Bukan cinta namanya, jika belum pernah berkorban untuk orang yang dicintai
***
Setelah dirasa hujan mulai mereda, dengan baju yang basah kuyup Reyhan kembali ke asrama putra, dia bisa bernapas lega karena melihat bahwa Aisyah sekarang sudah selamat sampai asrama. Untung saja tadi dia sempat mendengar obrolan antara Meimei dengan Nur, jika Aisyah masih belum pulang. Dan beruntungnya dia bisa bertemu di depan gedung yang tidak terlalu jauh dari asrama. Jika tidak, mungkin sampai sekarang Aisyah masih di tempat itu dengan ekspresinya yang berusaha tidak takut dengan petir.
“Hei! Kenapa senyum-senyum?” Reyhan gelagapan melihat Diky ; teman kamarnya yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Habis ketemu mantan gebetan, ya?”
“Siapa?” Sembari mengambil handuk dan perlengkapan mandi Reyhan masih bisa memandang heran ke arah Diky.
“Ck, itu loh, si anu…”
“Oh, nggak!”
“Terus, siapa?”
“Nggak ada siapa-siapa. Udah, deh! Nggak usah kepo!”
Reyhan hendak masuk ke kamar mandi namun lagi-lagi ucapan Diky menghentikan langkahnya.
“Payung kamu, mana? Perasaan tadi keluar bawa payung, deh! Lah, sekarang malah pulang basah kuyup gini.”
“Oh, aku kasih orang tadi.”
“Ah? Siapa cewek, cowok?” Tingkat kekepoan Diky meningkat, suatu kemajuan besar jika Reyhan meminjamkan payung itu kepada seorang perempuan.
“Kepo!” Diky berlari menghampiri Reyhan, namun sayang manusia sok misterius itu sudah terlebih dahulu masuk ke kamar mandi.
“Ayo kasih tahu! Cewek, ya? Siapa? Rey!” Percuma, Suara Dikiy pasti sudah tertutupi oleh suara air yang mengalir. Bukan Diky namanya jika tidak bisa menemukan sendiri jawabannya. Untung saja dia masih ingat warna dan bentuk dari payung milik Reyhan. Maka, jika nanti ada orang yang memakai payung itu, jelas dia akan tau kalau memang itu orangnya.
“Aisyah…”
Bagaimana bisa dia terpikat dengan sosok yang begitu terlihat pendiam, dan tidak banyak tingkah itu. Meskipun pertemuan-pertemuan yang tercipta antara mereka bisa dikatakan tidak pernah dalam suasana baik, termasuk pertemuan mereka tadi malam. Sikap Aisyah yang terlihat selalu ketus dan dirinya yang tidak bisa menahan diri untuk tidak menjahili gadis itu. Tadi malam Reyhan sebenarnya ingin tertawa melihat ekspresi Aisyah yang sangat terkejut setelah tahu kalau dia ternyata yang menggantikan Erwin membimbing di kelasnya. Namun sikap propesionalnya menolak hal itu, sehingga berakhirlah dia memberi hukuman kepada Aisyah.
Di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda, dari ketinggian gedung asrama Aisyah menatap kosong memandang genangan air yang tercipta dari sisa hujan yang kini tinggal gerimis. Bohong jika dia tidak memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu, tentang dirinya yang tiba-tiba mendapatkan payung dari orang tak dikenal, tentang keanehan bibi kantin. Semua itu dia rasakan sudah diatur, bukan sebuah kebetulan dan kini yang menjadi pertanyaan paling bersarang di kepala Aisyah adalah mengenai siapa sosok misterius yang bersembunyi di balik itu semua. Apakah sosok yang memberinya payung dengan sosok yang meminta Bi kantin untuk membuatkannya cokelat hangat adalah orang yang sama?
Meskipun Bi kantin sudah mengatakan kalau cokelat hangat itu dari dia, tapi kalimat ambigu yang tak sengaja keceplosan itu membuat Aisyah tidak percaya. Aisyah yakin orang itu pasti santri di asrama ini juga.
“Apa Kak Faiz, ya?”
Bisa iya, bisa juga tidak. Aisyah memijat keningnya, memikirkan itu semua membuat dirinya pusing. Baiklah, siapapun orang itu, ingatkan Aisyah untuk mengucapkan terima kasih dan mengembalikan payungnya.
Oh, ya. Berbicara soal payung, dimana dia menaruh benda itu tadi? Bisa bahaya jika sampai dia menghilangkannya. Dengan segera Aisyah berlari kembali ke kamar, mencari keberadaan payung tersebut.
