Ninda melambaikan tangan kepada Regan yang sudah menunggangi motor besarnya. Dari sorot matanya tampak berseri, menandakan bahwa cowok yang dulunya seorang playboy itu bahagia. Setelah Regan hilang dari pandangannya, Ninda pergi ke kamar untuk menghabiskan waktu bersama film-film drama kesukaannya. Namun, saat berpapasan dengan kamar orang tua, langkahnya tertahan, samar-samar percakapan mengenai masa lalu Prasetya kembali merambat halus ke telinganya.
Ninda menyandarkan tubuhnya ke tembok, berusaha fokus dengan percakapan orang tuanya. Sebenarnya sakit hati, waktu mengetahui fakta bahwa Prasetya bukanlah ayah kandungnya. Ingin sekali ia marah, tapi tidak bisa. Apa yang sudah disalurkan lewat sikap Prasetya untuknya sangat luar biasa, di saat tubuhnya terkulai lemas tidak pernah absen untuk membuktikan kasih sayang kepadanya.
“Jadi, kamu mau tinggal di Bogor berapa hari?” tanya Tira.
“Hanya dua hari. Sabtu dan minggu,” balas Prasetya. “Aku masih merasa sangat khawatir setelah aku mendapatkan jawaban semua ini. Khawatir membuat kalian tersakiti. Pikiranku selalu berkata bahwa aku ini sudah memiliki, setiap kali berusaha untuk mengingat pasti responsnya akan seperti itu.”
“Kamu enggak usah khawatir, justru aku yang khawatir bagaimana jika apa yang kamu maksud kini sedang merindukanmu. Aku akan baik-baik saja, begitu juga Ninda dan Bagas.” Tira berusaha untuk membuat suaminya tenang dengan masa lalunya.
Ninda yang sedari bergeming menguping percakapan orang tuanya, sekarang beranjak menuju kamarnya. Ia selalu berdoa agar masalah keluarganya cepat selesai, tidak peduli dengan ending dari masalah tersebut, entah itu mengukir kebahagiaan atau rasa sakit yang menimbulkan luka mendalam.
Ruangan 4 x 4 meter ini, dihiasi dengan berbagai macam pernak-pernik berbau negeri ginseng. Ninda duduk di atas kasurnya, tatapannya lurus dan dingin. Niat untuk menonton drama Korea seketika urung, pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan. Masa lalu ayahnya dan gadis baru berpenampilan mistis di sekolahnya.
Sisi lain menayangkan kemungkinan-kemungkinan jika ayahnya kembali ingat dengan semua kehidupan masa lalunya—tepatnya sebelum kecelakaan yang membuatnya hilang ingatan. Sisi lainnya, Ninda akan melakukan pembalasan terhadap Naila esok hari. Kejadian tadi, berhasil membuat dirinya harus bertahan dalam keadaan seragam lengket dengan bau menyengat. Dia akan memberi pelajaran setimpal kepada gadis mistis itu!
Di saat pikirannya sibuk memikirkan hal itu, Bagas datang tanpa basa-basi dan duduk di sampingnya. Dengan tatapan serius ke ponselnya, mendadak dia merengek ke Ninda agar mempromosikan akun Instagramnya di instastorynya.
“Kak, promoin akun IG aku, udah aku follow kok,” ujar Bagas dengan wajah memelas.
“Enggak!” ketus Ninda tidak peduli.
“Ayolah Kak, gak memakan waktu sejam kok. Kak?” Bagas mulai mengubrak-abrik tubuh Ninda, tapi dia masih tidak peduli. “Kak, nanti aku traktir.” Bagas semakin memohon.
“Traktir Iphone, baru mau.” Ninda masih tidak acuh, dan ia sadar aktingnya sangat keterlaluan. Bocah kelas enam SD diminta mentraktir ponsel merk Iphone, mungkin kalo anak sultan it’s oke, lah ini bocah ingusan yang masih doyan jajan permen lima ratus tiga biji.
“Aku setuju!” balas Bagas semangat empat lima. “Ayo cepetan!” Bagas segera meraih ponsel kakaknya, dan membuka aplikasi Instagram. Bagas segera menekan ikon ikuti balik, kemudian ke instastory, mengambil foto selfie bersama kakaknya. Di tambah kata-kata ajakkan untuk mengikuti akunnya setelah itu ia kirim.
Ninda yang melihat tingkah adiknya ternganga, tidak percaya.
“Oh iya, Iphonenya nyusul. Tapi kalo misalkan Kakak, ingin cepat-cepat megang Iphone, Kakak sekarang tidur dan mulailah meraih Iphone sesuka Kakak itu semuanya aku yang bayar. Dan, janjiku lunas.” Bagas beranjak dari kamar Ninda, membiarkan ponselnya berdering tanda orang-orang mulai mengikuti akun Instagramnya.
“Hei! Adik kampret!”
