Satu minggu
sebelumnya.
MISSING PERSON!
Dicari
orang hilang dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Laki-laki,
tinggi perkiraan sekitar 175-185 cm.
Usia
30 tahun.
Memiliki
bekas luka di belakang telinga kiri.
Memakai
liontin berbentuk hati.
Hilang
20 tahun silam.
Barang
siapa yang menemukan pria 30 tahun dengan ciri-ciri seperti yang disebut, sila
menghubungi 08XX-XXX-XXX. Sebagai imbalan, yang bersangkutan akan mendapat
sertifikat tanah beserta bangunan Kedai Bunga Peony di Jalan Black Dahlia No 11.
Sebagai
referensi, berikut kami sertakan foto pada waktu hilang.
Bermodalkan
kertas poster anti air dan selotip, wanita itu menyebar foto kakaknya ke
penjuru tempat. Menimpali foto-foto usang bekas kampanye partai politik setahun
silam dengan foto kakaknya dalam poster pengumuman bertuliskan ‘missing person’.
Sora membangun
harapnya kembali setelah dua tahun terjebak dalam duka yang panjang. Asanya
yang sempat pudar sepeninggalan ayah, kembali mekar seiring merekahnya bunga naga
yang ia tanam bersama ayahnya tiga tahun silam. Ayahnya telah menanti lama
mekarnya bunga naga itu supaya kelak bisa menikmati buah pertama hasil rumah
kacanya bersama sang putri. Kini bunga itu tengah mekar, tak lama lagi buah
naga yang kemerah-merahan akan bisa dipetik. Tetapi ayah Sora sudah meninggal.
Sora tak ingin menikmati buah naga itu sendirian. Maka terbesitlah pemikiran
bulat untuk kembali mencari kakaknya yang telah lama hilang.
Setelah
menyebar kurang lebih lima belas lembar poster orang hilang ke seluruh tempat
yang bisa ia jangkau dengan sepeda listrik bertuliskan ‘Kedai Bunga Peony’,
Sora pun kembali ke kedainya. Sinar matahari sudah mulai menyengat pukul
setengah sebelas. Ia bergegas kembali meski di keranjang sepeda listriknya masih
ada kurang lebih seratus poster orang hilang yang belum ia sebar.
Setibanya di
kedai, seorang pria dengan tinggi tubuh 185 cm menyambutnya. Laki-laki dengan
senyum bak pangeran yang dipuja semua gadis. Lesung di pipi kiri yang seakan
menjadi tempat bersarang serbuk sari bunga yang telah lepas dari benang
sarinya. Pria bermata coklat muda itu tersenyum menawan seperti lekukan daun
bunga matahari yang tumbuh subur di halaman Kedai Bunga Peony. Gigi-giginya
yang seputih kelopak bunga bakung menampakkan diri di antara senyumnya yang
belum pudar. Ia berjalan menuruni anak tangga dengan langkahnya yang tegap dan
pasti. Menghampiri Sora yang baru tiba bersama sepeda listrik ungunya.
“Mas Vin!”
Namanya Gavin. Pria
jakung yang seperempat roman wajahnya berasal dari etnis Kaukasia-Amerika. Ia
kembali muncul di hadapan Sora setelah kurang lebih tiga tahun tak menampakkan
diri. Memberikan senyuman yang begitu cerah seperti mentari yang menyilaukan,
tetapi juga menyiratkan gelap seperti jutaan rasa bersalah yang membentuk
lengkung di langit. Sosok itu dulunya memiliki tempat khusus di hati Sora.
Namun itu dulu. Sekarang, Sora nyaris menganggapnya orang asing.
Nyaris. Tidak
benar-benar. Sora bukan wanita yang bisa memperlakukan orang lain dengan
sembarang cara. Sekalipun ia tak lagi mau mengharapkan atau bahkan memikirkan Gavin
yang memutuskan pergi meninggalkannya, ia tidak bisa bersikap tidak peduli. Kisah
yang mereka lalui terlalu panjang untuk dihempas oleh angin kekecewaan. Mereka
pernah memiliki cerita yang panjang. Kisah yang telah kusut.
Kepedulian Sora
hanya sebatas etika dan kesantunan. Seperti senyum yang saat ini ia paparkan.
Gavin tiba di
hadapannya ketika Sora baru selesai meluruskan jagang sepeda listrik. Hendak
mengunci sepeda itu saat tiba-tiba Gavin merangkulnya.
