Aku sedang mematut diriku di depan cermin ketika ponselku membunyikan nada dering pertanda ada panggilan masuk. Aku meraihnya dari atas bantal. Ternyata Anthony-lah yang menelepon. Langsung kuangkat panggilan itu sembari tetap memulaskan lipstik ke bibirku dengan perlahan-lahan agar hasilnya rapi.
“Hai, Anthony. Apa kabar?”
“Halo, Viola. Aku oke, bagaimana denganmu?” balas Anthony dari seberang saluran.
“Aku juga oke, kok. Ada apa meneleponku? Kau perlu bantuanku?”
“Tidak, Viola. Aneh saja rasanya kau sudah tidak menghubungiku lagi sejak lebih dari sebulan yang lalu,” kata Anthony. “Biasanya kan kau selalu menanyakan apakah ada pekerjaan yang bisa kaulakukan demi mengais pundi-pundi rupiah.” Lalu dia tertawa setelah mengatakannya.
Aku juga ikut tertawa karenanya. “Kau benar, Anthony. Sudah cukup lama aku tidak mengemis job reguleran di kafe ataupun acara family gathering kepadamu, ya?”
“Begitulah. Omong-omong, sekarang aku punya pekerjaan untuk kaulakukan. Kau pasti senang. Sebab bayarannya cukup tinggi, Viola.”
Aku sesungguhnya mau, tapi sekarang aku sudah memiliki tanggung jawab yang harus kunomorsatukan. Jason. Jadi, aku menggelengkan kepalaku sekalipun aku tahu Anthony takkan mampu melihatnya.
“Maaf, Anthony. Kini aku sudah memiliki murid les piano yang latihan secara rutin,” tolakku dengan halus. “Aku harus mengutamakannya. Aku kuatir tidak bisa mengambil pekerjaan yang kauberikan itu.”
“Oh, benarkah kau sesibuk itu, Viola? Memangnya kau mengajari siapa?” tanya Anthony.
“Kau ingat saat di mana aku menggantikanmu main di acara weekend dinner Chandelier Hotel beberapa waktu lalu itu?”
“Tentu saja.”
“Nah, sekarang aku memberikan les privat bagi Jason, keponakan dari pemilik Chandelier Hotel.”
Hadirlah jeda selama beberapa detik di antara kami.
“Kau… apa?” tanya Anthony, terdengar cukup kaget.
“Iya, aku memberikan les piano pribadi untuk Jason, keponakan kesayangannya pemilik Chandelier Hotel and Group,” tukasku.
“Gila. Kau bekerja untuk orang kaya raya itu? Jelas saja kau menolak tawaran pekerjaan dariku, Viola.”
Aku tertawa pelan. “Saat ini pun aku sebenarnya sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah Joshua Yamaguchi Sanjaya. Jason ingin latihan piano lagi siang ini.”
Tak lama setelah Anthony menanyakan beberapa detail tentang pekerjaan yang kini kugeluti, hubungan telepon kami pun usai. Aku sudah berjanji untuk memprioritaskan Jason, bukan? Maka aku tidak akan melanggar janjiku sendiri.
*
“Wow, Jason. Kau benar-benar ajaib,” pujiku sambil bertepuk tangan kesenangan. “Kita baru melangsungkan sesi latihan piano sebanyak empat kali, tapi kau sudah mampu memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Stars menggunakan grand staff[1] tanpa salah pencet satu not pun? Sangat sulit dipercaya, Jason. Kau memang anak yang cerdas sekali!”
Bergelagat bak pianis profesional yang baru menandaskan repertoar hebat di atas panggung, Jason berdiri tegap ke arahku dan membungkukkan badannya dengan satu tangan diletakkan di dadanya.
“Terima kasih, Kak Viola,” balasnya dengan rendah hati dan sok dewasa. Aku mengulum tawaku karena melihat tingkahnya. “Ini semua berkat pengajaranmu juga, kan? Jadi, kaulah yang sebenarnya luar biasa dan patut dipuji.”
