Jika memang kita adalah dua takdir yang akan bersatu
Maka akan selalu ada jalan untuk jarak memberi temu
***
Seperti biasa, jika matahari sudah menyembunyikan dirinya, semua mahasantri sudah bersiap-siap untuk melakukan aktivitas seperti biasa, melupakan sejenak kehidupan dunia dan menentramkan hati dengan menuntut ilmu agama.
Adzan maghrib sudah berkumandang dan nyatanya Aisyah baru saja keluar dari dalam kelas. Memiliki kelas sore memang membuatnya harus ekstra bersabar, apa lagi ketika materi yang di sampaikan dosen harus menguras pikiran dan jangan lupakan waktu pulang yang sering sekali melebihi jadwal.
“Yakin mau jalan, Sya? Udah adzan, loh, nggak takut telat nanti?” Rama teman kelasnya kembali bertanya untuk yang ke sekian kalinya.
“Apa lebih baik di antar Rama aja, Sya. Biar cepat sampai.” Kini Pani ikut menambahkan. Aisyah tersenyum lalu menggeleng.
“Aku jalan aja, lagian asrama dekat, kok, nggak nyampai lima menit nyampai. Makasih, loh Ram, udah mau bantuin. Tapi bener aku nggak apa-apa, serius. Paling cuma lari-larian nanti.”
Sebenarnya Aisyah ragu untuk menolak, namun bagaimanapun jika belum benar-benar terdesak, ia tidak ingin di bonceng oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Aisyah tahu dan yakin Rama hanya ingin membantunya dan tidak berniat apa-apa selain itu. Tapi bukankah lebih baik mencegah dari pada menyesal di kemudian hari.
Banyak dari teman-teman kelasnya mencibir dan tidak suka karena sikap Aisyah yang tidak ingin di boceng oleh teman laki-laki mereka, banyak dari mereka menganggap kalau Aisyah sok suci dan sok alim. Walaupun begitu, Aisyah tak pernah mempermasalahkannya, karena Aisyah tahu, dia tidak bisa membuat semua orang menyukai dan memahami bagaimana prinsip yang dia pegang. Selagi apa yang dilakukannya benar di mata agama dan Negara, Aisyah rasa tidak akan merugikan siapapun.
Rama dan Pani mengangguk paham, berteman dengan Aisyah dari awal masuk kuliah membuat mereka tahu bagaimana sifat perempuan yang satu itu.
“Kalau gitu, buruan sana! Nanti telat kena hukum lagi!”
Aisyah mengangguk, dan segera pamit. Dia berharap semoga saja tidak masbuk kali ini.
“Ram, nebeng sampai depan kos, ya.”
“Yuk, aku sekalian mau sholat di masjid depan.” Mereka akhirnya mengikuti langkah Aisyah untuk meninggalkan kampus.
***
Kaki Aisyah baru saja menginjak anak tangga terakhir, ketika dirinya kembali mendengar lantunan surah Arrahman yang di bawakan oleh imam sholat maghrib kali ini. Aisyah menarik napas pelan, lagi-lagi suara yang sama, namun sampai saat ini, sampai hampir satu tahun dia sering mendengar suara itu, Aisyah belum juga tahu siapa pemilik suara dengan lantunan merdu itu.
“Aisyah? Pulang telat lagi?”
Aisyah mendongak, aktivitasnya yang sedang mencari sandal di bawah tangga terhenti karena suara yang sudah sangat ia kenali.
“Eh, Ustadzah Iswa, hehehe… iya Ustadzah,” jawab Aisyah sembari cengengesan. Ustadzah Iswa menggeleng maklum, setiap jadwalnya berkeliling asrama pasti dia selalu bertemu dengan Aisyah.
“Ya sudah, cepat sana, nanti masbuk lagi. Ustadzah Pembina tidak mau menerima alasan apapun.”
Aisyah mengangguk dan segera pamit setelah menemukan sandal yang dia cari.
Setelah sholat maghrib berjama’ah seluruh santri mulai memasuki kelas mereka masing-masing, duduk dengan khiddmat sembari memperhatikan ilmu yang disampaikan oleh para mu’allim. Begitulah jika manusia telah berdamai dengan waktu dan mencintai sebuah ilmu, dia akan sanggup duduk berjam-jam untuk mengambil pembelajaran dari apa yang dia dengarkan.
“Ada sebuah kalimat yang sangat menakjubkan dari Ibnu ‘Atha’illah dalam syarah Al-hikam, disana dikatakan Usaha kerasmu untuk mendapatkan sesuatu yang dijamin bagimu dan kelalaianmu mengerjakan sesuatu yang diminta darimu adalah tanda padamnya mata batin. Maksudnya apa? Hati adalah penentu sebuah kehidupan, jika sebongkah daging ini baik, bagus dan tetap dirawat oleh cahaya keimanan, maka segala bentuk kehidupan yang dijalani akan baik pula. tapi jika sebongkah daging yang bernama hati ini tidak baik, di dalamnya masih ada penyakit-penyakit yang merusak seperti dengki, sombong, dan lain-lain. Maka dapat dipastikan kehidupan seseorang itu tidak akan baik, meski yang terlihat Allah mencukupi bahkan melebihkan segalanya untuk dia, tapi pada hakekatnya orang itu telah merugi.”
Aisyah terdiam, masih memperhatikan apa yang disampaikan oleh Ustadz Salman di depannya.