Sederet adegan
yang terekam dalam ingatan Sora kembali terbesit. Ingatan masa kecil. Dan masa
sebelum lelaki itu pergi. Saat-saat Sora menangis dan Gavin selalu ada
untuknya, memeluknya seperti hari ini. Namun masa itu sudah berlalu. Meski dipeluk
orang yang sama, kehangatan yang Sora rasakan tak seperti dulu. Tiada
ketenteraman yang datang dari seseorang yang telah memilih pergi
meninggalkannya.
“Kapan Mas Vin
kembali dari Amerika?” Sora bertanya dalam pelukan Gavin yang masing
berlangsung. Membuat pelukan itu pun lekas berakhir.
“Barusan,”
jawab Gavin sambil menunjuk koper-koper yang ada ia taruh di teras kedai.
“Baru tiba?”
“Ya. Aku baru
sampai.”
“Tumben nggak
bilang-bilang dulu kalau mau datang?”
“Aku mau kasih
kejutan.”
Kedua alis Sora
mengernyit.
“Kalau begitu
berhasil. Aku terkejut,” ucapnya sambil tersenyum kecil. Lalu ia merogoh saku
kardigan. Mengambil kunci kedai. “Masuk dulu, Mas. Kita ngobrol di dalam.”
Wanita itu
menuntun Garvin menggunakan langkahnya. Membuka pintu kedai bunga yang terbuat
dari kaca bening dua arah. Lantas masuk ke dalam bangunan kedai yang tersusun
dari dua lantai. Lantai pertama penuh dengan etalase tempat bunga-bunga itu
mekar adiwarna. Etalase satu terisi oleh buket bunga pesanan pelanggannya.
Berupa dua buket mawar merah, satu buket carnation,
dan satu buket gardenia. Di bawahnya
adalah keranjang kosong tempat ia akan menaruh berbagai macam tangkai bunga
yang ia petik dari rumah kaca. Beberapa etalase lainnya berisi pot bunga hias
berbagai jenis dan peralatan budi daya tanaman hias.
Lantai satu
hanya terisi oleh etalase bunga. Sedangkan di sisi barat, terdapat sebuah
ruangan yang sudah terkunci selama dua tahun. Sora membawa Gavin melewati
ruangan itu. Menaiki tangga menuju lantai dua yang menjadi tempat tinggalnya.
Yang terdiri dari satu kamar tidur, ruang televisi beserta dapur minimalis dan
satu kamar mandi. Sedangkan halaman belakang yang tampak saat wanita itu
menaiki tangga adalah rumah kaca tempat semua tanaman yang dijual kedai di budi
daya.
“Teh? Kopi?”
sahut Sora sambil membawa Gavin duduk di sofa. Ia menyalakan perangkat smart tv yang menampilkan video talk show seorang pembawa acara senior
bersama bintang tamu stand up komedian
terkenal.
“Apa saja.”
Terakhir, Sora
mengatur volume kecil pada speaker televisinya.
“Oh ya, aku
lupa. Aku baru mengeringkan kuncup bunga mawar buat dijadikan teh. Mas mau
coba?”
Di sofa, Gavin
hanya menganggukkan kepala. “Boleh.”
Sora berjalan
menuju dapur. Menyiapkan kuncup bunga kering dan memanaskan air dengan teko
elektrik.
“Gara-gara Mina
cerita soal pengalamannya beli teh bunga, aku jadi pengen nyoba teh mawar. Dulu
aku pengen coba ngeringin bunga buat aku jadiin teh, tapi sayangnya ayah nggak
suka teh. Mas tau, kan, minuman yang pernah masuk ke perut ayah cuman kopi sama
air putih.”
Dari dapurnya,
Sora bercerita. Wanita itu sibuk menuangkan gula ke dalam teko kaca yang telah
ia isi dengan beberapa kuncup mawar kering, sembari menunggu airnya mendidih.
Tak lupa juga ia memasukkan dua sendok madu liar yang beberapa bulan lalu ia
dapat dari teman karib ayahnya yang datang untuk memeriksa tanaman-tanaman di
rumah kaca.
Di sofa yang
lembut itu rupanya Gavin masih mendengarkan cerita Sora dengan baik.
“Mina?”
Nama yang tak
dikenal itu terlontar dari bibir Gavin. Kedua alisnya mengernyit penasaran
siapa gerangan gadis bernama Mina yang barusan Sora sebut.
