Read More >>"> Our Different Way (SEBELAS) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Different Way
MENU
About Us  

Aku bosan. Tidak ada yang bisa kulakukan pada pukul empat pagi buta seperti sekarang. Aku juga merasa kesal pada diriku sendiri. Gara-gara salah mengatur jam alarm, aku jadi terbangun pagi-pagi sekali, setelah itu tidak bisa tidur lagi. Mau lari pagi rasanya malas, hawa di luar dingin sekali karena hujan semalaman. Mau ke tempat gym juga malas, aku masih belum ingin turun dari kasur.

Bosan tidak melakukan apa-apa, aku mengambil ponsel dan mulai membuka galeri guna membunuh waktu dengan melihat foto-fotoku bersama Gian.

Aku terkikik sendiri saat melihat foto kami berdua ketika berada di mall beberapa waktu lalu, sama-sama pakai bando kucing di kepala. Gian benar-benar tampak menggemaskan.

Semua folder yang ada di galeri kubuka satu per satu. Berkali-kali aku terkikik sendiri ketika melihat foto lucu yang kami abadikan. Jariku terus bergerak hingga tidak sengaja membuka sebuah tangkapan layar berisi foto Gian bersama seorang perempuan yang kata Gian hanya partner tampil saat mereka mengisi acara sekolah.

Aku tiba-tiba jadi merasa penasaran dengan perempuan itu. Segera kubuka salah satu aplikasi sosial media, lalu mulai mencari si pemilik akun. Setelah berhasil kutemukan, karena penasaran, kubuka satu per satu unggahan yang ada di sana, ingin melihat dan menilai wajah si pemilik akun jika tanpa make up.

Aku melakukan itu bukan bermaksud untuk membandingkannya denganku, atau bahkan mengejek dan menghina. Hanya saja, aku merasa di terlalu centil ke Gian ketika mereka foto berdua. Itu membuatku tidak nyaman. Itu juga membuatku jadi merasa cemburu. Kuharap dia tidak pernah menaruh rasa ke Gian, tapi jika dia memang pernah suka ke Gian, kuharap dia tidak akan mengganggu Gian lagi sekarang.

Terlalu asik dengan kegiatanku sendiri, aku jadi tidak sadar jika sekarang sudah pukul lima lebih seperempat.

Saat hendak bangun dari tempat tidur, ponselku berdering. Telepon dari Gian. Segera kuangkat cepat. Kurebahkan lagi diriku di atas kasur, sambil memeluk guling, memegangi ponsel di dekat telinga dan mendengarkan suara Gian.

“Baru bangun?” kutanya Gian.

“Iya nih.”

“Cuci muka dulu gih,” kataku memerintah.

“Baru bangun kok disuruh cuci muka?” Gian justru nanya.

Aku mengerutkan kening.

“Ya, kan, biar seger.”

Kudengar suara Gian menguap lebar.

“Biar seger itu bukan cuci muka, tapi pake morning kiss,” kata Gian.

“Heh!” kataku kaget dan seperti sedang menghardik.

Lalu, kudengar Gian ketawa terbahak-bahak.

“Kenapa nggak mau?” tanya Gian dari seberang sana.

“Kamu belum cuci muka, belum gosok gigi. Mulutmu masih bau,” jawabku.

“Morning kiss-nya virtual aja,” kata Gian.

“Morning kiss virtual?” tanyaku. “Emangnya bisa?”

“Bisa.”

“Caranya?”

“Coba diubah dulu jadi call video. Nanti kukasih tau.”

“Halah,” aku memutar bola mata malas.

“Kok malah halah?” tanya Gian.

“Kamu modus.”

Gian ketawa lagi, benar-benar suara di pagi hari yang menyenangkan.

“Enggak kok, nggak modus,” kata Gian.

“Nggak mau ah. Mukaku masih muka bantal, masih jelek,” kataku tetap tidak mau.

Gian mengalah dan mulai membicarakan topik lain.

Sebenarnya, aku bukan tipe yang suka banyak bicara, apalagi jika membicarakan hal-hal yang tidak penting. Tapi berbeda ketika aku sedang ngobrol dengan orang yang kusuka seperti dengan Gian atau Sita.

Seperti sekarang, aku bisa ngobrol lama-lama dengan Gian dan membicarakan banyak hal. Aku benar-benar menikmati obrolan kami, mendengar suara Gian rasanya seolah bisa memberiku semangat untuk menjalani hari. Meski topik obrolannya tidak penting, atau bahkan tidak masuk akal, tapi rasanya selalu menyenangkan ketika melakukan konversasi dengan Gian. Sebuah suasana pagi yang indah dan membahagiakan.

“Udah jam segini, aku mau mandi sama siap-siap,” kataku.

“Oke, nanti kujemput,” kata Gian sebelum memutus sambungan telepon.

*****

Ketika jam istirahat kedua hampir usai, Papa tiba-tiba mengirimiku pesan, tumben sekali. Pada jam segini dia pasti sedang sibuk-sibuknya di kantor. Tapi aku juga tidak mau ambil pusing memikirkan hal itu, jadi segera kubuka pesan dari Papa.

Papa bilang bahwa dia ingin menjemputku saat aku pulang sekolah nanti. Rasa heranku jadi semakin bertambah. Apa yang merasuki Papa siang bolong begini?

