Pukul setengah enam, aku bangun, lalu segera beranjak dari tempat tidur, kemudian mandi, setelah itu sarapan, baru bersiap memakai kaos kaki.
Ponselku di tempat tidur tiba-tiba berbunyi ketika aku baru memasukkan kaos kaki sebelah kiri. Segera kuhampiri tempat tidur dengan langkah tergesa, tetapi hal itu malah membuatku tidak sengaja terantuk pinggiran tempat tidur, yang seketika menimbulkan rasa nyeri di sekitar tulang kering.
“Halo?” sapaku kepada si penelepon yang tidak lain adalah Gian
Aku meringis dan berusaha menahan rasa sakit.
Gian di seberang sana sepertinya bangun kesiangan hari ini sehingga baru sempat meneleponku sekarang.
“Halo. Udah bangun kamu?” tanyanya.
Aku di tempat tidur hanya bisa meringis sakit ketika akhirnya bisa mendengar suara Gian pagi ini.
“Iya, udah, kamu sendiri bangun kesiangan begini habis begadang?” tanyaku.
“Enggak, aku nggak begadang semalem,” jawabnya.
“Sekarang udah sarapan?” tanyaku.
“Udah, kamu mau kujemput sekarang?” tanyanya.
“Iya, boleh,” jawabku sambil mengelus-elus kakiku sendiri yang masih terasa nyeri akibat terantuk tadi.
“Oke,” kata Gian.
“Oh iya, by the way, kamu weekend nanti mau ke mana?” tanyaku.
“Weekend?” Gian mengulang pertanyaanku.
“Iya, kalau kamu nggak ke mana-mana, mau nonton?” tanyaku.
“Weekend …,” ulang Gian bagai sedang mikir.
“Kalau udah ada janji sama temen-temenmu, nggak usah nggak apa-apa,” sahutku cepat. “Lain kali aja.”
“Nggak, nggak ada janji sama temen-temen,” jawab Gian.
“Oke, weekend nanti kita nonton, ya?” tanyaku, dengan sedikit rasa antusias.
“Oke,” balas Gian.
“Kalau gitu, aku tutup ya, teleponnya?” tanyaku.
“Iya, ini aku juga mau otw habis ini, tunggu,” kata Gian.
“Iya, hati-hati,” jawabku.
*****
Setelah teleponan dengan Gian tadi, entah kenapa aku merasa bahwa kami berdua terasa cukup kaku ketika mengobrol. Mengenai ajakanku kepada Gian pun terdengar kaku dan sama sekali tidak natural.
Aku kemudian tidak sengaja melihat Sita ketika baru keluar rumah. Kebetulan sekali aku hendak meneleponnya. Segera kuhampiri dia.
Sita menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka pintu mobil ketika dia melihatku mendekat.
“Aku tadi udah telepon dan ngajak Gian nonton sesuai saranmu kemarin, tapi reaksinya dia datar-datar aja, kayak nggak ada antusiasnya sama sekali gitu loh, Sit.”
“Jadi, dia nolak?” tanyanya sambil memutar tubuh menghadapku.
“Enggak, sih, cuma, kan, harusnya dia seneng gitu, kek, bisa nonton berdua,” jawabku.
“Terus, dia harus heboh gitu karena diajak pacarnya nonton?” tanyanya.
“Nggak gitu maksudku,” jawabku dengan sedikit bingung. “Ah, nggak tau lah.”
“Hadeh,” kata Sita. “Tapi, kamu sekarang tau nggak, kira-kira apa yang bikin aku sakit hati pagi ini?”
“Sakit hati kenapa?”
“Sakit hati karena denger seorang Rara pagi-pagi udah ngomongin pacarnya di depan temennya yang lagi jomblo ini,” jawab Sita. “Bikin iri tau, nggak?”
“Kan, kemarin kamu yang ngasih saran begitu.”
Iya, saat pulang bareng dengan Sita kemarin, dia memberi banyak saran agar hubunganku dengan Gian tidak lagi putus nyambung seperti dulu, salah satunya yaitu dengan menghabiskan banyak waktu bersama pacar, contohnya seperti mengajak pacar ke bioskop, dan langsung kupraktekkan saat Gian menelepon tadi.
“Kemarin juga sebenernya aku sakit hati, sih, karena kamu justru minta saran tentang pacaran ke orang yang jomblo dari lahir ini.”
