Coach berteriak. “Segera bentuk dua tim! Satu tim harus buka baju! Tidak ada yang boleh protes atau berkomentar sama saya punya perintah!”
Tim dibagi dua, salah satunya telanjang dada. Lalu mereka mulai bertanding. Coach Pieters berada di tepi lapangan. Sedangkan Bang Toyib menjadi wasit. Coach Pieters berteriak memberi arahan, namun karena suaranya sudah parau dan lemah, para pemain tidak bisa mendengar dengan jelas. Coach Pieters lalu mengambil peluit dari saku bajunya. Beberapa kali dia meniup peluit, jika dirasanya ada yang salah.
Hingga suatu saat, suara peluit dari Coach Pieters lama tak terdengar lagi. Coach Pieters tampak mondar-mandir di tepi lapangan seperti orang yang kebingungan. Bang Toyib berlari mendekatinya.
“Ada apa Coach?” tanya Bang Toyib.
“Kita orang punya gigi tidak ada ….” keluhnya, lalu cepat menutup mulut.
“Gigi?” Bang Toyib berpikir sejenak, dia teringat Coach Pieters tampaknya masih punya gigi depan yang komplit, hal yang tak lumrah bagi orang seuzur dia. “Oooh… maksud Coach… gigi palsu lepas?”
“Iya!” bentak Coach Pieters, “Waktu aku lepaskan peluit dari mulut, mungkin itu gigi ikut lepas. Aku tidak tahu di mana jatuhnya itu gigi. Ayo lekas carikan!”
Bang Toyib turut mondar-mandir, dengan tatapan melihat ke rumput. Akhirnya dia temukan juga itu gigi palsu. Setelah dibersihkan dengan air dari botol minum, Coach Pieters mengenakan lagi giginya. Lalu dia masuk ke lapangan karena melihat ada yang terjatuh dan tidak lekas bangun.
“Noni-noni, sedang apa kalian? Saya suruh kalian bertanding!”
Panggilan ‘noni’ bikin mangkel tim Marunda, tapi tidak ada yang berani protes. Coach Pieters memarahi pemain yang dianggapnya lamban dan lemah.
“Bagaimana kita orang bisa menilai kalian, kalau kalian tiap sebentar jatuh, kena senggol sedikit sudah jatuh. Cengeng! Ayo bangun!” teriaknya, “Kalau kalian tidak punya kekuatan, dan kemauan bertarung, maka pada saat pertandingan yang sesungguhnya selama 2X45 menit, kalian cuma akan lari-lari ke depan ke belakang tanpa dapat bola! Lawan dengan senang hati bakal meremukkan kalian semua. Kalian cuma akan jadi bulan-bulanan lawan! Buat apa kalian ikut turnamen, kalau cuma jadi pecundang?” Lalu Coach Pieters meniup lagi peluit, memberi aba-aba supaya pertandingan dilanjutkan.
Pertandingan baru berjalan lagi selama beberapa menit, tiba-tiba saja hujan turun, semakin lama semakin deras. Bang Toyib berteduh di bawah atap yang menaungi tempat duduk untuk pemain cadangan. Coach Pieters sudah sejak tadi berteduh di situ, tubuhnya diselubungi jaket kulit milik Bang Toyib.
Coach Pieters terus memperhatikan tim Marunda United yang tetap disuruhnya bertanding. Hujan tak boleh jadi alasan mereka berhenti main bola. Padahal lapangan itu sudah mulai terendam air, dan laju bola kerap terhenti karena melesak ke dalam lumpur. Bang Toyib merasa kasihan pada anak-anak Marunda itu, yang jatuh bangun berebut bola dalam kondisi diguyur hujan deras. Berkali-kali dia menghitung jumlah pemain, harus ada 16 orang. Kalau kurang, siapa tahu ada yang kelelep di lapangan.
Suatu kali Bang Toyib menoleh pada Coach Pieters, lalu dia mengernyitkan alis, “Coach … gigi Anda, apakah sengaja Anda taro di saku baju, atau … jatoh lagi?”
Coach Pieters meraba mulutnya, lalu dia teriak, minta giginya segera dicari. Untung hujan sudah reda, tinggal gerimis tipis. Bang Toyib berlari ke lapangan yang sudah mirip kubangan kebo. Dengan peluit, Bang Toyib menghentikan pertandingan.
“Ada masalah yang emergency banget!” Bang Toyib terengah.
“Kenapa Bang? Apakah Coach Pieters mendadak sakit?” tanya David.
“Gigi palsu punya Coach Pieters mungkin jatoh di lapangan, kalian kudu cari tuh gigi sampai ketemu!”
