Persidangan Mbak Yanti semakin dekat, tapi aku belum juga memberikan jawaban mengenai kesanggupanku menjadi saksi, jadi malam ini akan kutelepon Gian untuk memberitahunya bahwa aku sudah bersedia. Pintu kamarku ada yang mengetuk ketika baru saja mengambil ponsel. Mama kemudian masuk dan menghentikan niatku yang hendak menelepon Gian.
“Ada apa, Ma?” tanyaku, ketika Mama berjalan menghampiriku lalu duduk di pinggir tempat tidur.
Sejak kuberitahu mengenai aib yang dilakukan Papa, Mama memang jadi lebih sering berada di kamarnya, tapi masih bisa kuajak bicara dan tidak diam saja bak patung seperti saat kematian Papa kemarin.
“Mama mau ngobrol sama kamu.”
“Mau ngobrolin apa?”
“Ini soal Papa.”
“Apa lagi yang pengen Mama tau soal Papa?”
“Apa kamu tau sejak kapan mereka selingkuh?”
“Nggak tau, sih, tapi kayaknya sebelum Mbak Yanti jadi pengasuhku.”
“Kenapa kamu bisa mikir begitu?”
“Mama nggak inget siapa yang rekomendasiin Mbak Yanti buat jadi pengasuhku?”
“Ah, iya, Papa yang ngasih tau ke Mama.”
“Nah, aku mikirnya begitu.”
“Jadi, menurut kamu, sebelum Mbak Yanti ke sini, mereka udah punya hubungan?” tanya Mama. “Mama jadi kepikiran sesuatu. Apa Papa rekomendasiin Mbak Yanti buat kerja di sini biar mereka lebih leluasa selingkuh?”
“Aku juga sempet mikir begitu.”
“Mama makin nggak nyangka. Ternyata hubungan mereka udah selama itu.”
“Tapi, waktu Mbak Yanti baru-baru di sini, nggak ada yang aneh, sih.”
“Iya?” tanya Mama. “Kamu nggak pernah lihat mereka mesra-mesraan di rumah? Atau ada sesuatu yang sekiranya bikin kamu curiga?”
“Awal-awal, sih, enggak.”
“Kalau begitu, kamu tau mereka selingkuh itu sejak kapan?” tanya Mama. “Dan siapa yang ngasih tau?”
“Aku lihat sendiri. Nggak sengaja.”
“Lihat sendiri di mana? Nggak sengaja gimana?”
“Waktu itu, aku baru jadian sama seseorang,” jawabku sambil kembali mengenang peristiwa yang terjadi hari itu. “Pas mau ngasih tau ke Mbak Yanti, aku nggak sengaja lihat dia sama Papa di kamar.”
“Tunggu,” kata Mama. “Jadian itu maksudnya kamu pacaran?”
“Eh?”
“Kok malah bilang: eh?”
“Itu …”
“Pasti bener, kan, kamu pacaran?”
“Iya,” jawabku pada akhirnya. “Aku pacaran sama seseorang.”
“Siapa?”
“Ada lah pokoknya.”
“Kamu nggak perlu ngomong muter-muter,” kata Mama. “Cepet kasih tau ke Mama sekarang juga.”
“Aku pacaran sama Gian.”
“Gian?” tanya Mama. “Gian anaknya Mbak Yanti?”
“Kok Mama tau?”
“Tau apa?”
“Kok tau kalau Gian itu anaknya Mbak Yanti?”
“Mbak Yanti sering laporan ke Mama kalau kamu pulang malem. Katanya kamu lagi belajar sama anaknya. Namanya Gian. Makanya Mama tau.”
“Iya,” kataku. “Aku pacaran sama anaknya Mbak Yanti.”
“Kok bisa?” tanya Mama. “Apa yang bikin kamu mau pacaran sama dia?”
“Ya karena aku suka sama Gian.”
“Sekarang gimana?” tanya Mama. “Kamu masih pacaran sama dia?”
“Kenapa Mama nanyanya begitu?”
“Ya Mama jadi kepikiran sama hubungan kalian yang masih lanjut atau selesai gara-gara Papa selingkuh sama Mbak Yanti.”
“Nggak tau.”
“Kok nggak tau?”
“Aku sempet minta putus waktu tau kalau Mbak Yanti hamil. Tapi, sampai sekarang Gian belum nge-iya-in.”