“Emangnya nggak boleh?” tanyaku bingung.
“Yaaa emang nggak ada yang bilang nggak boleh, tapi kalau kamu emang nggak peka ya terserahmu aja.”
Sita kemudian mengajakku untuk masuk ke dalam mobilnya. Dia menyuruhku untuk menunggu Gian di depan gerbang kompleks saja, agar Gian tidak perlu jauh-jauh menjemput sampai ke rumahku, dan aku menurut. Aku dan Sita duduk bersebelahan di jok belakang.
“Udah lah, kalau emang reaksinya Gian cuma lempeng begitu, ya udah, sih, nggak usah dibikin ribet,” kata Sita.
“Pacaran itu emang sesusah ini, ya?” tanyaku bagai ke diri sendiri.
Sita tertawa kecil, kemudian mengeluarkan ponselnya.
“Heh, kalau cuma perkara reaksinya Gian aja bikin kamu galau begini, gimana kalau kukenalin cowok yang eskpresif?”
“Nggak usah aneh-aneh,” kataku.
“Wah, kalau begini, sih, kentara banget kalau di antara kalian tuh malah kamu yang lebih bucin dari Gian.”
Bukannya memberi solusi, jomblo di sebelahku ini justru meledekku habis-habisan. Ingin rasanya kusumpal mulutnya, kalau bisa pakai buku kamus, agar mulut itu bisa mingkem sebentar. Habisnya kesal. Tahu begini kutolak saja tawarannya tadi.
Bahkan sampai kami tiba di depan gerbang kompleks dan bertemu dengan Gian, Sita masih saja meledekku. Dia bahkan sampai mengarang cerita, bahwa aku bangun pagi-pagi sekali, demi menunggu Gian di sini, mana ceritanya itu dilebih-lebihkan pula, pokoknya membuatku seolah-oleh bucin sekali ke Gian, yang langsung menuai tawa dari Gian.
Hari ini, Gian bawa dua helm, salah satunya beda dari yang kemarin, entah helm siapa yang dia pinjam kali ini, dia tidak memberitahu.
Ketika aku sudah naik ke atas motor, Sita berteriak sedikit keras agar aku memeluk Gian dari belakang.
Mendengar Sita bilang begitu, betul-betul ingin kulempar helm ke mulutnya agar bisa diam. Sementara Gian, dia hanya tertawa, lalu pamit ke Sita bahwa kami berangkat duluan. Sita menanggapi, berpesan untuk hati-hati, juga jangan sengaja ngerém mendadak sebagai modus agar aku bisa memeluk Gian. Setelah itu, barulah aku dan Gian benar-benar berangkat menuju sekolah.
Seperti kemarin, Gian sengaja memelankan laju motornya. Aku, sih, tidak protes, karena jujur, aku juga senang bisa berduaan lama-lama dengan Gian di atas motor, lagipula jam masuk sekolah masih belum terlalu mepet. Biarlah pagi ini aku kembali bisa mencium parfum maskulin milik Gian sedikit lebih lama.
*****
Setelah jam istirahat kedua, Gian tiba-tiba ijin pergi ke UKS karena merasa sedang kurang enak badan.
Aku mendadak dibuat cemas. Padahal, tadi pagi, dia kelihatan masih baik-baik saja dan sehat. Tapi, dia bilang untuk tidak perlu khawatir, dan tidak perlu ditemani selama berada di UKS. Dibuat tiduran sebentar pasti nanti langsung pulih lagi katanya.
Karena mata pelajaran terakhir hari ini adalah Bahasa Inggris dan guru yang mengajar lumayan garang, maka aku tidak berani bolos kelas demi menemani Gian. Dengan perasaan sedikit resah, beberapa kali kulirik jam di dinding sembari berharap agar kelas cepat selesai.
Akhirnya, aku bisa menyusul Gian setelah bel pulang sekolah sudah berbunyi. Segera kulangkahkan kakiku menuju UKS, dengan sedikit tergesa sambil membawa tasnya Gian. Tapi, saat sampai di sana justru aku melihat Gian sedang santai tiduran sambil bermain ponsel. Dia sama sekali tidak terlihat seperti sedang sakit.
Maka, segera kuhampiri dia untuk mengecek seluruh badannya. Suhu tubuh Gian normal, membuatku semakin bingung.
