Sungguh Allah kuasa dalam membolak-balikkan hati manusia
Mungkin saat ini hatimu berkata tidak
Namun, kita tidak tahu beberapa detik kemudian bisa saja berubah.
***
“Ayo, Aul! Udah mau iqamat! Entar kita telat!” Aisyah berjalan gusar di depan pintu, dia bisa saja meninggalkan Aulia dan berjalan sendiri menuju mushola, namun karena mereka sudah janji untuk berangkat bersama, maka janji harus ditepati. Aisyah juga masih tidak berani untuk ke mushola sendiri, takutnya nanti ada santriwan yang berpapasan dengannya. Dia masih saja merasa malu, meski sudah hampir satu tahun beraktifitas satu gedung dengan laki-laki.
Aneh, bukan sih? Jika di kampus Aisyah merasa biasa saja jika bertemu atau berpapasan dengan teman laki-laki satu kelasnya, apa karena setiap jam kuliah mereka selalu bertemu dan bahkan sering mengerjakan tugas bersama? Mungkin saja itu salah satu alasannya. Akan tetapi kenapa itu tidak terjadi dengan para santriwan yang ada di asrama tempatnya tinggal ini? jika bisa dibilang, Aisyah lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka, dalam artian melakukan kegiatan bersama sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
“Ayo jalan, katanya takut telat!” Aisyah melongo, melihat Aulia sudah berjalan mendahuluinya menuruni tangga.
“Aku diam juga gara-gara nungguin kamu, Aul!” teriak Aisyah cukup keras, dia segera menenteng sendal jepit yang sudah dari tadi disiapkannya, kemudian berjalan lumayan cepat untuk menyusul Aulia.
Untung saja Aisyah memilih untuk menunggu Aulia, jika tidak maka dia akan mati gaya ketika berjalan menuju mushola, karena akses jalan menuju mushola dengan asrama putra memang satu jalur, hal itu membuat mereka bisa saja berjalan beriringan ataupun berpapasan.
“Apa, sih, Sya?!” Aulia terpaksa menghentikan langkah ketika mukenahnya ditarik oleh Aisyah.
“Sstt… Berhenti dulu, biarin yang dibelakang lewat duluan,” bisik Aisyah, dia memang dari tadi merasa sedikit risih ketika mendengar langkah seseorang dari belakang. Percaya, deh! Perempuan bisa membedakan mana suara langkah kaki laki-laki dan perempuan.
Aulia menoleh kebelakang dan Aisyah benar, ada seseorang dibelakangnya yang ternyata ikut berhenti karena mereka tiba-tiba berhenti.
“Eh, Kak Rey, baru pulang ngampus, kak?” tanya Aulia basa-basi sembari menarik Aisyah agar sedikit menepi. Aisyah yang mendengar nama itu disebut oleh Aulia langsung meringis, menunduk menahan malu. Tentu saja dia masih mengingat kejadian-kejadian ajaib yang dialaminya saat bertemu dengan sang pemilik nama tersebut. Semoga kali ini tidak ada hal memalukan yang Aisyah perbuat.
“Iya, habis ketemu sama dosen pembimbing. Kalian, Kenapa berhenti?”
“Kak Rey, duluan jalan.”
Reyhan mengerti, sebelum ia melangkah menjauh dari dua makhluk yang masih diam di tempat itu, Reyhan kembali berucap. “Awas jangan terlalu menepi, nanti nyungsep.”
Ucapan itu membuat bola mata Aisyah membulat sempurna, ia yang dari tadi memilih menunduk dan tak ingin melihat manusia bernama Reyhan itu akhirnya mengangkat kepalanya.
Retinanya menatap sejenak punggung yang tengah menjauh dari tempat mereka, ucapan Reyhan yang tadi benar-benar mengingatkan Aisyah ketika pertama kali bertemu dengan laki-laki itu.
“Sok kenal sekali!” ketus Aisyah, mungkin karena rasa malunya yang sudah menumpuk membuat Aisyah sedikit jengkel jika bertemu dengan makhluk berwujud laki-laki itu.
“Bukan sok kenal, tapi emang kenal beneran,” tukas Aulia, membuat Aisyah mengulas senyum canggung.
