POV KALE
Tepat pukul lima sore, gue berjalan memasuki kafe di basemen rumah sakit. Benar dugaan gue kalau Aluna sakit. Tapi, kenapa harus bohong sih sama gue?
Sewaktu Kara menunggui gue buat tahu kabar Aluna di kafe tempat dia bekerja tadi, akhirnya gue dapat jawaban dari Javier. Dia mengatakan bahwa Aluna sedang berada di rumah sakit. Kakak gue itu pun akhirnya menyarankan gue buat enggak mengajak dirinya karena sebaiknya gue yang menyelesaikan masalah gue sendiri.
Sebenarnya gue bisa saja langsung ke ruangannya Aluna, tapi Javier menyuruh gue untuk datang ke sini. Ada yang mau diomongin katanya. Pandangan gue langsung bersirobok dengan mata Lily. “Lo ngapain di sini?”
“Eh, macannya udah dateng,” celetuk Javier. “Gue, Le, yang suruh Lily ke sini,” katanya lagi. “Dan dia yang nyuruh kali kasih tahu yang sebenernya ke lo.”
Gue berdecak. “Una di mana?”
“Mending lo duduk dulu, Le.” Javier hendak berdiri. “Gue beli kopi buat lo bentar, ya.”
“Enggak usah. Udah buruan di mana Una sekarang?”
“Ya udah iya. Duduk sini!”
Tapi gue terlalu gengsi untuk duduk. Gue cuma mau bertemu Aluna.
“Duduk, Le. Jangan kayak lagi musuhan gitu napa, sih.”
Argh! Mau enggak mau gue akhirnya duduk juga. Mana di sebelah gue Gema lagi. “Sekarang tolong jelasin semuanya,” gue memulai percakapan. “Gue tahu kalian nyembunyiin sesuatu dari gue tentang dia.”
“Boleh gue duluan enggak ngomongnya?” Lily mengangkat tangan, meminta izin. “Sebelumnya gue minta maaf ya, Le, karena udah kayak gitu kemarin. Gara-gara dia nolongin gue di kolam.”
Kolam? Oh ya, gue inget yang Aluna cerita tempo hari.
“Sama yang buat Aluna tiba-tiba lari terus bikin dia stress juga.”
Damn.
“Ih, nih mulut emang enggak bisa dijaga.” Lily menepuk mulutnya berkali-kali sampai akhirnya Javier menghentikannya. Bibirnya memberengut, lalu dia menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. “Maaf banget ya, Guys, yang kemarin. Karena gue, Una jadi kayak gini.”
Serius. Gue enggak mengerti apa hubungan semua itu dengan Aluna sakit.
“Una tadi sempet pingsan, Le, pas di parkiran mall,” jelas Javier. Mungkin dia tahu kalau gue memang enggak tahu apa-apa.
“Kenapa enggak ngasih tau gue?” tanya gue. Gue kan bisa tinggalin Venya buat Aluna.
“Ya maaf, tadi gue sama Gema sama-sama panik. Makanya langsung ke sini. Tapi kata Bokap, Una enggak apa-apa.”
“Enggak apa-apa gimana? Kalo sampe masuk sini berarti dia kenapa-napa.”
“Ini semua gara-gara lo, Kale!” Gema mulai berbicara. Tentunya gue ingin sekali meninju wajahnya itu. “Gara-gara lo, kondisi Una jadi makin parah.”
“Bacot lo! Lo enggak berhak sok jadi cowok benerannya Una! Una cuma jadiin lo pelampiasan doang.”
Gema duduk bersandar sambil tersenyum meremehkan gue. “Mending pelampiasan tapi perhatian, daripada pacar beneran tapi malah enggak dianggap.”
Berani juga dia ternyata! Enggak segan-segan gue menarik kerah baju Gema dan mengangkat kepalan tangan gue. Tapi sayangnya sebelum kepalan tangan tersebut melayang ke wajah Gema, Javier melesat untuk menghalanginya. Dia tiba-tiba saja duduk di antara kami.
“Le, udah. Sekarang bukan waktunya untuk berantem. Ada Una yang butuh kita!”
Err…
“Kalian inget permintaan Una, kan?” lanjut Javier. “Yang bilang dia pengen banget ikut ambassador tahun ini.”
“Iya, gue inget,” sahut gue. Bagaimana gue bisa lupa kalau Aluna dengan polosnya berkata dia enggak bisa dandan? “Dia juga minta ke gue buat jadi pasangannya di acara itu.”
Lily berdeham. “Dan pendaftarannya itu mulai besok. Tapi dengan keadaan Una yang kayak gini, enggak mungkin kan dia yang dateng untuk daftar. Gimana?”
“Gue yang wakilin.”
***
Gue membuka pintu ruang rawat Aluna pelan-pelan, takut dia sedang tertidur. Sementara itu, yang lain sudah berpamitan selepas azan maghrib. Gue pun sempat bertemu dengan orang tuanya Aluna di lobby sebelum ke sini.
“Ih, pacar gue dateng!”
Senyum kikuk gue mengembang ketika mendengar sambutan itu.
“Tumben peka. Biasanya gue didiemin sampe akhirnya Gema yang nengokin,” katanya lagi.
“Ah, gitu sih sambutannya.” Gue memasang wajah sedih. “Ya udah, gue pulang, nih.”