Gian tiba-tiba menunjukkan dua buah tiket bioskop dari dalam saku celananya.
Melihat itu, aku jadi terdiam dengan mulut melongo, tidak paham dengan situasi yang sedang kuhadapi sekarang.
“Kapan kamu beli ini?” kutanya, maksudnya kapan dia sempat membeli dua tiket bioskop sementara sejak tadi pagi ada di sekolah?
“Kenapa harus nunggu weekend dulu buat bisa nonton?” Gian justru balik nanya.
“Hah?”
“Weekend, kan, masih lama,” katanya. “Makanya, aku sengaja bolos kelas buat ke bioskop beli tiket.”
Aku berkedip bingung.
Kutatap dua buah tiket yang tadi disodorkan oleh Gian, masih berusaha mencerna situasi, barulah setelah itu, kupandang lagi Gian sambil tidak bisa berkata-kata.
Jadi, setelah istirahat kedua usai, Gian hanya pura-pura, tidak benar-benar sakit?
Jadi, saat dia bilang bahwa sedang tidak enak badan, lalu pergi ke UKS, sebenarnya dia keluar sekolah untuk beli tiket bioskop agar bisa nonton hari ini? Sehingga dengan begitu kami tidak perlu berlama-lama menunggu sampai akhir pekan?
Aku tersenyum, mentap Gian dengan pandangan berbinar. Jalan pikirannya benar-benar tidak bisa kupahami.
Lalu, kami keluar UKS dan berjalan menuju parkiran.
“Tapi, kenapa nggak beli dari hp aja biar nggak perlu bolos kelas?”
“Tadi nggak kepikiran, kayaknya cinta memang bisa bikin bodoh, ya?” jawabnya seraya tetap memandang ke depan, nada bicaranya benar-benar santai, seolah tidak ada yang perlu disesali dari membolos.
“Kalau kamu keseringan bolos, gimana mau lulus, Gi?” kataku sedikit kesal.
Gian hanya menjawab dengan mengedikkan kedua bahu. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.
“Itu dipikirin nanti, fokus aja sama kencan kita hari ini,” kata Gian.
Gian tiba-tiba menyambar tanganku dan terus menggandengku selama berjalan menuju parkiran sekolah.
*****
Selesai nonton film, aku keluar sendirian dari bioskop karena Gian belum kembali dari toilet sejak tadi.
“Filmnya udah selesai?” tanya Gian yang tiba-tiba menghampiriku sambil membawa satu bungkus makanan yang dia bawa menggunakan gigi karena kedua tangannya sudah penuh oleh dua cup minuman.
“Kamu ke mana aja?”
“Beli burger sama minum,” jawab Gian. “Kamu tadi sebelum masuk bioskop pengen beli ini, tapi nggak jadi gara-gara antri panjang, kan?”
Mendengar itu aku senyum, kupandang dia dan dia juga senyum.
Segera kuambil bungkus makanan berisi burger yang ada di mulut Gian, tapi tidak langsung kumakan isinya, karena masih belum lapar dan belum ingin makan apapun. Perutku rasanya masih sedikit penuh karena cukup banyak makan popcorn saat di dalam bioskop tadi.
“Jadi, ini tuh kencan pertama kita setelah kita jadian lagi?” tanyaku malu-malu. “Kangen banget rasanya nonton berdua kayak gini.”
Gian mengangguk. Kedua matanya masih memandangku.
“Inget, nggak, kencan pertama yang dulu, kita ngapain?”
“Main ke Dufan?” tanyaku sambil berusaha mengingat-ingat.
“Poin pentingnya?”
“Kita pake baju couple?”
“Bukan, yang lain?”
“Kamu lupa nggak bawa dompet?”
“Bukan,” kata Gian. “Waktu itu, pertama kalinya aku bisa cium kamu walaupun cuma lewat dua jari.”
“Sekarang, mau cium lagi?” tanyaku sambil tersenyum.
“Tapi, ini … minumannya … tanganku …”
Karena tangan Gian sudah penuh gara-gara membawa dua minuman, maka kali ini aku yang berinisiatif mencium pipinya lewat dua jariku.
Aku jadi merasa malu setelah itu. Kupandangi banyak arah, berharap tak ada orang yang memperhatikan kami.
*****
Selesai nonton, kami tidak langsung pulang.