“Aku bukan ngatain kamu, tapi itu yang tadi bicara sama kita.” Aisyah berusaha mengklarifikasi ucapannya, takutnya Aulia salah paham.
“Kamu nggak kenal Kak Rey?”
Aisyah menatap Aulia heran, perkataan Aulia seolah tidak mempercayainya kalau dia benar-benar tidak mengenal Reyhan.
“Emangnya kamu kenal?” Bukannya menjawab, Aisyah malah bertanya kembali.
“Ya kenal, lah! Ayo jalan!”
“Ah! Kok bisa?” Aisyah mangap-mangap tidak jelas, dia masih tidak habis pikir kenapa semua orang mengenal sosok Reyhan.
“Kak Rey itu, teman satu kelas aku, sekaligus diberi amanah buat ngajar Bahasa inggris di kelas B dan C, waktu ta’lim idhofi.”
“Kok, aku nggak tahu?”
“Karena kamu itu Aisyah, coba kalau bukan Aisyah, pasti tahu. Ayo, ah! Entar keburu iqa… ”
“Allahuakbar…Allahuakbar!”
“Tuh, kan, Iqamat!” Aulia menarik tangan Aisyah, agar ikut berlari dengannya. Aisyah yang belum siap, hampir saja terjatuh karena sarung yang dipakainya. Untung saja dia bisa menyeimbangkan langkah. Meski belum sempat Aisyah mencerna semua yang diucapkan oleh Aulia tadi, namun sekarang dia sedikit paham, kenapa setiap orang yang bertemu dengan Reyhan pasti akan menyapanya, kecuali dia tentunya.
***
Aisyah merenggangkan otot-ototnya yang terasa mulai kaku, sebentar lagi pukul 9 malam, itu artinya ia harus segera kembali ke kelas. Aisyah memperhatikan tumpukan kertas yang masih berserakan di sampingnya.
“Tuh, laporan, nggak akan selesai kalau cuma dilihatin doang!”
Mendengar sindiran Aulia, bukannya kembali mengerjakan, Aisyah malah merebahkan kepalanya ke atas meja belajar mininya.
“Capek, Aul. Istirahat bentar,” sahut Aisyah malas.
“Kalau nggak capek, bukan dunia namanya!” Kini Nur yang menimpali, dia sengaja menggunakan kalimat yang sering Aisyah ucapkan kepada mereka kalau tidak sengaja Aisyah mendengar mereka mengeluh.
“Eh, Kok malah tidur! Udah mau jam 9, ayo ke kelas!” Memei yang baru kembali dari kamar mandi segera menegur Aisyah yang terlihat memejamkan matanya.
“Kalian duluan aja, mau beresin kertas-kertas ini sebentar,” balas Aisyah lirih, sejujurnya saat ini matanya sedang diserang rasa kantuk yang membuatnya ingin terlelap sejenak.
“Ya udah beresin, cepat. Jangan malah merem!”
Aisyah menurut, ia dengan terpaksa bangkit lalu membereskan kertas-kertas yang berantakan di sekitar tempat ia duduk.
“Duluan, ya, Sya. Kalau udah selesai cepat ke kelas.”
Aisyah hanya mengangguk, Memei sudah mirip seperti bundanya, yang selalu mengingatkan, menegur dan memarahinya kalau lalai seperti ini.
“Kami juga. Ingat jangan sampai tiudr!” sambung Aulia diikuti anggukan pembenaran oleh Nur.
“Iya, kalian bawel banget, sih! Udah sana pergi!”
Aulia dan Nur menurut, Aisyah kini hanya ditemani oleh kertas-kertas tugas yang semakin hari semakin banyak.
Setelah semua rapi, bukannya langsung menuju kelas, Aisyah malah merebahkan tubuhnya sejenak, sembari membekap buku yang sudah siap ia bawa, kini dia tengah sibuk memandang atap kamar untuk mengalihkan rasa kantuknya.
“Ayo, Sya jalan, entar telat. Eh, 10 menit lagi nggak apa-apa mungkin ya, nggak akan telat juga,” lirih Aisyah yang tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Niat hati hanya ingin rebahan, tapi tanpa sadar Aisyah malah memejamkan matanya, mencari posisi ternyaman hingga ia terbuai mimpi yang membuatnya harus mempertanggung jawabkan semuanya setelah ia terbangun nanti.