“Pegawai
kedai,” jawab Sora sambil menunggu air dalam teko elektriknya mendidih.
“Wah, sekarang
kamu udah punya pegawai?” sahut lelaki itu dengan matanya yang berbinar.
Sembari
tersenyum kecil Sora menjawab, “Pegawai paruh waktu.”
“Baguslah. Aku
cukup khawatir kalau kamu ngurus kedai dan rumah kaca sendirian.”
Mendengar suara
Gavin, sinar mata Sora meredup. Ada keraguan yang begitu besar terlukis di
keningnya. Kalau benar mengkhawatirkannya, lelaki itu akan kembali lebih cepat
untuk Sora. Setidaknya ketika Sora kehilangan ayahnya dua tahun silam. Saat
Sora berada di titik terendah dalam hidupnya.
Gavin tidak
kembali saat Sora merasa sangat membutuhkannya. Bagi Sora saat ini,
kekhawatiran yang barusan terlontar dari mulut lelaki itu hanyalah omong kosong
belaka.
Sora menatap
kosong gelas-gelas kaca yang ia susun di atas nampan.
“Mas beneran
khawatirin aku?” tanya lirih Sora, nyaris tak ada yang mendengar selain dirinya.
Kepalanya
mengerling kemudian. Melihat Gavin yang sedang berdiri di dekat jendela.
Menghadap ke luar dengan kedua tangan yang ia masukkan ke saku celana. Pria itu
terdiam cukup lama. Mengamati dengan sendu sebuah objek di seberang jalan.
Berupa bangunan rumah makan yang sudah tutup beberapa bulan lalu karena
peralihan hak milik. Sudah pasti lelaki itu tak mendengar pertanyaan lirih
Sora.
Saat itu pula
teko elektrik di hadapan Sora mengerluarkan bunyi desing. Pertanda air yang
Sora panaskan sudah mendidih.
Sora langsung
mematikan teko elektriknya. Menuangkan air panas itu ke dalam teko kaca yang di
dalamnya berisi kuncup mawar kering dan madu. Ketiga unsur itu pun berpadu
menjadi satu dalam teko kaca yang penuh kepulan uap. Memperlihatkan air panas
di dalamnya yang berubah keemasan dan kuncup mawar kering yang perlahan melayu.
Sora membawa nampan berisi teko dan gelas kaca itu ke sofa ruang tengah. Duduk
dan kemudian menoleh melihat Gavin yang tampak serius menatapi gedung tak
terpakai di seberang jalan.
“Mau aku
tuangkan sekarang atau tunggu tehnya larut?”
Pertanyaan Sora
memecahkan lamunan Gavin. Lelaki itu segera membalik badannya dan mendekat.
“Boleh.”
Kening Sora
mengerut dalam. “Kenapa dari tadi Mas cuman bilang ‘boleh’? Aku berharap
jawaban yang sedikit lebih ... tegas,” ucap Sora sambil memicingkan kedua
matanya, menatap Gavin tajam.
Lelaki itu menguntai
senyum tipis. Ada yang membuatnya senang melihat Sora kembali mengomelinya
seperti ini. Sebab dulu, Sora adalah satu-satunya orang yang paling sering
mengomeli Gavin. Lebih sering dari nenek Gavin sendiri.
“Baiklah.
Sekarang saja.”
Setelah
mendengar jawaban yang ingin ia dengar, Sora menuangkan teh ke dalam kedua
gelas yang ada di atas nampan. Lalu mengambil salah satunya untuk diletakkan di
hadapan Gavin.
“Tunggu agak
dingin dulu. Tenggorokanmu bisa melepuh kalau minum air mendirih,” kata Sora.
Gavin hanya
menyimpulkan senyum. Terasa hampa. Kedua matanya tak bisa melepaskan pandangan
dari Sora yang sedang sibuk dengan teh bunga mawar.
“Aku
merindukanmu kamu, Sora.”
Kalimat yang
sudah tertahan cukup lama di bibir Gavin itu akhirnya terlontar. Di saat Sora
hendak meniup gelas berisi teh mawarnya.
Wanita itu
terdiam. Ekspresinya perlahan berubah. Serat-serat emosi membentuk lekukan
tidak biasa di garis matanya. Begitu pula senyum yang tersimpul mendengarkan
lelucon seorang stand up komedian di
layar televisi, memudar perlahan. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kata-kata
rindu dari seseorang yang tak lagi ia inginkan.
