Tidak terasa bel istirahat kedua berbunyi. Regan belum kembali, membuat Ninda dilanda gelisah yang menjeramah pikirannya. Ajakan Ana dan Evi ia abaikan, begitu juga ajakan Rama dan Gema untuk pergi ke kantin. Ninda lebih memilih menunggu Regan, duduk di pilar dekat dengan front office.
Dan benar saja acara menunggunya tidak sia-sia, pacarnya kembali. Raut wajahnya agak kusut, rambutnya pun sedikit acak-acakan. Ninda segera menghampirinya, dan merapikan rambut pacarnya. Regan tersenyum kepadanya meskipun terlihat maksa.
“Kita ke kantin, yuk?” ajak Regan yang diangguki oleh Ninda.
Mereka berdua ke kantin, bergabung dengan teman-temannya. Rama dan Gema sudah sibuk dengan game online, tapi mulut mereka masih liar meledeknya atas kejadian tadi. Sekalipun Regan tidak peduli. Dia mengangguk, saat Ninda menawarkan jus dan beberapa camilan untuknya.
“Tadi kamu, dihukum buat nganterin cewek mistis itu ya?” tanya Ninda.
Regan hanya mengangguk, ucapan tantenya Naila berhasil menimbulkan rasa lain di hatinya. Malah Regan menjadi penasaran dengan Naila. Jika wanita kasar itu adalah tantenya, lantas orang tuanya kemana?
“Hm, kamu nanti pulangnya naik ojek online aja ya? Soalnya aku harus beresin dulu lorong.” Tiba-tiba Regan teringat sesuatu, hukumannya.
“Aku nungguin kamu aja ya?” pinta Ninda.
“Enggak usah Nin, lebih baik kamu istirahat aja. Nanti malam kita VC, ya?” rayu Regan, membuat pacarnya menganggukkan kepalanya.
Sekarang Ninda sangat kesal dengan Naila, pasalnya gara-gara dia Regan jadi dihukum. Padahal sudah jelas-jelas bahwa Naila-lah yang harusnya dihukum, karena lebih awal melakukan tindakan tidak sopan kepadanya juga Regan. Jika Regan melakukan itu karenanya, sekarang ia akan melakukannya juga.
Suhu di sekitar perlahan berubah kembali, cakrawala yang dulunya membiru bahagia, kini perlahan kembali murung. Pembelajaran di jam terakhir tengah berlangsung, siswa-siswi kelas dua belas IPS 1 mulai tidak fokus. Hasrat dalam tubuhnya terus memaksa untuk pulang, sampai akhirnya bel tanda berakhirnya semua aktivitas di sekolah berbunyi. Membuat pengisi kelas gaduh dan berhamburan keluar.
Ninda berjalan menuju bangku Regan. “Gan, aku nunggu kamu aja ya?” Sekali lagi, Ninda menggoda Regan untuk tetap menunggu dan pulang bersama.
Regan menatap Ninda, lekat. “Enggak usah, ini udah mau hujan. Kalo kamu enggak mau naik ojek online, Rama bisa nganterin kamu pulang.” Rama yang tengah sibuk mengemas buku, seketika mengangkat jempolnya.
“Ya udah, kamu jangan hujanan, aku pulang sama Rama aja, dah, love you.” Ninda berlalu dari hadapan Regan dengan raut wajah kasihan.
“Dah.”
Rama menghampiri Regan sebelum menyusul Ninda yang telah keluar dari ruang kelas. “Lo nggak bakal cemburu, kan?”
“Udah, gih anterin pacar gue. Jangan ngebut, kalo urat malu lo masih pengen nyambung,” ujar Regan membuat Rama memalingkan wajahnya.
Regan membereskan bukunya. Tepat di minggu kemarin, semua tugas Regan yang terlampaui telah beres Rama selesaikan. Seharusnya jika ada setiap tugas, biarlah Rama yang mengerjakan, tapi setelah semakin ke sini, Regan membatalkan tantangan itu. Toh, karena Rama ia menjadi lebih bahagia.