Saat bel pulang sudah berbunyi, kubilang ke Gian bahwa aku akan dijemput oleh Papa sehingga tidak perlu membonceng padanya. Kami pun berpisah setelah keluar dari kelas. Gian pergi ke parkiran untuk mengambil motor sekaligus nongkrong dengan teman-temannya sebelum pulang. Sementara aku menuju gerbang depan. Kulihat mobil Papa sudah ada di sana. Segera kuhampiri dan ikut masuk ke kursi penumpang.

Setelah mobil melaju selama beberapa menit, kami berhenti di depan sebuah mall besar, lalu Papa mengajakku masuk ke dalam dan menuju salah satu butik.

Aku jadi semakin bingung dan tidak paham.

“Pilih, kamu mau yang mana,” kata Papa ketika kami berdiri di antara jajaran pakaian mewah, memberi kebebasan padaku untuk memilih barang yang ingin kubeli.

Aku memang sangat ingin membeli beberapa barang dari merk ini lagi setelah aktris favoritku, Zendaya, didapuk menjadi brand ambassador produk fashion tersebut beberapa waktu lalu. Tanpa menunggu lama, seegera kuhampiri dan kupilih beberapa pakaian, tas, serta sepatu hak tinggi yang pernah dikenakan Zendaya. Setelah puas mendapatkan barang yang kuinginkan, aku dan Papa memutuskan untuk pulang karena langit ternyata sudah gelap.

“Makasih, Papa,” kataku saat kami keluar dari butik.

“Kamu suka?” tanya Papa, sepertinya ikut senang melihatku yang tak berhenti tersenyum dari tadi.

“Iya. Suka,” jawabku. “Tapi, tumben Papa tiba-tiba ngajak aku beli barang-barang ini. Ada apa?”

“Papa cuma ngerasa kalau Papa sudah lama sekali nggak ngajak kamu jalan-jalan.”

“Tenang, rahasia Papa masih belum kukasih tau ke Mama. Jadi, Papa nggak perlu nyogok aku dengan beliin barang-barang ini.”

“Papa bukan bermaksud begitu,” kata Papa.

“Yakin cuma mau ngajak aku jalan-jalan?”

“Papa beliin itu buat kamu karena Papa besok mau ajak kamu.”

“Ngajak aku?” tanyaku. “Ke mana?”

Aku jadi semakin heran mendengarnya.

“Ke pesta kolega Papa.”

“Sama Mama juga?”

“Iya,” jawabnya. “Besok, kita berangkat bertiga.”

“Nggak mau ah, males.”

“Papa sudah janji akan bawa kamu ke pesta. Rekan-rekan bisnis Papa pada penasaran sama kamu karena selama ini kamu nggak pernah mau ikut.”

“Papa bisa tunjukin fotoku ke mereka, beres.”

“Mereka pengen ketemu langsung sama kamu.”

Aku mengernyit tidak paham.

“Males, ah. Nggak mau,” kataku. “Papa bilang aja, deh, kalau aku lagi sakit jadi nggak bisa ikut.”

“Papa mau ajak kamu karena Papa juga pengen banggain kamu ke semua orang kalau anak Papa ini nggak kalah hebat sama anak-anak mereka.”

“Kubilang nggak mau ya nggak mau. Aku nggak suka ke acara-acara begituan,” balasku. “Mendingan belajar di rumah.”

“Cuma sekali ini aja, Rara.”

“Itu urusan Papa. Bukan urusanku. Aku nggak suka dipaksa.”

“Di sana kamu masih bisa belajar nanti,” kata Papa. “Belajar tentang bisnis. Lagian, rekan-rekan Papa juga banyak yang ngajak anak mereka yang udah pada kuliah. Nanti kamu bisa tanya-tanya juga ke mereka tentang dunia perkuliahan.”

“Tetep nggak mau. Papa harusnya tau kalau aku ini nggak suka ketemu sama orang asing. Jadi, jangan paksa-paksa aku lagi.”

“Kamu lihat jas mahal di sana?” kata Papa tiba-tiba sambil menunjuk sebuah jas pajangan yang didesain khusus untuk para pianis. “Papa akan belikan jas itu untuk Gian kalau kamu nurut sama Papa.”

“Kenapa tiba-tiba Papa mau beliin buat Gian juga?”

Aku semakin heran dengan sikap Papa. Sebenarnya ada apa dengan Papa hari ini?

Aku merasa tidak pernah cerita ke Papa mengenai Gian yang pandai bermain piano. Lalu, sekarang tiba-tiba Papa ingin membelikan jas pianis itu untuk Gian.

“Sebentar lagi, Gian akan ikut kompetisi piano, kan?”

“Dari mana Papa tau?” tanyaku.

“Apa kamu nggak tau? Perusahaan Papa yang jadi sponsor kompetisi itu.”

“Oh, ya?”

Papa mengangguk sambil memandangku.

“Apa kamu nggak mau kasih sesuatu untuk Gian sebelum kompetisi pianonya dimulai? Siapa tau nanti dia jadi semangat kalau dapat hadiah dari kamu.”

“Aku juga kepikiran mau ngasih dia sesuatu, sih, tapi aku bingung mau ngasih apaan,” kataku sambil memandang jas yang tadi ditunjuk oleh Papa.

“Nah, Papa saranin coba kasih jas itu sebagai hadiah. Gian pasti suka. Gimana?”

“Tapi, Gian itu nggak pernah mau kalau kukasih sesuatu.”

“Kenapa nggak mau?”

“Dia emang nggak enakan anaknya. Apalagi kalau dia tau harga jas ini, pasti dia nggak mau nerima.”