Aku mengajak Gian untuk berkeliling mall sebentar. Seperti biasa, Gian mengiyakan dan hanya menurut saja tanpa banyak protes. Selain itu, dia juga menyuruhku untuk menyerahkan tasku padanya, agar dia saja yang membawakan tasku selama kami berkeliling, sehingga kini tasku ditenteng oleh tangan kanannya selagi kami jalan bersisian di dalam mall.
Aku kerap kali menarik tangan Gian jika kebetulan menemukan sesuatu yang lucu dan berhasil menarik perhatianku.
Saat tidak sengaja menemukan bando dengan berbagai bentuk telinga hewan, aku menyeret Gian dan minta dia untuk memakai salah satu.
Setelah bando bertelinga kucing sudah terpasang di kepalanya, aku mengambil ponsel, kemudian memotret Gian yang sebenarnya malu dan tidak minat difoto. Habis itu, kupaksa Gian agar mau berfoto selfie denganku sambil sama-sama memakai bando telinga kucing, mencoba berbagai pose dan mengabadikan foto kami beberapa kali walau Gian terus merengek tidak mau difoto.
Puas berkeliling, aku dan Gian menuju naik tangga elevator menuju lantai tiga, menuju arena game, berniat mencoba beberapa permainan di sana.
Permainan pertama dimulai dengan taruhan main bola basket, yaitu barang siapa yang paling banyak memasukkan bola ke dalam ring, maka dia yang boleh memilih permainan selanjutnya. Permainan pun dimulai dan kami segera mengambil bola basket masing-masing di waktu yang hampir bersamaan.
Sepertinya ring basket yang ada di depanku sedikit lebih tinggi dari yang ada di depan Gian, karena bola yang kulempar rasanya susah sekali masuk ke dalam ring. Alhasil, Gian lah yang menang dengan jumlah skor lumayan jauh. Maka dari itu, dia kemudian menarik tanganku untuk menghampiri permainan capit boneka.
Kali ini, aku yang main lebih dulu, tapi sepertinya mesinnya juga sedikit error saat kumainkan karena tidak berhasil mengambil apapun. Ketika Gian main, barulah mesin bekerja dengan benar, menghasilkan satu boneka berbentuk biskuit warna cokelat yang memiliki alis, mata, mulut tersenyum yang memperlihatkan satu gigi, serta kaki dan tangan bantet.
Selesai bermain capit boneka, Gian mengajakku pulang, karena tanpa terasa malam sudah semakin larut. Lagipula, aku juga belum bilang ke Mbak Yanti bahwa hari ini akan pulang sedikit terlambat.
“Foto yang pake bando tadi, kalau aku upload di Instagram, boleh, nggak?” tanyaku ketika kami sudah duduk satu motor dan sedang dalam perjalanan pulang.
“Boleh aja. Nanti jangan lupa tag, biar ku-repost,” jawab Gian sambil sedikit menoleh ke belakang.
“Oke. Aku upload sekarang,” kataku sambil kemudian mengambil ponsel dan membuka salah satu aplikasi media sosial. “Coba deh kasih saran. Menurutmu ini enaknya pake emot love yang warna apa?”
“Terserah, yang mana aja boleh.”
Aku mengangguk dan segera memilih salah satu emoji bergambar hati warna biru. Barulah kuunggah foto kami setelah itu.
“Apa aku tag akun sekolah juga, ya, biar di-repost sama adminnya?” tanyaku.
“Hahaha,” Gian ketawa. “Biar apa nge-tag akun sekolah?”
“Ya biar satu sekolah pada tau.”
“Mau pamer lagi ceritanya?”
“Nggak deh, nggak jadi.”
Ah, aku tiba-tiba jadi teringat pada sesuatu gara-gara membicarakan tag dan repost.
“Oh iya, aku kayaknya pernah lihat deh kamu di-tag sama cewek. Terus, kamu repost juga snapgram-nya,” kataku. “Itu cewek siapa, ya?”
Gian diam sebentar.
“Cewek? Cewek siapa?” tanya Gian.
“Ya mana aku tau? Pokoknya, aku pernah lihat kamu foto berdua sama dia, terus dia tag kamu, abis itu kamu repost juga.”
Gian diam lagi, sambil kepalanya sedikit mendongak ke atas, bagai sedang mengingat-ingat sesuatu. Tidak sabar menunggu jawaban Gian, aku kembali mengeluarkan ponsel, lalu membuka folder yang berisi hasil tangkapan layar, kemudian menunjukkan sebuah foto yang ada di folder itu pada Gian.
