David resah, menatap rekan-rekannya. Adakah di antara mereka yang seperti dirinya, hanya berharap uang? Pasti ada, dan dia bisa mengira-ngira, siapa saja di antara rekan-rekannya yang memburu uang hadiah. Mereka itu mungkin mau berkompromi dengan uang, untuk mengalah pada lawan. Namun lidahnya terasa berat untuk membicarakan tawaran dari Bang Jayus.
Haji Kodier datang ke hadapan mereka. Dia bilang bahwa Bang Toyib akan menjemput Coach Pieters, dan nanti langsung ke lapangan ABC.
“Jadi kalian berangkat ke lapangan pertandingan, sama babe, dan juga Bang Jaelani.”
“Naik truk, Be?”
“Kagak. Babe sudah sediakan angkot.”
“Wah, makasih Be.”
“Begini anak-anak, babe cuma mau ngasih nasehat sedikit saja. Kalian ini hanya sekali mengalami masa muda. Mungkin hanya sekali ini saja, kalian bertanding sepak bola sampai grand final. Jadi, gunakan kesempatan yang sekali ini, untuk berjuang meraih kemenangan. Kebanggaan sebagai pemenang yang bakal kalian raih nanti, mungkin akan membekas di seluruh sisa hidup kalian. Kemenangan itu mungkin bisa memberi dorongan semangat, jika suatu saat nanti kalian merasa diri kalian tak berarti. Setidaknya, sekali dalam hidup, kalian pernah merasa bangga, dan membanggakan orang tua, juga warga Marunda. Selamat berjuang anak-anakku!”
“Terima kasih Be.”
Mereka masih menunggu dua orang rekan yang belum datang, Christiano dan Zidan yang masih dalam perjalanan menuju Marunda. Waktu masih banyak. Mobil yang bakal mengantar juga sedang dipanaskan mesinnya. Kali ini banyak warga Marunda yang ingin turut serta ke lokasi pertandingan, mereka mau naik mobil pribadi dan motor. Katanya pengin jadi suporter. Anak-anak tim Marunda United masih duduk-duduk di tepi lapangan, mengobrol, tertawa-tawa.
David resah sendiri, celingukan ke arah jalan. Kemudian datanglah motor yang dikendarai oleh Bang Jayus. Motor itu diparkir di depan warung. Pengendaranya melambai pada David. Segera David menghampiri Bang Jayus.
“Gimana David? Sudah dibicarakan dengan teman-teman kamu?”
“Belum Bang.”
“Gimana sih? Kamu mau duit nggak?”
“Ya mau Bang … tapi bukan dari uang sogok. Maaf ya Bang. Permisi.”
David berlari meninggalkan Bang Jayus, kembali pada rekan-rekannya. Ditolehnya pria itu. Bang Jayus belum beranjak, masih mengamati anak-anak Marunda.
David melihat Christiano dan Zidan datang dengan berboncengan motor. Christiano turun di tepi lapangan, sedangkan Zidan terus ke rumah Haji Kodier, mau menitipkan motornya.
May menghampiri Christiano. “Hey, anak Kampung Tugu, kemarin sore kelar latihan, lo ngelabrak teman-teman gue yang di salon, ya?! Mereka ngomong sama gue, kalau lo mendatangi mereka, bareng sama si Arab itu! Mereka tersinggung sama sikap lo yang nggak punya toleransi banget!”
“Bukan ngelabrak.” bantah Christiano, “Gue sama Zidan cuma minta mereka itu kagak jadi cheerleader lagi buat Marunda. Teman-teman lo yang jadi cheerleader itu sama sekali kagak menambah semangat bertanding, malah bikin kita-kita jadi malu sama tim lain!”
“Kita?” To Ming Se menoleh ke arah Christiano, “Lo aja yang malu, gue sih kagak! Jangan bawa-bawa nama tim kita ini, kalau urusan lo itu melarang orang buat nonton pertandingan sepak bola! Gue berprinsip, bahwa sepak bola itu buat semua golongan, semua ras, semua etnis, dan semua jenis. Jadi gue mah kagak masalah siapapun yang datang ke stadion untuk jadi supporter Marunda United. Gue menghargai sekecil apapun dukungan buat Marunda United. Ngerti nggak lo?!”
Merada dibela sama si Ase, May kembali memberondong Christiano dengan omongannya yang sengak.
“Lagian, teman-teman gue itu jadi cheerleader buat gue, bukan ngasih support sama lo!”
Melihat situasi yang tidak harmonis di dalam tim, padahal ini pertandingan penentuan, David segera bicara pada rekan-rekannya untuk melupakan dulu perselisihan di antara mereka. Namun May terlanjur sakit hati karena teman-temannya yang di salon itu dilarang mendukung dirinya saat bertanding nanti.
“Kenapa lo ngelarang orang ngedukung tim kita, Chris?” tanya David.
“Gue kagak ngelarang. Terserahlah kalau wadam-wadam itu mau nonton kita bertanding!” Christiano sudah malas untuk terus berdebat dengan May.
“Ya udah. Maryadi, lo bisa calling ke cheerleader itu, bilang kalau mereka boleh nonton kita di lapangan ABC.” ujar David.
“Eh, gue sih kagak ada masalah dengan teman-teman gue yang di salon.” jawab May, “Kudunya juga Christiano yang calling ke mereka, minta maaf.”
“Minta maaf sana, Chris! Lo kan, yang bikin gara-gara?!” Senggol David.
Dengan enggan, Christiano memberikan ponselnya kepada May, minta disambungkan ke nomor teman May. Setelah tersambung, May yang duluan bicara.
