Read More >>"> The Last Blooming Flower (Tunas Evolusi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Last Blooming Flower
MENU
About Us  

Lima butir kelereng besi itu saling bersinggungan satu sama lain. Mengayun teratur membentuk garus linier di atas meja kerja Darren.

Darren terpaku mengamati garis linier dari butiran keleng besi yang mengayun. Mendengarkan dentingnya, seakan terhipnotis. Meski yang ia amati dengan seksama itu adalah kekekalan momentum, percayalah, yang ada di pikirannya lebih dari sekadar hukum Newton. Ia tak sekadar memikirkan gaya eksternal yang bergerak linier pada benda seperti kelereng itu. Ia memikirkan kehidupan. Memikirkan dirinya. Teka-teki alam bawah sadarnya.

Evolusi Darwin mengatakan bahwa seluruh makhluk hidup di muka bumi ini berasal dari satu spesies yang sama. Artinya, manusia, hewan, dan tumbuhan, berasal dari satu spesies yang berevolusi sesuai hukum dan seleksi alam yang berlaku. Sedangkan manusia termasuk kingdom animalia, spesies paling pintar yang kemudian disebut homo sapiens. Manusia berevolusi begitu sempurna melebihi kelompok animal lainnya. Membentuk peradaban yang semakin maju dari waktu ke waktu. Tapi, mengapa Darren merasa dirinya tak ikut berevolusi seperti para leluhurnya?

Ia adalah manusia dengan ciri-ciri fisik yang amat sempurna. Tinggi tubuh 182 cm. Kaki panjang dengan ruas-ruas otot yang membentuk proporsi ideal. Rambut hitam mengkilap. Kulit kuning langsat seperti gadis keraton dengan sedikit gelap di beberapa bagian akibat kemalasannya memakai sunblock. Hidung mancung. Mata hitam bulat dengan lengkungan bulu mata yang panjang. Alis tebal simetris yang merupakan warisan paling sempurna dari kakek buyutnya. Sepertiga wajah bawahnya dipenuhi pangkal rambut janggut yang baru ia cukur. Sedikit turun, ada tonjolan seperti kelereng di leher yang bergerak pelan saat ia menelan ludah.

Kesempurnaan semu tampak mengisi sosok lelaki bernama Darren yang sedang duduk manis di kursi kerjanya. Tak hanya wajahnya yang menunjukkan keberhasilan evolusi manusia. Tetapi juga otak briliannya. Ia telah menjadi doktor di usianya yang ke dua puluh enam, tepatnya empat tahun lalu. Dan kini ia sedang memulai langkah barunya dari seorang peneliti di labolaratorium psikologi pusat menjadi pengajar profesional dan terlibat dalam birokrasi kampus swasta elite.

Semua tentangnya tampak sempurna. Tanpa orang lain tahu, dalam tubuhnya bersarang sebuah lubang yang selama ini ia artikan sebagai ‘kegagalan evolusi’.

Pintu ruang berderit, seseorang masuk ke ruang kerja Darren.

“Bagaimana? Kamu suka ruang kerja barumu?”

Pertanyaan itu terlontar dari perempuan berusia lima puluhan yang tak lain adalah Profesor Diana Marini, dekan Fakultas Psikologi kampus swasta elite tempat Darren memulai karier barunya sebagai pengajar. Wanita dengan rambut diikat rapi dan setelan jas abu-abu itu berjalan semampai menuju meja Darren. Menguarkan wibawa sebagai sosok yang mengajari Darren kehidupan. Ia mendekat lengkap dengan senyum hangatnya yang mekar anggun seperti bunga dahlia.

Darren beranjak dari kursinya. Menyambut kedatangan Profesor Diana dengan raut wajahnya yang tampak datar.

“Terima kasih sudah menerima saya di sini, Profesor,” ucap Darren seketika Profesor Diana sampai di hadapannya.

Dengan senyum yang sama, Profesor Diana menjawab, “Aku yang harusnya berterima kasih karena kamu bersedia mengajar di kampus ini.”

Darren berusaha melekukkan senyum di bibirnya. Tampak kaku dan canggung.

“Tidak usah dipaksa, Darren. Tidak perlu mencoba memanipulasi respon kesadaranmu.” Profesor Diana berujar.

“Di hadapan profesor saya tidak perlu melakukannya. Tapi orang lain perlu validasi,” kata Darren.

“Kamu bisa belajar sedikit demi sedikit, Darren. Di kampus ini kamu akan bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Stimulus sosial pastinya akan membawa sedikit demi sedikit perubahan yang lebih baik.” Lalu Profesor Diana memutar tubuhnya. Menatap jauh ke luar jendela ruangan Darren. “Kamu hanya perlu terbiasa dengan dunia luar, Darren. Kamu bisa mulai mempelajari hal-hal baru di sekelilingmu. Lalu menemukan jawaban untuk menutup ‘lubang’ yang berusaha kamu sembunyikan selama ini. Bekerja di labolatorium tertutup menguntungkan secara kasat mata karena membawa sensor yang sangat aman untuk alam bawah sadarmu. Tapi bersembunyi tidak akan membawa dampak baik. Kamu perlu membuka diri untuk melihat dunia yang lebih luas. Dimulai dari kampus ini.”

