Wanita jika bicara soal perasaan
Kalau bukan karena agama dan ilmunya
Maka mereka adalah sosok yang bisa dengan gampang gila hanya karena perasaan dan hawa nafsunya
_Anonim_
***
Aisyah memutuskan untuk pulang, setelah dia merasa perasaan gegananya memang harus segera diselesaikan. Tujuan utama kepulangannya kali ini adalah untuk curhat dan meminta solusi kepada orang tuanya. Aisyah memang pernah mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa dia memang tidak ingin berpacaran, tetapi jika ada orang yang serius dan berani bertemu dengan orang tuanya, maka dia akan memberikan kesempatan dan sekarang semua itu terjadi, seorang laki-laki datang kepadanya dengan niat yang baik. Namun kenapa hatinya malah menjadi tidak tenang, padahal selama ini hal tersebut yang dia inginkan.
Aisyah duduk di antara kedua orang tuanya yang tengah asyik dengan acara berita di TV, dia menarik napas berulang kali sembari memutar otak mencari kata-kata yang tepat. Namun, sampai beberapa menit berlalu, tak ada satu katapun yang bisa keluar dari pita suaranya, Aisyah benar-benar bingung bagaimana caranya membahasakan semua ini? Ini kali pertama dia menceritakan seorang laki-laki terus tiba-tiba sudah mau di khitbah, pasti kedua orang tuanya kaget, belum lagi Aisyah masih kuliah dan baru menginjak tahun pertama perkuliahan.
“Ada apa sayang? Mau cerita apa?”
Namanya orang tua, memang memiliki kontak batin dengan setiap anaknya. Buktinya Aisyah belum membuka suara saja, Raina-ibunda Aisyah sudah pintar menebak.
Sang Ayah ikut menatap anak gadisnya itu, Aisyah tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Bukan mau curhat, cuma… sekedar nanya saja, boleh nggak, Yah, Bun?”
“Boleh dong, sayang. Mau nanya apa?”
Aisyah memperbaiki posisi duduknya, menarik napas pelan sebelum mulai berbicara.
“Hmm… jadi gini, Aisyah mau nanya pendapat Ayah, sama Bunda, minsalkan… ini minsalkan, loh, ya, Bun, Yah. Minsalkan kalau ada orang yang mau khitbah Aisyah, Ayah sama Bunda bagaimana?” Aisyah menatap ragu ke arah orang tuanya bergantian, karena yang ditanya malah saling melempar pandang.
“Aisyah, mau menikah?” Aisyah menggaruk kepalanya yang tak gatal, gimana mau jawabnya, khitbah sama dengan akan menikah, iya, kan?
“Ada yang mau melamar?”
Dengan polosnya Aisyah mengangguk. Padahal tadi di awal perbincangan dia sudah mengatakan bahwa itu sebuah perminsalan namun ujung-ujungnya dia tidak bisa berbohong. Sang Ayah tersenyum sembari mengelus lembut pucuk kepala putrinya.
“Aisyah sendiri bagaimana?”
“Aisyah bingung, Yah. Itu makanya minta pendapat, Ayah, sama Bunda.”
“Apa laki-laki itu baik?”
Aisyah mengangguk
“Agamanya bagaimana?”
“Baik juga,” cicit Aisyah. Point penting yang membuat dirinya sampai segalau ini adalah perihal Agama. Aisyah merasa tidak ada yang cacat terkait agama dan akhlak yang di miliki oleh Bang Harun, meski Aisyah tahu sebenarnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun, jika dilihat dari latar belakang keluarga, pendidikan, serta bagaimana laki-laki itu memperlakukan Ibu dan saudari-saudarinya, dia adalah sosok yang sangat bertanggung jawab.
“Perasaan Aisyah sendiri bagaimana?” Kini sang bunda yang melempar pertanyaan. Aisyah menggeleng bingung.
“Aisyah menggeleng itu maksudnya tidak ada atau tidak tahu?”
“Apa boleh menolak lamaran orang yang dalam segi agama, akhlak, dan keluarganya baik, yah? Sedangkan ada hadist yang mengatakan bahwa ‘apabila ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk melamar, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Aisyah menatap sendu sembari menunggu sang ayah berbicara. Jujur, Aisyah memang merasa belum siap untuk menjalani kehidupan pernikahan, selain karena masih kuliah, dia juga masih butuh banyak belajar terkait hal itu.
“Sayang, banyak orang yang berpikir bahwa makna hadist tersebut mengharuskan seorang perempuan untuk menerima pinangan dari laki-laki yang agamanya baik. Padahal, maksud sebenarnya adalah hadist tersebut ingin memberitahukan kepada kita bahwa dalam memilih pasangan itu melihat agama dan akhlaknya sangatlah penting. Kenapa? Karena hati manusia itu cepat sekali berubah-ubah, salah satu yang akan menguatkannya adalah agama yang kita percayai. Cinta yang dilandaskan napsu hanya akan bertahan sebentar, namun cinta yang didasari oleh agama, dilandaskan hanya kepada Allah SWT, In Syaa Allah akan bertahan sampai Allah sendiri yang memisahkan.”
