POV ALUNA
Mom membenarkan letak bantalku di tempat tidur. “Kamu istirahat dulu. Hari ini enggak boleh ke mana-mana,” katanya. Mom memeriksa ulang apakah selang infus terpasang baik atau tidak di tangan kiriku. Sementara itu, dokter masih membereskan peralatannya.
Sepulang sekolah kemarin, aku tiba-tiba pingsan sewaktu membuka pintu rumah. Mungkin karena lari-lari di sekolah. Dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika mendapati pemadangan kamar yang tiba-tiba penuh dengan alat medis. Padahal aku sudah berusaha menyingkirkannya sewaktu aku tahu aku sudah sembuh total pasca operasi. Tapi... ah, sudahlah.
Wajahku memelas. “Tapi Mom, aku udah ada janji sama temen-temen.”
“Jangan dulu, Sayang. Dad enggak mau kamu terlalu capek.” Dad ikut bersuara. Dia mengelus keningku, lalu mengecupnya. “Temen-temen kamu kan bisa tunggu. Atau suruh mereka ke sini aja, gimana?”
“Mereka enggak ada yang tahu aku sakit, Dad.” Aku membekap boneka lumba-lumba pemberian ketiga sahabatku itu. “Kalo mereka tahu, aku enggak bakal tenang belajar di sekolah. Karena nantinya pasti bakal jadi pusat perhatian.” Dia mendengkus. “Kan enggak lucu kalo jadi sorotan gara-gara kelemahanku.”
“Jadi, Javier juga enggak tahu kamu sakit?” tanya dokter… siapa namanya? Aku memicingkan mata untuk melihat name tagnya. Ra… ka. Oh, Namanya Raka. Ayahnya Javier.
“Enggak, Dok. Mereka tahunya aku ada anxiety, jadi pas tiba-tiba sesak kemarin ya aku bilangnya anxiety aku kambuh.”
Mom membelai rambutku. “Cepat atau lambat, mereka harus tahu. Kamu enggak mungkin terus sendirian. Kalo capek, ya bilang capek. Biar mereka tahu batasnya, dan bisa nolongin kamu.”
Aku tak bisa berkata apa pun lagi. Semuanya yang dikatakan Mom itu benar. Aku tak boleh egois. Aku punya mereka, sahabat-sahabatku. Aku harus—
“Maaf, Non. Ada temennya dateng,” kata Bi Mai. Pikiranku terjeda, lalu mengalihkan ke arah pintu. Dia menyembulkan kepalanya di sela pintu.
“Suruh masuk aja, Bi.” Aku tahu, pasti Gema yang datang. Bukan yang lain. Lalu, kuelus tangan Mom. “Mom sama Dad tenang aja, ya.”
“Selamat pagi, Tante, Om.” Gema menyapa Mom dan Dad, lalu menyalami mereka. “Ya udah, kami tinggal dulu. Kalo perlu apa-apa, panggil Bi Mai aja. Jangan banyak gerak. Mom mau ke pertemuan orang tua dulu.”
“Ya, Mom.”
“Baiklah. Saya juga pamit ya, Bu, Pak,” pamit dokter Raka, lalu melihatku. “Aluna, jangan lupa minum vitaminnya.”
Aku mengangguk kecil. Kemudian mereka pun berjalar keluar.
“Gema,” Mom menepuk lengan atas Gema, lembut. “Tante titip Aluna sama kamu, ya.”
“Iya, Tante.” Gema tersenyum. “Una aman sama aku.”
Dad lalu merangkul Mom dan menggiringnya keluar sambil berkata, “Ayo, Mom. Dad masak yang enak.”
Pandanganku belum berpindah untuk menatap Gema sebelum orang tuaku pergi. Aku menghela napas. “Anak Mami banget ya gue, Gem.” Aku terkekeh sembari beranjak bangun. “Rajin amat lo dateng pagi-pagi,” sambungku, tapi Gema sama sekali tak mengggubrisku. Dia malah sibuk terperangah melihat tiang selang infus yang bersisian dengan tempat tidurku. “Ketahuan deh gue.”
Gema mendekatiku dan duduk di sebelahku. Dia menatapku intens sampai-sampai aku bingung sendiri. “Cerita, Na, sama gue,” katanya setelah puas menatapku dalam diam.
“Cuma cerita lama, Gem, yang kambuh lagi. Nanti juga sembuh, kok,” jawabku sambil berusaha meraih ponsel di ujung nakas. Gema pun membantu mengambilkannya. “Mati hapenya. Power bank-nya dong tolong di laci, Gem.” Kunyalakan ponselnya, lalu menyambungkan kabel data. “Pasti pada nyariin gue, ya? Makanya lo ke sini.”
Gema meletakkan pengisi daya tersebut di pangkuanku. “Lo sakit apa?”
“Entar lo juga tahu.” Aku menjawabnya singkat, membuat Gema berdecak. “Semuanya lo akan tahu. Tapi enggak sekarang.”
