Mama datang setelah beberapa menit kemudian. Dia langsung menangis histeris begitu melihat kondisi Papa, begitu pula dengan para asisten rumah tangga yang mungkin tadi diminta Papa untuk keluar sebelum berdebat dengan Mbak Yanti.
“Ra …” panggil seseorang yang tidak lain adalah Sita.
Kabar mengenai kematian Papa beredar sangat cepat, beberapa polisi bahkan harus menerobos kerumunan para tetangga yang berkumpul di depan rumah.
“Papa pergi, Sit.”
“Iya, kamu yang sabar.”
“Kali ini Papa perginya jauh.”
“Iya, yang sabar, Ra.”
“Papa memang sering pergi, tapi dia selalu pulang. Kali ini dia nggak akan pulang.”
“Kamu yang tabah.”
“Papa memang sering ninggalin aku di rumah. Dia juga nggak pernah nanya kabarku kalau lagi di luar kota. Tapi, kenapa sekarang aku ngerasa sedih karena ditinggal Papa?”
“Yang kuat, ya, Ra?”
“Aku belum siap.”
“Ini ujian dari Tuhan, sabar, ya?” kata Sita sambil terus berusaha menenangkanku.
“Aku nggak mau diuji seperti ini.”
“Tuhan ngasih kamu ujian karena tau kamu anak yang kuat.”
“Aku nggak mau,” kataku.
“Yang sabar, Ra, yang ikhlas.”
“Aku mau Papa kembali, Sita.”
“Mendingan sekarang kita kasih doa buat Om Damar, ya?”
*****
Sita masih memelukku, bahkan ketika malam semakin larut dan para polisi sudah keluar dari rumah.
“Kamu nggak pulang?” tanyaku ke Sita dengan air mata yang sudah mengering karena terlalu lama menangis.
“Kamu nggak apa-apa kalau kutinggal sendiri?” Sita balik nanya.
“Nggak apa-apa, ada Mama.”
Setelah Sita pergi, aku berjalan hendak menemui Mama di kamar.
Kulihat Mama duduk diam di tepi kasur, pandangannya menghadap ke depan, tapi tatapannya kosong, jadi aku berbalik, tidak ingin menggangu Mama yang pasti masih perlu waktu untuk menerima realita. Kulangkahkan kaki menuju kamar dan segera menuju kasur ketika Gian menelepon:
“Gian, Papa meninggal,” kataku ketika baru saja tersambung.
“Hah?”
Gian kedengarannya sangat terkejut.
“Papa?” tanyanya seperti sedang memastikan.
“Iya,” jawabku.
“Papa kamu meninggal? Serius?” tanyanya lagi dengan nada tidak percaya karena tiba-tiba mendapat sebuah kabar mengejutkan.
“Iya, tadi habis pulang sekolah,” kataku.
“Kenapa?” tanyanya cepat seperti orang yang betul-betul penasaran.
“Jatuh,” jawabku.
“Di mana?”
“Papa jatuh di tangga dari lantai dua.”
“Astaga Ya Tuhan …” katanya dengan nada sedikit agak histeris.
“Kalau Papa ada salah, tolong dimaafin, ya?”
Kutebak, Mbak Yanti juga pasti belum memberitahu Gian karena nada bicara Gian betul-betul seperti orang terkejut dan baru mendengar kabar ini pertama kali. Atau, Mbak Yanti sudah memberitahu, dan Gian pura-pura kaget?
Rasa-rasanya tidak mungkin.
Gian itu payah sekali jika disuruh berpura-pura, jadi sepertinya tidak mungkin dia sudah tahu sebelum aku meneleponnya. Nada bicaranya juga seperti betul-betul kaget ketika mengetahui kabar meninggalnya Papa, seperti tidak dibuat-buat.
“Ibumu nggak ke rumah?” tanyaku, dengan perasaan sedikit curiga ke Gian karena bagaimanapun Gian adalah anaknya Mbak Yanti.
“Enggak. Kata Nenek, siang tadi Ibu udah balik ke rumah kamu dan belum ke sini lagi sampai sekarang.”
Aku diam.
