.
“Aku sudah siap, maaf ya kalian harus menungguku lama,” kataku dengan menyesal pada Joshua dan Jason.
“Tidak apa-apa, Kak. Aku senang berada di sini. Aku bermain dengan dia…,” balas Jason sembari menggendong kucing gemuk milik tetangga sebelah yang memang sering main ke rumahku sebab aku suka memberikannya makanan kucing.
“Ouh, jadi kau sudah bertemu dengan si Manis, ya? Dia kucing milik tetanggaku, Jason.”
“Dia gemuk sekali. Berat. Tapi sangat menggemaskan.” Jason mengelus-elus bulu-bulu si Manis sambil tersenyum senang.
“Kita harus bergegas,” sela Joshua. “Aku ada meeting di kantor pukul empat sore nanti. Aku tidak ingin terlambat.”
“Baiklah,” sahutku.
*
Setibanya di Sekolah Santa Maria, Joshua memarkirkan Lexus-nya di laman parkir sekolah yang luas. Kami langsung turun dari mobil dan menuju pos satpam yang terdapat di dekat parkiran.
“Saya Joshua Yamaguchi Sanjaya. Kemarin sudah buat janji dengan kepala sekolah,” ujar Joshua pada seorang satpam yang masih muda.
“Siap, Pak Jo, saya juga sudah diperintahkan untuk menunggu kedatangan Bapak,” sahut satpam itu dengan suara penuh rasa hormat pada Joshua. “Bapak sudah ditunggu di ruangan kepala sekolah. Mari, saya antarkan.”
Oleh satpam tersebut, kami diarahkan menuju ruangan kepala sekolah yang berada di dalam gedung utama yang besar. Ruangan itu terletak di sebelah timur gedung sekolah.
Kami bertiga menunggu sebentar ketika satpam tadi mengetuk pintu ruangan kepala sekolah lalu masuk ke dalamnya untuk memberitahukan perihal kedatangan Joshua.
“Silakan masuk. Ibu Kepsek ada di dalam,” tutur si satpam setelah keluar dari ruangan, sembari membungkuk sedikit kepada kami.
“Terima kasih ya, Pak,” kataku.
“Sama-sama, Bu.” Kemudian dia pamit untuk berlalu.
Lalu, kami bertiga memasuki ruangan kepala sekolah. Oleh seorang wanita 50-an tahun yang memperkenalkan dirinya sebagai Suster Monica, kami dipersilakan duduk di sofa yang memang disediakan untuk tamu.
“Seperti yang telah saya paparkan secara singkat lewat telepon kemarin sore; Jason, keponakan saya ini, ingin bersekolah di sini,” terang Joshua kepada Suster Monica. “Masalahnya adalah, Jason tidak pernah bersekolah formal sama sekali sebelumnya. Apakah dia bisa langsung menduduki tingkat yang sesuai dengan usianya saat ini? Jason baru berulang tahun yang ke-9 sepekan lalu. Saya akan bertanggung jawab atas segala urusan administrasi yang harus diselesaikan untuk merealisasikan keinginan saya itu.”
Suster Monica tersenyum mafhum pada kami semua.
“Tentu saja, Pak, kami mengerti sekali permintaan Bapak tersebut,” balas Suster Monica. “Tapi memang, dalam usianya yang sudah 9 tahun ini, Jason seharusnya sudah duduk di bangku kelas 4 SD. Dan untuk bisa berada di kelas 4 SD, Jason harus terlebih dulu memiliki transkrip nilai rapor dari kelas 1 sampai kelas 3 SD. Tetapi Jason belum mempunyai nilai-nilai di atas kertas tersebut sekarang ini.”
“Apakah dapat diusahakan untuk hal tersebut?” tanya Joshua.