Gue segera berbalik badan dan terdengar isakan dari Aluna, “Le, jangan pergi. Gue butuh lo di sini.” Gue terdiam, tapi belum menatapnya. Gue mau mendengar sebentar lagi. “Maafin gue, Le. Gue tahu mungkin gue yang enggak pantes buat lo, bikin lo enggak nyaman. Tapi, izinin gue buat bisa sama lo bentar… aja.”
Gue kembali berjalan ke arahnya. “Kenapa? Lo mau pergi? Ke mana?”
“Ng… enggak. Enggak ke mana-mana, kok. Cuma ya itu, lo harus bantuin gue jalanin misi-misi gila yang gue bikin.” Aluna membuang pandangannya ke sembarang arah seraya berdecak, “Ah, akhirnya gue harus ngasih tahu lo kan. Lo sih enggak bisa nurut. Sebel gue!”
Gue meraih jemarinya. “Ya, maaf.” Gue duduk di atas brankar. “Kenapa lo milih gue, Na?”
“Ya karena gue beneran suka sama lo, Kale. Kan waktu itu udah bilang.”
“Tapi kenapa lo harus bohong kalo lo itu sakit?”
“Terus kalo gue bilang di awal, lo bakal beneran suka sama gue? Enggak, kan?”
“Ya enggak kayak gini juga caranya. Urusan gue beneran suka sama lo kan bisa gue proses, Na.”
“Gaya amat bahasa lo proses. Dikira hati itu mainan kali, ya.”
“Gue serius, Na. Gue bakal ngelakuin apa pun buat lo.”
“Kalo enggak bohong mana boleh gue tetep dibolehin ke mana-mana sama kalian dari kemarin? Lagian juga ini cuma sakit lama yang kambuh lagi, kok. Bentar juga sembuh.”
“Sakit lama?”
Aluna terkekeh. “Penyakit lama maksud gue.”
“Emang lo sakit apa, Na?”
“Lho, anak-anak belum kasih tahu?”
Gue menggeleng.
“Jantung bawaan, Le.”
Gue menganga begitu saja ketika Aluna mengatakan nama penyakitnya.
“Waktu kecil udah dinyatain sembuh, kok. Tapi ya mungkin karena gue yang teledor, kambuh lagi deh.”
Gue tatap Aluna lekat-lekat. “Kalo sakit, ya bilang sakit, Na. Biar gue tahu. Anak-anak juga tahu.” Gue cium telapak tangannya. “Maafin gue, ya.”
Aluna menghela napas. “Maafin enggak, ya?”
“Yah, Na. maafin aja udah. Malahan gue mau ajak lo dinner buat ngebayar semua kesalahan gue.”
“Kesalahan lo banyak, Le. Mana cukup dibayar pake dinner sekali?”
Gue memberengut, sementara Aluna tertawa puas. “Ngeledek banget lo mah,” kata gue.
“Lah, emang bener kan lo banyak salahnya.” Aluna menangkup tangan gue dan membawanya ke atas dadanya. “Tapi, masa gue mimpi aneh banget, Le.”
“Emangnya mimpi apa?”
“Jangan marah, ya. Tapi bukan kita yang menang di ambassador nanti, tapi gue sama Gema.”
“Enggak. Jangan. Lo enggak boleh menang sama Gema. Lo harus menang sama gue, Na. Jangan sampe mimpi itu kejadian.”
“Kenapa?”
“Gue enggak suka sama Gema.”
“Sejak kapan lo jadi enggak suka Gema? Kalian berantem?”
“Iya, kami berantem karena satu cewek.”
“Kenapa?
Gue berdecak. “Udahlah, Na. Lo itu punya gue. Enggak boleh ada yang ngambil.”
Aluna tersenyum. “Terus Venya punya lo juga? Gue enggak mau ya disama-samain sama dia.”
Tentunya gue terkuejut Aluna berkata demikian. Gue pun menggeleng. “Gue bakal usaha, Na. Gue janji. Tapi tolong jangan ngomong kayak gitu lagi ya, Na. Jangan ngungkit-ngungkit Venya sementara ini. Biar gue fokus penuh ke lo.”
Kami terdiam beberapa saat.
“Gue mau lo sembuh, Na. Jangan tinggalin gue.” Gue yakin dengan keputusan ini. Apa pun yang terjadi nanti, entah itu dengan Venya atau cewek yang mau dijodohin ke gue, gue akan tetap pilih Aluna.
“Gimana dengan besok? Senin maksud gue. Lo pasti ketemu dia, kan? Lo enggak bakal ngelewatin dia malah.”
“Enggak apa-apa. Gue bisa ngatasinnya. Anggap aja itu tantangan buat gue. Eh, emang tantangannya itu, sih.” Gue mengusap tengkuk leher. “Tantangan gue buat dapetin lo.”
Aluna tersenyum miring. “Percaya deh.”
“Lagian pasangan gue kan elo, Na. Venya pun cuma sebatas panitia. Doain gue, ya!”
“Pasti, Le.”
Mata gue membulat ketika Aluna menunjukkan ada luka keloid berupa garis panjang yang timbul di dadanya. “Sorry, Le, gue enggak sempurna.” []
Hahahaa javier pasti lucu deh orangnya 😆😚
Comment on chapter 2. DUNIA KALE