“Bilang aja kalau kamu dapat diskonan,” kata Papa. “Mungkin dengan begitu, Gian nanti mau nerima pemberian kamu.”

“Iya, ya?”

“Jadi gimana?”

“Oke deh,” kataku pada akhirnya. “Aku bakal ikut besok.”

“Mau sekalian ikut ngobrol sama kolega Papa juga waktu nanti di sana?”

“Mau ngobrol apaan? Nggak ah. Nggak usah.”

“Yaaa basa basi aja lah.”

“Oke deh, oke.”

“Nanti, kalau diajak ngobrol yang kamu nggak paham, dengerin aja udah,” kata Papa.

“Iya, iya.”

“Nanti Papa sama Mama akan bantu jelasin kalau kamu ada yang nggak paham.”

“Iya, oke. Aku ngikut Papa sama Mama aja pokoknya,” kataku.

Setelah itu, kami membelokkan langkah ke butik yang tadi ditunjuk oleh Papa. Papa kemudian membelikan jas itu untuk Gian sesuai perkataannya tadi.

*****

Selesai belajar di kamar sendirian, aku segera berjalan menuju kamar mandi. Sebentar lagi adalah jam teleponan dengan Gian dan terkadang dia akan minta panggilan video. Maka dari itu, aku mau bersiap dengan diawali cuci muka, lalu memakai beberapa produk kecantikan guna membuat kulitku sehat. Dengan begitu, aku bisa kelihatan segar di depan Gian, sekaligus bisa membuatku lebih percaya diri ketika dilihat oleh pacar, agar dia mimpi indah.

Setelah beres, aku kembali ke atas tempat tidur, merebahkan badan sambil bermain ponsel, selagi menunggu Gian menelepon. Padahal baru berpisah selama beberapa jam, tapi rasanya sudah rindu lagi.

Setelah agak lama, pintu kamarku dibuka dan memunculkan Mbak Yanti.

“Rara sebentar lagi mau tidur?” tanyanya sambil sedikit melangkah masuk. “Mau Mbak buatin susu dulu?”

Kubilang tidak usah. Aku masih kenyang. Kubilang aku tidak butuh makan atau minum apapun lagi.

Nada bicaraku sudah tidak terlalu sinis lagi ketika bicara ke Mbak Yanti. Tapi tetap saja aku masih bicara singkat-singkat dan seperlunya. Mbak Yanti kemudian keluar setelah menutup pintu.

Telepon dari Gian masuk tidak lama kemudian.

“Halo?” kusapa dia.

“Apa benar saya sedang berbicara dengan Haira tercinta?” tanya Gian.

Aku senyum dan memandang Gian dari layar ponsel.

“Iya, dengan saya sendiri. He he he,” kataku.

“Oh, pantesan,” kata Gian sambil menyisir rambutnya menggunakan tangan. “Hari ini kelihatan cantik.”

“Memangnya kalau bukan hari ini nggak cantik?” tanyaku bercanda.

“Ini hari apa, sih?” tanya Gian bagai ke dirinya sendiri. “Rabu, ya?”

“Iya. Kenapa emang sama hari Rabu?”

“Kamu cantik kalau pas hari Rabu,” jawab Gian.

Kalau begini terus, lama-lama aku bisa kena diabetes karena diberi asupan kata-kata manis dari mulut Gian.

“Kalau hari Kamis gimana?” tanyaku. “Nggak cantik?”

“Kalau hari Kamis kelihatan imut,” jawab Gian, sambil mulai rebahan di atas tempat tidurnya sendiri.

“Kalau hari Jum’at?” tanyaku lagi.

“Hari Jum’at kelihatan lucu. Hari Sabtu kelihatan manis,” jawab Gian.

“Hari Minggu?” tanyaku dengan perasaan senang dan antusias.

“Kalau hari Minggu, gabungan dari semuanya. Cantik iya. Imut iya. Lucu sama manis juga iya,” jawab Gian.

“Aduuuuh, aku salting tau kamu bilang begitu!”

Malam ini, aku serasa jadi perempuan paling bahagia di Bumi.

“Udah, ah, stop,” kataku setelah berhasil menahan senyum yang terus ingin muncul sejak tadi. “Jangan gombal lagi.”

“Oh, iya, aku mau ngasih tau ke kamu,” kata Gian.

“Ngasih tau apa?” tanyaku penasaran.

Aku merubah posisi tidur, jadi sedikit menghadap ke samping kanan.

“Masih inget perempuan yang pernah perform sama aku yang kamu screenshot fotonya di Instagram?” tanyanya.

“Yang katamu suaranya bagus itu?” tanyaku setelah ingat dengan perempuan yang tadi pagi kucari dan kulihat akun sosial medianya. “Inget, kenapa?” tanyaku ke Gian.

“Besok, dia ngajak ketemu.”

“Ngajak ketemu? Ngapain?”

“Nggak tau,” jawab Gian, santai sambil mengedikkan bahunya.

“Ketemu berdua?” tanyaku.

“Iya, dia awalnya ngajak ketemu berdua, tapi kubilang kalau aku mau ngajak pacarku juga,” jawab Gian.

Aku merasa puas mendengar Gian bilang begitu. Aku puas karena Gian berbicara terus terang ke perempuan itu bahwa dia sudah punya pacar.

“Terus, dia bilang apa?” tanyaku.

“Dia bilang, iya nggak apa-apa, boleh. Tapi tetep minta buat ngobrol berdua doang nanti sama aku, penting katanya,” jawab Gian.