“Kamu sendiri gimana? Memangnya mau putus dari Gian?”
“Enggak lah.”
“Kenapa nggak mau?”
Aku menundukkan kepala, diiringi dengan bibir yang semakin mengerucut karena cemberut. Pertanyaan Mama barusan rasanya malas sekali untuk bisa kujawab dan kubahas lebih jauh.
“Aku cinta sama Gian.”
“Jadi, kamu terpaksa minta putus gara-gara Mbak Yanti hamil anak Papa?” tanya Mama. “Apa kamu nggak marah ke Mbak Yanti?”
“Bahkan kalau aku nggak pacaran sama Gian, aku tetep marah ke Mbak Yanti karena mau berusaha rebut Papa.”
“Nah, kamu marah, kan?” tanya Mama. “Gara-gara Mbak Yanti, Papa mengkhinati kita. Gara-gara Mbak Yanti, Papa juga jadi meninggal. Gara-gara Mbak Yanti juga, kamu sekarang harus putus sama orang yang kamu suka.”
“Iya, bener.”
“Terus, sekarang kenapa kamu mau bantu Mbak Yanti?” Mama bertanya sambil melipat tangan di depan dada. “Apa yang bikin kamu mau bantuin dia?”
“Karena aku tau yang sebenernya,” jawabku. “Aku tau kalau Mbak Yanti nggak bersalah dan bukan pembunuh.”
“Jadi, kamu mau bongkar semuanya? Kamu mau ngasih tau ke semua orang kalau Papa udah selingkuh?”
“Mau nggak mau memang harus begitu, kan, Ma?”
“Kalau sudah begitu, kamu berharap Mbak Yanti bisa bebas dari tuduhan?”
“Iya.”
“Terus, keuntungan kamu setelah bantu Mbak Yanti apa?” tanya Mama. “Apa yang akan kamu dapet setelah bantu Mbak Yanti?”
“Emmm …”
“Nggak ada, Rara.”
Aku terdiam untuk beberapa detik, lalu:
“Kalau nggak ada memangnya kenapa? Aku mau bantu ikhlas kok.”
“Lugunya anak Mama.”
“Hah?”
“Kamu terlalu baik jadi orang makanya dimanfaatin.”
“Maksud Mama apa? Apanya yang terlalu baik?” tanyaku. “Maksud Mama aku dimanfaatin sama Mbak Yanti?”
“Gini deh, dengerin Mama,” kata Mama. “Apa kamu nggak mau balas dendam?”
“Balas dendam apa maksudnya?”
“Balas dendam ke Mbak Yanti,” jawab Mama. “Mereka berdua pantes dapet hukuman dari perbuatan mereka.”
“Mama ngomong apa, sih?”
“Maksud Mama, Papa sama Mbak Yanti berhak dapet hukuman karena udah selingkuh,” kata Mama. “Papa udah dihukum sama Tuhan dengan dicabut nyawanya. Sekarang, giliran Mbak Yanti yang juga harus dapet hukuman di dunia.”
“Aku nggak paham.”
“Mbak Yanti yang bikin keluarga kita jadi begini sekarang. Apa kamu tetep mau biarin dia hidup bebas setelah perbuatannya ke kita?”
“Jadi, menurut Mama, Mbak Yanti harus dapet hukuman juga dengan masuk penjara?”
“Nah, itu maksud Mama.”
“Mama tetep mau Mbak Yanti masuk penjara sebagai ganjaran karena dia udah selingkuh sama Papa?”
“Iya, bener,” jawab Mama. “Dia harus menderita juga seperti kita yang kehilangan Papa. Nggak adil rasanya kalau dia bisa hidup bebas setelah rasa sakit yang dia beri ke kita.”
“Kalau begitu, gimana caranya biar Mbak Yanti tetep di penjara?”
“Itu tergantung kesaksian kamu.”
“Maksudnya?”
“Kalau kamu bilang di persidangan bahwa Mbak Yanti memang bener yang dorong Papa, dia akan tetep dianggap sebagai pembunuh. Dia akan tetep dipenjara,” jawab Mama. “Makanya, tergantung kesaksian kamu nanti di pengadilan.”
“Maksud Mama, aku harus bohong di persidangan? Aku harus ngasih kesaksian palsu? Aku harus bilang kalau Mbak Yanti memang bersalah? Begitu?”
“Iya.”