***
Aisyah terbangun karena rasa sakit dipergelangan tangannya. Memeluk beberapa buku sembari tertidur ternyata membuat tangannya kesemutan. Ia bangkit, lalu masih dalam keadaan setengah sadar, buku yang dari tadi dipeluknya kembali ia susun rapi. Aisyah merebahkan kembali tubuhnya menarik selimut hendak kembali memejamkan mata. Namun, ingatannya memutar kembali peristiwa sebelum ia tertidur tadi.
“Astaghfirullah!” pekik Aisyah, matanya yang terasa masih mengantuk tadi, sekarang segar bugar, efek jantungnya yang memompa lebih cepat. Retinanya dengan sigap melihat ke arah jam dinding.
“Ya Allah, bisa-bisanya aku ketiduran!” pekiknya, dengan gerakan sigap ia berlari ke arah kamar mandi, mengambil air wudhu untuk menghilangkan kantuk yang membuatnya sampai telat masuk kelas malam ini.
Tak butuh waktu lama, kini Aisyah sudah siap dengan mukenah dan peralatan belajarnya. Namun, bukannya langsung pergi Aisyah malah memilih berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembari melihat jam, kegiatan pembelajaran masih berlangsung, ia hanya telat 30 menit, Oh, tidak, 30 menit bukan waktu yang sebentar.
Sekarang, apa yang harus Aisyah lakukan? Apakah dia harus berdiam diri di kamar, menunggu teman-temannya pulang, dengan konsekuensi, besok paginya ia akan mendapatkan hukuman karena absen masuk kelas, atau tetap pergi ke kelas dengan konsekuensi harus siap dihukum di saat itu juga.
Aisyah mengibas-kibaskan tangannya, berharap stok oksigen di dalam kamar itu cukup untuk membuat dirinya masih bisa bernapas tenang. Kenapa akhir-akhir ini dirinya sering sekali dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit?
Astaghfirullah, Asiyah banyak beristighfar dalam hatinya.
“Tenang, jangan panik. Panik nggak akan bisa menyelesaikan masalah.” Aisyah masih bisa menasehati dirinya, meskipun kenyataannya kepalanya terasa begitu berat untuk diajak mikir sekarang.
Aisyah mengintip keluar, takut jika ada mudabbirah yang masih berjaga.
“Tumben sepi? Apa, lagi pada rapat kali, ya?”
Kesempatan, pikir Aisyah. Setidaknya, jika dia pergi sekarang, dia hanya akan dihukum saat itu juga, dan tentu hukumannya tidak terlalu parah. Dari pada harus merelakan dirinya dihukum besok pagi, membayangkan humukan apa yang akan diterimanya saja, Aisyah sudah tidak sanggup.
Aisyah bergegas mengambil buku yang sempat dia taruh tadi, ada secuil harapan yang terbersit bahwa kali ini dia tidak akan kena hukuman. Dia ingat perkataan Fadila sore tadi, kalau tutor bahasa inggris mereka ada kegiatan di luar asrama.
“Semoga memang benar-benar pergi,” harap Aisyah. Harapannya lumayan tidak baik, sih, karena jika hal itu terjadi, maka dapat dipastikan kelasnya sekarang sedang tidak belajar, tapi sesekali nggak apa-apa, ‘kan?
Tanpa mau membuang banyak waktu lagi, Aisyah segera menutup pintu dan bergegas menuju kelas. Keadaan begitu sepi, karena memang semua santri pasti lagi sibuk dengan kegiatan belajar mereka.
Kini Aisyah sudah sampai di depan pintu kelasnya, perasaannya kembali bimbang untuk melanjutkan langkah. Tidak terlihat tanda ada guru yang mengajar di dalam, namun kelas juga tidak terlihat sedang kosong.
“Ada mu’allim, nggak, sih?” Aisyah memutuskan untuk masuk dengan pelan, berharap tidak ada yang menyadari keterlambatannya, karena memang semua terlihat sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Dari mana? Kenapa baru datang?”
Langkah Aisyah terhenti, dibarengi dengan tatapan semua santri dalam kelas tersebut mengarah kepadanya. Sungguh, dia paling tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini, meski sudah saling mengenal, tetap saja Aisyah tidak suka.