Bagas kembali menampakan batang hidungnya, saat kakaknya meneriakinya. “Tapi, kayaknya Kakak lebih kampret, masa bocah imut diminta traktir Iphone, haduh!” Bagas menggelengkan kepalanya, lalu berlari kecil dan mengunci kamarnya, saat Ninda berangsur dari tempat tidurnya.
“Bagas!”
O0O
Angin malam perlahan mulai merangkak, kala Regan membuka pintu kamar yang menghubungkan ke balkon. Dengan satu tangan memegang segelas kopi hangat, Regan merilekskan diri sembari menikmati panorama gedung-gedung, lagi.
Ia tidak habis pikir mengenai ayahnya yang buta karena harta dan takhta, selama dia pergi tidak pernah menghubungi keluarganya di sini. Bahkan Risma selalu berusaha menghubunginya, tapi tidak pernah sama sekali beliau meresponsnya atau menghubungi balik. Mungkin beliau berpikir keluarganya sudah dibekali tabungan miliyaran, jadi tidak mungkin akan kesusahan.
Namun, jika memang begitu. Sungguh Regan dan keluarga di sini memang tidak kesusahan dalam hal finansial, tapi jika dilihat dari sisi batin ia sangat menderita. Kondisi ibunya naik turun, dan selalu meminta suaminya pulang. Alhasil, Regan dan Risma selalu berusaha meyakinkan ibunya bahwa ayah akan pulang, tidak peduli jika apa yang mereka lakukan adalah kebohongan, yang terpenting kondisi ibunya stabil.
“Kak,” ujar Risma tiba-tiba, tapi tidak membuatnya berefek apa pun. Risma duduk di kursi yang berada di hadapan kakaknya dan mulai mengatur napasnya agar tenang. “Besok aku ada acara sekolah, dan menginap.”
Regan meneguk kopinya lalu menatap Risma dengan senyum tipis yang perlahan terukir. “Kamu ikut berapa organisasi?”
Risma menghela napas pendek. “OSIS, Pramuka, dan English Club.”
“Ris, baru saja kemarin menginap di sekolah, sekarang kamu menginap lagi? Ris, aktif di sekolah itu bagus, tapi kalo keseringan acara seperti ini, nanti kamu kecapean.”
“Tidak akan capek selagi pembawaanku enjoy dalam menjalani organisasi itu. Lah, daripada Kakak, enggak ikut apa-apa.” Risma membeberkan senyum manis kepadanya.
“Ya, kan, kakak capek. SMA itu banyak pelajarannya, beda dengan SMP,” bela Regan seraya meneguk kembali kopinya.
“Alesan, padahal kalo Kakak ikut ekskul olahraga atau Pramuka, Paskibra, pantas banget. Udah tinggi, berisi, gagah, ganteng—”
“Makasih, pujiannya,” potong Regan sambil menampakkan deretan giginya.
Risma menaikkan salah satu ujung bibirnya. “Tapi kalo nggak ikut apa-apa percuma juga.”
“Enggaklah, buktinya kakak udah punya pacar. Yang artinya elemen-elemen yang terukir dalam tubuh kakak tidak percuma.” Regan kembali menampakkan deretan giginya.
“Oh, iya, kali-kali ajak dong kak Ninda ke sini, supaya rame gituh, sekalian ajak juga kak Gema sama kak Rama. Oh, iya sekarang kenapa mereka jarang main ke sini?” tutur Risma, heran.
“Enggak tahu. Kamu tahu nama Ninda dari siapa? Padahal setiap kakak post foto berduaan, kakak belum pernah mention dia.”
Selama menjalin pacaran bersama Ninda, Regan tidak pernah menandai akun Ninda di setiap postingan couplenya. Hal ini berlaku bukan kepada Ninda saja tapi semuanya, setiap kali dirinya memposting foto grup dia tidak pernah menandai siapa saja.
“Dari akun @reganinda.ofc yang tiba-tiba majang di beranda. Ya udah aku kepoin akun itu dan waw,” jelas Risma, menyernyih. “Kak, nanti ajak kak Ninda ke sini, ya?”
Regan terdiam sejenak. “Oke!” kata Regan akhirnya. “Ya, udah, ayo kita tidur, udah malam. Kan, besok kamu mau menginap di sekolah.”
Sisi lain dari sikap Regan yang terkenal bad dan playboy di sekolah, ya seperti ini. Mencintai keluarga sebisanya, dan melampiaskan kekesalannya dengan sifat bad dan playboy kepada teman-teman sesekolahnya. Tapi, semenjak berpacaran dengan Ninda sifat itu mulai berkurang bahkan nyaris tidak ada. Dan, semenjak gadis mistis berulah, salah satu sifatnya mulai terusik.
Regan merogoh saku celananya mengambil ponsel. Percakapan tadi membuat dirinya ingat akan sesuatu. Regan membuka aplikasi pembelian tiket, di sana ia memesan empat tiket; dua untuk dirinya dan Ninda, sisanya untuk Rama dan Gema.
O0O