“Aku tidak
ingat kapan terakhir kali merindukan seseorang. Rasanya sia-sia.”
Terus terang
Sora menjawab. Selir udara yang mengelilingi mereka menjadi sedingin pawana di
Benua Antartika. Seketika itu juga membekukan raut wajah Gavin. Lelaki itu
tertegun oleh jawaban Sora yang tak lagi sehangat teh yang ia genggam.
Pandangan Sora
jatuh pada kepulan uap panas yang melayang dari gelas kacanya. Ia mengamati
bagaimana panas itu berpindah tempat dan hilang bagai aroma yang telah lesap.
Sembari memutar kembali memori kesadarannya beberapa tahun belakangan.
“... Aku di
posisi tidak bisa merindukan seseorang lagi. Siapa pun. Apa pun alasannya,”
ceritanya yang segera ia tutup dengan sesapan teh manis beraroma mawar.
Di sebelahnya,
Gavin yang sesaat masih terbekukan, mulai memecah pegun yang menguasainya. Ia
menyerongkan tubuhh, menatap Sora penuh rasa sesal.
“Sora, aku
minta maaf karena baru bisa kembali setelah—”
“Tidak
apa-apa.” Sora menyela Gavin yang mencoba menjelaskan sesuatu padanya. Sesuatu
yang tak perlu dijelakan. Senyum tipis wanita itu tersimpul. Terlihat sadis.
“Sudah enam tahun sejak Mas ninggalin aku. Aku sekarang sudah baik-baik saja.
Aku bertahan dengan baik di sini ... tanpa kamu.”
Alih-alih
kelegaan, kata-kata Sora justru membuat rasa sesal di bola mata Gavin makin
menggumpal. Sinar matanya sedu sedan melukiskan penyesalan terbesar sepanjang
perjalanan hidupnya.
Sora bahkan tak
tergerak melihat sinar mata yang begitu kelam itu. Ia sepenuhnya telah berbeda
dari gadis sembilan belas tahun yang menangis sesegukan di pelukan Gavin dan
melarang lelaki itu pergi meninggalkan dirinya.
“Buruan diminum
tehnya, keburu dingin.” Sora mengakhiri ketegangan ini dengan menawarkan
minuman pada Gavin. Tanpa kata Gavin mengambil gelas teh itu. Meneguknya perlahan.
“Kali ini berapa lama ada di Indonesia? Seminggu? Tiga hari?” lanjut Sora
bertanya.
Gavin meneguk
kembali teh itu sampai habis. Lalu mengembalikannya ke atas meja sofa.
“Aku udah nggak
kembali lagi ke Amerika. Urusanku di sana sudah selesai. Jadi aku bakal stay terus di sini.”
Sora
mendengarkan jawaban itu ketika sedang menuangkan teh dari teko ke gelas yang
telah kosong. Air yang ia kucurkan dari selobong teko kaca itu seketika
terhenti. Ia menolehkan kepalanya, menatap Gavin sembari meletakkan teko itu
kembali ke atas nampan.
“Mas udah nggak
kembali?” tanya Sora. Masih belum percaya apa yang barusan ia dengar mulut
lelaki yang enam tahun lalu meninggalkannya.
Anggukan pelan
itu. Di tambah raut wajah Gavin yang tampak serius, telah meyakinkan Sora bahwa
kali ini Gavin tidak membohonginya. Samar, lelaki itu menyimpulkan senyum.
Tatapannya kepada Sora seakan mengisyaratkan rasa sakit yang ingin ia tebus.
“Ya. Urusanku
di sana udah selesai, Ra.” Lelaki itu tersenyum tenang sambil kembali
mengangkat teh bunga mawar yang telah dituangkan Sora pada gelasnya. Menyesap
teh hangat manis yang merebakkan harum mawar yang lembut. Lalu melanjutkan
penjelasannya. “Bisnis orang tuaku di Amerika udah di-handle sama adikku yang baru lulus S2 dari Harvard. Mr James udah
ngebolehin aku lepas dari perusahaan buat merintis bisnis baru di Indonesia.
Kamu tahu, selama ini aku nggak berminat ambil posisi di perusahaan papa.
Mungkin aku terlalu mencintai negara ini. Aku nggak bisa tinggal di Amerika
lebih lama lagi.”