Suster Monica tersenyum lagi, lalu mengangguk. “Tentu saja bisa, Pak. Jason bisa mengikuti ujian-ujian untuk mendapatkan nilai-nilai yang lengkap. Tapi tentu saja, diperlukan usaha lebih daripada yang biasa. Jason harus belajar banyak supaya bisa mengerjakan dengan baik ujian-ujian yang dibutuhkan untuk memperoleh nilai-nilai rapor dari kelas 1 sampai 3 SD, agar dia diperbolehkan melangkah langsung ke kelas 4 SD setelahnya. Selain itu, akan ada biaya-biaya tambahan juga untuk pengadaan ujian-ujian tersebut, Pak. Apakah Bapak bersedia untuk—”
“Bersedia,” potong Joshua. “Usahakan yang terbaik untuk keponakan saya. Kalau sekolah ini menyediakan les untuk persiapan ujian-ujian yang akan Joshua hadapi nantinya, saya juga bersedia mengambil les tersebut. Semua biaya yang terkait dengan pendidikan Jason di sekolah ini tolong rincikan saja, saya akan lunasi semuanya hari ini juga.”
“Baik, Pak, segalanya akan kami urus sebaik mungkin,” balas Suster Monica. Kemudian dia beralih kepada Jason. “Nah, Jason, berarti mulai minggu depan, kau harus mengikuti les rutin di sekolah ini ya, supaya kau bisa mengisi semua soal yang diujikan untuk persyaratan melangkah ke kelas 4 SD nantinya. Santai saja, semuanya pasti menyambutmu dengan ramah kok, Sayang.”
Jason cuma mengangguk sambil membalas senyum Suster Monica dengan canggung. Aku memakluminya. Jason memang tidak terbiasa akrab dengan orang baru—selain aku.
Selepas menyelesaikan urusan kami di Sekolah Santa Maria, kami bertolak menuju McDonalds karena Jason bilang ingin makan es krim McFlurry. Berhubung Joshua tidak punya terlalu banyak waktu untuk dine in di restoran, jadi kami memesan semua menu via layanan DriveThru. Dari dalam Lexus, kami memesankan es krim yang diinginkan Jason itu, beserta dengan Big Mac, kentang goreng, crispy chicken, nugget McDonalds yang renyah dan enak, dan minuman dingin menyegarkan; semuanya tiga porsi, untuk Joshua, Jason, dan aku.
“Bagaimana? Kau antusias menyambut rutinitas barumu yang akan hadir sebentar lagi?” tanya Joshua pada Jason.
“Aku sangat antusias, Unjo,” jawab Jason di sela-sela mengunyah Big Mac dan McFlurry-nya yang lama-lama mencair. Aku mengambil tisu dan mengelap sisi mulut Jason yang sedikit belepotan es krim dan saus. “Tapi nanti aku maunya diantarkan oleh kalian terus untuk pergi les di sekolah Santa Maria. Boleh ya, Unjo?”
“Aku sesekali mungkin bisa mengantarkanmu, Jason. Tapi, kau tahu kan aku harus pergi bekerja setiap hari?” kata Joshua. “Mungkin, Kak Viola yang akan rutin menemanimu untuk les di sekolah. Aku akan perintahkan sopir untuk mengantarkan kalian ke mana-mana.”
“Tidak apa-apa, Unjo. Aku tahu itu, kok. Kau kan harus mencari uang untuk kami semua,” sahut Jason, tanpa mengurangi semangatnya sedikit pun. “Baiklah, berarti Kak Viola selain sebagai guru pianoku, juga berperan sebagai orang yang menemani aku untuk les di sekolah. Kau tidak keberatan, kan, Kak?”
Ditodong seperti itu, dengan dua pasang mata yang terarah tepat kepadaku; yang satu menatapku dengan binar-binar cerah penuh pengharapan, sedangkan yang satu lagi menatapku dengan tajam dan intens (baca: kau pasti bisa menebak siapa pemilik tatapan itu, bukan?), membuatku tidak bisa mengucapkan kata-kata yang lain selain daripada mengiakan.
“Euh… tentu, tentu saja. Aku mau kok menemanimu, Jason. Ini semua demi pendidikanmu, kan? Aku sangat mendukungmu untuk itu.”
“Asyiiik…!” seru Jason, kegirangan.
Lantas, kami menghabiskan makanan dan minuman masing-masing di dalam mobil, sembari mengomentari apa pun yang lewat di sekitar kami; kendaraan, pejalan kaki, pedagang kaki lima, bahkan polisi yang bertugas di dekat lampu lalu lintas.
Tentu saja, Joshua tidak banyak menimbrung karena dia sibuk dengan ponselnya. Mungkin urusan bisnis, pikirku.[]