“Oke, deh, nggak apa-apa. Besok habis pulang sekolah, aku ikut kamu,” kataku. “Tapi, habis dari sana, kamu harus cerita ke aku tentang obrolan kalian di sana.”

“Oke,” Gian senyum. “Aku suka kalau lihat kamu lagi cemburu begini. Mulutnya cemberut. Matanya galak,” kata Gian. “Makin kelihatan lucu.”

Obrolan terus berlanjut, membicarakan banyak hal tidak penting, tapi bagiku itu seru, tanpa kenal waktu, tak terasa kami sudah teleponan via video selama hampir satu jam!

Ah, Gian. Selalu bisa membuat aku merasa begitu senang hanya karena mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulutnya.

*****

Setelah pulang sekolah, aku dan Gian benar-benar pergi ke sebuah café kecil guna menemui teman perempuan Gian di sekolah lamanya itu.

Sial sekali motor Gian tiba-tiba mogok di tengah jalan. Mesinnya tidak mau menyala meski sudah dihidupkan berkali-kali. Sialnya lagi, tidak ada bengkel motor di dekat tempat motor Gian mogok, membuat kami kebingungan di tengah cuaca yang sangat terik begini.

Aku kemudian menelepon sopirku untuk mencarikanku montir motor, sekaligus minta agar montirnya pergi kemari.

*****

Karena cuaca sangat terik dan tidak ada tempat berteduh, Gian minta aku untuk pergi ke café duluan saja. Sementara Gian, dia mau menunggu montirnya di sini.

Awalnya aku menolak. Aku tidak mau pergi sendirian dan meninggalkan Gian. Aku juga tidak mau ketemu perempuan itu seorang diri. Kami tidak saling kenal dan pasti akan canggung satu sama lain.

Tapi, Gian tetap bersikukuh, dia merasa tidak tega melihatku jadi harus ikut panas-panasan karena naik motor dengannya. Ketika sebuah taksi tidak sengaja lewat di depan kami, Gian segera memberhentikan taksi itu dan minta ke sopir untuk mengantarku ke tempat tujuan kami sebelumnya.

Jadilah aku berakhir di sini sekarang, berada di antara orang-orang yang duduk-duduk sambil menikmati minuman dan makanan ringan. Kuedarkan pandangan di seluruh penjuru ruangan, mencari perempuan yang merupakan teman Gian.

“Iya, ini gue lagi di café mau ketemu sama Gian,” kata seseorang yang berhasil ditangkap oleh kedua telingaku.

“Bentar lagi juga katanya dia mau ikutan kompetisi piano. Gue yakin, sih, pasti menang tuh anak.”

“…”

“Denger-denger hadiahnya gede, pasti mau lah kalau gue pinjem duitnya dikit.”

“…”

“Lo tau sendiri, kan, dia nggak pernah hitung-hitungan sama temen-temennya?”

Perempuan itu kemudian tidak sengaja melihatku yang berdiri dekat dengan kursinya.

“Bentar, gue tutup dulu,” kata dia sambil menurunkan ponsel dari telinga.

“Kenalin, Rara,” kataku kemudian sambil mengulurkan tangan dan duduk di sampingnya. “Pacarnya Gian.”

“Oh, pacarnya Gian?” kata perempuan itu kaget.

Dia menjabat tanganku sekaligus memberitahukan namanya: Jasmine.

“Terus, kok sendirian? Giannya mana?” tanya Jasmine. “Apa tadi kalian berangkat sendiri-sendiri ke sininya?”

“Bukan, tadi bareng, tapi motor Gian mogok,” jawabku.

“Terus? Sekarang Gian masih di bengkel?” tanya Jasmine.

“Iya, lagi nunggu motornya dibenerin,” jawabku begitu karena tidak ingin menjelaskan panjang lebar padanya.

“Ooooh.”

“By the way, siapa yang bilang kalau Gian punya banyak duit dan dia mau dipinjemin?” tanyaku langsung tanpa perlu banyak basa-basi. Jasmine mengatupkan mulut, seperti bingung ingin menjawab apa.

“Kata … temen-temen,” jawab Jasmine dengan nada gugup seolah dia sedang takut mau mengatakan itu padaku.

Aku berdecak kesal.

“Jadi, kalian sebagai temennya Gian mau manfaatin dia sekarang?” tanyaku.

“Bukan begitu,” kata Jasmine.

“Terus?” tanyaku lagi.

Jasmine mengalihkan pandangan, sambil menggigit bibirnya sendiri. Dia kemudian menggaruk rambutnya seperti orang bingung mau menjawab apa lagi. Suasana di antara kami jadi hening, aku mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari selagi menunggu jawaban darinya.

“Denger ya, Gian sendiri sekarang lagi butuh uang,” kataku setelah menunggu Jasmine yang tak kunjung angkat bicara.

“Kenapa?”

“Aku sama Gian mau nikah,” jawabku. “Habis kita lulus SMA.”

“Hah?” kata Jasmine.

Dia sampai tersedak karena terlalu terkejut. Ditatapnya aku dengan pandangan kaget sekaligus tidak percaya. Dia kemudian buru-buru mengambil tisu dan segera mengelap bibirnya sendiri.

“Gian mau nikah?” tanyanya seolah memastikan.

Aku hanya mengangguk santai.

“Kenapa dia mau buru-buru nikah?” tanyanya lagi.