“Tapi, aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Ada hukuman juga buat saksi yang ngasih kesaksian palsu. Aku takut nanti jadi ikut masuk penjara.”
“Kamu nggak perlu takut.”
“Nggak mau, ah. Nggak berani.”
“Jangan takut, Mama selalu siap lindungin kamu,” kata Mama.
“Beneran nggak apa-apa kalau nanti aku bohong?”
“Iya, kalau ada apa-apa nanti Mama yang ngurus.”
“Tapi, kalau aku nanti jadi putus sama Gian gimana? Gian pasti marah dan kecewa kalau aku nggak bilang jujur.”
“Ah, itu palingan dia marah cuma sebentar.”
“Apa iya? Mama yakin?”
“Kalau kamu nanti diputusin Gian, biar Mama yang bicara ke dia.”
“Mama mau bicara apa ke Gian?”
“Mama kasih deh apapun yang dia mau biar nggak mutusin kamu.”
“Apapun? Mama janji?”
“Mama janji, apapun. Dia minta rumah, tanah, uang, apapun deh pokoknya nanti Mama bakal kasih.”
“Gian itu suka main piano, Ma. Dia udah beberapa kali menangin kompetisi piano. Cita-citanya jadi pianis terkenal yang bisa ngadain konser tunggal di banyak negara.” kataku. “Apa Mama bisa wujudin itu buat Gian?”
“Mama bisa bikin sekolah musik sekarang juga khusus untuk Gian.”
“Yang bener? Mama nggak bohong?”
“Iya, makanya turutin kemauan Mama sekarang, ya?”
Bertambah lagi beban pikiran dalam kepalaku. Aku makin pusing.
Jika dipikir-pikir lagi, omongan Mama memang ada benarnya. Mbak Yanti pantas mendapat hukuman, setelah dia mengacaukan keluargaku, berusaha merebut Papa dari aku dan Mama, rasanya aku tidak rela membiarkan dia hidup bebas seperti biasa. Sepertinya benar kata Mama, bahwa Mbak Yanti pantas mendapat ganjaran karena sudah berusaha merebut suami orang, merebut ayah dari seorang anak.
Lagipula, tidak ada keuntungan apapun jika aku membantu Mbak Yanti. Malah, hal itu bisa jadi bumerang. Kejujuranku di pengadilan nantinya bisa menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan reputasi keluarga, lalu berakhir dengan aku yang akan disalahkan oleh anggota keluarga besar. Baru dibayangkan saja aku rasanya sudah tidak sanggup.
Semalaman aku jadi tidak bisa tidur, otakku terus bekerja, pikiranku berkelana ke mana-mana, kepalaku berisi banyak hal, berusaha menimbang jalan yang akan kupilih, memperkirakan banyak kemungkinan yang akan terjadi, berusaha menerawang masa depan, agar nantinya tidak akan ada yang kusesali di kemudian hari.
*****
Besok adalah hari persidangan Mbak Yanti, tetapi aku masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat, masih merasa bimbang dengan keputusan yang akan kuambil.
Seorang pengacara yang akan membantu Mbak Yanti di persidangan sudah menemuiku terlebih dulu dan mendaftarkanku sebagai seorang saksi. Tapi, ketika harinya hampir tiba, aku kembali merasa ragu-ragu, tentang apakah aku harus membantu Mbak Yanti atau tidak seperti keinginan Mama. Semua yang menyangkut soal itu betul-betul menyita seluruh isi kepalaku malam ini. Aku bahkan tidak bisa tidur setelah beberapa jam memejamkan mata, pikiranku terus berkelana tentang banyak hal.
Rencananya, aku akan berterus terang kepada semua orang di ruang persidangan mengenai peristiwa yang sebenarnya terjadi pada hari itu. Dengan begitu, Mbak Yanti tidak akan menerima hukuman seperti apa yang sudah dituduhkan. Dengan begitu, aku bisa membantu menegakkan kebenaran.
Tapi, setelah mendengar keinginan Mama agar tetap tutup mulut, aku jadi sedikit terhasut. Kurasa, Mbak Yanti juga perlu menderita, sebagai konsekuensi karena sudah berselingkuh dengan Papa hingga membuat semuanya berakhir seperti ini.
*****
Malamnya, kulihat ada banyak makanan yang tersaji di atas meja makan. Jumlahnya dua kali lipat lebih banyak daripada porsi biasanya. Sepertinya, akan ada tamu yang datang.
