Perkiraan Bang Toyib meleset, karena besoknya Coach Pieters meminta pengurus panti untuk mengontak Bang Toyib. Pesannya, Coach Pieters pengin kenal seluruh pemain Tim Marunda United, supaya bisa melihat kemampuan mereka di lapangan, dan bisa memetakan posisi untuk masing-masing pemain. Bang Toyib menjawab bahwa Tim Marunda United sudah punya tempat latihan di Marunda. Apakah Coach Pieters bersedia datang ke Marunda? Bang Toyib yakin, Coach Pieters tidak akan mau datang ke Marunda yang jauh dari pantinya.
Namun rupanya Coach Pieters sudah bertekad untuk kembali melatih sepak bola. Lalu dia minta supaya Bang Toyib dan anak-anak Marunda yang harus datang ke lapangan dekat pantinya. Di situlah dia akan melatih tim. Bang Toyib keberatan, dengan alasan anak-anak tidak punya ongkos pulang pergi dari Marunda ke panti werdha di kawasan Jakarta Selatan itu.
Coach Pieters tidak mau tahu alasan apapun, karena sebagai pelatih kepala dia merasa berhak menentukan posisi masing-masing pemain. Kalau dia tidak boleh melatih tim di lapangan, maka dia akan mengontak Pengcab PSSI Jakarta Utara, minta namanya dicoret dari daftar pelatih kepala Marunda United.
“Wah, ini bisa gawat!” pikir Bang Toyib. Kalau Coach Pieters mundur, tim Marunda United tidak punya pelatih berlisensi, dan harus mundur juga dari turnamen.
Bang Toyib mengontak semua pemain Marunda United, minta mereka datang ke panti werdha sepulang sekolah. Urusan lapangan yang dekat panti werdha itu, Bang Toyib sedang usaha untuk minta izin pinjam dari ketua RT dan RW setempat. Kebetulan ada banyak kenalan Bang Toyib di daerah itu yang bisa membantu.
Latihan perdana bersama Coach Pieters digelar siang hari sekitar pukul 14:30. Bang Toyib begitu bubar kantor langsung ke panti werdha. Coach Pieters rupanya sudah tidur siang, tadi pukul 10 pagi sampai pukul satu siang. Setelah bangun tidur siang, dia merasa tubuhnya segar dan siap melatih timnya. Dia duduk di kursi roda, di tepi lapangan di mana ada tiang kayu yang diberi atap, biasa dipakai untuk tempat berkumpul para pemain cadangan dan pelatih. Sementara para pemain Marunda United yang sudah hadir, tidak terlalu kepanasan. Siang itu matahari sembunyi di langit yang berawan kelabu.
“Saya mau tahu nama mereka. Mana daftar absen?” tanya Coach Pieters.
Bang Toyib garuk-garuk kepala. “Kagak pernah ada absen-absenan, Coach. Kalau anak-anak sudah pada datang, terus saya suruh mereka berlatih. Gimana kalau sekarang kita mulai saja latihannya?"
"Bagaimana cara kamu melatih mereka?"
"Saya suruh mereka bikin dua tim, lalu main selama 2X30 menit. Selama mereka main, Coach bisa menilai mereka satu persatu. Beres main, Coach bisa ngasih pengarahan sama mereka. Membahas kesalahan-kesalahan yang mereka buat saat main bola, dan posisi yang cocok buat masing-masing pemain."
"Kenapa kamu seperti mau cepat-cepat latihan?"
"Soalnya ini lapangan boleh dipinjem sampai jam empat sore. Entar ada orang sini yang mau pake buat maen bola juga, katanya.”
“Oh, begitu. Tapi saya belum kenal dengan pemain. Mana daftar nama pemain? Harus ada daftar absen, supaya kita orang tahu siapa pemain yang rajin, siapa yang tidak disiplin! Ayo bikin itu daftar absen!”
Bang Toyib mencari kertas. Untunglah beberapa pemain membawa ransel sekolahnya. Kertas dan pulpen diberikan pada Bang Toyib. Lalu Bang Toyib membuat daftar nama sambil sekali-sekali menatap para pemain, supaya tidak ada yang namanya terlewat untuk dituliskannya.
“Ini daftar nama pemain, Coach.” Bang Toyib memberikan kertas itu.
Coach Pieters mencari-cari kaca mata spesial baca, namun ternyata dia tidak membawa kaca mata bacanya. Dia menyuruh Bang Toyib mengambilkan kaca mata bacanya di panti. Bang Toyib menyuruh David.
David berlari menuju panti werdha yang jaraknya 200 m dari lapangan rumput itu. David harus minta izin dulu ke satpam panti, lalu menunggu petugas panti mengambilkan kaca mata itu dari kamar Coach Pieters. Setelah kaca mata itu diterimanya, bergegas dia hendak keluar dari areal panti werdha. Di gerbang, David berpapasan dengan gadis bule itu, Vicky.
“Hey David.” Tak dinyana, Vicky menyapa duluan.
