Aku sedang belajar sendirian di kamar, saat tiba-tiba Papa masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu, langkah kakinya berjalan mendekatiku lalu berdiri di sampingku. Tidak kuhiraukan, kedua mataku tetap memandang ke buku sementara tangan kananku masih sibuk menulis catatan di buku tulis.
Papa melempar sebuah kamera kecil yang mirip sekali dengan kamera yang kemarin kupasang untuk mengawasi Papa dan Mbak Yanti, membuatku terkejut walau berusaha kusembunyikan, lalu Papa bertanya padaku mengenai kamera itu setelah salah satu asisten rumah tangga tidak sengaja menjatuhkannya dan kemudian melapor ke Papa.
“Aku mau fokus belajar, Pa.”
“Lihat Papa! Anak kalau diajak ngobrol sama orangtua itu dilihat!” kata Papa dengan nada tinggi.
“Iya, aku yang pasang kamera itu di kamar Papa.”
“Buat apa kamu pasang kamera-kamera kayak gini di kamar Papa sama Mama?” Papa nanya dengan raut wajah terkejut.
“Buat ngerekam Papa sama Mbak Yanti,” jawabku yang kini beralih memandang Papa. “Jangan pikir aku nggak tau perbuatan Papa sama Mbak Yanti selama ini.”
“Sejak kapan kamu tau?”
“Seharusnya aku yang nanya, sejak kapan Papa selingkuh?” tanyaku sedikit berteriak.
“Jaga mulut kamu ya!”
“Apa yang kubilang ini bener, kan, Pa?”
“Rara!”
“Apa?!”
“Jangan bicara sembarangan kamu!”
“Kenapa harus Mbak Yanti, sih, Pa?!” kataku dengan nada berteriak marah sambil mulai menangis. “Papa nggak tau, kan, kalau aku pacaran sama Gian, anaknya Mbak Yanti?!”
“Apa maksudmu kamu pacaran sama Gian?”
“Udah lah, selain nilai-nilaiku di sekolah, Papa sama Mama memang nggak tau apa-apa tentang aku selama ini.”
“Dari mana kamu bisa mikir begitu?!”
Aku sudah tidak mau menanggapi perkataan Papa lagi. Aku kemudian bangkit dari duduk dan minta Papa untuk keluar dari kamarku dengan berteriak. Kedua tanganku mendorong Papa agar mau keluar, walau Papa menolak karena sepertinya dia masih ingin bicara padaku.
Papa masih tidak mau keluar sehingga aku terpaksa mengambil buku-buku dari rak dan melemparnya dengan ganas ke arah Papa. Aku menangis dan berteriak marah ke Papa hingga Papa akhirnya mengalah lalu keluar dari kamarku.
Setelah itu, aku menuju tempat tidur, berbaring dengan posisi tengkurap sambil memeluk bantal dan menangis sampai tertidur.
*****
Hari ini, rasanya aku tidak mau pulang ke rumah walau sudah malam, inginnya menginap saja di rumah Sita, tapi anak itu sedang tidak ada di rumahnya karena belum pulang dari acara melayat ke rumah saudaranya yang meninggal tadi pagi.
Terpaksa aku harus pulang setelah turun dari motor Gian dengan perasaan berat. Seharian ini Gian sudah coba menghiburku setelah kuberitahu bahwa aku bertengkar dengan Papa semalam mengenai sesuatu yang tidak perlu Gian tahu.
Aku membawa kakiku dengan langkah berat setelah melewati pintu rumah, menuju kamarku yang berada di lantai satu, lalu segera masuk kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Beberapa menit kemudian, Papa tiba-tiba masuk ke kamarku dengan tanpa mengetuk pintu seperti kemarin.
“Papa ke sini mau minta maaf ke kamu soal kemarin. Papa juga mau ngobrol sebentar sama kamu. Kamu bisa bangun sebentar?”
Dengan gerakan malas, aku tetap bangun dan memandang sinis ke arah Papa: “Mau ngobrol apa lagi, Pa? Aku capek, baru pulang sekolah. Aku udah nggak punya energi lagi buat ngobrol sama Papa.”
Papa kemudian duduk di pinggiran tempat tidur alih-alih keluar.
“Apa Mama udah tau?” Papa pasti sedang membicarakan tentang perselingkuhan yang dia lakukan dengan Mbak Yanti.
“Belum,” jawabku malas. “Mama belum tau kalau dia ternyata punya suami berengsek kayak Papa.”
“Papa minta maaf, tapi tolong jangan kasih tau Mama dulu,” kata Papa.
“Kenapa jangan?” tanyaku dengan tatapan tidak percaya karena Papa terlihat sama sekali tidak bersalah atas perbuatannya. “Aku punya bukti. Aku punya rekaman perbuatan kalian dari kamera itu.”
“Jangan kasih tau Mama, demi hubungan kamu sama Gian,” kata Papa sambil memandangku lembut dan tersenyum tipis.
