Allah tidak butuh skenario yang berbelit, jika memang ingin menyatukan dua insan.
Allah mempunyai cara tersendiri untuk mempertemukan potongan tulang rusuk tersebut kepada pemiliknya.
Namun, jika memang bukan takdirnya
Maka akan mencari jalan sendiri untuk pergi
***
"Baiklah, jika memang seperti itu keputusan Aisyah." Bang Harun berusaha tersenyum.
"Semoga keputusan ini, tidak membuat tali kekeluargaan kita putus, Bang." Aisyah sebenarnya takut jika setelah ini akan membuat suasana menjadi canggung, atau bahkan tidak saling menyapa.
"Aisyah nggak perlu khawatir, Aisyah dan yang lain akan tetap menjadi adeknya Abang, seperti Nur. Abang, yang malah takut, kalau setelah ini Aisyah yang akan menghindar."
Pikiran Bang Harun tepat sasaran, bagaimanapun juga ini perihal hati, tapi semoga saja semua akan kembali seperti semula.
"Belajar yang rajin, ya. Jangan kecewakan Ayah sama Bunda. In syaa allah kalau memang berjodoh, Allah akan pertemukan di titik terbaik takdir."
Aisyah mengangguk, sekali lagi meminta maaf kepada Bang Harun.
"In syaa Allah, Allah sudah siapkan jodoh terbaik buat Abang, Siapapun dia."
"Amiin, memang manusia bisa berencana, ya. Tapi Allah yang menggenggam semua takdir."
Aisyah lagi-lagi hanya tersenyum, ia tahu Bang Harun kecewa, namun dia terlihat menutupi rasa kecewa itu, agar Aisyah tidak merasa terlalu bersalah. Sejujurnya Aisyah juga merasa belum pantas dengan sosok yang bernama Harun, di depannya ini. Seorang laki-laki dengan ilmu agama yang tinggi, penghapal Al-Qur'an dan tentu memiliki tingkat keta'atan yang tinggi kepada Allah SWT.
Sedangkan Aisyah, apa? Seorang gadis kecil yang masih berusaha memperbaiki diri, dengan ilmu agama yang belum seberapa. Jangankan menghapal Al-Qur'an 30 juz, juz 30 saja masih berputar-putar di kepalanya.
Memang benar jodoh cerminan diri, Allah belum jodohkan karena Aisyah masih belum mencerminkan bagaimana Bang Harun, atau mungkin sebaliknya. Ini suatu tamparan bagi Aisyah, bahwa jika dia menginginkan jodoh yang baik, maka Aisyah sendiri harus memperbaiki diri lagi menjadi lebih baik, dan mungkin saja Allah sudah siapkan pendamping untuk Bang Harun, dari perempuan yang lebih shaleha, dan tentunya mampu mendampingi Bang Harun. Aisyah bukannya menghina dirinya sendiri dan tidak bersyukur, hanya saja Aisyah yakin ini adalah takdir Allah yang paling tepat untuk saat ini. Semoga kedepannya dirinya mampu menjadi pribadi yan lebih baik lagi, bukan semata-mata untuk mendapatkan jodoh yang baik tapi niatkan memperbaiki diri itu Lillahita'ala, karena Allah semata. Jika Allah saja sudah kita dekati, maka yang mencintai Allahpun nanti akan Allah dekatkan, tentunya di waktu yang tepat dan dalam keadaan yang in syaa allah sudah siap.
“Oh, ya, satu lagi. yang terlihat belum tentu yang terjadi. Abang tidak sebaik dan seshaleh yang Aisyah pikir. Namun, Alhamdulillah, abang bersyukur dianggap menjadi orang baik oleh Aisyah, semoga hal itu tidak menjadikan Abang tinggi hati. Dan… asal Aisyah tahu, Aisyah lebih dari apa yang Aisyah pikirkan tentang Aisyah sendiri. Jadi, jangan inseciure, semoga Allah berikan kemudahan agar kita menjadi lebih baik lagi.”
Aisyah bungkam, dia tidak menyangka Bang Harun bisa menebak apa yang dia pikirkan. Setelah kepergian Bang Harun, Nur yang memang dari tadi berada diantara keduanya kini menatap Aisyah tak berkedip.
"Maaf, ya," cicit Aisyah. Tanpa diduga Nur malah memberikan pelukan erat kepada Aisyah.
