POV KALE
Selama kurang lebih satu setengah jam film Paradise Hills berlangsung, tingkah Venya yang terus bersandar manja di bahu gue belakangan membuat gue gerah. Gue juga enggak fokus dengan filmnya. Pikiran gue melayang pada perkataan Aluna tadi. Enggak tahu karena apa, tapi gue rasanya agak kesal melihat kedekatan Aluna dengan Gema. Belum lagi pas dia bilang kalau mereka itu pacaran.
Memang salah gue yang menuruti permintaan Venya tadi untuk ikut, tapi kan mana tahu kalau semuanya bakal marah besar dan fatalnya gue membuat Aluna nangis lagi. Gue harus gimana, Tuhan?
Aluna tentunya lebih memilih duduk di antara Gema dan Javier dibanding di sebelah gue. Dia barangkali sangat marah walau sudah gue bilang kalau gue janji setelah ini bakal fokus sama dia.
Besok. Gue janji, Na. Kalau sekarang, gue enggak enak sama Venya. Argh. Mumet gue!
“Gema,” gue mendengar suara Aluna membuat gue menatapnya utuh. Dia bersuara saat layar sudah menayangkan title credit. Pendengaran gue lebih tajam sekarang daripada enggak tahu apa-apa. Lagian juga gue kan sedang menyelediki apa yang disembunyikan Aluna. Tapi… cewek di sebelah gue ini gimana? Apa gue harus menyuruhnya pulang duluan? Nanti dia ngambek juga gimana?
“Kenapa, Na?” sahut Gema.
“Kok pandangan gue burem, ya?”
“Ya udah, kita langsung pulang aja. Jav, gi—”
“DIAAAAMMMM….” Enggak. Salah. Itu salah gue. Gue yang berdiri langsung kelepasan untuk berteriak lantaran pikiran gue kian ribut, sementara telinga gue semakin panas mendengar kalimat yang keluar dari mulut Gema.
Suasana bioskop mendadak hening. Para penonton enggak terkecuali empat orang di dekat gue ini menatap gue seakan gue stress. Tanpa menghiraukan yang lain, gue menatap Aluna. Dia terlihat… sakit.
“Sorry, gue overthinking tadi,” kata gue pada semuanya. Lalu, gue memantapkan diri untuk berjalan mendekati Aluna.
“Kale, ayo pulang.”
Perkataan Venya gue abaikan meski dia sudah menarik-narik tangan gue.
“Besok, Na. Gue janji.” Jujur, perasaan gue jadi enggak keruan. Gue harap Aluna bisa menunggu sebentar lagi. “Kasih gue waktu, Na.”
Aluna enggak kunjung menjawab omongan gue, membuat gue sedih. Ada yang gue takutin kalau dia benar-benar marah dengan gue. Gue enggak mau kehilangan dia.
“Ayo, Na,” potong Gema, “kita pulang. Lo harus istirahat.”
Melihat Gema dan Javier memapah Aluna keluar, gue hanya bisa bergeming. Nanti malam. Nanti malam gue ke rumah lo, Na. Gue perlu ngomong sama lo.
***
Selama perjalanan mengantar Venya pulang, gue berkali-kali memukul setir. Gue masih enggak bisa terima kalau pada akhirnya Aluna beneran jadian sama Gema. Kalau iya itu terjadi, gue enggak tahu apa yang terjadi pada diri gue. Kehilangan sahabat, tempat gue mengadu, dan lebih parahnya lagi gue bisa beneran dipaksa untuk menikahi cewek yang enggak pernah gue kenal sebelumnya. Enggak! Sudah cukup!
Gue memberhentikan mobil di tepi jalan, dekat halte bus. “Venya, sorry nih. Tapi gue Cuma bisa ngaterin lo sampe sini. Gue ada urusan.”
Decakan lolos dari mulut Venya. “Lo kayak enggak niat gitu sih ngajak gue, Le. Gue kan lagi se—”
“Bisa keluar sekarang enggak?” potong gue, tegas.
“I-iya, gue keluar.” Venya segera membuka pintu dan keluar. “Kabarin gue kalo lo udah baikkan, ya.”
KALE: Gue ke tempat lo, Kak, sekarang. Sharlock dong.
Send to PUTRI RAJA 🤪
Siapa lagi keluarga gue yang peduli sama gue kecuali Kara? Enggak ada. Gue mau mendinginkan kepala dulu. Dan meminta pendapat Kara mungkin adalah hal terbaik saat ini.
Sambil melajukan mobil dengan kecepatan sedang, tapi terkadang gue menyelip, ponsel gue berbunyi di atas dashboard. Kara menelepon. “Kenapa, Le? Gue pulang sore, kok. Janji deh, enggak kabur.”
“Gue sekalian jemput lo, ya.”
“Ngapain?”
“Ah, banyak nanya nih. Gue butuh lo ini.”
Suara tawa menderai dari seberang sana. “Oke, oke, gue sharlock.”
Enggak lama ada notifikasi Kara, gue pun langsung tancap gas usai membacanya.
Kara sedang mengelap meja ketika gue sampai di Kafe Kenanga. Gue buka pintu kafe dan segera duduk di meja tersebut. “Gue mau ngomong, Kak,” kata gue.