Penjelasan panjang Profesor Diana membuat Darren tak bisa menampik kebenarannya. Benar bahwa ia selama ini memilih hidup dalam persembunyian. Sebagai usaha menutupi ‘lubang’ besar dalam tubuhnya dari orang lain. Tetapi waktu terus merangkak maju dan lubang itu masih hinggap di tubuh Darren. Tidak ada alasan lain untuk Darren menolak tawaran Profesor Diana. Ia harus membuka diri dan berbaur dengan dunia luar.

“Bagaimana kalau ternyata ‘lubang’ itu adalah kegagalan evolusi, Prof?” Darren bertanya setelah beberapa saat merenung.

“Kamu tahu lebih dari siapa pun, Darren, tidak ada yang salah dari proses evolusi. Hanya kamu satu-satunya orang dengan ‘lubang’ itu di keluargamu. Bukan karena evolusi, bukan faktor genetik.” Profesor Diana menjelakan dengan pandangannya yang belum beralih dari jendela ruang Darren. “Lihat anjing itu, Darren,” lanjutnya bicara sambil menunjuk anak anjing yang sedang bermain dengan beberapa mahasiswa di taman kampus, “seminggu yang lalu anjing itu menangis. Ibunya baru saja meninggal karena radang usus. Dan anak anjing itu ada di sampingnya, menyaksikan kematian ibunya.”

Pandangan Darren ikut menuju anak anjing di taman yang sedang bermain dengan mahasiswa. Ia mendengarkan penjelasan Profesor Diana dengan seksama.

“Bahkan anak anjing pun bisa menangis karena merasakan emosi. Menurutmu, apa anak anjing itu memiliki emosi karena mempelajari emosi seperti yang selama ini kamu lakukan?” lanjut Profesor Diana bertanya. Lantas ia menatap Darren yang terdiam tanpa kata. Senyumnya yang anggun pun kembali mengembang. “Tidak, Darren. Anjing itu tidak mempelajarinya. Ia hanya melepaskannya. Hanya dengan melepaskan ia bisa merasakan emosi. Di tempat ini kamu bisa belajar melepaskan sekat yang kamu sendiri buat di masa kecilmu. Sekat yang mengurung emosimu di tempat yang tidak bisa dijangkau alam bawah sadarmu. Tidak harus seketika, pastinya, tapi perlahan-lahan sampai kamu tahu cara melepaskannya.”

Mendengarkan semua penjelasan Profesor Diana, Darren menganggukkan kepala. Di saat keluarganya sendiri terpecah belah, hanya Profesor Diana yang bersedia merawat Darren semasa kecilnya. Mereka memang tak memiliki ikatan darah. Tapi Profesor Diana hadir melebihi sosok orang tua bagi Darren.

“Baik, Prof. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan.”

Profesor Diana menepuk pelan pundak Darren. “Sudah lama kita nggak makan malam bersama Angeline. Nanti malam kamu bisa meluangkan waktu buat makan malam?”

“Angeline mau pulang, Prof?”

Sekilas Profesor Diana melirik arloji di tangan kirinya. “Sebentar lagi tiba.”

Sekali lagi Darren menganggukkan kepala. “Baik, Prof.”

“Sementara jadwal mengajarmu belum diputuskan, kamu bisa mengisi waktu buat mengenali seluk beluk tempat ini. Labolatorium psikologi  ada di sebelah gedung opera, barang kali kamu ingin ke sana.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Profesor Diana berjalan anggun meninggalkan ruangan Darren. Di saat itu juga Darren kembali melihat anjing diluar jendela. Berdiri tanpa kata, tanpa ekspresi, menatap anak anjing jenis pudel yang melompat-lompat di atas rerumputan taman bersama tiga mahasiswa perempuan.

Anjing pun bisa menangis.

Pandangannya tampak kosong. Sesuatu menariknya menuju ruang hampa nan sunyi. Ruang yang bersemayam di kesadarannya. Tempat paling damai yang menyerupai mimpi kanak-kanak. Tidak ada kebisingan. Tidak ada tempaan yang menyakitkan. Tidak ada bukti-bukti eksistensi dari emosi yang menjadikan segalanya menjadi rumit. Ruang paling masyhur yang membuatnya lelap. Ruang tempat sesuatu dari luar tubuhnya bersemayam.

Sekelebat wajah muncul di kesadarannya. Darren mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah jam saku berwarna perak yang terikat dengan sesuatu berwarna emas. Liontin berbentuk hati. Darren membuka kedua sisinya. Melihat wajah sukaria seorang gadis kecil yang menatapnya penuh ceria. Wajah manis dengan senyum yang begitu terang.