“Kau memang secerdas itu, Jason,” tuturku. “Bila kau belajar secara formal di sekolah, aku sangat yakin kau mampu mendapatkan peringkat teratas di antara siswa-siswi lainnya. Kemampuanmu dalam menyerap ilmu baru sangat-sangat mengagumkan. Joshua dan Noona pasti bangga sekali memilikimu, ya?”
Jason terdiam. Dia memasang senyumnya yang jenaka, tapi aku melihat sesuatu yang aneh dalam matanya. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia ragu entah karena apa.
“Kenapa, Jason?” tanyaku seraya mengusap-usap rambutnya yang halus dan beraroma sampo anak-anak yang segar. “Ada yang mau kautanyakan padaku soal materi piano kita?”
“Aku…,” katanya, masih kelihatan bimbang untuk membicarakannya. Tapi aku mengangguk sembari tersenyum, supaya dia tahu kalau dia bisa mengatakan apa pun itu padaku tanpa merasa sungkan. “Sebetulnya, aku sangat ingin sekolah, Kak. Tapi…”
“Tapi…?”
“Tapi aku ingin seperti anak-anak yang lain.”
“Maksudmu?” tanyaku.
“Iya… aku ingin seperti anak-anak yang lain. Mereka pergi ke sekolah diantar oleh ayah atau ibu mereka, atau bahkan keduanya. Mereka juga dibawakan bekal untuk dimakan ketika jam istirahat berlangsung. Kalau mereka kesusahan mengerjakan PR dari guru, pasti ayah atau ibu mereka bersedia membantu mereka dengan senang hati. Aku ingin mengalami itu juga, Kak.”
Oh, Jason-ku yang malang. Keinginannya begitu sederhana, begitu manusiawi, begitu genuine. Tapi kehidupan tidak mengizinkannya memiliki itu semua, karena jalan hidup memang teramat sulit untuk dipahami maksud sejatinya.
“Jason sayangku,” kataku sambil menatap matanya lekat-lekat. “Kau masih bisa kok mengalami semua itu. Unjo dan Noona-mu, bahkan semua pekerja rumah tangga di rumah ini pasti bersedia melakukan semua itu untukmu. Kau bisa diantar-jemput sekolah setiap hari. Kau juga bisa membawa bekal makanan yang enak buatan koki di rumah ini. Bahkan, kalau kau mau, aku juga bersedia kok membantumu mengerjakan PR ketika gurumu memberikannya kepadamu. Semua orang menyangimu, Jason. Kau harus tahu itu. Dan tidak perlu ada satu hal pun yang kausedihkan. Iya, kan?”
“Benarkah begitu, Kak Viola?” tanya Jason, matanya memancarkan kepolosan dan pengharapan yang besar.
Aku mengangguk dengan cepat. “Aku tidak bohong, Jason. Kau bisa mendapatkan semua itu.”
“Kalau begitu, aku mau sekolah, Kak, seperti anak-anak yang lain,” seloroh Jason. “Nanti kita bilang pada Uncle Jo, ya?”
Nah, sekarang giliranku yang ragu untuk berkata-kata. Semua ucapanku tadi sebenarnya semata-mata adalah penghiburan supaya Jason tidak merasa sedih. Tapi aku tidak mengantisipasi bahwa dia benar-benar ingin merealisasikannya.
Aku menarik napasku dengan berat. Aku tidak mau mengecewakan pengharapannya.
“Iya, Jason. Nanti kita bilang pada pamanmu tentang ini, ya. Tapi, kau harus meyakinkan pamanmu dengan sebaik mungkin, supaya dia percaya ketika melihat semangatmu yang berapi-api. Oke?”
“Oke, Kak!”[]
[1] Partitur notasi balok yang digunakan untuk alat musik piano. Grand Staff terdiri atas paranada kunci G (Treble Clef) dan paranada kunci F (Bass Clef) yang disusun secara bertumpukan (atas-bawah).