Jika dalam melakukan satu hal yang benar dan masih ada orang yang tak suka
Jangan berhenti, tapi teruskanlah
Karena apa yang kamu lakukan, akan kembali kepada dirimu sendiri
Jangan menunggu orang lain melihatmu untuk berbuat baik
Karena melakukan hal itu, hanya akan membuatmu rugi
***
Setelah melakukan berbagai macam gerakan senam yang mampu membakar lumayan kalori, kini waktunya kantin menjadi sasaran utama.
“Sya, aku naik dulu mau ambil uang.”
“Boleh minta tolong ambiliin punyaku juga di tas, ya?”
Meimei mengangguk, lalu segera naik ke lantai atas. Sementara menunggu Meimei kembali Aisyah mencari tempat duduk yang lumayan jauh dari orang-orang.
Karena Asrama hanya memiliki satu kantin, jadi semua santri berbaur baik perempuan atau laki-laki. Untung saja kantin memiliki ruang yang luas, jadi antara laki-laki dan perempuan masih bisa jagak jarak, meski kadang banyak yang duduk satu meja namun masih tetap bersebrangan.
Setelah mengedarkan pandangan, akhirnya Aisyah menemukan tempat duduk dekat pojok yang masih terlihat sepi.
“Mau pesan apa, neng Aisyah?”
Aisyah tersenyum melihat Bibi kantin yang selalu terlihat penuh semangat melayani para santri.
“Nasi seperti biasa ya, Bi. Minumnya air mineral saja.”
“Siap, tunggu sebentar, ya.”
Dengan hormat, Aisyah mengangguk. Setelah mencatat pesanan Aisyah, Bibi kantin berjalan mendekati meja paling pojok, yang kebetulan terhalang oleh rak makanan ringan.
“Eh, ternyata nak Reyhan!....” Aisyah menoleh mendengar nama itu disebut, namun hanya sejenak sebelum ia kembali sibuk dengan benda pipih yang sekarang lagi menemaninya.
“Nggak mau pesenin, Neng Aisyah, cokelat panas lagi?”
jemari Aisyah yang tengah sibuk dengan layar handpone terhenti, mendengar pertanyaan dari Bibi kantin. Pertanyaan itu memang bukan untuknya, tapi dalam kalimat tanya itu ada namanya.
Aisyah mendongak, dan menemukan Bibi kantin yang sedang menatapnya dengan senyum kikuk.
“Maaf, Bibi keceplosan. Tenang Neng Aisyah nggak dengar, kok.” meski terdengar berbisik, namun samar-samar Aisyah masih mendengar apa yang diucapkan oleh Bibi kantin. Jadi… yang memesankan cokelat panas kemarin untuknya, adalah Reyhan?
Keterkejutan Aisyah belum sampai di situ, setelah Bibi kantin pergi, Ustadzah Ana datang menghampiri meja paling pojok, yang sekarang Aisyah tahu ada Reyhan di sana.
“Rey, kamu sudah terima payung dari Aira? Ustadzah nggak sengaja nemuin di meja kantin kemarin.”
Ah, payung? Meja kantin? Aira? Jangan bilang payung yang ustadzah Ana maksud adalah payung yang Aisyah tinggalkan.
“Iya Ustadzah, sudah sampai dengan selamat payungnya.”
“Alhamdulillah, lain kali kalau mau pergi, lihat-lihat dulu. jangan sampai ada barang yang ketinggalan, untung Cuma payung, kalau benda berharga yang lain gimana? Ya sudah, Ustadzah pergi dulu.”
Ustadzah Ana berjalan menjauhi meja Reyhan.
“Sya? Kamu kenapa? Kok, mukanya terkejut gitu?”
“Eh? Nggak kenapa-napa Ustadzah, hehehe”
Ustadzah Ana terkekeh. Karena terlal syok, Aisyah benar-benar tidak menyadari kedatangan Ustadzah Ana.
“Kamu itu, jangan suka bengong. Nanti jin pada masuk.” Ustadzah Ana kembali melangkahkan kaki, meninggalkan area kantin.
