Semuanya berjalan seperti biasa pada hari ini. Tidak ada yang istimewa selain melihat Gian mengikuti kompetisi piano malam nanti.
Hari ini adalah akhir pekan, biasanya aku hanya akan bermalas-malasan di atas kasur, tapi tadi pagi aku bangun dengan perasaan antusias. Seiring perputaran jarum jam, rasanya semakin tidak sabar menanti malam. Bahkan, aku sudah memilih-milih pakaian yang cocok untuk menonton Gian. Aku juga sudah membeli buket bunga untuk kuberikan pada Gian setelah kompetisi usai.
Mbak Yanti katanya juga akan nonton, dia bilang sudah ijin ke Mama dan Papa, jadi kuminta saja dia untuk berangkat bareng denganku, walau rasanya malas sekali duduk satu mobil dengan Mbak Yanti, tapi kupikir Gian pasti senang jika melihatku datang bersama ibunya. Kuharap kedatanganku dan Mbak Yanti nantinya bisa menambah rasa percaya diri untuk Gian.
Sebelumnya, aku sudah berencana akan datang dengan Sita. Sita pernah bilang bahwa dia ingin sekali melihat Gian main piano. Dia penasaran dengan pesona Gian ketika memainkan piano yang selalu kuelu-elukan.
Sayangnya, sudah tiga hari ini dia tidak bisa keluar rumah, karena diharuskan istirahat sebab sedang demam. Sebagai teman, tentu saja aku sudah menjenguknya pada hari pertama dia tidak masuk sekolah.
Dia bilang, sih, sedang demam, suhu badannya memang benar tinggi saat kupegang, tapi ketika aku menjenguk Sita, dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. Wajahnya memang terlihat sedikit pucat. Tapi mulut cerewetnya tidak mencerminkan orang sakit yang butuh istirahat.
Sita masih saja cerewet bahkan ketika sedang sakit, menjadi orang yang penasaran mengenai hubunganku dengan Gian, katanya dia ingin tahu apakah kami berdua masih sering bertengkar dan putus nyambung seperti dulu. Kubilang ke dia, tidak ada yang terjadi antara aku dan Gian. Kami baik-baik saja. Bahkan jika diingat-ingat, aku dan Gian belum pernah bertengkar setelah memutuskan untuk balikan.
Kalau dipikir-pikir lagi, hubunganku dengan Gian berjalan lebih baik daripada saat dulu, saat kami pertama kali pacaran, sering sekali aku dan Gian bertengkar karena masalah-masalah sepele yang akhirnya membuat kami jadi sering putus nyambung. Rasanya sangat berbeda sekali dengan hubungan kami yang sekarang. Rasanya sekarang baik aku maupun Gian bisa menjadi pribadi yang lebih pengertian pada satu sama lain.
Misalnya, seperti saat ini, saat Gian harus benar-benar fokus pada latihan pianonya karena akan mengikuti kompetisi nanti malam. Jika dulu, mungkin aku akan kesal ke dia karena jadi jarang bertemu, menganggap dia tidak memproritaskan aku sebagai pacarnya, membuat kami akhirnya bertengkar.
Sekarang aku sudah mengerti. Meski Gian adalah pacarku, tapi dia juga punya kehidupan sendiri, punya kesibukan sendiri, sehingga wajar jika dia tidak bisa selalu ada untukku dalam dua puluh empat jam penuh.
Jika Gian bilang bahwa dia sedang sibuk, sedang melakukan kegiatannya sendiri yang menyita waktu, justru seharusnya aku bisa mengerti dan tidak boleh bersikap egois sebagai pacarnya. Toh, yang dia lakukan juga bukan merupakan hal negatif yang akan berdampak pada hubungan kami.
Lagipula, komunikasi masih dapat dilakukan tanpa perlu bertatap muka di era serba modern seperti sekarang.
Memang benar, aku dan Gian jadi jarang bertemu langsung beberapa hari terakhir, selain saat di sekolah, atau saat dia menemuiku ketika sedang tidak latihan. Jika ditanya apakah aku kesal atau tidak, tentu saja jawabannya iya, karena aku sebenarnya juga merasa kesal dengan situasi yang mengharuskan kami jadi jarang bertemu seperti ini.
Tapi kupikir kekesalanku itu tidak perlu dibesar-besarkan. Tidak perlu sampai marah-marah ke Gian karena menganggap dia tidak memprioritaskanku. Lagipula, kami tidak akan selamanya jadi jarang bertemu seperti sekarang. Masih banyak hari-hari di masa depan yang bisa kami lalui dengan kebersamaan.
Maka dari itu, alih-alih melampiaskan kekesalan ke Gian, aku lebih memilih untuk menghargai kesibukannya, mendukung apa pun hal positif yang dia lakukan. Aku merasa tidak ada yang perlu dipusingkan asal Gian tidak sampai mengabaikanku hingga berhari-hari.
Terlalu sibuk melamunkan soal Gian, aku tanpa sadar jalan hendak ke dapur tanpa melihat ke depan, hingga tidak melihat Mbak Yanti yang baru saja keluar dari kamar mandi, membuat kami akhirnya tidak sengaja bertabrakan, seketika mengembalikanku terhadap realita: “Ah, Mbak, maaf, aku nggak sengaja.”
Mbak Yanti juga kaget, bahkan sepertinya dia terlampau kaget, sampai membuat benda kecil yang dibawanya terjatuh di lantai. Ketika mataku tidak sengaja melihat benda itu, aku segera membungkuk untuk meraihnya. Mbak Yanti juga buru-buru membungkukkan badan untuk meraih benda itu, tapi tanganku bergerak lebih gesit.