“Memangnya sekarang ibuku nggak ada di rumahmu?” tanya Gian, membuatku semakin bingung dengan keberadaan Mbak Yanti saat ini. Tadi dia langsung kabur setelah mengetahui bahwa Papa sudah tidak bernyawa. Jika bukan di rumah Gian, lalu dia ada di mana?
“Enggak,” jawabku.
“Kenapa di saat-saat begini Ibu malah nggak ada?” tanyanya, bagai sedang bertanya ke dirinya sendiri.
“Nggak tau.”
“Sebentar, biar kucoba telepon Ibu.”
Detik berikutnya, Gian memutuskan sambungan telepon denganku. Aku kembali berbaring di kasur, kemudian pintu kamarku ada yang mengetuk. Salah satu asisten rumah tangga masuk. Dia memberitahu bahwa Mama mengajakku menginap di hotel mulai malam ini untuk sementara waktu.
Tadinya, aku mau ikut Mama, tapi kemudian tidak sengaja ketemu Sita yang kebetulan baru keluar dari rumahnya. Dia lalu minta ijin ke Mama untuk membawaku menginap di rumahnya saja dan Mama mengijinkan.
“Sit, kamu tadi ada sempet lihat Mbak Yanti, nggak, waktu ke rumahku?” tanyaku dan dijawab gelengan oleh Sita.
*****
Esok paginya, Gian mengirimiku pesan dan bertanya mengenai keadaanku, lalu kubilang kondisiku masih berantakan seperti kemarin. Kuberitahu dia bahwa aku berada di rumah Sita jika dia ingin bertemu.
Setelah Gian tiba di depan rumah Sita, aku keluar dan menghampirinya.
“Aku masih belum bisa hubungin Ibu,” kata Gian, langsung, ketika aku sudah berdiri berhadapan dengannya.
“Kamu beneran nggak tau Mbak Yanti ada di mana?” kutanya dengan nada mendesak.
“Enggak.”
Aku diam dan percaya kepadanya.
“Beneran aku nggak tau. Nenek juga pas kutanya bilang nggak tau,” kata Gian dengan suara pelan.
Aku diam memandangnya.
“Aku juga nggak tau Ibu di mana, dari semalem nggak bisa dihubungin sampai sekarang,” kata Gian lagi.
Aku masih diam memandangnya.
“Apa kamu tau kenapa ibuku tiba-tiba nggak ada kabar begini?” tanya Gian dengan raut wajah bingung.
“Kemarin, Papa sempet bertengkar sama Mbak Yanti,” kataku, akhirnya angkat bicara.
“Bertengkar kenapa?”
“Sebelum Papa meninggal, mereka bertengkar karena Papa bilang kalau dia nggak mau tanggung jawab sama anak yang dikandung Mbak Yanti.”
Gian terkejut.
“Mereka bertengkar di deket tangga. Makanya, Papa jatuh kemudian meninggal,” kataku dengan suara hampir ingin menangis karena ditahan. Gian semakin terkejut setelah mendengar penuturanku barusan.
“Jadi, gara-gara Ibu? Papa kamu meninggal gara-gara ibuku?” tanyanya.
“Bukan,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Terus, gimana?”
“Mbak Yanti bilang kalau mau ngadu ke Mama. Mereka rebutan hp yang dipegang Mbak Yanti, terus Papa jatuh.”
Gian diam.
“Sudah, ya. Aku mau siap-siap buat pemakaman Papa,” kataku.
“Dimakamin jam berapa?” tanya Gian ingin tahu.
“Sekitar jam sepuluh,” kujawab dengan suara pelan, entah kenapa, mungkin karena aku masih tidak minat untuk bicara dengan siapapun.
“Haira, kalau mau nangis jangan ditahan, ya,” kata Gian, kedua matanya memandang lurus ke aku.
“Iya,” kataku. “Aku ke dalem dulu.”
“Semoga semua amal ibadahnya Om Damar diterima di sisi Tuhan.”
“Aamiin. Aku masuk, ya?”
Gian mengangguk.
“Oh, iya, ini kamu habis ini mau pulang apa langsung ke sekolah?” kutanya.