Mama dan Papa sebelumnya memang sering mengadakan acara makan malam di rumah, menjamu para koleganya sambil berbincang-bincang mengenai dunia bisnis. Aku juga sering diminta untuk ikut makan malam bersama mereka. Tapi, aku tidak pernah mau karena tidak ingin mati bosan selama berada di antara mereka.
Seperti saat ini, aku lebih memilih untuk mengambil beberapa lauk untuk kutaruh di piring kemudian kubawa menuju kamar.
“Nanti ada tamu, Ma?”
“Iya,” jawab Mama.
“Temen bisnis Mama, ya?” tanyaku.
“Kali ini bukan.”
Aku mengerutkan kening. Mama tidak pernah menyiapkan hidangan-hidangan mahal begini jika bukan untuk rekan bisnisnya.
“Nanti yang dateng namanya Pak Haris.”
“Pak Haris siapa?”
“Dia pengacaranya Mbak Yanti.”
Eh? Untuk apa Mama memanggil pengacaranya Mbak Yanti kemari? Bukankah besok, saat persidangan, pengacaranya Mbak Yanti akan membela klien-nya? Bukankah Mama ada di pihak korban yang melapor, sementara pengacaranya Mbak Yanti ada di pihak terdakwa? Bukankah mereka berada di pihak yang berbeda? Lalu, untuk apa Mama hendak menjamu pengacaranya Mbak Yanti dengan sebaik ini?
“Pengacaranya Mbak Yanti ngapain ke sini?”
Mama hanya menjawab dengan senyum tipis, membuatku semakin tidak paham.
Setelah isi piringku sudah penuh, Mama kemudian minta aku untuk makan di kamar saja. Katanya, Pak Haris sebentar lagi akan datang, jadi Mama harus bersiap-siap untuk menyambutnya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar walau masih merasa penasaran.
*****
Hari ini adalah hari persidangan digelar, jadi aku sebagai saksi harus memenuhi tugasku untuk datang ke pengadilan. Ini adalah pertama kalinya bagiku sehingga rasa gugup terus menyerang dan membuatku bolak balik ke toilet.
“Haira bisa bicara sebentar sama Bapak?” tanya Pak Haris.
“Eh?” kataku.
Aku bingung karena tiba-tiba Pak Haris menghadang jalanku yang baru keluar dari toilet.
Pakaiannya rapi dengan memakai kemeja putih berdasi yang dilapisi jas formal. Tatanan rambutnya juga rapi dengan sedikit uban.
“Pak Haris?”
“Iya, ini saya,” katanya sambil memasang senyum.
Aku balas tersenyum canggung.
“Bapak nyari saya? Ada apa, ya, Pak?” tanyaku masih dalam kondisi bingung.
“Ada yang mau saya obrolin. Penting.”
“Mau ngobrolin apa, Pak?”
“Bagaimana kalau kita duduk dulu?” tanyanya, kemudian minta aku untuk mengikutinya duduk di sebuah kursi tidak jauh dari toilet.
“Ada apa, Pak?”
“Kamu takut, nggak?” tanya Pak Haris.
“Takut sama apa, ya, Pak?”
“Ini, kan, pertama kalinya kamu masuk ruang persidangan. Memangnya nggak takut?”
“Takut, sih, sedikit.”
“Nih, Bapak sudah buat daftar pertanyaannya.”
“Pertanyaan buat apa, Pak?”
“Pertanyaan buat kamu.”
“Buat aku?”
“Iya, ini yang kira-kira akan ditanyakan sama jaksa ke kamu nanti di ruang sidang.”
“Oh?”
“Bapak juga sudah membuatkan jawabannya sekalian,” kata Pak Haris ke aku, sambil menunjukkan lembaran kertas yang berisi daftar pertanyaan beserta jawabannya.
“Ini kok jawabannya begini, Pak?” tanyaku karena merasa heran dengan jawaban yang tertulis di kertas itu.
“Mama kamu yang minta ke Bapak supaya nanti kamu jawab seperti ini.”
*****
Setelah ngobrol cukup lama dengan Pak Haris, Gian menelepon. Sebenarnya tidak ingin kuangkat. Namun dia terus menelepon sehingga membuatku tidak tega.
“Haira, semangat, ya! Aku sama Ibu berharap banyak ke kamu.”
“Gian,” kataku sedih.