“Cari apa, Sya?” Nur yang sedang mencoba fokus dengan tugasnya yang belum selesai, menjadi teralih ketika Aisyah bolak-balik di depannya.
“Lihat payung, nggak?” Nur ikut mengedarkan pandangannya mencari benda yang dicari oleh Aisyah.
“Itu, payung.” Aisyah menoleh mengikuti gerakan tangan Nur.
“Iiih… bukan payung yang itu, Nur. Tadi, lihat aku bawa payung nggak waktu pulang?”
“Perasaan… nggak ada, deh. Kamu, kan, tadi main kejar-kejaran sama Meimei.”
“Emang, iya?” Dengan gerakan cepat, Aisyah berlari menuruni setiap tangga menuju lantai satu, Meimei pakai acara tidak ada di kamar lagi, bagaimana mau mengintrogasinya terkait payung itu. Jangan sampai dia benar-benar meninggalkan payung itu di kantin. Jika benar, Meimei harus bertanggung jawab. Siapa suruh dia membuatnya ilfeel .
Aisyah mencoba mengingat dimana dia terakhir kali melepasnya. Di atas meja, tidak ada. di atas bangku juga tidak ada, sampai di kolong meja juga tidak ditemukan. Aisyah menarik napas pelan, sembari duduk menenangkan diri, mungkin saja dengan dirinya dalam keadaan tenang, ingatannya tentang payung tersebut bisa kembali.
Jangankan untuk mengucapkan terima kasih, kesempatan Aisyah untuk mengetahui siapa manusia baik hati yang telah menolongnya saja sekarang harus pupus.
“Neng, balik lagi? Mau beli apa?”
“Eh, Bi. Ini… Bibi lihat payung warena hitam nggak tadi di sini? Sepertinya Aisyah kelupaan bawa ke atas tadi.”
“Oh, payung hitam, ya. Tadi Bibi lihat Neng Yuni yang bawa.”
“Kemana, Bi?” tanya Aisyah penasaran, apa mungkin Yuni tahu, siapa pemilik payung tersebut?
“Ke luar tadi.”
“Terima kasih, Bi. Aisyah pergi dulu.”
“Eh? Nggak jadi pesan ini?!”
“Lain waktu, Bi!” teriak Aisyah sembari berlari keluar. Genangan air bekas hujan tadi membuat langkahnya kembali pelan. Kira-kira, yuni membawa payung itu kemana? Apakah dia membawanya karena hendak pergi ke suatu tempat, atau ingin mengembalikan payung tersebut kepada pemiliknya.
Aisyah ingin melangkahkan kakinya menuju gerbang gedung santriwan. Akan tetapi rasa malu dan perasaan was-was menghampirinya. Dia mana bisa berjalan sendiri ke sana. lantas sekarang dia harus bagaimana?
Untung saja tidak berapa lama, orang yang Aisyah cari menampakkan diri, Yuni terlihat keluar dari gerbang bersama teman kamarnya Aira. Tapi Aisyah tidak melihat Yuni membawa apapun termasuk payung yang dia cari.
“Yun…” Langkah kaki Yuni dan Aira terhenti.
“Iya, Sya? Ada apa?” Aisyah diam sejenak, dia bingung, hendak mulai bertanya dengan kalimat apa.
“Dari mana?” Dasar Aisyah, bukannya to the point, malah menanyakan hal yang semakin memperlambat dia mendapatkan informasi.
“Oh, aku sama Aira habis ngembaliin payung ke gedung sebelah, Tadi disuruh sama Ustadzah Ana.”
Tepat sekali, Aisyah tidak perlu menyusun kata-kata yang tidak mencurigakan untuk menanyakan keberadaan payung tersebut. Benar dugaannya payung itu adalah milik salah satu santri di asrama ini. Tapi siapa? Dia benar-benar tidak melihat secara detail bentuk payungnya tadi. Tiba-tiba Aisyah teringat dengan sosok mahasiswa yang dia ikuti ketika berlari menerobos hujan. Apa mungkin dia orangnya? Jika, iya. Dia benar-benar telah banyak menolong.
“Kenapa, Sya?”
“Ah? nggak ada, soalnya tumben aku lihat kalian ke sana. Kirain habis dari mana.” Yuni hanya bergumam menjawab ucapan Aisyah.
“Kalau gitu, kami duluan, Sya.”
“Oh, iya. Silahkan!” Aisyah tersenyum, menunduk sebelum Yuni dan Aira pergi. Mungkin dia akan mengucapkan terimakasih lain waktu kepada orang yang telah menolongnya, yang terpenting payung tersebut sudah kembali kepada pemiliknya dengan selamat.