“Dia bilang, sih, nggak mau lama-lama pacaran,” jawabku. “Daripada nanti kejadian yang enggak-enggak, mending langsung nikah aja. Udah sah. Udah bebas ngapa-ngapain. Kata Gian, sih, begitu.”

Jasmine diam sedikit lebih lama.

“Tapi, kan, kalian baru lulus SMA? Terus, nanti mau hidup di mana? Ini serius bukan, sih?” tanya Jasmine masih tak percaya.

“Masalah finansial, ya? Itu, mah, dipikirin nanti.”

“Maksudnya?” tanya Jasmine sambil sedikit menggeser kursi yang didudukinya untuk mendekat padaku.

“Ya nanti aja dipikirin. Pasti ada aja kok rejekinya. Gian juga pasti nggak bakal leha-leha doang di rumah tiap hari,” jawabku.

“Kalau gitu, kenapa nggak nyari kerja dulu baru nikah?” tanya Jasmine.

“Biar kalau nanti Gian harus kerja jauh, aku bisa ikut dia.”

“Kan bisa LDR?”

Sesaat, aku jadi tidak tega karena harus terus bohong ke Jasmine. Tapi sudah kepalang.

“Aku paling nggak suka sama hubungan LDR,” jawabku. “Peluang buat diselingkuhinnya besar.”

“Itu artinya lo nggak percaya ke Gian, dong?” kata Jasmine.

“Aku percaya sama Gian. Aku cuma trauma,” jawabku.

“Lo pernah diselingkuhin?” tanya Jasmine.

“Bukan aku,” jawabku sambil buru-buru menggelengkan kepala. “Ada lah, pokoknya, aku kenal seseorang yang diselingkuhin sama pasangannya waktu kerja jauh.”

“Oh, kirain,” kata Jasmine. “Eh, iya, lo nggak mau pesen apaaa gitu?” tanya Jasmine.

“Nanti, nunggu Gian dulu,” jawabku.

“Masih lama mungkin,” kata Jasmine.

“Iya, nggak apa-apa,” kataku.

Setelah itu, tidak ada obrolan lagi di antara kami.

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.

Ya, benar, Gian datang! Berdiri di sebelahku dengan senyum gusinya. Aku balas tersenyum lebar.

Sementara itu, Jasmine juga ikut menoleh ke Gian dan mengangkat tangannya seolah sedang menyapa.

“Sori, tadi motor gue AFK,” kata Gian ke Jasmine.

Penggunaan kata AFK dalam dunia game biasanya merujuk ke situasi ketika game yang dimainkan mendadak berhenti. Gian sengaja pakai itu untuk mengiaskan mesin motornya yang tadi tiba-tiba berhenti dan tidak bisa dinyalakan.

“Duduk sini gih,” kataku ke Gian.

Gian menarik kursi, kemudian duduk di sebelahku.

“Kabar lo gimana, Gi?” tanya Jasmine setelah menyeruput minumannya.

“Baik.”

“Aku sama Jasmine udah kenalan tadi. Sempet ngobrol juga,” kataku.

“Ngobrol apa aja?” tanya Gian sambil menyisir rambutnya yang sedikit berantakan. Rambutnya yang agak panjang dan tebal itu mungkin sudah saatnya dipotong agar tidak dihukum ketika di sekolah.

“Banyak,” kataku sambil senyum ke dia.

“Oh,” katanya. “Terus, ini kenapa gelasnya cuma satu? Kamu nggak mau pesen minum?” tanya Gian ketika melihat hanya ada gelas minuman milik Jasmine di meja kami.

“Nanti,” jawabku. “Nunggu kamu dateng.”

“Ya udah, aku pesenin dulu,” kata Gian. “Matcha, kan?” tanya Gian dan kemudian kujawab dengan anggukan.

Gian berlalu sebentar dan kembali lagi setelah dia selesai memesan.

“Jasmine,” panggil Gian dan Jasmine menoleh. “Ngapain tiba-tiba ngajak ketemu?”

“Nggak kok, nggak ada apa-apa,” jawab Jasmine.

“Lah? Gimana?” tanya Gian heran sekaligus bingung.

“Jasmine cuma pengen tau kabar kamu sekarang,” kataku menengahi.

“Oh. Tapi, kan, bisa nanya lewat chat?”

“Gi, congrats ya, semoga lancar sampe hari H,” kata Jasmine sambil memandang ke Gian dengan senyum.

Gian sontak mengerutkan alis, lalu menerawang ke atas, benar-benar tipikal Gian ketika sedang bingung sendiri.

“Congrats buat apa?” tanya Gian.

“Ah, lo mah punya kabar baik nggak cerita-cerita,” kata Jasmine dan jadi membuat Gian semakin bingung.

“Kabar baik apaan, sih? Apanya yang lancar sampai hari H?” tanya Gian lagi. “Oh, lo udah tau?”

“Iya,” jawab Jasmine.

“Tadi, aku yang ngasih tau ke Jasmine,” kataku.

“Ya udah, deh, gue mau balik aja,” kata Jasmine setelah menyedot minumannya sampai habis. “Gue balik ya, Gi.”

“Buru-buru amat?” tanya Gian.

“Iya, di sini aja dulu,” kataku sambil melihat ke Jasmine yang sudah berdiri.

Jasmine menggeleng kemudian berlalu pergi sambil menyampirkan tasnya di bahu.