Aku baru sadar, Gian ke sini tidak pakai seragam sekolah, melainkan pakai kaos biasa ditambah jaket dan topi, tapi wangi tubuhnya menandakan bahwa dia sudah mandi. Kalau dia pulang ke rumah lagi jam segini untuk ganti baju, bisa-bisa dia telat sampai di sekolah.
“Pulang, habis ini aku ke sini lagi buat nemenin kamu,” jawab Gian.
“Oh.”
“Kamu ke dalem gih, siap-siap.”
Aku berjalan masuk ke dalam rumah Sita. Sementara Gian juga melangkahkan kaki menuju motornya yang dia parkir di luar gerbang.
“Gi!” kupanggil Gian, ketika dia hendak memakai helm.
Aku diam berdiri melihat Gian menolehkan kepalanya untuk memenuhi panggilanku, matanya memandangku penuh tanya ingin tahu mengapa aku memanggilnya.
“Kasih tau aku kalau ketemu Mbak Yanti, aku mau ngobrol,” kataku dengan suara sedikit dikeraskan karena khawatir Gian tidak dengar dari tempatnya berdiri.
Sebetulnya, aku juga tidak tahu apa yang harus kubicarakan jika sudah bertemu dengan Mbak Yanti. Pokoknya, aku ingin ketemu dengannya terlebih dulu.
Kuharap Mbak Yanti masih mau bertemu denganku setelah peristiwa kemarin.
Sebelum Gian menjawab, aku sudah berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Gian yang masih berdiri.
Ketika aku selesai bersiap-siap, Mama menelepon dan bilang ke aku untuk segera keluar karena dia sudah menungguku.
Siap atau tidak, pagi ini adalah hari terakhir aku bisa melihat wujud Papa. Rasanya seperti mimpi. Jujur saja, aku betul-betul belum bisa ikhlas dan rela melepas kepergian Papa untuk selama-lamanya.
Meski dia bukan ayah yang sempurna, aku tetap menyayanginya sebagai seorang anak. Meski dia sering tidak memerhatikanku, sering meninggalkanku kesepian di rumah, bahkan kejadian baru-baru ini berhasil membuatku sangat kecewa padanya, tapi mau bagaimanapun, rasa sayangku jauh lebih besar daripada rasa benciku ke Papa.
Kupandang Papa yang kini terbujur kaku, dengan warna pucat yang menghiasi seluruh kulit tubuhnya. Aku pelan-pelan berjalan mendekat, sambil menahan air mata yang bersiap untuk tumpah kembali, menghampiri Papa yang sudah tidak bisa lagi tersenyum ketika melihat putri semata wayangnya.
Papa terlihat sangat tampan seperti di foto pernikahannya dengan Mama, tubuhnya yang dibalut jas hitam menggetarkan seluruh perasaanku. Lalu kuletakkan sebuah ikat rambut di dekat tangannya, bukan karena benda itu merupakan benda kesukaan Papa, melainkan karena benda itu adalah salah satu kenangan yang paling membekas bagiku ketika Papa pertama kalinya berhasil mengikat rambutku.
*****
Ketika Om Janu, adik laki-laki Papa akhirnya tiba setelah menempuh perjalanan jauh dari benua Eropa, prosesi pemakaman kembali dilanjutkan.
Cuaca tidak terlalu terik hari ini, ketika rombongan yang membawa peti mati Papa berjalan beriringan, termasuk aku yang berjalan tepat di bagian belakang peti mati bersama Mama, mengenakan pakaian serba hitam, dengan perasaan sesak tak karuan. Kakiku terus berjalan lemas menuju tempat peristirahatan terakhir Papa, sambil tanganku membawa keranjang yang penuh oleh bunga tabur.
Tidak hanya keluarga besar yang mengantar ke tempat pemakaman. Banyak kolega dan karyawan Papa yang turut hadir memberikan doa, hampir semuanya datang dengan membawa karangan bunga.
Sedikit yang kukenal, selebihnya betul-betul asing bagiku karena hampir tidak pernah ikut acara-acara bisnis Papa. Kupikir, Papa sepertinya memiliki hubungan yang cukup baik dengan para kolega bisnisnya, serta merupakan seorang atasan yang disenangi oleh para karyawannya. Semua itu terlihat jelas ketika Papa hendak dimasukkan ke liang lahat. Banyak yang meneteskan air mata untuk Papa. Beberapa orang bahkan rela turun ke dalam liang untuk bantu menguburkan. Mereka seolah tidak keberatan jika pakaian yang dikenakan akan kotor, berbaur begitu saja dengan para penggali kubur.