Setelah kepergian Ustadzah Ana, Aisyah kembali tertegun, jadi manusia baik yang menolongnya kemarin itu adalah Reyhan, tapi kenapa? Aisyah mengira Reyhan membecinya, karena telah membuat dia malu malam itu. Namun ternyata pemikirannya keliru dan sekarang Aisyah semakin merasa bersalah dan tidak enak hati, ia bahkan belum meminta maaf kepada Reyhan dan kini ia sudah kembali berhutang ucapan terima kasih. Aisyah merasa menjadi manusia yang kejam sekarang.
“Woi! Kenapa, sih? Suka sekali bengong?”
Aisyah gelagapan mendapati Meimei menepuk pundaknya pelan. Dia segera menormalkan ekspresinya, bagaimanapun Meimei tidak boleh tahu. Bisa-bisa dia akan mendapat stok ceramah baru dari Meimei.
“Ck! Apa, sih?! Udah pesan sana!”
“Ye! sensian amat neng!” Meskipun begitu Meimei menuruti apa yang Aisyah ucapkan, dia segera menghampiri Bibi kantin untuk memesan makanan.
Aisyah mencuri pandang sejenak, lewat celah-celah rak yang menghalangi jarak pandangnya menuju meja paling pojok. Antara perasaannya atau bagaimana, namun sepertinya Reyhan juga sedang menatap ke arahnya.
***
Tidak ada perasaan yang paling menghantui selain perasaan bersalah. Iya, apalagi kita tahu bahwa kita telah salah dalam menilai seseorang. Namun mau bagaimana, tidak akan ada seorangpun yang mampu mengembalikan masa lalu untuk memperbaiki masa itu walaupun hanya sedetik saja, yang bisa dilakukan adalah mau merubah dan memulai awal baru yang lebih baik, salah satu caranya adalah dengan meminta maaf atau memaafkan serta mengikhlaskan.
Mungkin hal itu yang sekarang sedang Aisyah rasakan, dihantui oleh bayangan rasa bersalah yang terus membuat hatinya tak tenang.
“Pantai, yuk! Mumpung hari libur.”
Aisyah yang tengah berbaring, kini bangkit, duduk bersila menghadap Memei yang tengah menunggu jawabannya.
“Panas-panas gini, mau ke pantai?”
“Mau ngajak nanti sore, takutnya kamu nggak mau, biasanya ‘kan kalau sore pantai pasti ramai.”
Aisyah berpikir sejenak, apa yang dikatakan Memei ada benarnya juga, tapi kalau siang yang bisa dipandangi hanya laut.
“Ayo, mau, iya. Please,” rengek Memei, membuat Aisyah mau tidak mau mengiyakan.
“Ya udah, ayo.”
Memei berdiri kegirangan, ia segera mengambil tas dan kunci motornya. Begitupun dengan Aisyah, gadis itu ikut bersiap-siap, sepertinya tidak buruk juga ia menerima ajakan Memei, saat ini dia memang butuh refresing, dan biasanya jika dia sudah melihat laut, pikirannya akan sedikit lebih tenang.
Benar saja, setelah retina cokelat itu menatap laut lepas, perasaannya sedikit tenang, setidaknya deburan ombat mampu membuatnya lupa sejenak dengan perasaan bersalah yang sedang menghantui pikirannya.
Suasana sepi di tepi pantai seperti ini sungguh menenangkan untuk Aisyah. Baginya, memandang laut lepas adalah salah satu kesukaannya meski dia tidak bisa menyangkal, kalau hari ini lumayan panas.
Aisyah mulai memejamkan matanya, menikmati setiap embusan angin yang menerpa tiap inci wajahnya. Memei pergi meninggalkannya sebentar untuk membeli minuman dan makanan ringan yang akan menemani mereka selama menikmati indahnya laut.
“Awas, entar ketiduran.”
Mata Aisyah terbuka, mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.
“Kak Rey?” Aisyah berkata setengah tak percaya, kenapa tiba-tiba dia berada di sini?
“Iya, Saya. Kenapa?”
Aisyah menggeleng cepat, ia segera merotasikan pandangannya mencari keberadaan Memei. Meski Reyhan berada cukup jauh dari tempatnya, tetap saja membuat Aisyah panik. Terlebih lagi saat ini laki-laki itu tengah memenuhi isi kepalanya.
“Agak panas, ya.”
