Besok adalah harinya, hari di mana Gian akan menampilkan bakatnya dalam kompetisi piano yang dia ikuti.
Sebagai orang yang sama sekali tidak paham mengenai musik, aku tidak bisa membantu banyak. Yang bisa kulakukan adalah berdoa pada Tuhan agar Gian dapat mengikuti kompetisi itu dengan lancar dan mendapat hasil terbaik.
Selain itu, mungkin aku juga bisa membantu Gian dengan memberikan dia sebuah pakaian untuk dipakai saat hari kompetisi, supaya dia tahu bahwa aku mendukungnya dengan sepenuh hati sehingga bisa mengurangi kegugupan yang dia rasakan.
Sebenarnya aku ingin memberikan jas itu secara diam-diam dengan memasukkan ke dalam tasnya saat dia masih tidur pulas setelah bel pulang berbunyi. Tapi dia keburu membuka mata saat tanganku baru saja hendak membuka resleting tas.
Karena sudah terlanjur ketahuan, kuminta saja dia untuk membuka jas itu yang sudah dibungkus dengan rapi. Kedua matanya seketika berbinar cerah begitu mengetahui barang yang kuberikan.
Gian memandang pemberianku dengan tatapan takjub: “Waaah … ini buatku? Kamu ngasih ini ke aku? Serius? Baju sebagus ini? Sejak kapan kamu belinya? Kok nggak bilang-bilang dulu? Wahhh …”
“Kemarin, pas keluar sama Papa, aku nggak sengaja lihat itu,” jawabku. “Kelihatannya bagus kalau kamu pakai. Kebetulan juga lagi ada diskon gede-gedean. Untung stoknya yang seukuran kamu belum kejual habis. Jadi, aku langsung beli dan minta buat bungkusin sekalian, he he he.”
“Jasnya bagus. Makasih. Aku suka. Nanti, kalau sampai rumah, aku bakal coba. Tapi, kalau dilihat-lihat, kayaknya pas, sih,” kata Gian.
“Nanti jangan lupa fotoin, terus kirim ke aku. Aku juga mau lihat,” kataku saat Gian melipat kembali jas itu untuk dia masukkan ke dalam tas.
Setelah itu, kami keluar kelas dan menuju parkiran sekolah. Gian mengambil motor dan minta aku untuk segera naik setelah selesai memakai helm.
Lalu, kataku pada Gian saat kami dalam perjalanan pulang:
“Gian, besok semangat, ya!”
“Iya, makasih.”
“Aku dukung kamu.”
“Iya,” kata Gian. “Besok aku akan berusaha maksimal, doain.”
Kami berpisah saat Gian selesai mengantarku ke rumah. Setelah masuk rumah, segera kulepas seluruh seragamku di dalam kamar mandi lalu mulai mandi guna membersihkan badan yang terasa lengket.
Telepon dari Gian masuk ketika hari sudah malam.
“Selamat malam! Apa benar saya sedang bicara dengan perempuan yang mengisi hatinya Gian?” tanya Gian.
“Ha ha ha, iya, ini aku.”
“Aku udah coba baju yang kamu kasih.”
“Gimana menurutmu? Pas, nggak?”
“Ukuran badannya, sih, pas, tapi …”
“Tapi apa? Kamu nggak suka modelnya?”
“Suka, tapi kayaknya kurang cocok kalau dipake buat kompetisi besok.”
“Yaaaaahhhhh …”
“Iya, lebih cocok dipake buat ngelamar kamu ini.”
“Ih! Gian!”
“Ha ha ha, makasih hadiahnya.”
“Iya, sama-sama.”
“Aku juga harus ngasih kamu sesuatu juga nih kalau kamu begini.”
“Ih, nggak usah!”
“Kenapa nggak mau?”
“Nggak perlu kasih aku hadiah, aku udah punya semuanya, tinggal kamu belajar aja yang rajin biar bisa satu kampus sama aku nanti.”
“Aku sebenernya sama sekali nggak kepikiran buat lanjut kuliah,” katanya. “Tapi, karena kamu yang minta, aku mau. Lagian, aku juga nggak mau jauh dari kamu.”
“Jangan kuliah karena aku. Aku nggak mau bikin kamu terpaksa,” kataku. “Kalau kamu nggak mau, ya udah, nggak apa-apa.”
Sebetulnya aku juga tidak mau jika harus menjalin hubungan jarak jauh dengan Gian setelah lulus SMA nanti.
“Nggak apa-apa, kita harus kuliah satu kampus, biar nanti kamu nggak perlu kangen.”
Setelah mendengar itu, hatiku seketika bersorak gembira.
“Besok, kamu nonton?” tanya Gian.
“Iya, aku pasti nonton kamu.”
“Sama siapa ke sananya?”
“Emmm … nggak tau.”
“Coba ajak Sita.”
“Dia, kan, masih demam dari kemarin,” jawabku.
“Oh, iya,” kata Gian bagai baru ingat sesuatu.
“Nggak apa-apa. Aku bisa ke sana sendiri,” kataku.
“Besok jangan lupa kalau keluar pakai jaket, soalnya dingin, aku belum bisa peluk kamu,” kata Gian.
“Iya, iya, udah kamu latihan lagi sana,” perintahku.
“Kasih semangat dulu, dong!” pinta Gian sebelum aku sempat memutus sambungan telepon kami. “Kirim pap, minimal sepuluh.”
Maksud kata “pap” yang diucapkan Gian bisa diartikan sebagai permintaan untuk mengirim foto kepada lawan bicara dalam percakapan virtual. Maka dari itu, setelah sambungan telepon terputus, segera kubuka aplikasi kamera untuk berfoto selfie. Gian minta sepuluh dan kuturuti permintaannya. Aku memang sebenarnya suka berfoto untuk mengabadikan wajahku sendiri yang menurutku cantik.
Setelah mengirimkan semua fotoku ke Gian, aku keluar kamar karena merasa haus dan ingin ke dapur. Kemudian tidak sengaja kudengar suara seseorang seperti sedang muntah dari dalam kamar mandi.
Tidak berapa lama, Mbak Yanti keluar dalam kamar mandi dengan keadaan lemas dan wajah sedikit pucat. Sepertinya sedang sakit. Dia kemudian menuju kamarnya yang berada di bagian belakang untuk beristirahat setelah mengadu tidak enak badan ke Mama.