Di antara banyaknya orang yang datang, kudapati Gian ada di tengah-tengah para pelayat, berdiri di samping neneknya. Kupikir, Mbak Yanti juga datang. Ternyata tidak, sama sekali tidak terlihat eksistensinya di bagian mana pun.
Proses pemakaman berlangsung lancar, aku terisak lagi ketika peti mati Papa mulai ditimbun tanah, perasaan tidak rela kembali muncul, diiringi pula dengan rasa tidak tega ketika membayangkan Papa akan sendirian di dalam tanah. Mama menangis, keluarga besar Papa juga menangis. Apalagi nenek yang sepertinya masih belum bisa ikhlas untuk melepas kepergian anak sulungnya.
Gian kemudian menghampiriku. Aku masih menangis pelan sambil memeluk Mama.
“Papa kamu udah tenang di sana,” kata Gian sambil mengusap-usap bahuku untuk berusaha menenangkan.
Tidak kurespons, meski telingaku bekerja dengan baik mendengar perkataan Gian. Bibirku gemetar berusaha menahan tangis yang tak kunjung berhenti.
“Jangan ditahan, nangis aja nggak apa-apa,” kata Gian lagi, dibarengi dengan senyum tipis yang terbentuk di wajahnya.
“Papa …” kataku pelan, hanya itu yang keluar dari mulutku.
Papa sudah benar-benar ditimbun tanah sekarang. Bunga tabur yang tadi kubawa diambil oleh Om Janu. Kulihat dia menaburkan bunga ke atas makam kakaknya sambil berusaha menguatkan diri. Tangannya bergerak gemetar dengan kedua mata tidak beralih dari makam sang kakak.
Selamat jalan, Papa.
*****
Ketika prosesi pemakaman sudah selesai, para pelayat mulai berangsur-angsur meninggalkan lokasi, kini hanya tersisa beberapa orang saja di sekitar makam Papa.
“Suatu hari nanti, kita ketemu lagi, ya, Pa?” kataku, mengusap batu nisan Papa dan berusaha untuk tegar.
Setelah itu, aku meninggalkan makam Papa bersama Mama dan keluarga besar.
*****
Di jalan pulang, semua orang yang satu mobil denganku kompak diam. Kematian Papa yang begitu mendadak betul-betul mengguncang seluruh anggota keluarga besar.
Aku sendiri juga masih terguncang, ingatan mengenai kematian Papa kemarin masih tercetak jelas dalam kepalaku, ketika langkah kakiku menghampiri Papa dan mendengar denyut jantungnya untuk terakhir kali.
Baru beberapa menit Papa dimakamkan, tapi rasanya sudah rindu. Perasaan rindu yang kurasakan kali ini sangat berbeda dengan perasaan rindu ketika Papa sedang di luar kota karena pekerjaan. Apalagi ini adalah terkahir kalinya Papa pergi, namun kepergiannya tanpa pamit, tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa memberikan salam perpisahan, tanpa janji untuk bisa kembali dalam beberapa hari ke depan.
Aku baru betul-betul paham mengenai perasaan rindu kepada Papa, ketika raganya sudah tidak ada di dunia.
*****
Selesai dari acara pemakaman Papa, aku ikut Mama kembali ke hotel, kemudian Mama minta aku untuk makan. Sementara Mama kembali mengurung diri di kamar hotel, katanya masih kenyang saat kuajak makan berdua.
Aku sama sekali tidak berselera makan, dan sepertinya Mama juga begitu, terlihat dari pipinya yang sedikit tirus dan wajahnya yang pucat karena kemungkinan Mama tidak makan sejak kemarin. Kubiarkan saja Mama di kamarnya, karena aku sendiri juga tidak memiliki tenaga untuk membujuk orang yang sama-sama sedang berduka.