Barulah Gian ber-oh panjang setelah itu. Dia sepertinya sudah ingat mengenai identitas perempuan yang kumaksud.
“Cewek yang kamu maksud itu?” tanya Gian.
“Iya, siapa tuh?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa kok foto bareng?”
“Cuma temenku di sekolah lama.”
“Namanya dia siapa?”
“Namanya Jasmine.”
Aku kemudian diam sambil merengut sebal.
“Dia pinter nyanyi.”
“Oh.”
“Suaranya bagus.”
“Oh.”
Setelah itu, hening kembali.
“Aku foto sama dia itu waktu ngisi pensi di sekolahku yang lama,” kata Gian.
“Kamu ngapain?”
“Aku main piano.”
“Terus, hubungannya sama cewek itu?”
“Dia yang nyanyi.”
“Satu panggung?”
“Iya,” jawabnya. “Habis perform, dia ngajakin foto bareng.”
“Udah gitu doang?”
“Iya.”
“Beneran cuma temen, kan?”
“Kalau misalkan aku suka dia, kamu cemburu?”
“Ih!” kataku sebal.
“Mau tau yang aku suka beneran itu siapa?”
“Siapa?”
“Ciri-cirinya dia satu kelas sama aku, nama huruf depannya: H.”
“Haikal?”
“Ha ha ha,” Gian tertawa. “Homo dong?”
“Ya terus siapa?”
“Si pendek kecil yang suka marah tapi lucu, namanya Haira.”
Tepat setelah Gian bilang begitu, kedua pipiku seketika langsung merona, pasti kelihatan merah jika dilihat dari kaca spion. Asli, mulut Gian selalu bisa bikin aku salah tingkah dengan berbagai kalimat.
Jujur saja, aku sebenarnya tidak suka dikatai pendek, walau memang kenyataannya begitu. Tapi kalau Gian yang bilang, entah kenapa aku justru merasa senang, justru tidak bisa marah sama sekali.
“Eh, berarti kamu masih stalk akunku waktu kita habis putus?” tanya Gian yang seketika membuyarkan semua bayanganku barusan.
“Dih, ngapain?” balasku cepat.
“Lah, itu kamu tau aku foto sama cewek?”
“Enggak, aku nggak stalk akunmu.”
“Terus, tau dari mana?” tanyanya lagi.
Gian benar, aku sebenarnya masih suka memantau dia setelah kami putus. Kulakukan itu bukan karena masih peduli padanya, melainkan karena sedang gabut saja. Aku begitu karena terkadang merasa penasaran dengan kehidupannya setelah kami berpisah, penasaran mengenai apakah dia sudah dapat penggantiku atau belum? Jika sudah, aku juga penasaran apakah perempuan itu parasnya lebih cantik daripada aku atau tidak?
“Foto itu nggak sengaja lewat timeline. Bukan hasil dari stalk akunmu.”
“Kalau gitu, berarti kamu masih nge-follow aku?” tanyanya.
“Diem deh, nggak usah ngomongin tentang itu lagi.”
“Iya, oke, aku diem.”
Gian kembali mengerahkan fokusnya pada jalanan. Kulihat langit semakin gelap, pertanda malam sudah tiba.
*****
Ketika melewati perempatan, Gian justru membelokkan motornya ke kanan dan bukan ke kiri. Itu artinya, dia tidak mengantarku menuju rumahku, atau belum.
Saat kutanya mau ke mana, Gian cuma bilang ke suatu tempat, ada sesuatu yang mau dia tunjukkan padaku.
“Udah nyampe,” kata Gian.
“Ini gedung apa, Gi?”
“Kamu tau nggak, sebulan lagi bakal ada kompetisi piano di sini?”
“Tau,” jawabku.
“Aku ikut,” katanya. “Kamu nonton, ya?”
“Kamu ikut kompetisinya?”
“Iya.”
“Wah … beneran?”
“Iya, aku udah daftar.”
“Kalau gitu, boleh nggak, lihat kamu main piano?”
Gian mengangguk kemudian mengajakku untuk masuk ke dalam gedung. Tak kusangka di dalam terang benderang karena ada banyak lampu. Gian kemudian menuntunku untuk masuk ke dalam ruangan yang agak luas, lalu dia duduk di belakang sebuah piano warna putih yang ada di bagian pojok ruangan.