Dengan gerakan pelan, Aisyah berbalik ke arah sumber suara. Retinanya melebar sempurna setelah mengetahui bahwa yang menegurnya tadi adalah Reyhan. Ada kepentingan apa dia di sini?
“Kenapa cuma diam? Budek atau apa?”
Aisyah sedikit tersinggung, dia benar-benar tidak bisa dipermalukan di depan umum seperti ini.
“Saya tanya kenapa baru datang?” Reyhan mengulang kembali pertanyaannya.
“Ketiduran, Kak,” jawab Aisyah singkat lalu berbalik kembali hendak pergi. Anggap saja Aisyah kurang sopan, tapi sungguh rasa kesalnya membuatnya tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan manusia bernama Reyhan ini. Untuk apa juga Reyhan ke sini dan berbasa-basi menanyakan keterlambatannya, membuat Aisyah menjadi bahan tontonan saja.
“Eh, mau kemana? Saya belum selesai bicara.”
Aisyah menarik napas panjang dan kembali membalikkan badan. Aisyah mellirik sekilas ke arah teman-temannya yang masih memperhatikan mereka. Apakah Reyhan sengaja mencari sensasi untuk dijadikan bahan ghibahan untuk para santri? Jika memang iya, jangan bawa-bawa Aisyah.
“Kak Rey sengaja, ya? Mau nyari sensasi?” suara Aisyah lirih, takut terdengar oleh yang lain. Reyhan mengikis jarak membuat Aisyah memundurkan langkah gugup.
Aisyah melirik sejenak, terlihat kening seniornya itu mengkerut, apakah perkataannya salah?
“Duduk!”
Aisyah sedikit terkejut mendengar perintah tegas dari Reyhan. Bukan hanya itu, setelah menyuruhnya duduk, Reyhan berlalu begitu saja.
Meski sedikit terkejut, Aisyah tidak ambil pusing, toh, Reyhan juga tidak ada wewenang di kelas ini. dia juga bergegas mencari tempat duduk yang kosong.
Tunggu, kenapa Reyhan berjalan ke arah meja mu’allim? Aisyah yang masih berdiri di dekat kursi segera ditarik oleh Fadila.
“Kamu kenapa baru datang? Ck, pakai acara debat sama….” Ucapan Fadila menggantung, karena tiba-tiba Reyhan membuka suara
“Silahkan lanjutkan tugas kalian, dan untuk kamu…” Reyhan membuka buku yang ada di depannya sejenak sebelum kembali berbicara dan Aisyah tahu itu adalah daftar hadir para santri. “Untuk kamu Aisyah Fatma Azizan, setelah ta’lim idhofi harus menerima hukuman karena terlambat tanpa alasan yang bisa ditolerir.”
Aisyah mematung masih tidak percaya, dia bukannya syok karena mendapat hukuman, tapi Aisyah tergugu karena baru menyadari kalau sekarang Reyhanlah yang sedang memberi materi di kelasnya. Seketika ia mengingat kembali ucapan Aulia kalau Reyhan adalah salah satu tutor bahasa inggris di asrama ini.
“Kenapa? Tidak terima?”
Aisyah menggeleng cepat, menormalkan ekspresi terkejutnya kemudian duduk segera. Ia memejamkan mata erat merutuki dirinya yang lagi-lagi melakukan hal memalukan dan lebih parahnya dia memalukan diri sendiri kepada orang yang sama secara terus menerus.
“Kenapa nggak ngasih tahu aku, kalau… ck, kalau Kak Rey yang jadi tutor kita malam ini,” bisik Aisyah geram sembari menatap lekat ke arah Fadila.
“Kamunya yang baru datang , gimana, sih?”
“Iya juga, iya.” Aisyah bingung sendiri, sudahlah mau tidak mau setelah kegiatan ini selesai, dia harus menerima hukuman dari Reyhan.
“Mau ditaruh di mana ini muka,” sesalnya lagi. Aisyah pura-pura membuka buku, meskipun dia tidak tahu tugas apa yang sebenarnya dikerjakan oleh teman-teman kelasnya ini.
Kali ini, Aisyah bukan hanya memalukan dirinya di depan Reyhan, namun di depan semua teman kelasnya. Semoga setelah ini tidak akan ada yang mengghibah dan semoga hukuman yang diberikan kepadanya tidak seberat yang dia pikirkan.