Ketika mengintip dari luar, yang kulihat hanyalah Mama yang duduk di tepi kasur dengan pandangan kosong. Posisi yang sama seperti kemarin. Tubuhnya tidak bergerak seperti patung. Dari situ, dapat kuasumsikan bahwa Mama masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang datang menghampiri hidupnya secara tiba-tiba seperti ini.
Maka kutinggalkan Mama bersama kesendiriannya. Mama pasti masih perlu banyak waktu untuk bisa menerima, sementara aku sendiri juga tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu Mama.
*****
Malamnya, dua orang dari kepolisian mendatangiku di hotel, ingin meminta keterangan mengenai kematian Papa.
“Apakah Anda mengetahui penyebab korban terjatuh dari tangga?” tanya salah satu dari mereka ketika kami duduk berhadapan.
“Saya tidak tau.”
“Lalu, apa yang Anda ketahui?” tanyanya lagi. “Karena menurut keterangan saksi lain, sebelum meninggal dunia, saat itu korban sedang berada di rumah bersama pengasuh Anda yaitu Saudara Yanti Widati.”
Aku diam.
“Saudara Haira, kami mohon kerjasamanya.”
“Saya baru pulang dari sekolah ketika ngelihat Papa meninggal di deket tangga,” jawabku kemudian, dengan tangan saling bertaut gelisah.
Aku sengaja berbohong kepada mereka, karena tidak ingin ditanya-tanyai lebih jauh. Jika kubilang Papa jatuh karena bertengkar dengan Mbak Yanti, itu bisa menjadi sebuah kesalah pahaman, bisa-bisa Mbak Yanti dituduh yang tidak-tidak, sementara aku tahu betul bahwa realitanya Mbak Yanti tidak bersalah.
Kuharap, kasus ini tidak akan meleber ke mana-mana, tidak perlu dibesar-besarkan.
“Ketika Anda pulang, apakah tidak ada orang lain di rumah tersebut?”
“Maaf, Pak. Saya butuh istirahat,” kataku.
“Baiklah. Kami akan kemari lagi besok.”
Mereka pun bangkit dari duduknya. Teh yang dihidangkan untuk mereka baru diminum sedikit. Kubiarkan saja cangkir itu di meja, langkahku menuju kamar yang ditempati Mama, ingin melihat kondisi Mama sekarang.
Kuhampiri Mama yang sedang berbaring membelakangi pintu dengan suara isakan kecil yang dapat kudengar dengan jelas.
“Mama … jangan sedih terus …”
*****
Gian menemuiku di hotel keesokan harinya. Sebenarnya aku masih malas bertemu orang lain bahkan Gian sekalipun, tapi aku juga tidak mau membuatnya sedih karena tidak bisa bertemu denganku setelah jauh-jauh kemari. Gian tidak datang dengan tangan kosong, melainkan sambil membawa bekal berisi makanan, katanya ini adalah masakan dari neneknya untukku, dia khawatir aku belum makan dari kemarin. Segera kuterima pemberian darinya, lalu membuka penutup dengan senyum yang kupaksakan. Setelah memasukkan satu suapan ke dalam mulut, aku berucap terima kasih ke Gian, makanannya enak, walau masih belum bisa mengembalikan selera makanku.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh, kuminta Gian untuk segera keluar dan berangkat ke sekolah.
Gian pergi.
Aku masuk lagi ke dalam hotel dan mengamati makanan pemberian Gian yang belum habis. Kumakan lagi dengan sangat terpaksa. Hal itu kulakukan hanya untuk menghargai usaha Gian dan neneknya.
*****
Sejak Papa meninggal, duniaku rasanya kosong. Semangatku dalam menjalani hari seperti lenyap terbawa hembusan angin.
Aku bisa langsung menangis ketika tiba-tiba teringat almarhum Papa. Suaranya, wajahnya, serta kebiasaannya ketika di rumah. Semua itu masih tercetak jelas dalam memori kepalaku, seperti berusaha mengurungku dalam perasaan sedih yang tak berkesudahan.
Kematian Papa betul-betul membuat aku dan Mama sangat terpukul.
Mama bahkan belum mau makan dari semenjak Papa dinyatakan sudah tiada, membuat tubuhnya semakin mengkhawatirkan. Setiap ditawari makan baik oleh aku maupun orang lain, Mama selalu menolak hanya dengan gelengan kepala. Mama juga masih menolak untuk bicara, bersikap layaknya tuna wicara kepada semua orang. Hal itu semakin menambah rasa cemasku, takut Mama stress, apalagi sampai depresi.