Kalau aku boleh su’uzhon: Jasmine ingin bertemu Gian karena mau pinjam uang, tapi setelah aku bohong ke dia mengenai aku dan Gian yang akan menikah, dia jadi kesal karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, maka dari itu Jasmine ingin segera pergi dan tidak ingin membuang-buang waktunya untuk ngobrol dengan kami.

Kupikir bagus, karena dengan begini, kebaikan Gian tidak jadi dimanfaatkan oleh teman-temannya yang tidak tahu diri itu. Semoga saja mereka tidak mengganggu Gian lagi setelah ini.

Minuman yang tadi dipesan oleh Gian pun datang tidak lama kemudian.

“Tadi tau yang dimaksud Jasmine itu tentang apa?”

“Tau,” jawab Gian.

“Tentang apa?”

“Maksud si Jasmine tadi tentang kompetisi piano, kan?” tanya Gian.

Gara-gara mendengar Gian menjawab begitu, aku jadi hampir tersedak karena sontak ingin tertawa.

“Iya, bener, tentang itu,” kataku.

“Tapi, belum apa-apa kenapa udah main congrats-congrats aja dia,” kata Gian.

“Dia mungkin udah yakin kamu nanti bisa menang,” kataku.

Gian kemudian senyum, sambil kepalanya manggut-manggut.

“Aamiin,” kata Gian, sambil memejamkan mata seolah memohon kepada Tuhan agar kalimatku barusan bisa menjadi kenyataan.

“Aamiin,” kataku menyertai.

Kami jadi hening setelahnya. Aku dan Gian hanya duduk sambil tidak tahu mau ngobrol apa, lalu tidak sengaja saling pandang kemudian sama-sama tersenyum.

“Mau pulang sekarang?” tanyanya. “Atau nanti dulu?”

“Sekarang aja.”

“Ya udah, dihabisin dulu,” kata Gian sambil menunjuk minuman di depanku pakai dagu, kemudian segera kuangguki dan mulai minum sampai tersisa sedikit.

“Yuk?” kataku dengan menggandeng tangan Gian keluar café.

“Langsung kuanter pulang?”

“Iya,” jawabku setelah kami sampai di parkiran.

Sebelum naik ke atas jok motor, aku dan Gian bersiap pakai helm. Kali ini aku pakai helmku sendiri. Sebelumnya sudah kubilang ke Gian agar tidak perlu pinjam-pinjam helm siapapun lagi untuk kugunakan.

“Motor ini nggak bakal mogok lagi, kan?” tanyaku ke Gian setelah motor mulai melaju.

“Nggak tau. Kalau mogok lagi gimana?”

“Ya jangan bilang begitu, kalau nanti mogok lagi beneran gimana?”

“Nah, kan, galaknya dateng.”

Kulihat Gian senyum, membuatnya jadi lebih tampan. Tapi aku kadang heran sendiri, karena Gian justru seolah senang ketika aku ngomel padanya. Omelanku justru seolah menjadi kebahagiaan tersendiri buat Gian, entah kenapa, hal itu sama sekali tidak membuat suasana hatinya jadi buruk.

“Haira,” panggilnya dari depan.

“Apa?” tanyaku.

“Jangan gemes-gemes terus begitu.”

“Kenapa?”

“Gawat. Aku makin jatuh cinta.”

*****

Aku segera membersihkan diri setelah masuk rumah. Papa sudah mengingatkanku mengenai acara nanti malam, agar aku tidak lupa. Setelah selesai mandi, Gian menelepon lewat sambungan video.

“Seger banget kelihatannya,” kata Gian dari seberang sana. Dia masih pakai seragam sekolah. Ih! Pasti belum mandi!

Aku senyum.

“Belum mandi, ya?” tanyaku sambil menutup hidung menggunakan tangan agar seolah-olah bisa mencium bau asem dari badan Gian karena belum mandi.

Gian cengengesan.

“Pantesan baunya kecium sampai sini,” kataku.

“He he he. Tadi, niatnya mau langsung mandi,” kata Gian.

“Terus, nggak jadi?” tanyaku senyum.

“Nggak jadi. Tadi, waktu baru masuk rumah, baru salam, nenek manggil. Aku disuruh mandiin dia katanya,” jawab Gian sambil meletakkan ponsel di pangkuan sementara dia membuka kancing seragamnya hingga terlihat kaos putih polos yang ada di balik seragam.

“Hah?” aku kaget.

“Kenapa kaget?” tanya Gian.

“Nenek sakit?” aku nanya balik.

“Enggak,” jawab Gian santai sambil menggelengkan kepala. “Nenek sehat, nggak kenapa-kenapa dia,” lanjut Gian.

“Terus, kenapa minta dimandiin?” tanyaku dengan wajah betul-betul serius karena khawatir sampai membuat kerutan di kening.

“Bukan mandi air, tapi mandi bola,” jawab Gian sambil ketawa.

Apa maksudnya? Aku dikerjai??!!

“Tapi serius, tadi beneran disuruh nenek, beli tepung,” kata Gian.

Kupandang Gian dari layar ponsel dengan bibir mengerucut.

Rasanya gemas sekali hingga ingin kucubit dia sampai kulitnya biru karena sudah berani bohong dan mengerjaiku.

“Tadi beneran ke warung dulu, ini baru nyampe rumah lagi,” kata Gian.

“Bodo ah, bohong, nggak percaya,” nada bicaraku sedikit ketus.

“Serius, dibilangin,” kata Gian masih sambil cengengesan.

“Terus, kenapa masih belum mandi?” tanyaku.

“Tadi, habis dari warung, udah mau mandi, tapi nggak jadi lagi,” jawab Gian.