“Hey Vicky ….” Cuma begitu, padahal David pengin ngomong lebih banyak. Akan tetapi dia teringat kemarahan Coach Pieters dan Bang Toyib, andai dirinya telat datang ke lapangan. Kemudian David berlari meninggalkan gerbang panti. Dia tak tahu jika Vicky menatapnya hingga sosoknya hilang di tikungan.
Dengan terengah-engah, David tiba di lapangan, dia berikan kaca mata kepada Coach Pieters.
“Baiklah, saya mau absen nama kalian semua.” Lalu Coach mulai mengabsen daftar nama yang dibuat Bang Toyib: Udin Djeko, Ridan, Irfan, Jefri, Saudin, Pendi, Mandra, Mastur, Abdul, Ocid, Bokir.
“Gaston Kastono!” panggil Coach Pieters untuk kesekian kalinya.
“Hadir!”
“Gogon Gonjales!”
“Hadir!”
“David Bastion!”
“Hadir.”
Coach cukup lama menatap wajah David. “Kamu orang Indo European?”
“Iya Coach.”
“Kenapa tidak main bola dengan Indo European Voetbalbond?”
“Di Marunda kagak ada tim yang begitu, Coach.” jawab David.
“Dulu ada voetbalbond buat itu orang-orang separo inlander.”
“Sekarang sudah kagak ada Coach.” ujar Bang Toyib. “Zaman sekarang mah, seluruh klub sepak bola di Indonesia, maupun di seluruh dunia, terbuka buat pemain dari semua ras, dan semua etnis.”
Coach Pieters lantas beralih lagi pada daftar absen. Tetapi bukannya melanjutkan, dia malah mengulang dari awal. Memanggil nama para pemain, mulai dari Udin Djeko, Ridan, Irfan, Jefri, Saudin, Pendi, Mandra, Mastur, Abdul, Ocid, Bokir, Gaston Kastono, Gogon Gonjales, David Bastion.
“Maryadi!”
“Saya Coach.”
Mendengar jawaban bernada centil, Coach Pieters mengamati Maryadi. “Kamu orang laki-laki, atau perempuan?” tanyanya.
Maryadi cengar-cengir, “Tergantung situasi aja, Coach ….”
“Maryadi, jangan main-main kamu!” tegur Bang Toyib, “Nanti saya keluarin kamu dari tim, kalau kamu kagak serius saat bicara dengan coach!”
“Iya, maaf. Saya laki-laki, Coach.”
Coach Pieters bicara, “Kalau kamu laki-laki, bersikap seperti laki-laki!”
“Siap Coach.” Diam-diam May memonyongkan bibir.
“Christiano Michiels!” panggil Coach Pieters.
“Hadir.”
“Kamu orang punya nama kayak penduduk dari kampung Tugu. Kamu wonende in de Kampung Tugu, ya toh? Kamu tinggal di Kampung Tugu, ya?”
“Iya Coach.”
“Dulu di Tugu ada grup musik namanya Mourisco ….”
“Iya Coach, itu grup keroncong legendaris dari kampung saya.” Christiano gosok-gosok kaki, pegal berdiri terus. Kapan latihannya?
“Oh ya, kita orang suka sekali itu musik keroncong dari je punya kampung. Apalagi kalau mereka bawakan lagu Als de Orchideen Bloeien.” Lalu Coach Pieters bersenandung itu lagu dalam bahasa Belanda. Bikin semua inlander jadi bengong.
“Coach!” panggil Bang Toyib, “semua pemain sudah diabsen, sebaiknya kita mulai berlatih. Pemanasan dulu ….”
Coach Pieters meneliti daftar absen. “Hanya ada 16 pemain?”
“Sebenarnya 18 orang, Coach….”
“Siapa yang dua orang lagi?”
“Namanya Zidan dan To Ming Se. Tapi mereka kagak datang ….”
“Itu tidak disiplin!”
“Iya Coach, nanti saya tegur yang dua orang itu. Sekarang kita latihan ya? Sebentar lagi waktu kita habis.” Bang Toyib sudah tidak sabar.
Akhirnya Coach Pieters memulai latihan. Setelah pemanasan, Coach ingin ada game adu sprint. Katanya sprint sangat penting bagi pemain sepak bola. Setiap pemain disuruhnya berlari kencang sejauh 100 m, dan Bang Toyib akan mengukur waktunya. Coach ingin tahu siapa pemain yang tercepat larinya. Tak dinyana, May punya waktu terbaik dalam kemampuan sprint.
Coach Pieters bicara, “Maryadi, kamu orang kayak perempuan, tapi kamu yang tercepat. Nah, buat kalian semua, jangan meremehkan teman satu tim. Dalam sepak bola, teman satu tim adalah tempat kalian bergantung harapan untuk kerja sama membobol gawang lawan. Kalau kalian meremehkan satu orang, bagaimana kalian bisa menggalang rasa saling percaya dalam tim, bahwa teman kita itu bisa berbuat sesuatu jika kita kasih umpan bola? Ingat itu saya kasih nasehat buat kamu semua!”
“Siap Coach.”