Bahkan, Mama sempat pingsan semalam karena tidak makan apapun. Dokter kemudian memasangkan selang infus di tangan Mama. Setidaknya dengan begitu kondisi tubuh Mama bisa lebih baik.
Meski begitu, dokter berpesan agar Mama tetap dibujuk untuk makan, walau hanya sedikit, setidaknya perut Mama terisi makanan. Maka dari itu, pagi ini kuhampiri Mama di kamarnya sambil membawakan sarapan untuknya.
Sepertinya kondisi Mama sudah lebih baik, kulihat dia sedang menonton televisi dan bukan hanya melamun dengan pandangan kosong.
Kuhampiri Mama dan ikut duduk di pinggir kasur. Kuletakkan gelas di atas meja kecil samping tempat tidur. Tangan kiriku membawa mangkuk berisi bubur ayam, salah satu makanan kesukaan Mama. Porsinya sedikit karena aku takut Mama masih belum mau makan. Meski begitu, aku tetap berharap Mama mau makan walau tidak sampai habis.
“Mama, aku bawain bubur ayam,” kataku, berhasil membuat perhatiannya teralih dari televisi di depan.
“Kamu beli? Apa disediain sama pihak hotel?”
“Beli,” jawabku.
“Beli di mana kamu?”
“Di sekitar hotel. Tadi nggak sengaja lihat penjualnya waktu jogging,” jawabku.
“Makasih, ya,” kata Mama. “Udah lamaaaaa banget Mama nggak makan bubur ayam. Jadi kangen.”
“Enak, nih, Ma, buburnya masih anget.”
“Mungkin baru buka itu pas kamu beli.”
“Mau dimakan sekarang apa nanti, Ma?”
“Sekarang aja.”
“Rara suapin, ya?”
“Nggak usah, nggak usah,” kata Mama. “Kamu pikir Mama ini anak kecil apa? Sampai perlu disuapin segala?”
“Eh?” kataku bagai tak percaya, karena Mama tiba-tiba mau makan, bahkan tanpa perlu bujuk rayu terlebih dulu.
“Udah, Mama bisa makan sendiri. Kamu juga sana buruan sarapan, terus mandi. Hari ini ke sekolah, nggak?”
“Iya, sekolah,” jawabku.
“Kamu selama ini di sekolah gimana? Ada yang jahatin, nggak?”
“Nggak ada kok.”
“Yakin? Kalau ada yang jahatin kamu di sekolah, jangan takut. Langsung bilang aja ke Mama. Kalau ada yang bikin kamu nangis, bilang juga ke Mama. Jangan diem. Pokoknya, kalau ada apa-apa, lapor semuanya ke Mama. Karena mulai sekarang, kita cuma punya satu sama lain. Oke?”
Aku terkesiap, merasa takjub bisa mendengar Mama bicara panjang lebar begitu, padahal selama dua hari sebelumnya Mama selalu diam, menolak untuk bicara dengan siapapun.
Sepertinya, Mama pelan-pelan sudah bisa menerima kepergian Papa. Mama sepertinya sudah mulai bisa berdamai dengan luka batin yang dideritanya.
“Iya, nanti kalau ada apa-apa, aku bilang ke Mama.”
“Oh, iya, kamu kemarin ada lihat Mbak Yanti?” tanya Mama. “Dia dari tadi pagi Mama hubungin tapi nggak bisa-bisa.”
“Enggak, Ma,” jawabku. “Mungkin lagi di rumahnya.”
“Tapi, harusnya dia ijin dulu ke Mama. Kemarin juga dia kayaknya nggak ada waktu acara pemakaman Papa.”
“Memangnya ngapain Mama nyari Mbak Yanti?”
“Ya, kan, seharusnya dia di sini ngurusin kamu.”
“Aku bisa ngurus diriku sendiri.”
“Tetep aja, Mama masih mempekerjakan dia.”
“Nanti deh, aku cari. Nanti aku tanyain ke anaknya Mbak Yanti.”