Aisyah masih diam, dia tetap saja menangkap maksud dari ucapan sang ayah adalah tetap saja tidak baik untuk menolak.
“Tapi… bukan berarti kita tidak boleh menolak.”
Kening Aisyah mengkerut karena seolah sang ayah tahu apa yang saat ini dia pikirkan.
“Dulu Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Khathab radhiallahu anhuma saja Rasulallah Saw tolak ketika hendak melamar saidatina Fathimah Azzahra. Bukan itu saja, Ummu Hani binti Abu Thalib radhiallahu anha juga menolak lamaran dari Rasulallah Saw. Bayangkan, sekelas Rasulallah Saw, Abu Bakar, dan Umar saja pernah ditolak lamarannya.”
“Kenapa bisa, Yah?” Aisyah masih tidak habis pikir. Sang ayah tersenyum lalu kembali melanjutkan ceritanya.
“Rasulallah menolak lamaran kedua sahabatnya karena alasan saat itu Fatimah masih terlalu kecil, sedangkan Ummu Hani menolak lamaran Rasulallah dengan alasan usianya yang sudah terlalu tua serta memiliki banyak anak, sehingga Ummu Hani khawatir jika menikah dengan Rasulallah akan menelantarkan Rasulallah dan anak-anaknya.”
Aisyah mengangguk paham, rasa penasarannya kini terjawab dan tentunya membuatnya sedikit lebih tenang, meski belum mendapatkan jawaban untuk diberikan kepada bang Harun nantinya.
“Jadi?”
“Ah? Jadi?” Aisyah menggaruk tengkuknya bingung mendengar pertanyaan sang Ayah.
“Apa kesimpulan yang bisa Aisyah ambil?”
Aisyah berpikir sejenak sebelum kembali membuka suara.
“Boleh menolak lamaran seorang laki-laki jika memiliki alasan yang pasti? Begitu, Yah?” jawabnya ragu. Sang Ayah mengangguk.
“Lebih tepatnya, boleh seorang perempuan maupun wali dari perempuan tersebut menolak lamaran dari laki-laki yang dalam segi agama dan akhlaknya baik dengan alasan yang jelas dan tidak bertentangan dengan syara’.”
“Alasan yang tidak sesuai syara’ kayak gimana, Yah?”
“Contohnya menolak karena alasan harta, tahta, atau jabatan semata.”
“Kalau dengan alasan masih kuliah?”
“Sayang, kuliah itu adalah sebuah amanah, amanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Bagaimanapun amanah itu harus diselesaikan, bukan?”
“Tapi, jika laki-laki itu mengatakan kalau dia akan memberikan izin untuk istrinya lanjut kuliah setelah menikah nanti, bagaimana?”
“Bagus, dong. Artinya laki-laki itu masih memikirkan masa depan istrinya. Sekarang, tinggal kembali ke perempuannya, kira-kira nanti setelah menikah apa bisa melakukan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus mahasiswa?”
Bibir Aisyah bergeming, ternyata menikah itu sungguh harus banyak pertimbangan.
“Ayah sama Bunda tidak melarang, kalau memang Aisyah merasa sudah siap untuk menikah, Ayah sama Bunda akan mendukung, tapi….”
Aisyah menatap sang ayah yang masih menggantungkan ucapannya.
“Apa Aisyah sudah memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu? Menikah berarti harus siap hidup dengan orang baru, dengan karakter dan sifat yang belum sepenuhnya Aisyah tahu. Sudah tahu, kan, kewajiban seorang istri itu apa? Harus melayani suami semaksimal mungkin, harus bisa menjaga nama baik dia dan keluarganya. Dan apa tadi Aisyah bilang? Mau kuliah setelah menikah? Apa Aisyah sanggup? ”
Baru membayangannya saja rasanya kepalanya sudah pusing, bagaimana jika nanti hal itu benar-benar Aisyah lakukan.
“Coba Aisyah bayangkan, nanti minsalkan Aisyah sudah menikah, terus tetap lanjutin kuliah, kira-kira bisa atur waktu nggak? Pagi-pagi nyiapin sarapan dan segala kebutuhan suami, terus belum lagi Aisyah siap-siap buat kuliah. Pulang kuliah sudah nggak bisa rebahan kayak biasa, harus lihat bagaimana keadaan rumah, sudah cuci baju belum? Piring di dapur sudah kinclong apa nggak? Makan siang, makan malam sudah siap belum? Belum lagi mikirin tagihan listrik, air. Dan jangan lupa selain kewajiban sebagai istri, Aisyah masih punya kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Harus kerjain tugas, belum praktikumnya, laporannya, kira-kira Aisyah sudah siap?”
Aisyah menelan salivanya susah payah, mendengar semua yang sang ayah paparkan.
“Baru minggu kemarin, loh, Aisyah nangis-nangis ke Bunda, katanya sering begadang gara-gara kebanyakan tugas. Nah, setelah menikah tugas Aisyah akan lebih banyak lagi dari pada itu.” Mendengar penuturan dari bundanya, Aisyah malah meringis.