“Iya ada apa?” tanya Gian.
“Maaf.”
“Maaf kenapa maksudmu?”
“Maafin aku.”
“Kamu kenapa, hei?”
“Maaf, Gian.”
*****
Sebelum persidangan dimulai, Mama menghampiriku, menanyakan mengenai kesiapanku, sekaligus berusaha memberikan dorongan semangat agar aku tidak gugup. Kubilang padanya, bahwa saat ini aku sedang gugup setengah mati justru karena disebabkan oleh permintaan Mama yang tadi diberitahu oleh Pak Haris.
“Kamu pasti bisa, oke?” kata Mama dengan menggenggam kedua tanganku seperti berusaha menyalurkan kekuatan.
“Aku takut, Ma.”
“Jangan takut, Sayang.”
“Aku takut.”
“Haira, lihat Mama.”
Mama meraih wajahku menggunakan kedua tangannya, lalu berusaha membuatku agar mau melihat lurus pada kedua matanya. Mama seperti berusaha meyakinkanku. Mama seolah berkata bahwa tidak akan terjadi apa-apa nantinya. Semua akan baik-baik saja, jadi jangan gugup dan takut.
Setelah berusaha memantapkan diri, aku mengangguk pelan pada Mama sebagai tanda bahwa aku setuju dengan permintaan yang dia inginkan.
Mama tersenyum lebar, lalu kembali memberiku semangat sebelum berlalu menuju ke dalam ruang sidang. Suasana di sekitar luar ruang sidang kini sudah sepi, karena sebentar lagi, persidangan mengenai kasus pembunuhan oleh Mbak Yanti akan segera dimulai.
Aku kemudian diminta masuk ke dalam ruang sidang setelah persidangan dimulai beberapa menit lalu. Kulihat keadaan ruang sidang yang penuh oleh banyak orang termasuk Mama dan keluarga besar Papa. Setelahnya, aku segera duduk di kursi yang telah disediakan.
“Saudara Saksi, apa hubungan Anda dengan terdakwa?” tanya jaksa kasus ini yang berdiri di depanku.
Aku diam sebentar karena berusaha menahan rasa gugup sekaligus takut yang masih dapat kurasakan.
“Mbak Yanti adalah pengasuh saya sejak dua tahun yang lalu,” jawabku dengan suara yang cukup pelan.
Jari-jariku terus bergerak gelisah di atas paha, merasa sangat gugup karena perhatian semua orang di ruang persidangan kini tertuju padaku.
Kedua mataku berusaha memandang ke depan, sambil terus berusaha menguatkan diri sendiri agar bisa menjawab semua pertanyaan hari ini dengan lancar.
“Jadi, hubungan Anda dengan terdakwa apakah bisa dibilang cukup dekat hingga sekarang?” tanya jaksa sambil sekilas melirik pada Mbak Yanti.
Sebagai jawaban, aku hanya memberi anggukan singkat.
“Lalu, apa yang Anda ketahui mengenai hubungan terdakwa dengan korban?” tanya jaksa lagi kemudian. “Menurut terdakwa, korban dan terdakwa sering melakukan hubungan gelap di belakang istri korban. Hubungan tersebut kemudian menghasilkan seorang janin yang kini sedang dikandung oleh terdakwa. Namun, korban tidak ingin bertanggung jawab sehingga mereka cekcok di lantai dua dan berakhir dengan korban yang tidak sengaja terdorong jatuh dari tangga,” kata jaksa. “Apa semua itu memang benar adanya?”
Pertanyaan itu sama persis dengan yang ditunjukkan oleh Pak Haris tadi. Semua kalimatnya tidak ada yang dilebihkan dan tidak ada yang dikurangi. Jika rasa curigaku benar, justru Pak Haris dan jaksa telah bekerja sama agar membuat Mbak Yanti dipenjara.
“Tidak, justru Mbak Yanti yang berusaha menggoda Papa saya duluan,” jawabku setelah memandang Mbak Yanti sekilas.
Aku menarik napas dalam, lalu berusaha bicara:
“Papa saya menolak dan Mbak Yanti merasa sakit hati, sehingga terjadi cekcok dan berakhir Papa saya yang jatuh didorong dari tangga. Jadi, bisa dipastikan kalau anak yang dikandung Mbak Yanti itu bukan anak dari Papa saya,” kataku sedikit keras dengan harapan semua orang di ruang sidang dapat mendengar kesaksian yang kuucapkan.