“Mama lupa, itu anaknya namanya siapa, sih?”
“Anaknya Mbak Yanti namanya Gian. Temen sekelas aku, Ma.”
“Oh, kalian satu sekolah?”
“Iya.”
“Ya udah, nanti tolong tanyain ke Gian, ya?”
Aku mengangguk sebagai jawaban. Sementara Mama mulai makan buburnya sambil mengalihkan pandangan ke televisi.
Aku sengaja tidak bilang ke Mama bahwa Gian adalah pacarku, karena takut Mama tidak setuju seperti yang dikatakan Mbak Yanti saat berdebat dengan Papa kemarin.
Aku kemudian keluar kamar setelah memastikan Mama memakan bubur ayamnya. Jam segini aku harus segera siap-siap sekolah. Meski masih berduka, aku tetap tidak mau ketinggalan pelajaran. Tadi pagi, sudah kubilang ke Gian dan Sita bahwa aku akan ke sekolah hari ini. Sebelumnya, biasanya Mbak Yanti yang menyiapkan semua keperluanku, tapi karena dia sedang menghilang entah kemana, sekarang aku yang harus menyiapkan semua peralatan sekolahku sendiri. Tidak lama kemudian, Gian mengirimi pesan untuk memberitahu bahwa dia sudah menunggu, jadi aku segera keluar setelah pamit ke Mama.
“Haira.”
“Iya? Ada apa?” tanyaku setelah mendengar panggilan dari Gian.
“Cuma mau kasih tau. Aku kangen.”
“Kangen siapa?”
“Ya kamu lah,” jawab Gian. “Siapa lagi emang?”
“Kok bisa? Aku, kan, lagi sama kamu sekarang.”
“Kangen lihat kamu senyum,” jawab Gian. “Boleh lihat?”
“Lihat apa?”
“Lihat kamu senyum, boleh nggak?” tanya Gian.
“Kamu ngomongin apa, sih, tiba-tiba?”
“Kamu dari kemarin belum senyum. Aku kangen,” jawab Gian. “Mau lihat kamu senyum bentar aja.”
“Kalau aku nggak mau?”
“Kalau kamu nggak mau …” kata Gian sambil berpikir sebentar. “Aku mau nyanyi. Dengerin baik-baik.”
“Nyanyi apa?”
“There goes my heart beating, cause you are the reason,” Gian mulai nyanyi ala kadarnya. “I’m losing my sleep, please come back now.”
“Wah, aku nggak nyangka kamu bisa fasih nyanyi Inggris.”
“And there goes maman racing. And you are the reason.”
“Ha ha ha, kok jadi maman racing?”
“Kamu nggak tau kalau si Calum Scott itu orang Indonesia?”
“Ha ha ha, Indonesia mana?”
“Orang Nganjuk dia, tetanggan sama Billie Eilish.”
Aku ketawa lagi. Lalu kusambung lirik Gian tadi dan kami jadi nyanyi bareng di atas motor. Kupikir, tadi Gian memang sengaja mengubah liriknya demi menghiburku dan sekarang usahanya berhasil!
Tidak berapa lama, kami akhirnya sampai di sekolah.
Kami jalan bareng ke kelas setelah keluar dari parkiran. Di kelas, aku ketemu Sita, dia sempat heran karena melihat wajahku yang berseri-seri. Pikirnya aku masih sedih. Lalu kubilang padanya untuk tidak perlu khawatir karena aku sudah lebih baik dari kemarin.
Tapi, rasa senang itu tidak berlangsung lama. Aku kembali merasa murung bahkan hampir menangis lagi ketika tidak sengaja melihat salah satu makanan kesukaan Papa di kantin.
“Kenapa?” tanya Gian.
“Tiba-tiba keinget Papa.”
“Haira, maafin ibuku, ya?”
“Aku tau Mbak Yanti nggak salah. Nggak usah minta maaf ke aku.”
“Tetep aja, ini semua gara-gara perbuatan ibuku.”
“Papa juga salah,” kataku berusaha membuat Gian agar tidak terus-terusan merasa bersalah seperti ini. “Dua-duanya memang salah.”
“Kamu rindu masa-masa kita pacaran dulu, nggak?”