“Hey yeti, ada teman gue yang mau ngomong sama lo semua nih!” Lantas May mengembalikan ponsel itu pada Christiano.
“Halo, saya Christiano, yang kemaren sore ke situ. Masih inget? Maapin saya ya, udah bikin ulah di salon kalian. Kemaren itu anggap saja saya lagi mabok duren. He he he. Oh ya, teman saya Zidan juga minta maaf. Kalian lagi ngapain? Sore ini nggak sibuk? Mau jadi cheerleader lagi? Boleh kok. Ya udah, ditungguin di lapangan ABC, ya? Oke, bye.”
“Cie, cie!” May cekikikan.
Christiano yang dongkol, kemudian memilih beranjak menuju warung, katanya mau beli permen. David melihat, Christiano sudah tiba di warung, dan diajak bicara oleh Bang Jayus.
Ya ampun, tukang suap itu, kagak berhasil sama gue, malah mengincar teman gue, pikir David dengan resah. Dilihatnya Christiano melambai padanya. David beranjak dan berlari menuju warung itu.
“Maaf ya Bang, saya kagak mau! Saya kagak bisa.” ucap David begitu tiba di hadapan Bang Jayus.
“Aduuuh nih bocah, masak sih, lo kagak butuh duit?”
David menoleh pada Christiano, “Memangnya lo mau kalau disuap sama mereka, disuruh kalah?”
“Kagak. Gue pengin ikut coaching clinic sama pemain Eropa yang nanti tur ke Jakarta. Gue pengin permainan gue dilihat sama pengurus PSSI atau pelatih dari klub di Liga Indonesia. Kalau entar kita mengalah, kayaknya bakal kentara. Para pemandu bakat bisa melihat kalau pemain itu mengalah. Mereka kagak bakalan berminat sama pemain yang mengalah demi uang.” Christiano menatap David, lalu bicara lirih.
“Lo sering mengeluh, uang SPP telat karena mamih lo belum punya duit. Kadang lo ngeluh kalau mamih lo nggak punya cukup uang buat bayar kontrak rumah. Gue pengin bisa bantuin lo, tapi gue juga kagak punya duit berlebih. Kalau misalnya lo mau terima duit dari abang itu, mungkin duitnya bisa buat bantuin mamih.”
David tercengang. “Lo mau kita mengalah sama lawan?”
“Kalaupun kita bertanding secara jujur, belum tentu kita menang. Kalau kita kagak menang, kita cuma runner up, dapat juga hadiah uang tapi sedikit. Kalau hadiah uang itu dibagi untuk seluruh pemain, juga buat Coach Pieters dan Bang Toyib, bisa-bisa dapatnya sedikit banget. Ya sudah, kita mengalah saja. Nanti gue kagak bakalan bikin gol. Kalau Maryadi atau Zidan ngoper bola ke gue, nanti gue mau pura-pura salah umpan. Ya begitu saja, Bro. Terserah lo, gue mah pengin bantuin lo.”
David menatap rekannya dengan rasa sedih. “Sudahlah Chris, ayo kita kumpul bareng tim, sebentar lagi berangkat.” David berjalan meninggalkan warung itu.
“David, bagaimana dengan tawaran abang?” tanya Jayus.
David tak menjawab, dia berjalan meninggalkan orang itu.
Jayus masih berusaha membujuk. “Chris, tadi kamu kayaknya mau kan?”
Christiano menepuk bahu David, “Gimana Bro?”
David menoleh pada rekannya, “Chris, hanya sekali kita muda ….”
“Maksud lo?” Christiano tidak paham, karena saat tadi Babe Kodier bicara hal tersebut, dia belum datang ke Marunda.
David bicara, “Gue kagak mau disuap Chris, bukan karena gue kagak butuh duit. Tentu gue butuh banget duit, gue pengin meringankan beban mamih. Gue tahu pasti lo juga kagak mau disuap, lo cuma pengin bantu gue untuk bisa dapat uang. Tapi Chris, kita nggak bisa membunuh harapan teman-teman kita di Tim Marunda United. Harapan untuk bisa main maksimal, sehingga kita semua mendapat perhatian dari para pemandu bakat timnas junior. Itu kan, harapan kalian semua? Kalau sekarang kita mengalah, demi uang … mungkin harapan itu nggak pernah datang lagi dalam hidup kita. Hanya sekali kita muda, mungkin hanya sekali ini kita bisa tunjukkan kemampuan kita sebagai pemain sepak bola.”
Jayus kembali membujuk. “Chris, ayo sini, kamu tadi mau kan?”
Christiano menoleh. “Bang, tim Super Football yang jadi lawan Marunda nanti, pemainnya seumuran dengan saya. Mereka semua pasti pengin menang dengan cara yang fair, sportif dan jujur. Mereka pasti bakal marah, kalau tahu abang ini kasak-kusuk untuk memenangkan mereka dengan cara menyuap kita. Seharusnya, ortu mereka itu percaya sama kemampuan anak-anaknya. Kalau sudah sampai grand final, pastilah mereka itu memang tangguh. Jadi biarkanlah kita bertanding apa adanya. Kalau nanti Marunda kalah, itu bukan karena mengalah. Tapi memang lawan lebih bagus. Begitupun sebaliknya, jika Marunda menang, lawan harus terima.”
David dan Christiano kembali bergabung dengan rekan-rekannya. Pria yang berniat menyuap itu, akhirnya pergi dari Marunda. Kemudian angkot-angkot yang sudah disewa, datang untuk mengangkut tim Marunda United. Dan berangkatlah mereka semua, dengan diantar oleh para pendukungnya.