Mr James adalah
ayah Gavin yang berketurunan Amerika-Indonesia. Pemilik perusahaan furnitur
ternama yang telah bertahan dari generasi ke generasi. Mr James adalah generasi
ketiga, yang berencana menjadikan putra sulungnya, Gavin, menjadi penerus perusahaan
sebagai generasi keempat. Tetapi Mr James melakukan kesalahan besar ketika
menginginkan hal itu.
Sebelum usia
tiga tahun Gavin telah diasuh nenek dari ibunya yang dulunya tinggal di komplek
ini. Anak perempuan satu-satunya nenek yang menikah dengan orang keturunan
Indonesia dan berkebangsaan Amerika, membuatnya harus merelakan putri
tunggalnya ikut suaminya ke Amerika. Nenek pun tinggal berdua bersama sang
kakek. Namun tiga tahun setelah anaknya pindah ke Amerika, sang kakek meninggal
dunia. Nenek pun hidup sendirian. Dan Gavin yang baru berusia dua tahun beberapa
bulan diantarkan ibunya ke Indonesia untuk tinggal menemani sang nenek sementara
ibu dan ayah menetap di Amerika. Maka tak heran jika ingatan pertama Gavin
tentang dunia adalah neneknya yang penyayang, orang-orang komplek yang ramah,
dan cuaca Indonesia.
Gavin tidak
memiliki pilihan selain merasa terikat dengan Indonesia di mana ia kecil dan
dibesarkan. Meski ia lahir di Amerika, ia tak memiliki ingatan sedikit pun di
sana. Sebelum akhirnya Mr James menariknya ke Amerika setelah Gavin dua tahun
hidup sendirian sepeninggalan nenek. Dalam posisi perusahaannya sedang genting
karena sakit yang ia derita.
“Aku sangat marah
waktu ibu menjual rumah nenek ketika aku masih di Amerika. Gara-gara itu aku
berkonflik cukup intens dengan ibuku.” Pandangan Gavin terlontar keluar
jendela. Lelaki itu lagi-lagi menatap bangunan dua lantai di seberang jalan. “Tapi
aku udah behasil dapetin tanah itu lagi. Tanah tempat aku besar bersama nenek.
Aku berniat merekonstruksi bangunan di seberang jalan buat aku jadiin tempat
bisnis baruku.”
Pandangan Sora menuju
arah pandang Gavin. Gadis itu mengamati bangunan restoran yang telah beroperasi
selama kurang lebih tiga tahun. Yang kini berhenti karena pemindahan kekuasaan.
Dan ia baru tahu bahwa seseorang yang membeli tanah beserta properti di
seberang jalan adalah Gavin, yang tumbuh di atas tanah itu bersama neneknya.
Dulu sekali,
mereka tinggal berseberangan. Jalinan persaudaraan antara Gavin, Ian, dan Sora
sangat erat sampai suatu hari musibah menimpa Ian. Mereka bertiga hampir
seperti saudara yang sehidup dan seperjalanan. Ketika Ian hilang, jalinan itu
hanya terpaut antara Sora dan Gavin, yang sekaligus telah ia anggap kakak
lelakinya.
Memori itu
masih gemilang dalam ingatan Sora. Setiap momen yang mereka lewati bertiga
bersama Ian. Setiap sukacita. Sora selalu mengingatnya. Seakan ingatan itu
selalu dijernihkan setiap kali ia menatap tanah di seberang jalan, tempat
mereka bertiga dulunya sering bermain bersama.
Kepergian Ian
telah meninggalkan lubang yang begitu besar di hati Sora yang waktu itu baru
berusia lima tahun. Tetapi Gavin berhasil menutup lubang itu meski tak
sempurna. Gavin pernah berjanji akan menggantikan posisi Ian untuk Sora sampai
Ian ditemukan dan kembali bersama Sora. Namun Ian sampai kini belum kembali.
Dua puluh tahun lamanya. Dan Gavin mengingkari janji yang pernah dibuatnya.
Sora berakhir seorang diri dengan lubang dalam hatinya yang kian membesar. Ia
hanya bisa menatap sunyi rumah nenek Gavin yang lima tahun lalu digusur dan
dirobohkan.
“Waktu rumah
itu digusur, ayah mencoba bernegosiasi dengan para pekerja. Ayah yakin ada yang
salah dari penggusuran itu, karena bagi ayah Mas nggak mungkin jual rumah nenek
begitu saja. Tapi begtiu ayah tahu kalau Tante Mery yang menjual, ayah nggak
bisa berbuat apa-apa lagi.” Sora bergumam menanggapi cerita Gavin.