“Enggak, sih. Aku bahagia sama hubungan kita yang sekarang.”
“Tapi, aku rindu kita yang dulu,” katanya. “Kita yang sering bertengkar, sering putus, terus balikan lagi. Aku rindu waktu kita masih jadi bocah baru kenal cinta. Masalah kita yang dulu paling cuma itu-itu aja. Kalau sekarang rasanya berat.”
“Iya, ya? Sekarang kenapa semuanya jadi begini, ya?”
“Aku jadi takut sekarang,” kata Gian. “Kalau nanti kita putus lagi gimana?”
“Kalau kita putus lagi, kamu yang harus ngajak aku balikan lagi kayak kemarin.”
“Kalau nanti kita putus lagi, kamu mau kita balikan lagi? Janji?”
“Janji.”
“Terus, kalau nanti habis balikan putus lagi?”
“Enggak, nggak bakal putus lagi. Aku nggak bakal ngelepasin kamu lagi nanti.”
Wajah Gian yang sejak tadi murung, kini berubah jadi secerah matahari, tersenyum lebar setelah mendengar kalimat yang kuucapkan.
Melihat Gian yang tampak senang, aku juga ikut tersenyum memandangnya. Sedikit banyak senyuman Gian bisa meredakan kesedihan yang kurasakan. Sepertinya, aku memang sudah terlalu dalam jatuh cinta ke Gian.
“Haira, mau jalan-jalan besok?”
*****
Hari ini libur, Gian sudah janji mau mengajakku ke taman bermain. Aku juga sudah bilang ke Mama. Mama mengijinkan. Katanya, aku memang perlu menyegarkan pikiran di tempat yang menyenangkan.
“Aku bawa handycam,” katanya.
“Ngapain bawa handycam segala?”
“Ya buat nanti. Apa kamu nanti nggak mau ngerekam sesuatu?”
“Tapi, kan, bisa pakai hp?”
“Kalau pakai ini, hasil rekamannya lebih stabil.”
“Oh, gitu,” kataku. “Tapi, nanti kamu yang ngerekam, ya?”
“Gantian lah,” katanya. “Masa aku terus?”
“Nggak mau.”
“Kalau tanganku pegel, nanti gantian.”
“Gi, nanti kita bikin ala-ala vlog gitu, gimana?”
“Boleh,” jawab Gian. “Tapi, nanti kamu gantian yang pegang?”
“Nanti kita harus kompak.”
“Kompak ngapain?”
“Ya kompak kayak waktu bilang ‘Hi, guys’ gitu-gitu.”
“Ini, kan, buat kita pribadi, Ra?”
“Ih, ya nggak apa-apa.”
“Kita, kan, nggak perlu nyapa siapa-siapa?”
“Biar lebih mirip gitu sama vlogger-vlogger.”
“Terserahmu. Tapi, nanti beneran mau gantian yang pegang handycam-nya, kan?”
“Nanti kita nyobain wahana apa aja, ya?”
“Kamu daritadi belum jawab pertanyaanku,” kata Gian.
“Kamu berani, nggak, nyoba yang ekstrem-ekstrem begitu?” tanyaku.
“Jangan naik yang begituan.”
“Kamu takut?”
“Enggak. Siapa yang takut?”
“Terus, kenapa nggak mau?”
“Nanti kameranya jatuh. Kalau mau naik, kamu nanti yang pegang.”
“Ya udah, jangan naik yang begituan,” kataku. Memang, sejak tadi, aku sengaja jahil ke Gian dengan tidak menanggapi permintaannya soal memegang kamera. “Kita nanti naik wahana yang lain aja.”
“Mau naik apa aja?” tanya Gian. “Nanti mau sampai jam berapa?”
“Sampai puas.”
“Oke. Tapi, nanti gantian yang pegang kameranya?”
“Udah, ah. Yuk, berangkat sekarang!”
Gian sempat berdecak kesal.
Kami kemudian berangkat, tidak perlu menempuh waktu lama untuk sampai di taman bermain. Di tempat ini, handycam yang dibawa Gian mengabadikan setiap kegiatan yang kami lakukan, dan mungkin, nantinya hasil rekaman ini bisa berguna untuk menghapus kerinduan.