Kara menatap gue seraya mengangkat alat makan yang kotor. “Sebentar, ya. Gue ganti baju dulu. Sif gue udah kelar, kok.” Dia menyodorkan menu. “Pesen aja dulu.”
Gue memesan minuman soda dingin saja. Sambil menunggu, gue mengirim chat pada Aluna.
KALE: Na, ntar malam gue maen ke rumah ya.
Send to ALUNA
Centang satu.
Gue kirim sekali lagi.
KALE: Mau dibawain apa? Ehh, makan malam di luar mau gak? Sbg permintamaafan gue soal tadi. Gue bener2 minta maaf, Na. Plis, jgn marah :(
Send to ALUNA
Centang satu lagi. Argh…
Enggak biasanya Aluna mematikan ponsel. Atau jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya. Err, benci gue sama lo, Le, gerutu gue, lalu memukul meja.
“Eh, eh, adek gue kenapa ini?” Kara datang membawakan minuman yang gue pesan. “Suntuk amat kayaknya. Nih, minum dulu.”
Sesuai perintah, gue menyesap beberapa sedotan hingga gue merasa sedikit lega.
“Tenangin diri dulu. Kalo udah, baru cerita sama gue.”
Gue menyandarkan punggung ke sandaran kursi, dan menatap kosong ke arah gelas. Kara mengelus hangat pundak gue, lalu berkata, “Sabar, ya. Gue yakin lo bisa ngadepin masalah lo. Apa pun itu.”
Gue menghela napas. “Aluna, Kak.”
“Cewek lo?”
“Gue enggak becus jadi cowok.” Gue tutup muka dengan kedua tangan. “Aluna marah banget tadi, Kak, karena gue labil.”
“Sejak kapan lo jadi cengeng gini, sih? Ngomong lo juga enggak jelas. Ya mana gue tahu lo kenapanya.”
Gue memberanikan diri untuk menatap Kara. “Gue bawa cewek lain tadi pas hangout.”
“Tolol.”
Gue agak terkejut mendengar satu kata yang terlontar itu dari mulutnya. “Kok malah ngatain gue, sih?”
“Ya iyalah. Jelas-jelas lo udah punya cewek, malah bawa cewek lain.”
Sebaiknya gue memberitahu semuanya pada Kara agar kegelisahan ini paling enggak bisa sedikit terobati. “Gue cuma jadi pacar 30 harinya Aluna, Kak.”
Kara membelalakan matanya. “Maksudnya?”
“Aluna yang minta dadakan. Katanya dia mau ngebuat gue jatuh cinta sama dia dalam jangka sebulan. Ya gue manfaatin juga buat jadi alasan ke Mama kalo gue udah punya cewek dan enggak mau dijodohin.”
“Dan Aluna itu adalah ….”
“Sahabat gue.”
Kara refleks berdiri, lalu berdecak. Dia berjalan menjauhi meja, dan berputar arah Kembali ke meja. “Ah, sumpah gue kesel sama lo, Dek. Bisa-bisanya lo jadiin dia kambing hitam. Lo bakal kehilangan banyak kalo lo bener-bener enggak sama dia lagi.”
“Iya, gue tahu. Makanya lo kasih tahu gue harus gimana. Gue bener-bener buntu ini.”
Kara duduk di kursinya lagi. “Yang namanya cewek itu kalo udah suka, ya suka. Apalagi kalian ketemu terus tiap hari di sekolah. Ya apa pun alasan dia jadiin lo pacar kilatnya itu cuma akal-akalan dia aja buat ngerasain bisa dapet momen berdua sama lo.”
“Tapi dia ngediemin gue tadi.”
“Itu karena lo bawa cewek lain. Aduh, gimana sih lo? Peka dong, Le.”
“Tapi dia juga bilang gue bebas ngapain aja termasuk deketin cewek yang gue suka.”
“Auk ah. Pusing gue.” Kara mengusap-usap pelipis kanannya. “Semua cewek enggak mau digituin, Le. Lihat situasi juga.” Dia menghela napas. “Bener kalo dia bilang lo labil.”
Gue menunduk, takut. “I-iya. Aluna pernah bilang gitu ke gue.”
“Sekarang hubungin Aluna. Lo harus minta maaf.”
“Nanti malam gue mau ke ru—”
“Enggak pake nanti malam. Telpon dia sekarang juga!”
Segera gue meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak manis di meja. Whatsapp Aluna masih centang satu ketika gue membuka aplikasinya. Kalaupun ditelepon via aplikasi juga enggak akan menyambung. Jadi, gue meneleponnya memakai telepon biasa.
“Hapenya dimatiin,” jelasku setelah mendengar nada mailbox.
“Coba telepon ke temennya. Mungkin dia tahu. Atau telepon ke rumahnya.”
Rumah? Enggak, ah. Gengsi gue. Tapi bisa jadi tujuan akhir gue tahu keberadaan Aluna. Gema? Enggak. Gue enggak mau ngomong sama dia. Dia enggak bakal ngasih tahu ke mana mereka pergi tadi sepulangnya dari mall tadi. Javier? Ah, ya. Anak itu pasti mau kasih tahu ke gue. Awas saja kalau enggak. []
Hahahaa javier pasti lucu deh orangnya 😆😚
Comment on chapter 2. DUNIA KALE