"Kok, minta maaf? Nggak, apa-apa kali. Namanya perasaan nggak ada yang tahu, dan yang paling penting, nggak bisa dipaksakan. Iya, ‘kan?"
Aisyah hanya bisa tersenyum simpul, ia masih tidak enak hati, terutama kepada Nur, karena telah menolak Bang Harun.
"Udah, janga dipikirin. Balik ke kamar, yuk!"
"Kamu duluan, nggak apa-apa, ‘kan? Aku masih mau di kantin sebentar."
Nur mengangguk, mengusap pundak Aisyah pelan sebelum dia beranjak naik ke lantai tiga duluan.
Aisyah menatap ke arah luar. perasaan, musim penghujan sudah lama berlalu, namun mendung terlihat menutupi langit di siang hari ini. Aisyah menarik napas pelan, ada kelegaan yang tidak bisa dia definisikan, meskipun dalam hati kecilnya dia masih merasa bersalah dan tidak enak hati tentunya.
“Semoga Bang Harun segera dipertemukan dengan jodoh yang Allah pilihkan,” gumam Aisyah sembari kembali menarik napas dalam. Ia bangkit menuju kasir, mendung seperti ini rasanya lebih nikmat jika didampingi dengan satu gelas cokelat panas. Setelah memesan Aisyah kembali ke tempat duduknya.
Selang beberapa menit rintik hujan mulai berirama menyapa bumi, Aisyah kembali menatap ke arah luar, sepertinya dia harus segera kembali ke kamar, jika tidak ingin fobianya terhadap petir membuatnya pingsan di tempat. Namun, bagaimana dengan cokelat panasnya? Sayang sekali jika harus ditinggalkan.
Aisyah bergegas kembali ke kasir, dia berencana untuk membawa cokelat panasnya ke kamar, untuk mengantisipasi jika petir tiba-tiba terdengar.
“Alhamdulillah, sudah jadi ternyata Bi,” ucap Aisyah sumringah sembari mengambil satu gelas cokelat panas yang masih berada di tangan Bibi kantin.
“Neng, itu…”
“Iya, Bi. Aisyah ambil uang di tas dulu,” ucap Aisyah memotong ucapan Bi kantin yang belum selesai, karena buru-buru dia tidak memperhatikan seseorang yang sebenarnya sudah dari tadi berdiri di dekatnya.
“Ini Bi….”
“Neng, maaf sebelumnya, ya… itu cokelat panas milik Nak Rey, pesenan Neng Aisyah masih dibuat sama anak Bibi.”
Aisyah seketika menoleh, dia baru menyadari ada seseorang selain dia di depan kasir. Denga muka yang masih panik namun berlagak pura-pura santai, tangan yang dari tadi mengenggam minuman tersebut, refleks tersodor ke arah sang pemilik asli.
Aisyah benar-benar kehabisan stok kosa kata, setelah menyadari kalau orang yang ada di sampingnya sekarang ini adalah orang yang dulu memergoki dirinya menguping ketika malam terakhir perkenalan asrama.
“Nggak apa-apa, ambil aja. Kayaknya kamu lagi buru-buru.”
Akhirnya suara itu kembali membawa Aisyah ke atas ambang kesadaran. Gadis itu segera menggeleng dan menaruh segelas cokelat panas tersebut di depan laki-laki tersebut.
“Bukan milik saya, jadi silahkan di ambil. Maaf…”
“Saya sudah ikhlas memberikannya terlebih dahulu, jadi kamu duluan.”
Aisyah diam. Bergerak tidak, bersuarapun tidak. Sejujurnya dia masih sibuk sendiri dengan rasa malunya, sehingga otaknya belum benar-benar mencerna apa yang terjadi saat ini.
“Sudah-sudah! Jangan berebut, nih satu gelas lagi sudah jadi.”
Aisyah menarik napas lega, dengan segera mengambil minuman yang disodorkan oleh bibi kantin.
“Terima kasih atas kemurahan hatinya, tapi minuman aku sudah jadi.” Aisyah melempar senyum termanisnya, meski dia tahu pasti senyum yang dia tampakkan akan terlihat aneh dan tentunya kikuk.
“Ini Bi uangnya, Aisyah ke atas dulu. Assalamu’alaikum.” Aisyah bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Dia benar-benar tidak ingin berlama-lama berada di suasana kikuk dan malu seperti tadi. Aisyah berharap dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan manusia yang bernama Rey atau apalah itu.