“Ini, Ayah sama Bunda bukan nakut-nakutin, ya. Hanya memberi pandangan jika memang Aisyah mau menikah. Sekarang keputusannya ada di Aisyah saja,” tukas sang ayah lagi.
“Kenapa yang disuruh bayangin, yang susahnya saja, Yah?” Aisyah mencoba menolak kenyataan yang akan dia terima jika menerima lamaran Bang Harun.
“karena, kalau Ayah sama Bunda ngasih tahu, yang enak-enaknya saja. itu juga sudah Aisyah sendiri tahu,” jawab sang Ayah sembari mengelus kepala Aisyah lembut.
“Karena dalam kehidupan pernikahan itu kita harus berpikir secara realistis, jika yang ada dalam pikiran kita bahagia saja yang akan kita temui ketika menikah, itu salah besar. Karena pada nyatanya bahagia dan sedih itu selalu beriringan. Ayah sama Bunda nggak melarang, apapun keputusan Aisyah,” sambung sang Bunda.
Mereka memang tidak akan memaksakan Aisyah harus menurut dengan apa yang mereka ucapkan, namun mereka memilih untk membuat Aisyah berpikir sendiri, keputusan apa yang lebih cocok untuk diambil. Menikah ataupun menuntut ilmu keduanya merupakan pekerjaan yang mulia, jika memang bisa melakukan keduanya dalam satu waktu itu jauh lebih baik. Namun, jika dirasa masih memberatkan, lebih baik menjalankan satu persatu terlebih dahulu.
“Bagaimana?”
Cengiran khas Aisyah hanya itu yang saat ini bisa ia tanpakkan untuk merespon semua opini dan nasehat yang dia dapatkan.
“Menikah itu butuh kesiapan lahir dan batin, meskipun sekarang ada orang yang datang melamar, agamanya baik, akhlaknya terpuji, tapi kalau Aisyahnya belum siap, Aisyah boleh menolak, asal… dengan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung atau menyakiti perasaan siapapun, yang paling penting alasannya harus jelas.”
“Ingat selain harus siap lahir batin, yang namanya mau membangun rumah tangga itu, bukan asal lamar terus nikah. Tapi semua ada prosesnya, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dimana terlebih dahulu satu sama lain harus saling mengenal, mengetahui apa yang perlu diketahui. Secara singkatnya harus ta’aruf dulu, kalau sudah merasa cocok baru berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Menikah itu adalah ibadah terpanjang, jadi pasti akan banyak cobaan yang dihadapi nanti, itu pentingnya kita harus belajar lebih dahulu sebelum siap untuk menempuhnya.”
“Saran Bunda, Aisyah istikharah juga. Minta petunjuk sama sang pembolak-balik hati. Bagaimanapun ini demi masa depan Aisyah.”
Aisyah tersenyum lalu memeluk kedua malaikat yang selalu memberi ketenangan dan solusi ketika dia sedang gundah dan bingung seperti ini. Setelah menceritakan semuanya dan mendengar solusi dan nasehat dari ayah dan bunda, kini hatinya kembali tenang. Setidaknya untuk saat ini Aisyah sudah tahu jawaban seperti apa, yang harus dia persiapkan dari sekarang. Ditambah dia akan sholat istikharah, agar hatinya mantap untuk mengambil keputusan.
Jika tahu akan setenang ini setelah dia bercerita, Aisyah akan memilih untuk menceritakannya langsung pada hari itu juga. Namun namanya manusia, selalu saja berpikir yang tidak-tidak, padahal belum tentu apa yang dipikirkannya akan terjadi. Oleh sebab itu begitu penting yang namanya berhusnudzon kepada takdir Allah.
Terkadang yang membuat manusia menjadi banyak pikiran dan berujung setres adalah pemikiran mereka sendiri, Allah sudah mengatur takdir setiap makhluknya dengan sebaik-baik pengaturan, hanya saja yang diatur lebih memilih keinginan mereka yang belum tentu baik buat diri mereka dan pada akhirnya ketika apa yang mereka inginkan tak tersampaikan, maka akan ada kecewa yang menjadikan hati tersakiti.
***
Suara notifikasi dari hanponenya, membuat Aisyah tidak jadi untuk memejamkan mata. Dia melihat nomor baru masuk mengiriminya sebuah pesan.
085931xxxxxx
[Assalamu’alaikum Aisyah, bagimana kabarnya? Maaf mengganggu, Ini Bang Harun.]
Aisyah menatap layar handponenya tak berkedip, dia yakin Bang Harun pasti ingin menanyakan jawaban dari niat baiknya yang beberapa minggu lalu sudah ia utarakan.
Ting
Suara notifikasi kembali dia dengar, dan lagi-lagi itu berasal dari nomor Bang Harun.
085931xxxxxx
[Jika Aisyah sudah memiliki jawaban, In syaa Allah besok Abang akan ke asrama untuk bertemu Nur, jika boleh abang pengen mendengar jawaban Aisyah besok.]