“Bukan seperti itu, Yang Mulia!” kata Mbak Yanti kepada majelis hakim.
Mbak Yanti kemudian berdiri sambil menggebrak meja.
“Saya benar-benar sedang mengandung anak Mas Damar!” kata Mbak Yanti seperti berteriak. “Anda pengacara saya, jadi tolong katakan sesuatu,” ucap Mbak Yanti sambil menolehkan kepala untuk memandang pada Pak Haris.
“Anda bisa semakin dirugikan jika banyak bicara, Bu,” kata Pak Haris dengan suara pelan, namun masih mampu terdengar olehku.
Saat kupandang Mbak Yanti, kenangan masa lalu mulai membanjiriku. Segala kasih sayang, perhatian, dan kelembutan yang selama ini dia berikan kini terputar dalam memoriku. Namun, pada akhirnya, inilah jalan yang kupilih. Mau bagaimanapun, aku tetap anak Papa, sehingga sudah kewajiban bagiku untuk melindungi nama baik Papa. Mau bagaimanapun, aku tetap anak Papa, sehingga tidak mungkin aku menusukkan pedang pada keluargaku sendiri. Lagipula, Papa sudah memberiku banyak hal selama ini. Aku bisa mendapatkan segala yang kuinginkan dengan mudah juga berkat Papa, sehingga sudah saatnya kini aku membalas jasa Papa padaku. Jadi, jangan salahkan aku, jika semuanya berakhir seperti ini.
Sebenarnya, sempat terbesit rasa kasihan pada Mbak Yanti. Tapi aku berusaha untuk tidak peduli. Kehormatan Papa lebih penting. Reputasi keluargaku lebih penting. Masa depanku sebagai penerus Papa juga lebih penting dari apapun.
“Apakah Anda berada di tempat kejadian pada waktu itu sehingga bisa berkata demikian?” tanya jaksa.
Sebulir air mata lolos dari pelupuk mataku, tapi segera kuusap dengan gerakan kasar. Kedua tanganku terkepal erat, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang kulakukan ini sudah benar. Aku bukan bermaksud untuk berbohong di pengadilan, melainkan aku hanya ingin membuat Mbak Yanti menderita.
“Benar, saya melihat semuanya dari awal,” jawabku dengan suara yang sedikit bergetar. Air mataku kembali turun ketika mengingat peristiwa yang terjadi pada hari itu.
“Apakah Anda melihat sendiri mengenai terdakwa yang dengan sengaja mendorong korban hingga terjatuh?” tanya jaksa ke aku.
Sebelum menjawab, aku berusaha mengendalikan tubuhku sendiri yang larut dalam berbagai emosi, dan kemudian aku berkata ke jaksa: “Benar, saya melihat sendiri Mbak Yanti yang dorong Papa saya.”
Suasana di belakang seketika riuh.
“Saya nggak bunuh siapapun!” kata Mbak Yanti sambil menangis.
“Saya ngelihat semuanya dengan mata saya sendiri!” kataku sedikit teriak.
“Saudara Saksi,” kata jaksa ke aku yang seperti berusaha meredam suasana. “Jika Anda melihat sendiri, lalu mengapa Anda diam selama ini?”
Aku kembali menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Mbak Yanti itu sudah seperti ibu saya sendiri. Awalnya saya nggak tega dia dipenjara, makanya saya diem aja,” kataku ke jaksa dengan suara gemetar karena gugup. “Tapi, setiap inget kematian Papa, saya merasa tidak terima. Papa sama Mama itu segalanya bagi saya. Sekarang, saya tau kalau saya nggak bisa diem terus. Maka dari itu, saya bersedia jadi saksi di persidangan ini. Setelah ini, saya minta agar Mbak Yanti dihukum seberat-beratnya karena sudah membunuh Papa saya.”
Aku berdiri dari dudukku, lalu memandang Mbak Yanti yang kini juga memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Akui kejahatan yang kamu perbuat, Mbak Yanti,” kataku ke Mbak Yanti.
Kulihat Mbak Yanti meneteskan air mata.
“Rara …,” panggil Mbak Yanti dengan suara lirih. “Kenapa kamu ngomong begitu?”
“Aku cuma bilang yang sebenernya terjadi hari itu,” kataku ke Mbak Yanti dengan tatapan datar.