“Hubungan
antara aku dan ibu jadi sangat tegang waktu itu. Aku sampai keluar rumah dan
menginap di hotel selama beberapa minggu. Aku sangat marah. Untungnya Mr James
bisa jadi penengah di antara kami. Dia bilang aku bisa mendapat kembali tanah
itu setelah tugasku di perusahaan selesai.”
Di sebelahnya,
Sora yang mendengar cerita itu tersenyum aneh. Wanita itu tidak bisa
membayangkan seorang anak yang penurut seperti Gavin bertengkar dengan ibunya
sampai meninggalkan rumah.
Melihat senyum
aneh di bibir Sora, Gavin mengernyitkan alisnya.
“Kenapa?” tanyanya
curiga.
“Aku lagi
bayangin gimana pertengkaranmu sama Tante Mery. Apa kalian teriak-teriak kayak
tetanggaku waktu bertengkar sama tetangga lain? Atau saling mengolok dengan
lugas dan mengeluarkan kata-kata kotor seperti di film-film Hollywood? Mas juga ngeluarin kata-kata
kayak ‘mother fucker’ atau ... ‘bitch’?”
Tawa Gavin
langsung pecah mendengarkan pertanyaan konyol Sora. Suasana di antara mereka
tak setegang beberapa waktu lalu.
“Yang pertama,
tapi nggak pakek ‘mother’?”
“Fuck?” sahut Sora. Wanita itu mendapat
anggukan kepala dari Gavin. “Gimana cara nyebutinnya? Fuck ... atau ffuck?”
Pria itu makin
terkekeh mendengar Sora memutar lidahnya untuk menyebutkan kata ‘fuck’. Matanya berbinar-binar seakan ia
ingin mengumpat dengan cara yang indah. Dan itu sukses menggelakkan tawa Gavin.
Keduanya tertawa bersama. Kemudian Sora mengambil teh hangatnya untuk membasahi
tenggorokannya yang kering karena mengumpat.
“Senang bisa
lihat kamu ketawa lagi.” Gavin mengucapkannya setelah meneguk teh mawar yang hangat-hangat
kuku dari gelasnya.
“Senang juga
bisa lihat Mas lagi setelah tiga tahun kita nggak ketemu.” Sora membalas.
Wanita itu tak sedingin beberapa waktu lalu. Barangkali ia senang mendengar
Gavin tak akan kembali ke Amerika.
“Gimana
kabarmu?” tanya Gavin kemudian.
Kepala Sora
mengangguk. Mungkin baginya pertanyaan itu telat diajukan Gavin. Tetapi ia
hanya bisa mengangguk meski keadaannya yang sebenarnya tak sebaik yang
terlihat.
“Setelah ayah
meninggal, semuanya jadi tembah sulit buat aku. Tapi aku bisa bertahan meski
sendirian. Aku menggantikan tugas ayah mengurus rumah kaca, meski sesekali
dibantu Pak Herry, profesor teman ayah di kampus dulu. Juga belajar buat
meneruskan bisnis kedai bunga ayah. Setiap aku bekerja sendirian di rumah kaca
atau di kedai, seolah-olah ayah ada di sana. Mengajakku bicara panjang lebar
seperti yang biasanya dia lakukan. Pelan-pelan aku terbiasa tanpanya, meski
sesekali aku masih menangis merindukannya.”
Bola mata Sora
meremang merah dan gadis itu segera melempar pandangannya ke tempat lain.
Menenangkan diri dari bayang-bayang ayahnya yang terus hidup dalam kepalanya.
Sesal itu
kembali bergelayutan di wajah Gavin. Melambai-lambai ke arah Sora dengan
kesenduannya.
“Maafin aku,
Ra. Harusnya aku datang waktu ayahmu meninggal. Waktu itu aku sudah beli tiket
ke Indonesia. Jam tiga sore aku akan berangkat. Tapi begitu aku tiba di
bandara, ada telepon dari perusahaan yang bilang kalau—”
“Itu sudah
berlalu.” Sora memotong penjelasan Gavin, seakan ia tak mau mendengarkan apa
pun alasannya. “Toh aku sudah tidak berharap apa-apa lagi darimu. Jangan
terlalu merasa bersalah,” lanjut Sora.
Sora segera
beranjak dari sofa. Jam dinding di atas televisinya mengisyaratkannya untuk
segera turun ke rumah kaca dan menyiapkan buket bunga pesanan pelanggannya.