Dalam ruang hampa Darren yang begitu gelap nan sunyi, hanya wajah gadis itu yang memberikan sedikit penerangan. Wajah dari seorang yang tak ia ketahui siapa. Yang telah bersemayam di kesadarannya cukup lama. Mengiringi keberadaan lubang hitam yang ada dalam dirinya. Menjadi satu-satunya yang putih di antara semua yang gelap. Darren merasa terikat dengannya. Sangat melekat.

Kertap pintu menyadarkan Darren dari lamunan. Seorang pria muda yang ia prediksi adalah mahasiswa tingkat akhir berdiri di ambang pintu. Membawa selembar kertas berukuran A3 yang digulung seperti peta.

“Permisi, Doktor. Profesor Diana meminta saya memberi denah lokasi kepada Anda.”

*

Sesuai anjuran Profesor Diana, Darren mengisi hari pertamanya di kampus dengan berjalan-jalan mengelilingi lokasi. Berkenalan dengan suasana baru yang jauh berbeda dari suasana labolatorium tempat ia selalu menghabiskan waktu.

Udara yang segar mengisi paru-parunya dengan kejernihan alami, bukan dari penjernih udara elektronik di ruang kerjanya. Tanaman hijau yang tumbuh subur di seluruh area kampus seakan menjadi penyaring dari polusi. Suhu udara di tempat ini beberapa derajat lebih dingin dari suhu udara ibukota. Terasa sejuk dan menenangkan, seakan Darren tengah bercengkeram dengan aromaterapi dari bunga-bunga yang merebakkan bebauan segar.

Ia berusaha mengenali lebih dekat tempat ia akan menghabiskan banyak waktunya sebagai pengajar. Mempelajari setiap struktur bangunan yang memiliki sejarah cukup panjang sebelum reformasi. Mengamati para mahasiswa yang tampak produktif belajar di atas rerumputan taman bersama anjing kecil yang berguling-guling.

Di samping sebuah bangunan dekat taman langkah Darren berhenti. Pemandangan menarik dari dinding kaca ruang penarikan uang itu seketika membuatnya mendekat.

Missing Person!

Tulisan itu menarik. Darren membaca tajuk dari poster orang hilang itu. Bola matanya menajam. Membaca kata demi kata yang mengantarnya pada sebuah foto anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

Dilihat dari kertasnya yang masih baru, sepertinya poster ini belum lama ditempel. Artinya, seseorang kembali mencari anak yang hilang dua puluh tahun silam. Yang berarti juga, orang itu belum menyerah dan masih berharap akan menemukan anak yang hilang selama dua dekade. Ada harapan sekaligus rasa putus asa yang tersirat di dalam poster pencarian orang hilang itu. Darren membacanya dengan menyibak semua kesemuan yang menyertai. Membaca sesuatu yang lebih besar dari rangkaian kata-kata.

Menarik.

Pencarian penuh rasa putus asa. Darren terpaku pada kenyataan bahwa ada seseorang yang masih memiliki harapan setelah dua dekade berlalu dan menyebarkan poster orang hilang dengan informasi penuh keragu-raguan dan ketidakpastian.

Anehnya, foto anak kecil di poster itu terasa familiar di mata Darren. Seakan-akan ia pernah melihatnya. Dan semakin ia amati foto anak kecil itu, ia merasa menyatu dengannya.

Kening Darren mengernyit. Sekelebat ingatan masa kecil menariknya ke sebuah momen. Wajah laki-laki dalam poster itu. Wajah yang rupanya sangat ia kenali. Tak hanya mengenali, ia bahkan merasa bocah lelaki itu adalah bagian dari dirinya. Bagian dari lubang yang bersemayam dalam tubuhnya.

Teringat sesuatu, Darren merogoh saku celana hitamnya. Menarik keluar jam saku klasik yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Jam saku perak yang telah ia ikat dengan sebuah liontin emas berbentuk hati. Kedua benda itu telah ia perlakukan seperti jimat selama ini. Ia bawa ke mana pun ia pergi. Dan kalau hilang ia cari melebihi anggota keluarganya sendiri.

Ia mencocokkan liontin emas dalam genggamannya dengan liontin hati yang anak lelaki dalam poster itu pakai. Tampak identik. Darren segera menyakui kembali jam sakunya. Melihat nomor telepon yang tertulis di poster. Merekamnya baik-baik dalam ingatan. Lalu membaca detil alamat Kedai Bunga Peony yang menjadi jaminan pencarian orang hilang itu.

Saat menghapal alamat Kedai Bunga Peony, Darren menyadari sesuatu. Astaga. Alamat itu tidak jauh. Ia hanya perlu keluar gerbang kampus dan berjalan seratus meter untuk sampai di Kedai Bunga Peony. Benar. Sedekat itu.

*

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Play Me Your Love Song
2783      1157     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Campus Love Story
5291      1454     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Call Kinna
3560      1490     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
TO DO LIST CALON MANTU
1043      442     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
Hello, Kapten!
919      475     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
Listen To My HeartBeat
391      232     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Perhaps It Never Will
3484      1261     0     
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat. William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
Let's See!!
1366      662     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
DELUSION
3673      1331     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...