“Kenapa lagi?” tanyaku lagi.

“Tetangga ke rumah. Mau minta tolong,” jawab Gian.

“Bohong lagi ini pasti!” sergahku cepat.

“Enggak, serius,” kata Gian sambil merubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius.

“Awas kalau bohong lagi. Aku doain kamu jadi jelek,” kataku serius.

“Doa jelek tuh biasanya balik loh ke diri sendiri,” kata Gian.

“Ya biarin, biar kamu jadi punya pacar jelek,” kataku.

“Oh, solusinya gampang itu mah,” kata Gian.

“He? Apanya yang gampang?” tanyaku sambil menaruh ponsel kemudian meraih hairdryer untuk mengeringkan rambut dengan masih tetap memandang Gian.

“Kalau jelek, tinggal tunggu sampe hari Rabu, bisa jadi cantik lagi nanti, gampang,” jawab Gian sambil memandang lekat padaku, seolah dia memang benar-benar serius dengan perkataannya barusan. Mendengar itu, susah sekali rasanya menahan senyum agar tidak membuat pipi sakit.

Aku juga balas memandang wajah Gian, kegiatanku yang tadi sedang mengeringkan rambut jadi terhenti sejenak.

“Tau nggak, kenapa habis disuruh-suruh, aku masih belum mandi?” Gian nanya.

Kupandang Gian, ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang.

“Emang kenapa?” aku balik nanya. Kulihat ada senyum di bibirnya.

“Kangen,” jawab Gian.

“Aku juga kangen,” kataku.

“Serius?” tanya Gian.

“Iya, serius, kangen, rindu kamu seribu persen,” jawabku sambil senyum.

Tiba-tiba telepon dimatikan. Aku jadi bingung dan segera menghubungi Gian lagi untuk bertanya kenapa tiba-tiba dimatikan?

Tidak diangkat. Akhirnya aku mengirimi Gian banyak pesan teks setelah telepon dariku berkali-kali tidak diangkat.

Aku bingung. Tidak tahu harus apa. Pesan dariku masih belum dibaca dan tidak ada telepon masuk dari Gian.

Seseorang mengetuk kamarku tidak lama kemudian. Setelah pintu dibuka, Mama masuk dengan penampilan yang sudah rapi. Mama minta aku untuk segera bersiap-siap karena dia akan mengajakku ke salon terlebih dahulu. Segera kuletakkan ponsel dan lanjut mengeringkan rambut yang tadi sempat tertunda.

Aku pun keluar kamar setelah selesai: “Yuk, Ma. Aku udah siap.”

Saat keluar dari rumah menaiki mobil, aku baru sadar jika ternyata langit mulai gelap, menandakan bahwa ini sudah hampir masuk waktu malam. Mama kemudian memberitahuku bahwa kami tidak akan lama di salon nanti, hanya menata rambut, walau sebenarnya ingin melakukan perawatan lebih banyak, tapi apa daya, waktu tidak mengijinkan.

Kami sampai di salon langganan Mama kurang lebih sepuluh menit. Para pegawai yang bekerja di sana menyambut kami ramah, hampir semuanya sudah kenal dengan kami berdua.

Selama berada di salon, aku terus kepikiran dengan Gian, karena bahkan setelah hampir tiga puluh menit, pesan dariku yang lumayan banyak itu tidak kunjung dibaca olehnya. Aku berpikir dengan keras mengenai sikap Gian yang mendadak aneh dan membuatku jadi betul-betul bingung.

Akhirnya, telepon dari Gian masuk dan segera kuangkat dengan antusias.

“Gian!”

“Kamu lagi ngapain sekarang? Aku udah di depan rumahmu nih,” kata Gian. “Kamu keluar sebentar bisa?”

Aku terdiam mendengar perkataan Gian barusan. Otakku berusaha mencerna kalimatnya yang memberitahu bahwa dia sekarang berada di depan rumahku.

Ah, aku jadi menyesal sekarang. Meskipun sempat putus, seharusnya aku tidak lupa dengan segala sikap istimewa yang pernah Gian lakukan padaku. Seharusnya aku tidak lupa dengan semua perilaku Gian ketika kami pacaran dulu.

Seharusnya aku tidak boleh lupa bahwa Gian yang sekarang masih sama dengan Gian yang dulu.

“Kamu mau ketemu aku?” tanyaku.

“Iya. Kan, kamu tadi bilang katanya kangen. Makanya aku langsung mandi. Terus, langsung ke sini.”

“Ah, maaf.”

Rasanya menyesal sekali saat kubilang “maaf”. Aku baru sadar jika aku belum bilang ke Gian bahwa aku akan keluar dengan Mama dan Papa malam ini.

“Maaf kenapa?” Gian nanya dari sambungan telepon.

“Aku lagi keluar sama Mama,” jawabku.

“Oh.”

“Maaf, lupa bilang.”

“Iya, nggak apa-apa. Asalkan jangan lupa mencintaiku,” kata Gian.

“Apasiiiihhhh!!!!”

Segera kuputus sambungan telepon. Aku sebenarnya masih ingin ngobrol banyak hal dengan Gian di saat aku sedang rindu padanya. Tapi rasanya malu karena takut kedengaran oleh pegawai salon.

Ketika bertukar pesan dengan Gian, aku sebenarnya ingiiiin sekali langsung pulang ke rumah. Aku tidak peduli jika seseorang akan meledekku: bucin. Biarin!