Saat semua murid Ganesha High School pulang, menyisakan petugas kebersihan dan beberapa guru yang menunggu jemputan di front office, Regan mulai melaksanakan hukumannya. Regan memulai dari lorong kelas XII IPA dari enam sampai sepuluh begitu juga kelas IPS dan Bahasa.
Langit yang sedari tadi murung, akhirnya menjatuhkan ribuan rintik air menghempas kegersangan di muka bumi. Regan terus fokus membersihkan lorong-lorong kelas, saat ada petugas kebersihan ia menjelaskan bahwa dirinya sedang dihukum dan meminta beliau agar membersihkan bagian kelas sepuluh dan sebelas.
Usai sudah Regan membersihkan lantai atas, kini waktunya membersihkan lantai bawah. Namun, Regan dibuat terkejut saat melihat perempuan berpakaian bebas tapi terlihat sopan membersihkan lorong kelas di sana. Regan menghampiri dia, dan menyapanya.
“Hai.” Suara berat milik Regan membuat gadis itu tersentak, rambut yang menutupi wajahnya seketika tersingkap. Sekarang, Regan yang dibuat tersentak olehnya.
“Lo ngapain di sini?” serang Regan saat mengetahui bahwa gadis itu adalah Naila.
“Tidak sepenuhnya kamu yang salah, kan?” Naila melanjutkan acara menyapunya, membiarkan Regan bergeming.
Regan menghela napas kasar. “Lo balik ke sekolah hanya untuk ini?”
“Iya, lagian tas aku juga tertinggal di kelas. Emang hukuman di GHS harus seperti itu, ya? Meminta maaf kepada orang tuanya langsung?” Naila masih sibuk menyapu koridor kelas IPA.
“Lo cari perhatian? Saat banyak orang lo bisu. Dan sekarang lo bawel banget,” cibir Regan seraya duduk di pilar dekat Naila menyapu.
“Keadaan yang membuatku begini. Aku benci sama mereka yang terus menghinaku, dan menjatuhkanku,” jelas Naila.
“Berarti lo benci sama gue? Lagian lo nyebelin, tampilan lo juga aneh. Jadi jangan salahkan mereka kalo mereka benci sama lo!” tanya Regan santai.
“Setelah mendengar penjelasan kamu kepada Ibu Arini, rasa benci aku berkurang,” jawab Naila.
Regan menaikkan salah satu alisnya, dan mengubah posisi duduknya yang mendadak tidak nyaman. “Emang kenapa dengan penjelasan gue? Ada yang salah?”
Naila menatap Regan tanpa ekspresi. “Aku hanya tersentuh aja.” Naila kembali menyapu koridor kelas IPS yang perlahan mulai memasuki koridor kelas Bahasa.
“Jangan-jangan keluarga lo bernasib sama dengan keluarga gue,” tebak Regan.
Naila menghentikan kegiatan menyapunya. Perlahan Naila menatap Regan, masih dengan tanpa ekspresi. “Tidak. Bahkan keluarga kamu masih bisa dibilang beruntung. Ibuku meninggal gantung diri, dan ayahku meninggal karena kecelakaan saat aku masih dalam kandungan.”
Entah kenapa tiba-tiba saja angin yang menerpa Regan membangkitkan bulu kuduknya. Regan terdiam cukup lama mendengar cerita gadis mistis di hadapannya. “Gantung diri?” Dan entah kenapa juga dirinya menjadi penasaran sama Naila.
“Kata pamanku, beliau depresi. Ya, tidak menerima atas kenyataan yang menimpa ayahku,” terangnya. “Aku masih kecil, ya aku tidak tahu apa-apa. Bahkan mengetahui ayahku meninggal karena kecelakaan sejak umur sepuluh tahun.”