“Semua itu nggak benar, Yang Mulia!” kata Mbak Yanti yang kembali berdiri.
“Apa yang saya bilang ini benar adanya,” kataku dengan suara yang lebih lugas dan stabil. “Saya nggak bohong.”
“Nggak, itu nggak bener!” kata Mbak Yanti panik. “Saya bukan pembunuh!”
Mbak Yanti keluar dari tempatnya duduk, lalu berdiri di depan majelis hakim, kemudian bersimpuh sambil berurai air mata.
“Percaya saya, Yang Mulia. Saya nggak membunuh siapapun. Itu semua fitnah,” kata Mbak Yanti.
“Apa yang Anda lakukan sekarang? Lebih baik Anda kembali ke tempat duduk Anda,” kata hakim.
Pak Haris ikut maju, berusaha menarik lengan Mbak Yanti agar dia mau duduk di tempatnya semula.
“Jangan bertindak seperti ini, Bu,” kata Pak Haris.
“Tolong jangan hukum saya. Saya nggak bersalah. Itu semua nggak benar.”
Mbak Yanti tetap bersimpuh. Dia menolak untuk dibawa kembali oleh Pak Haris.
“Saya tidak ingin nantinya harus melahirkan anak saya di penjara.”
Semua orang diam.
“Jangan penjarakan saya.”
“Ayo berdiri, Bu Yanti,” pinta Pak Haris.
“Saudara terdakwa,” panggil hakim. “Silakan kembali ke tempat Anda semula.”
“Saya mohon jangan penjarakan saya,” kata Mbak Yanti.
“Saudara terdakwa,” panggil hakim sekali lagi.
“Saya mohon,” kata Mbak Yanti.
Akhirnya Mbak Yanti berhasil dibawa untuk duduk lagi di tempatnya.
“Sekian dari saya, Yang Mulia. Terima kasih,” kata jaksa yang juga berlalu untuk duduk di tempatnya.
Waktu pun berlalu. Aku kini sudah tidak duduk lagi di kursi saksi. Aku ikut duduk di sebelah Mama untuk menyaksikan sidang yang masih berlangsung.
“Terdakwa Saudara Yanti Widarti telah membunuh Saudara Damar di dalam rumah Saudara Damar, namun alih-alih mengakui perbuatannya, Saudara Yanti Widarti justru mengatakan sesuatu yang tidak benar sehingga menimbulkan pencemaran nama baik terhadap Saudara Damar, maka dari itu saya memberikan vonis kepada Saudara Yanti Widarti berupa hukuman penjara selama lima belas tahun,” kata hakim pada semua orang di dalam ruang sidang dan kemudian mengetukkan palunya sebanyak tiga kali.
*****
Aku pulang dengan Mama ketika hujan mulai turun.
Di mobil, aku hanya terus menunduk karena sedang malas bicara. Jujur saja, aku merasa bersalah setelah mendengar vonis yang didapatkan oleh Mbak Yanti. Apalagi ketika melihatnya berlutut sambil memohon belas kasih. Dia memperjuangkan haknya sendirian, tanpa siapapun yang dapat membantu.
Mama di sebelahku berusaha mengajakku bicara. Mama bilang bahwa aku sudah melakukan sesuatu yang benar sehingga tidak perlu berpikiran macam-macam.
“Mama jadi, kan, nepatin janji Mama?”
“Janji apa?”
“Janji bikinin sekolah musik buat Gian.”
“Oh.”
Mama diam sebentar.
“Nanti Mama usahakan,” kata Mama ke aku.
“Aku bakal pegang janji Mama.”
“Kamu sesuka itu, ya, sama Gian?”
“Iya.”
“Sebenernya apa, sih, yang kamu suka dari dia? Banyak, loh, laki-laki lain yang jauh lebih baik dari si Gian itu.”
Aku mengerutkan kening, memandang Mama dengan perasaan tidak terima karena sudah merendahkan Gian.
“Anaknya temen Mama tuh banyak yang pinter-pinter udah pada sekolah di luar negeri, di Amerika, Aussie, Jepang, banyak deh pokoknya. Kamu nggak mau Mama kenalin sama mereka aja?” tanya Mama sambil tersenyum tipis.
Aku semakin merasa tidak terima.
“Mama kenapa ngomong begini?” tanyaku kemudian.