“Buset! Jangan-jangan udah keinjek sama kita, terus kelelep masuk lumpur.”
Para pemain Marunda United segera menyisir lapangan, ibarat tim Gegana dari Mabes Polri yang lagi menyisir lokasi untuk menemukan bom.
David ngedumel, “Kalau saban hari kita dilatih sama Coach Pieters, terus saban hari pula gigi palsunya somplak, kita kudu nyari giginya yang jatoh. Cape deh!”
May menimpali, “Kalau begini terus, beres turnamen nanti kita bukannya menang, malah kita semua setres, terus jadi gilingan, jadi gila bo! Hi hi hi!”
Gigi palsu itu akhirnya ditemukan. Coach Pieters tampak senang. Tetapi waktu peminjaman lapangan sudah hampir habis. Maka latihan sore itu dibubarkan.
Coach Pieters bicara, “Kamu semua harus punya kekuatan, kecepatan, ketangkasan, keakuratan tendangan, tak punya rasa takut untuk benturan badan dengan lawan, dan bertarung di lapangan sepak bola!”
Tiba-tiba saja Zidan nongol. Dia pikir latihan masih berjalan, karena biasanya tim berlatih hingga menjelang maghrib. Kali ini baru jam 16:30 sore sudah berakhir.
Zidan bicara pada Bang Toyib, “Maaf, ana baru datang ….”
Bang Toyib mendelik, “Kamu sudah dikasih tahu kalau kita latihan di sini mulai jam 14:30 siang?”
“Sudah Bang … tapi tadi ana ikutan demo ….”
“Siapa kamu?” tanya Coach Pieters sambil menatap Zidan.
“Ana pemain Tim Marunda United juga, Coach.” jawab Zidan.
“Waktu latihan sudah selesai, kamu baru datang?!” hardik Coach Pieters. “Kalau lain kali tidak datang lagi, harus keluar dari tim! Dan cari pemain baru!”
“Maaf Coach ….” Zidan tampak menyesal.
May mendekati Coach, lalu bicara, “Coach, kalau ada pemain yang dikeluarin dari tim, teman saya bisa gantikan. Teman saya itu, biarpun banci, tapi jago main bola, dan pasti lebih disiplin daripada Ase dan Zidan.”
“Nanti kita orang pertimbangkan.” Lalu Coach Pieters memberi isyarat ingin kembali ke panti.
Bang Toyib mendorong kursi roda Coach Pieters, May juga ikut, mau numpang bersihkan badan serta ganti baju di kamar mandi panti. Kemudian Bang Toyib pulang duluan ke Marunda, dengan naik motor. May turut di boncengannya.
Sedangkan Zidan mengajak rekan-rekannya ke rumah pamannya yang tak jauh dari lapangan itu, untuk membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Di beranda rumah pamannya Zidan, mereka minum teh manis hangat dan makan sukun goreng.
Udin bicara pada Zidan, “Kalau entar lo kagak ikut latihan lagi, lo bakal dikeluarin. Tim kita terancam kemasukan lagi orang-orang kayak Maryadi.”
“Tapi ana masih harus demo selama masih ada blokade Israel ke Gaza.”
Christiano ikut komentar, “Zidan, gue ngerti, kalau semua demo yang lo ikuti itu adalah tanda prihatin atas nasib bangsa Palestina. Gue juga prihatin kalau hari gini masih ada penjajahan dari sebuah bangsa terhadap bangsa lain.”
“Ya syukurlah kalau antum mengerti bahwa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan, seperti dahulu bangsa kita dijajah sama Belanda, Jepang. Semua bentuk penjajahan harus dihentikan, dengan bantuan dari negara-negara lain.”
“Zidan, sekarang ini lo mau ngapain datang ke sini?” tanya Christiano.
“Mau latihan sepak bola.”
“Nah, itu berarti lo kudu fokus dulu sama sepak bola.” ujar Christiano. “Lo sudah masuk tim Marunda United, lo harus punya komitmen pada tim kita.”
“Ana rajin latihan fisik setiap selesai shalat shubuh. Ana selalu jogging, push up, sit up, dan latihan angkat beban.”
David jadi kesal, “Tapi tetap saja lo harus ikut latihan bareng, karena sepak bola itu permainan tim! “
“Insya Allah ana bakal latihan bareng kalian. Tapi kalian juga harus berdoa, berdzikir, minta sama Allah supaya bangsa Palestina selamat, dan kelak bisa hidup berdampingan secara damai dengan bangsa Israel. Jadi ana juga kagak perlu demo lagi.”
“Amin!”