“Selain jadi pacarnya Gian, aku juga anak Mama. Aku tetep harus kasih tau ke Mama.”
Papa kemudian menggeser duduknya jadi lebih dekat denganku. Setelah itu, Papa mulai bicara padaku dengan suara harus dan nada yang sangat lembut.
Papa bilang, jika Mama nanti tahu tentang perbuatannya dengan Mbak Yanti, bukan hanya hubunganku dengan Gian saja yang kena imbasnya. Papa bilang bahwa kemungkinan besar Mama akan minta cerai dengan Papa, lalu mengambil hak asuhku dan aku pun akan tinggal berdua saja dengan Mama. Papa bilang bahwa Mama pasti akan memiliki trauma sehingga tidak akan mempekerjakan seorang pengasuh untukku lagi. Papa bilang bahwa aku pasti akan jadi anak yang kesepian karena harus putus dengan Gian, selain itu aku juga pasti tidak akan punya teman di rumah karena tidak memiliki pengasuh.
Papa bilang untuk jangan memberitahu Mama mengenai perselingkuhan yang dia lakukan. Dengan begitu aku tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ibu dari Mbak Yanti. Dengan begitu aku akan tetap bisa pacaran dengan Gian. Dengan begitu aku tidak akan menjadi anak yang kesepian.
*****
Hari ini, Mama sudah bilang bahwa dia akan tiba di bandara ibukota saat petang.
Ketika bertukar pesan dengan Mama tadi, Mama bilang bahwa dia benar-benar sengaja tidak memberitahu Papa karena ingin membuat kejutan untuk Papa seperti usulku kemarin, jadi aku juga tetap tidak memberitahu Papa mengenai kepulangan Mama.
Aku kini sedang duduk di ruang tunggu kedatangan dalam negeri, duduk sendirian sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong, pikiranku rasanya benar-benar penuh sekarang. Banyaknya orang yang berlalu lalang di bandara sama sekali tidak kuhiraukan.
Terlalu larut dalam pikiranku sendiri, aku jadi tidak sadar bahwa Mama sudah tiba. Mama menepuk pundakku dan membuatku tersadar, kemudian melihatnya yang tampak senang bertemu denganku.
Mama meletakkan gelas kopinya kemudian mengulurkan tangan, memelukku sebentar sambil bilang bahwa dia rindu sekali denganku.
Aku hanya balas dengan mengangguk, paham sekali bahwa Mama tidak serius saat dia bilang bahwa dia rindu, karena jika memang benar dia merindukanku selama di sana, dia seharusnya bisa menyempatkan waktu untuk mengirimkan pesan padaku walau hanya sekali dalam satu hari.
Nyatanya Mama tidak pernah melakukan itu, karena dia justru berpesan padaku untuk jangan mengganggunya selama berada di sana karena dia akan cukup sibuk. Aku yang tidak paham mengenai kesibukan orang dewasa pun hanya bisa menuruti perintah Mama.
Di belakang Mama ada Pak Cipta. Dia adalah sekretaris Mama. Dia yang selalu tidak pernah absen untuk ikut ke mana pun Mama melakukan perjalanan bisnis.
Kulihat Pak Cipta tersenyum sopan saat kami tidak sengaja bertatapan. Tangan kanannya memegang segelas kopi sementara tangan kirinya memegang tarikan koper serta tali tas jinjing.
Mama kemudian minta Pak Cipta untuk menaruh barang-barang Mama di mobil yang tadi mengantarku ke bandara.
Pak Cipta menurut, berlalu meninggalkan aku hanya berdua dengan Mama sekarang.
Mama bilang kalau dia tidak makan selama berada di pesawat tadi, jadi Mama ingin mengajakku untuk mencari makan dulu sebelum pulang ke rumah.
Mama membawaku ke sebuah restoran yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Tempatnya tidak terlalu ramai. Di sini, setiap meja disediakan empat kursi, selain itu ada lilin hias dan vas berisi bunga yang diletakkan di tengah-tengah meja.
Seorang pelayan laki-laki menghampiri kami tidak lama kemudian, menyerahkan buku berisi berbagai macam menu, lalu kutanya mengenai menu yang direkomendasikan saja karena malas memilih.
Selesai mengisi perut, kami akhirnya pulang ke rumah.
Selama berada di dalam mobil, Mama sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang Mama lihat sampai matanya sama sekali tidak berpindah dari benda pipih itu. Aku tidak peduli dan tidak ingin mengganggunya.
Saat kompleks perumahan sudah dekat, aku membuka salah satu aplikasi chatting, mencari nomor Papa dan mulai mengetik pesan untuknya. Kubilang ke Papa bahwa sebentar lagi Mama akan tiba di rumah, jadi aku minta ke Papa untuk menunda dulu kegiatan mesra-mesraan dia dengan Mbak Yanti.