Kemudian kupandangi benda itu dengan tatapan tidak percaya. Telapak tanganku sontak terangkat ke depan mulut karena betul-betul terkejut: “Mbak … ini … garis dua …”
Belum selesai aku bicara, Mbak Yanti buru-buru mengambil benda kecil itu dari tanganku, lalu menjauh entah ke mana, meninggalkanku yang mendadak terkena syok setelah melihat hasil tes yang ada pada benda tersebut.
Sesaat tadi, aku yakin sekali tidak salah lihat, bahwa muncul dua garis berwarna merah muda pada test pack yang tadi tidak sengaja jatuh dari tangan Mbak Yanti, dan garisnya juga betul-betul terlihat jelas. Segera kuambil ponsel untuk mencari tahu mengenai arti dari kemunculan dua garis itu, kemudian informasi yang kudapatkan semakin membuatku tidak bisa berkata-kata.
Badanku seketika langsung lemas, “Mbak Yanti hamil … nggak mungkin.” Saking syoknya, aku bahkan rasanya tidak mampu berdiri. Tubuhku menyender di tembok, kemudian merosot dan berakhir dengan terduduk di lantai.
Pikiranku berkecamuk, memikirkan bahwa Mbak Yanti sedang hamil anaknya Papa. Tidak mungkin anak itu adalah anak Mbak Yanti dengan ayahnya Gian. Mereka sudah lama bercerai. Bahkan, Gian pernah cerita bahwa kedua orangtuanya sudah beberapa tahun tidak saling ketemu. Hal itu semakin memperkuat asumsiku bahwa Mbak Yanti memang mengandung anak dari Papa, mengandung adikku sekaligus adiknya Gian.
Detik ini juga, duniaku rasanya runtuh, hancur berkeping-keping. Aku mulai menangis dengan posisi masih terduduk di lantai, bahkan sampai terdengar suara isakan, hingga membuat beberapa asisten rumah tangga bingung ketika mereka melihatku.
Karena para asisten rumah tangga bingung dengan aku yang menangis di depan kamar mandi, mereka kemudian membawaku menuju kamar sambil berusaha menenangkanku. Aku kemudian minta mereka untuk keluar dan mengunci pintu rapat-rapat. Kembali tubuhku merosot lemas, bersandar di pintu kamar dengan isak pilu, menangisi kehendak semesta yang tidak memiliki rasa belas kasih.
Aku terus terisak pelan sampai tidak sadar sudah berapa jam menangis dalam posisi seperti ini. Kepalaku pusing, hidungku pasti merah sekali.
Aku kemudian bangkit pelan-pelan setelah lelah menangis dan seketika terkejut ketika melihat posisi jarum jam:
“Astaga! Ya Tuhan! Gian!”
*****
Ini sudah lebih dari jam setengah sepuluh malam, kompetisi pianonya pasti sudah usai, jadi aku memilih untuk menunggu Gian di depan rumahnya.
“Haira?” panggil seseorang yang tidak lain adalah Gian.
“Gian!” kataku antusias ketika melihat Gian akhirnya pulang dengan memegang gagang payung di tangan. Hujan malam ini cukup deras hinga membuat hawa dingin terasa menusuk kulit. Nenek Gian kemudian ijin masuk ke dalam rumah terlebih dulu dan meninggalkan kami berdua di teras.
“Kamu nggak kedinginan di sini?” tanyanya.
“Aku …” kataku dengan bibir gemetar.
“Kenapa kamu nggak nunggu di mobil aja?”
“Gian, maafin aku …”
“Maaf kenapa?”
“Aku bikin kamu kecewa, maaf.”
“Kamu pikir aku kecewa? Karena kamu nggak dateng?” tanya Gian dengan memegang kedua bahuku seolah minta aku untuk melihatnya.
“Aku minta maaf.”
“Aku nggak kecewa. Nggak apa-apa, kamu nggak perlu minta maaf,” kata Gian sambil berusaha menenangkanku yang mulai terisak lagi.
“Gian …”
“Iya?”
“Maafin aku.”
“Maaf buat apalagi?” tanya Gian. “Udah kubilang, aku nggak marah, nggak kecewa. Jadi, kamu nggak perlu ngerasa bersalah begini.”
“Gian, aku mau ngasih tau kamu sesuatu. Tapi, sebelumnya, maafin aku,” kataku. “Maafin aku, Gian. Maafin aku buat semuanya.”
“Udah. Jangan nangis lagi. Kamu mau ngasih tau apa, hm?”
Aku menghapus air mata dengan gerakan kasar dan balas menatap Gian. Tanganku mengepal berusaha mencari kekuatan.
“Aku mau kita udahan. Aku mau kita putus.”
Iya, setelah tadi menangis sambil memikirkan semuanya, pada akhirnya, inilah keputusan yang kuambil.
“Kamu bercanda?”
Gian berusaha menggenggam kedua tanganku, tapi segera kutepis. Aku bangkit dan berlari keluar rumah Gian, menerobos hujan lalu masuk ke dalam mobil.
“Haira, kamu bercanda?!”
Gian ikut menerobos hujan dan berusaha menggedor-gedor kaca mobilku.
“Haira!”
Teriakannya tidak kuhiraukan, kuminta supir untuk segera melajukan mobil.
Gianku sayang, kumohon, sekali lagi, maafkan aku.