“Mau lihat aku main lagu apa?”
“Mmm ...”
“Apapun request-mu, aku turutin.”
“Terserah deh.”
“Kok terserah?”
“Nggak apa-apa, terserahmu mau main lagu apa.”
Gian mengangguk dan mulai fokus pada tuts piano di depannya.
Ah, gila! Entah kenapa Gian jadi terlihat seribu kali lebih keren dan lebih tampan ketika jari jemarinya mulai menekan tuts-tuts piano dan membuatnya jadi sebuah melodi yang indah. Aku hanya bisa terpaku hingga permainannya berakhir.
“Haira,” panggilnya.
“Iya?”
“Lima belas tahun lagi.”
“Hm?” tanyaku tak paham. “Lima belas tahun lagi kenapa?”
“Aku janji setelah lima belas tahun, aku mau ngadain konser resital piano. Apa kamu mau nonton aku lima belas tahun nanti?”
“Mau,” jawabku. “Aku mau lihat konsermu, Gian.”
“Janji?”
“Iya, janji, he he he.”
Ah, tiba-tiba aku jadi merasa sedikit terharu.
“Oke, kamu udah janji, loh, ya,” kata Gian. “Sekarang, kita pulang? Udah malem.”
“Iya.”
*****
Saat sampai di rumah, aku segera mencari Mbak Yanti, ingin bercerita banyak hal mengenai hari ini bersama Gian.
Selain itu, aku juga ingin memberitahu ke Mbak Yanti, bahwa sejak kemarin aku pacaran dengan Gian. Entah mengapa aku selalu tak sempat ketika mau cerita ke Mbak Yanti perihal hal itu. Sepertinya Gian sendiri juga belum cerita ke ibunya, karena Mbak Yanti pasti sudah heboh jika dia tahu mengenai hubungan kami yang sekarang.
Iya, aku harus memberitahu Mbak Yanti sekarang juga. Dia tampaknya senang sekali saat melihat aku dan Gian bisa akrab, pasti akan bertambah senang kalau dia tahu bahwa kami sedang pacaran sekarang. Sudah bisa kubayangkan ekspresi bahagia Mbak Yanti, ketika nanti dia tahu bahwa aku dan anaknya memiliki hubungan istimewa yang lebih dari sekadar teman. Dia pasti akan gembira!
Maka, kulangkahkan kakiku untuk mencarinya yang sekarang entah berada di mana. Mungkin sedang di kamarnya.
Tapi, sesaat setelah aku menemukan Mbak Yanti di dekat kamar mandi belakang, kemudian memberitahunya alasan di balik aku yang hari ini pulang terlambat, Papa tiba-tiba memanggilku, kemudian berjalan mendekat ke kami sambil bertanya padaku mengapa baru pulang ketika sudah malam begini.
Sekilas, dapat kulihat ekspresi Mbak Yanti tiba-tiba berubah tegang. Setelah itu, dia buru-buru undur diri, katanya mau menyiapkan air hangat untukku mandi. Lagi-lagi, aku kehilangan kesempatan untuk memberitahunya mengenai sesuatu yang penting.
Ya sudah lah, mungkin besok saja aku bisa cerita padanya. Sekarang aku harus segera mandi. Tubuhku rasanya sudah lengket karena habis melakukan banyak kegiatan.
Gian hanya mengirim pesan singkat sebelum aku tidur.
Aku jadi teringat mengenai kerisauanku sendiri tadi pagi. Tentang aku yang bertingkah kekanak-kanakan. Tentang aku yang mendadak sebal pagi-pagi, karena Gian tidak antusias saat kuajak nonton. Tentang aku yang gampang merajuk hanya karena hal sepele, padahal, seharusnya aku sudah tahu bahwa tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari reaksi Gian. Dia memang bukan tipe yang ekspresif. Seharusnya aku sudah paham dan tidak perlu merasa kesal mengenai hal itu.
Mengingat semua kegiatan hari ini bersama Gian membuatku tersenyum.
Seharusnya, aku tidak perlu merasa risau karena orang yang mencintaiku adalah Gian.
Seharusnya, aku tidak perlu merasa risau karena Gian akan selalu berhasil membuatku senang dengan caranya sendiri.