“Nah, untuk anak-anakku, jangan risau, jangan takut perihal sesuatu yang memang sudah dijamin oleh Allah. Seseorang yang sedang menuntut ilmu, Allah sudah jamin rezekinya, tinggal satu hal yang harus ditanamkan dalam hati, yaitu yakin. Yakin kalau Allah pemegang segalanya. Jangan gelisah, hanya karena tugas kuliah yang belum dikerjakan, dan lebih memilih mengaji seperti ini, yakin saja, setelah pulang dari tempat ini tugas itu akan selesai. Dengan catatan kalian yakin dan diiringi usaha.”
Aisyah merasa tertampar, dia yang memang dari tadi sedikit tak fokus karena belum mengerjakan laporan praktikum yang besok harus sudah dikumpulkan. Terlebih lagi pikirannya menjadi tidak tenang memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan kepada Bang Harun. Sejujurnya dirinya belum siap untuk menjelajahi yang namanya kehidupan berumah tangga. Namun, menolak juga rasanya begitu banyak pertimbangan yang ada dipikrannya, selain itu dia belum mendapatkan alasan yang masuk akal untuk menolak lamaran dari seseorang yang jelas-jelas pemahaman Agamanya sudah tida diragukan lagi.
Astahgfirullah! Kenapa bisa Aisyah meragukan kekuasaan Allah, bagaimana bisa dia takut dan memikirkan hal yang belum pasti sedangkan semua itu sudah Allah atur sedemikian rupa.
Fadila menyikut lengan Aisyah, yang membuat gadis pemilik mata cokelat itu menoleh sedikit,
“Jangan tidur,” cicit Fadila, membuat alis Aisyah terangkat sebelah. Siapa yang tidur? Dia hanya menunduk untuk menenangkan hati yang terlalu sibuk dengan urusan dunia. Fokus Aisyah kembali teralih mendengar Ustadz Salman kembali membuka suara.
“Terakhir, sebelum ustadz menutup pengajian kita pada malam ini, ustadz ingin berpesan, jangan sampai kalian berputus asa hanya karena do’a-do’a kalian yang tak kunjung dikabulkan. Karena memang Allah lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh hambanya. Allah sudah menjamin do’a dari hambanya akan dikabulkan dengan sesuatu yang Allah pilihkan, bukan sesuatu yang kalian pilih. Karena do’a itu akan terkabul diwaktu yang tepat dan percayalah pilihan Allah tidak akan pernah membuat kecewa.”
Ustadz Salman tersenyum menatap para santri yang masih setia memperhatikannya, dia tahu bagaimana lelahnya mereka di pagi hari dengan aktivitas kampus, namun masih mau meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuan agamanya. Begitulah semesta bermain, tidak ada yang kebetulan, karena Allah telah mengatur segala sesuatu dengan sempurna.
Sebelum menutup pengajian, Ustadz Salman meminta salah satu santri untuk langsung iqamat, karena memang setelah selesai pengajian akan langsung dilanjutkan dengan sholat isya berjama’ah.
“Nggak pulang, Sya?”
Aisyah menoleh ketika Fadila menepuk pundaknya. Dia yang masih duduk santai sembari membuka buku setelah sholat jama’ah hanya menggeleng.
“Kenapa? Waktu Ta’lim Idhofi masih lama, kok.”
“Males jalan, aku juga udah bawa kitab buat nanti.”
Fadila terlihat berpikir sejenak, namun segera ikut duduk di dekat Aisyah. Aisyah mengerenyitkan keningnya sembari memandang Fadila dengan heran.
“Kok, duduk? Nggak jadi pulang?”
“Kayak kata kamu, aku tiba-tiba jadi malas jalan.”
Aisyah hanya menggeleng tidak mengerti, lalu kembali melanjutkan aktivitas membacanya. Sebenarnya Aisyah tak benar-benar sedang membaca, dia hanya berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang saat ini dia rasakan.
Apa mungkin Aisyah memang harus pulang? Bisa jadi setelah meminta pendapat orang tuanya, semua akan menemukan titik terang. Mungkin memang itu adalah pilihan yang paling tepat.
Di tengah rasa kecamuk yang sedang berperang di kepalanya, sayup-sayup Aisyah mendengar suara petikan gitar dari gedung seberang. Dia tahu banyak dari santriwan yang memang pintar bermain alat musik dan tentunya pandai menyanyi.
“Al madad… Al madad… Al madad ya Rasulallah…”
Lantunan sholawat yang diiringi gitar tersebut rasanya tidak asing di telinga Aisyah, bukan mengenai sholawatnya saja namun ini mengenai suaranya.
Fadila yang duduk di dekat Aisyah ikut bersenadung mengikuti petikan gitar yang ada di seberang.
“Kamu tahu siapa yang main gitar itu, Dil?” tanya Aisyah pelan, memastikan agar Fadila tidak curiga dengan pertanyaannya. Memangnya untuk apa juga Fadia curiga, dia hanya sekedar bertanya.
“Tahu, tiap malam sebelum mulai belajar lagi, pasti ada suara gitar dari gedung sebelah.”
“Siapa?” Aisyah semakin penasaran, karena dia memang baru pertama kali mendengarnya. Apa karena Aisyah baru kali ini tidak kembali ke asrama setelah pelajaran pertama selesai.
“Kak Reyhan, dkk.”
Aisyah diam, telinganya tidak akan salah mengenali suara, ya suara yang sekarang tengah melantunkan sholawat adalah suara yang sama dengan imam yang selama ini telah mencuri perhatiannya.
“Kenapa, Sya?”
“Ah?” Aisyah cukup terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Fadila, tapi ia segera menggeleng.
“Nggak ada, Dil. Suaranya enak di dengar aja.”
Fadila hanya mengangguk menandakan dia sudah tidak butuh jawaban yang lain. Akan tetapi tidak dengan Aisyah, jawaban yang diberikan Fadila tadi semakin membuatnya penasaran dengan sosok sang pemilik suara tersebut.