*****

Aku bangun seperti biasa pagi ini. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi setelah puas bertukar pesan dengan Gian.

Aku sarapan sendirian, Mama dan Papa sepertinya masih tidur karena mereka pulang larut sekali semalam. Aku sendiri pulang lebih dulu karena takut akan telat berangkat sekolah akibat bangun kesiangan.

“Mbak, temenin Rara makan, ya?” kataku ke Mbak Yanti yang baru saja meletakkan segelas susu untukku.

Kulihat Mbak Yanti tertegun.

“Sarapan sama Mbak?” tanya Mbak Yanti memastikan.

“Iya, nggak enak makan sendirian.”

Mbak Yanti kemudian menggeser kursi dan duduk dengan gerakan ragu-ragu. Mungkin, dia heran karena aku tiba-tiba mengajaknya sarapan bersama. Padahal sebelumnya aku masih selalu bersikap agak ketus ke Mbak Yanti. Memang, sih, kalau ingat dengan perbuatan yang Papa dan Mbak Yanti lakukan, rasanya masih kesal dan marah sekaligus kecewa ke Mbak Yanti, tapi aku berusaha meredam semua emosi perasaan itu pagi ini.

Ada yang mau kubicarakan berdua dengan Mbak Yanti. Mumpung tidak ada Mama dan Papa. Kurasa ini waktu yang tepat. Selain itu, kuharap Mbak Yanti akan mengerti, kuharap dia akan memahami perasaanku.

“Mbak,” panggilku ke Mbak Yanti.”Apa Mbak nggak pernah penasaran, Gian itu udah punya pacar apa belum?”

Setelah aku bertanya begitu, Mbak Yanti kembali meletakkan alat makan yang baru saja dia pegang, kemudian terdiam.

“Mbak nggak pernah nanya soal itu ke Gian. Memangnya Rara tau kalau Gian punya pacar?” tanya Mbak Yanti.

Aku senyum di sela-sela kegiatan mengunyah makanan.

“Aku tau,” jawabku setelah menelan makanan dengan susah payah, pandanganku beralih menatap lurus ke Mbak Yanti. Penglihatanku kemudian sedikit memburam karena mataku mulai berkaca-kaca.

“Rara kenal sama pacarnya Gian?” tanyanya.

“Kenal,” jawabku.

“Siapa?”

“Pacarnya Gian itu aku, Haira, anaknya Papa.”

“Rara pacaran sama Gian … anaknya Mbak Yanti?” tanyanya memastikan.

Kepalaku mengangguk. Pelan sekali. Setelah itu, aku tidak berani mengangkat pandangan dan lanjut makan sambil menunduk.

Hening menyelimuti kami, baik aku dan Mbak Yanti sama-sama terdiam.

Lalu, setelah memantapkan hati, aku mulai angkat bicara. Kepalaku masih menunduk, ketika bilang ke Mbak Yanti bahwa aku mencintai Gian. Suaraku masih gemetar, linangan air mata masih turun membasahi pipi, ketika aku bilang ke Mbak Yanti bahwa aku tidak mau putus lagi dengan Gian.

Maka segera kuceritakan perihal keresahan hatiku selama ini ke Mbak Yanti. Kukatakan padanya untuk mengakhiri hubungan terlarang dengan Papa, agar perasaan itu tidak semakin tumbuh, agar mereka bisa berhenti saling mencintai, agar mereka tidak melanjutkan cinta ke jenjang yang lebih serius. Aku betul-betul memohon ke Mbak Yanti agar dia paham mengenai perasaanku terhadap anak laki-lakinya.

Aku mencintai Gian, dan Gian juga mencintaiku, maka kumohon padanya untuk merestui hubungan kami saja. Sudah. Aku tidak minta apapun lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
An Ice Cream Story
539      374     0     
Short Story
Cacak seperti lambang tergadai; Kisah ini merupakan perihal orang-orang yang sedang kasmaran. Ini mengenai kisah cinta yang sompek; perkara yang tidak dapat diharapkan lagi. Saking sompeknya, mari bersama menertawai kisah ini melalui perumpamaan manisnya menikmati sebuah ice cream.
Broken Wings
944      588     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Hello, Kapten!
848      426     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Ada DIA
1006      617     8     
Short Story
Kisah ini menceritakan sebuah kehidupan anak muda yang sudah berputus asa dalam hidupnya dan hingga suatu titik anak muda ini ingin menyerah untuk hidup hingga suatu kala ia bertemu dengan sosok DIA yang membuatnya bangkit.
Dendam
447      321     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Perihal Waktu
352      238     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
(not) the last sunset
477      322     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
Enorcher
539      278     7     
Short Story
Enorcher bilang, di antara hari-hari yang biasa kita sebutkan ada beberapa hari yang ternyata tidak kita ketahui. Termasuk keberadaan angka-angka yang hilang di antara nol sampai sembilan. Saat Margo menginterogasi, Enorcher mengaku biasa melakukan aksi pembunuhannya pada hari-hari yang tidak terdaftar itu.
Behind the Three Face
656      338     4     
Short Story
"Pepatah tua jepang mengatakan setiap orang punya tiga wajah. Wajah pertama adalah yang kau tunjukan pada dunia, wajah kedua hanya kau tunjukan pada keluarga dan teman dekat saja, dan wajah ketiga adalah yang tidak ingin kau tunjukan pada siapapun, inilah yang mereflesikan dirimu yang sebenarnya."
Pieces of Word
2034      695     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