“Aku mau
bekerja dulu. Jam satu siang nanti kedai udah buka,” kata Sora. “Mas Gavin di
sini aja buat istirahat. Kamu pasti capek kan setelah penerbanganmu dari
Amerika?”
Tak mau berlama
lagi, Sora berjalan meninggalkan sofa. Namun baru beberapa meter ia melangkah,
Gavin menyelanya.
“Di depan tadi
aku melihat poster orang hilang. Kamu masih mencari Ian?” tanya Gavin.
Sora menghening
sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Dua tahun terakhir aku nggak sempat
melanjutkan pencarian Mas Ian karena masih berduka setelah ayah meninggal. Aku
masih belajar jalanin kedai ini tanpa ayah. Tapi sekarang aku udah bisa jalanin
bisnis kecil ini sendirian. Jadi aku putusin buat lanjut mencari Mas Ian.
Sampai kapan pun aku akan menunggu Mas Ian pulang.” Sora berserita. Kedua
matanya yang bulat itu menyendu. Dukanya atas meninggalnya sang ayah dua tahun
silam masih berlabuh. Dan kesedihanya atas tragedi yang menimpa kakak lelakinya,
Ian, masih meninggalkan lubang besar dalam tubuh Sora.
Gavin menatap pilu
ke arah Sora cukup lama. Jujur saja tatapan itu membuat Sora tidak nyaman. Ia
segera mengalihkan pandangan ke arah lain dan hendak melanjutkan langkahnya.
“Sora, Ian udah
menghilang dua puluh tahun lalu. Nggak mungkin kalau dia masih hi—”
“Stop.” Sora
menyela dengan tegas. Tatapan tajamnya menegaskan pada Gavin untuk berhenti. “Sejak
saat itu aku udah nggak berharap apa-apa lagi dari kamu. Aku juga nggak
berharap kamu menepati janji yang kamu buat sewaktu kita masih kecil. Dua puluh
tahun aku sudah bertahan tanpa Mas ian. Delapan belas tahun aku sudah bertahan
tanpa ibu. Enam tahun aku sudah bertahan tanpa kamu. Dan dua tahun aku sudah
bertahan tanpa ayah. Kali ini saja, pliss, jangan patahkan harapanku. Di saat
aku nggak punya siapa-siapa lagi buat bertahan, aku cuman punya harapan. Aku
nggak akan melarang kamu buat pergi lagi ke mana pun kamu ingin. Cukup jangan
patahkan harapanku buat mencari Mas Ian. Aku jauh lebih butuh harapan dari pada
kamu, Mas Vin. Aku berharap kamu mengerti.”
Setetes air
mengalir dari bola mata Sora. Wanita itu segera menyekanya menggunakan jari
tangan. Lalu kembali menatap Gavin di atas sofa, yang menatapnya penuh sesal.
“Aku nggak akan
ninggalin kamu lagi, Sora.” Gavin berkata tegas, namun terdengar tidak berdaya.
Sora tak
menggubris kata-kata itu dan meneruskan langkahnya menuruni anak tangga.
Berjalan menuju rumah kaca yang terletak di belakang kedai. Sembari itu angan-angannya
terbang jauh menuju sebuah momen.
Dua tahun lalu,
saat ayah Sora meninggal dunia, Sora amat membutuhkan Gavin. Tapi Gavin tak
pernah datang. Lelaki itu tak bisa menemani Sora menghadapi kesedihannya yang
mendalam akibat kepergian sang ayah. Saat itulah Sora benar-benar merasa
sendirian. Ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Dan sekarang Gavin
kembali. Lelaki itu kembali untuk menebus kesalahannya, di saat Sora sudah
berhasil bertahan setelah melewati masa-masa yang teramat sulit.
Sekarang semua
tak lagi sama. Sora telah bertahan tanpanya. Tanpa siapa pun. Keberadaan Gavin
kini tak lagi memiliki banyak arti. Sora tak lagi membutuhkannya. Tak lagi
membutuhkan siapa pun.
Di rumah kaca,
Sora mulai memotong beberapa tangkai bunga untuk buket pesanan pelanggan. Di
saat itu pula, Gavin menampakkan diri di ambang pintu rumah kaca. Tengah
memakai peralatan berkebun untuk membantu Sora menyiapkan selusin buket mawar
putih untuk pesta pernikahan.
*