“Namanya juga siang, pasti panas.” Aisyah segera membungkam mulutnya, kenapa ia akhir-akhir ini sering sekali berbicara tanpa berpikir. Seperti terjadi begitu saja tanpa ia mau.
“Maaf, nggak bermaksud,”
“Nggak apa-apa, perkataan kamu nggak ada yang salah.”
Aisyah bungkam, baru saja perasaannya sedikit tenang, sekarang dia malah bertemu dengan Reyhan, membuat perasaan bersalahnya kembali muncul ke permukaan, bukan hanya itu, sekarang dia juga memiliki hutang ungkapan terima kasih kepada laki-laki itu karena telah menolongnya kemarin, tanpa pertolongan Reyhan mungkin saja dia sudah pingsan karena ketakutan.
Dan sekarang Rasanya Aisyah ingin memilih pindah tempat, namun ia merasa tak enak hati karena nanti Reyhan malah berpikir kalau dia tidak menyukainya padahal nyatanya Aisyah hanya malu dan masih dihantui perasaan bersalah, ditambah Memei tak kunjung menampakkan diri. Lengkap sudah, Aisyah benar-benar tak memiliki alasan buat menjauh. Pada Akhirnya terciptalah mengheningkan cipta diantara mereka.
“Suka sama laut, ya?”
Akhirnya Reyhan kembali membuka suara. Aisyah menoleh, memastikan bahwa pertanyaan tersebut diberikan kepadanya. Namun, Reyhan tak melihat ke arahnya, laki-laki itu malah tengah asyik memandang laut lepas.
“Kenapa diam?”
“Kak Rey, bicara sama siapa?”
“Kamu.”
“Kelihatannya?”
Bukannya menjawab Reyhan malah menoleh ke arah Aisyah, Aisyah yang memang sedang melakukan hal sama seketika mengalihkan pandangannya.
“Kamu suka sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Padahal tinggal dijawab iya atau tidak.”
Tuh, kan. Sepertinya dia salah lagi, memang seharusnya dari tadi Aisyah lebih baik diam saja.
“Maaf lama, Sya. Aku capek nyari kue leker kesukaan kita, tahunya sudah pindah tempat abangnya.”
Aisyah bernapas lega, akhirnya yang ditunggu-tunggj kembali juga, dia sudah benar-benar canggung berada dekat dengan Reyhan, meski kenyataannya posisi mereka cukup jauh.
“Nggak apa-apa, Mei. Seharusnya tadi aku ikut kamu,” balas Aisyah sembari mengambil cemilan yang ada di tangan Memei, membantu sahabatnya itu agar bisa mengambil tempat duduk dengan mudah.
“Ngadem di sana, yuk. Itu ada tempat teduh.”
Aisyah mengangguk. Namun, sebelum mereka beranjak Memei ternyata menyadari keberadaan Reyhan yang dari tadi hanya terlihat mengamati ombak yang silih berganti.
“Eh, Kak Rey.” Memei nampaknya sedikit tekejut melihat keberadaan Reyhan yang tak jauh dari mereka.
“Kak Rey ngapain siang-siang di sini?” ucap Memei lagi. Aisyah menarik napasnya pelan, melihat cara Memei berinteraksi ia menyadari bahwa dirinya begitu payah dalam hal itu. Aisyah begitu kaku dan mungkin terlalu pendiam. Pantas saja, dia tidak banyak memiliki teman, karena Aisyah memang tidak bisa mencari topik apalagi mencairkan suasana, terlebih lagi terhadap orang yang baru-baru dikenalnya.
“Mencari tahu apa yang harusnya saya cari tahu.”
Memei memandang bingung ke arah Aisyah, Aisyah sendiri hanya bisa mengangkat ke dua bahunya menandakan dia juga tidak paham dengan maksud dari perkataan Reyhan.
“Saya pergi dulu.”
“Hati-hati, kak,” ucap Memei mengakhiri pertemuan mereka. Aisyah menatap kepergian Reyhan dengan kepala penuh tanda tanya. Laki-laki itu sungguh tidak bisa dia tebak.
“Ya udah, Yuk.”
Mereka berduapun berjalan meninggalkan tempat itu, menyusuri pasir pantai yang terasa panas karena terpaan sinar matahari.