“Sampe kapan lo nutupin ke gue?”
Aku mengangkat bahu. “Jangan kasih tahu siapapun, ya. Dan tolong anggep gue enggak kenapa-napa. Gue enggak mau kalian panik. Itu aja.”
Belasan notifikasi masuk ke ponsel usai mengaktifkannya.
5 misscall from GEMA
6 messages from SAYANGSNYA GUE! ๐ค
1 messages from KALE
Senyumku merekah setelah membaca isi chat grup. Memang hanya dengan mereka, aku utuh. Aku bisa melupakan semua yang tengah kuderita. Aku pun mengetikkan balasan di sana.
ALUNA: Hi, Guys! Kangen sama gue ya ampe nyariin gitu hahaha~
JAVIER: Kampreeettt kesel gue!
ALUNA: Lho, Javier kesel sama gue? Salah gue apa?
JAVIER: Bukan. Bukan sama lo, Na. Kale nohh bawa mobil gue. Barusan jalan. Gue gak konek td. Gue kira td buat ke rumah lo. Eh, gak taunya buat jemput Venya -_- Gema udah nyampe, Na?
GEMA: Udah. Aluna di depan gue nih baru bgn tidur.
ALUNA: Oh, gitu @Kale. Bukannya nyamperin cweknya, malah enak2an jalan sama cewek lain :(
JAVIER: PAP Una dong, Gem. Katanya kalo bgn tidur, lebih aesthetic gitu XD
Gema kembali melihatku. Cewek di hadapannya ini tampak kecewa setelah mengetahui Kale tengah pergi dengan Venya. Lagian aneh juga kenapa Kale tetap dengan Venya padahal jelas-jelas aku sudah menjadi kekasihnya?
“Na, Javier minta PAP nih.”
Mataku yang berkaca-kaca. “Gema, help.”
Gema segera memeluk Aluna, membiarkan cewek itu menangis di pundaknya.
“Kenapa harus gue sih, Gem? Gue kan pengen ngerasain kayak cewek lain, pacaran, dan jatuh cinta.”
Sambil terus mengelus belakang kepala Aluna, Gema berkata, “Gue harap lo cepet kasih tahu gue apa masalah lo.”
Aku mengangguk pelan, lalu melepaskan diri dari dekapan Gema. Sungguh, aku tak mau merasakan sakit seperti ini, tapi aku harus melakukan apa lagi selain menunggu? Sepertinya, kalau aku begini terus, misi 30 hari membuat Kale jatuh cinta padaku akan berakhir sia-sia. Tidak ada jalan lain lagi selain aku harus menguatkan diriku sendiri.
Aku mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk membalas chat Javier.
ALUNA: Muka gue bangun tidur dan muka yg lo lihat di sekolah, ttp sama. Gak ada bedanya, @Javier.
JAVIER: Sama2 kyuuut kek anak ikan koi peliharan gue, kan? Hahaha canda deh. Lo cantik, kok.
ALUNA: Thanks. Berarti gue bisa dong ya ikut Extraordinary School's Ambassador 2 minggu lg?
“Hah? Serius lo mau ikutan, Na?” komentar Gema setelah membaca chat aku.
“Iya. Enggak salah dong gue.” Aku mengembuskan napas seraya menyandarkan punggung sandaran. “Eh, tapi, gue enggak tahu keahlian gue selain masak, Gem. Gimana dong? Masa iya praktek masak di atas panggung?”
“Ng..., kayaknya dulu lo pernah cerita lo bisa sandpainting di bidang kaca deh.”
“Iya, sih. Tapi kan udah lama banget, Gem, waktu SMP. Jari gue udah kaku buat gambar lagi.”
“Latihan lagi dong, Na. Masih banyak waktu, kok. Gue yakin lo pasti bisa.”
JAVIER: Gue bakal duduk paling depan, Na, ngelihatin lo! :*
ALUNA: Hahaha gue perlu banyak latihan keknya nih :')
JAVIER: Semangat, Unaaa *lempar bom ke rumah @Kale
@Gema jemput gue dong :(
“Jemput Javier gih, Gem,” kataku. “Kasihan tuh dia.”
“Tapi—”
“Gue enggak apa-apa, Gem. Semalam sempet drop aja gara-gara obatnya ketinggalan.” Aku terkekeh. Perasaanku sudah membaik setelah bercerita sedikit pada Gema. Setidaknya ada seseorang yang tahu tentang dirinya.
“Yakin enggak apa-apa gue tinggal, nih?”
“Iya, enggak apa-apa. Lemme catch my breath. Nanti sorean kita ketemu di lokasi.”
“Ya udah. Gue cabut, ya.” Gema mengacak-acak rambut Aluna seraya beranjak.
“Thanks ya, Gem.” []
Itu siapa yg hamil? ๐ญ
Comment on chapter 4. OMELAN KANJENG RATU