“Ya kali aja kamu bisa suka sama salah satu dari mereka. Keluarga mereka juga keluarga baik-baik. Kualitas diri mereka udah pasti nggak diragukan lagi. Kalau kamu nanti bisa menikah sama salah satunya, kalian pasti akan jadi pasangan yang sempurna.”
“Kalau aku nggak cinta ya buat apa?”
“Kenalan aja dulu, pelan-pelan.”
“Nggak ah, buang-buang waktu.”
Kukatakan ini bukan hanya karena aku cuma cinta ke Gian, melainkan juga karena aku tidak suka berkenalan dengan orang baru, beradaptasi dalam hubungan baru, memulai semuanya dari nol. Itu hanya akan membuang-buang waktu, membuat lelah saja.
“Atau kamu mau sama anaknya Pak Dewangga?” tanya Mama.
“Siapa lagi itu?”
“Kok malah nanya? Masa kamu udah lupa?”
Aku menggeleng. Seingatku tidak pernah bertemu dengan orang yang tadi disebutkan oleh Mama.
“Yang kemarin di acara pesta. Beliau yang nyapa kita pertama. Pengusaha batubara. Anaknya katanya sekarang kuliah di Jerman,” kata Mama menjelaskan.
Aku kembali menggeleng.
“Memangnya Mama sama Papa dulu juga begini?” kutanya.
“Begini gimana?” tanya Mama.
“Dijodohin sama orangtua.”
“Dikenalin, bukan dijodohin.”
“Terus, kalian pacaran?”
“Nggak pacaran, langsung disuruh nikah.”
“Kok Mama mau? Apa Mama udah cinta sama Papa waktu itu?”
“Belum, sih. Mama bisa mulai suka sama Papa itu karena dulu attitude, manner, dan cara berpikirnya bener-bener bagus karena didikan orangtuanya juga bagus. Makanya, Mama pengen kamu juga bisa nemu pasangan dari keluarga baik-baik, bukan dari anak broken home.”
“Aku nggak suka, ya, Mama jelekin Gian begini.”
“Mama cuma berharap, nggak bermaksud buat jelekin siapapun.”
*****
Ketika sedang membaca buku di kamar, Gian menelepon dan memberitahuku bahwa dia sudah berada di depan rumahku sehingga membuatku buru-buru keluar untuk menghampirinya walau hujan deras.
“Aku nunggu kamu.”
“Kenapa nggak masuk ke dalem?”
“Aku pengen kita ngobrol di sini.”
“Di sini hujan.”
“Aku nggak peduli.”
Merasa kesal dengan sikap Gian, aku tanpa banyak bicara segera menarik lengan Gian, berusaha untuk mengajaknya masuk ke dalam. Aku hanya tidak mau dia sakit lagi, seperti kemarin saat kami berada di UKS. Tapi, dia menolak dan berkata pelan dengan nada penuh intimidasi agar tetap di sini.
“Kukira aku udah kenal kamu luar dalem, ternyata enggak. Aku salah udah nilai kamu selama ini,” kata Gian ke aku. “Kamu bilang ke hakim kalau ibuku pembunuh. Sekarang dia harus dipenjara. Kamu udah fitnah dia. Kamu permalukan dia di depan banyak orang. Kamu nggak punya hati. Aku nyesel karena selama ini udah suka ke kamu. Bisa-bisanya aku jatuh cinta ke orang yang dengan tega menjerumuskan Ibu.”
“Aku minta maaf,” kataku.
“Ibu selalu sayang ke kamu seperti anaknya sendiri, tapi kenapa kamu setega ini ke dia?”
“Gian, aku minta maaf.”
Di tengah guyuran hujan, Gian meneteskan air mata. Kedua bahunya bergetar, memandangku dengan tatapan amarah.
Dapat kupastikan bahwa Gian telah sakit hati padaku.
Dapat kupastikan bahwa Gian sangat amat kecewa padaku.
Melihatnya terus menangis, aku bahkan tidak berani mendekatinya. Aku merasa bersalah di depan Gian. Ingin kukatakan ke dia, bahwa aku melakukan itu juga untuk masa depannya, agar dia tidak perlu jauh-jauh ke Inggris untuk mengejar cita-citanya. Ingin kukatakan bahwa Mama akan membuatkan sekolah khusus musik hanya untuknya. Tapi tidak bisa. Yang bisa kulakukan hanyalah ikut menangis bersama Gian.