Regan bangkit dan membersihkan koridor lagi, hatinya merasa bersalah karena mengungkit kejadian menyesakkan itu. Hujan semakin besar, angin semakin kencang, membuat cewek itu menyipitkan matanya dan menggosokkan kedua tangan berusaha untuk mendapatkan kehangatan. Setelah itu, Naila kembali menyapu di samping Regan.
Regan masuk ke kelas mengambil tasnya, sementara Naila membeku di tempat menatap kepergian Regan. Detik berikutnya, Naila setengah berlari mengambil tas yang berada di pilar kelas IPA. Selepas itu, Naila membeku dan bingung juga. Di front office, Naila tiada henti mengelus bahunya, di sana ia berharap mobil angkutan yang membawanya pulang melintas saat ini juga. Pasalnya, kepergiannya ke sini tanpa sepengetahuan tantenya. Sudah dapat ditebak keluarga tantenya akan marah, kala ia tiba di rumah.
Di saat Naila meniup berkali-kali tangannya seketika benda berbahan cukup tebal terlempar ke arahnya sampai menutupi kepalanya. Sontak ia menoleh ke samping, saat hawa di sana terasa berbeda.
“Pakai sweter gue. Gue tahu dari tadi lo kedinginan, gue nggak mau jadi pangeran yang siap memberikan cinta kepada lo, hanya untuk mencairkan tubuh lo yang beku.” Regan menatap lurus, mengabaikan keheranan Naila.
“Nanti kalo Ninda marah, gimana?” Naila masih syok dengan tingkah Regan, yang ternyata diam-diam memerhatikannya.
“Bacot. Ninda udah pulang, dan anggap saja ini maaf dari gue karena kejadian tadi.” Ingin sekali Regan menarik kata-katanya lagi, tapi kenapa mulutnya mendadak lembek seperti ini.
“Ma-makasih.” Hati Naila menggebu, tapi segera ia stabilkan agar tidak salah tingkah.
“Lo pulang naik angkutan?” tanya Regan tanpa menatapnya.
Ninda memejamkan mata saat kehangatan merambat di tubuhnya, belum lagi aroma parfum khas anak laki-laki mulai mengubrak-abrik penciumannya. Membuat ia tidak sadar kalau Regan bertanya kepadanya.
“Lo denger gak sih?” Regan menatap Naila tajam, membuat cewek itu sedikit tersentak dan langsung menatapnya. “Lo pulang naik angkutan?” ulangnya.
“I-iya.” Kenapa jadi gugup seperti ini. Beberapa menit yang lalu, ia lancar-lancar saja mengobrol dengan Regan. Bahkan cowok tampan itu menuduhnya dengan sebutan cari perhatian.
Setelah mendengar jawaban dari Naila, Regan berlari menembus hujan menuju tempat parkir. Naila diam saja, tatapannya terpaku kepada punggung Regan. Sampai cowok itu melajukan motor dan berhenti di hadapannya.
“Gue anterin lo pulang,” ujar Regan.
“Aku naik angkutan umum aja,” tolak Naila.
“Lo gila ya, ini udah hampir magrib. Angkutan umum gak bakalan ada kalo jam segini, apalagi hujan deras kayak gini. Ayo cepetan!” Regan memaksa Naila untuk pulang bersamanya.
“Kamu nggak pake jas hujan?” tanya Naila.
“Kalo kamu kehujanan, gue juga harus kehujanan,” timpal Regan, membuat Naila melepaskan sweter yang dipakainya.
“Kalo begitu, aku juga enggak mau pakai sweter, kalo kamu enggak juga.”
Regan menautkan salah satu alisnya. “Terserah,” balas Regan.
Regan dan Naila pulang bersama melewati rintik hujan yang semakin deras. Ada rasa tidak tega terhadap gadis yatim piatu ini jika ditinggalkan sendirian, apalagi waktu sudah petang seperti ini. Takut terjadi apa-apa. Tunggu perasaan takut terhadap keadaan gadis mistis? Yang jelas sebatas perasaan tidak tega bukan berarti ada rasa lain yang mampir di hatinya.
O0O