Beberapa bulan setelahnya, ujian akhir semester telah dilewati dengan penuh ketegangan. Hati yang berdebar menjawab tiap soal dengan anggapan benar atau salah. Sisanya bahkan ada yang menaruh pasrah intinya selesai ujian.
Prinsip datang, duduk, kerjakan, pulang dan lupakan.
Hal yang paling dinanti setelah ujian akhir adalah libur. Di semester ganjil ini, hari tak masuk kampus benar-benar meraja lela waktu. Tak main-main sampai terhitung bulanan baru akan mendapat informasi kembali masuk. Dan para anak mahasiswa memakai kesempatan ini untuk mengambil pulang kampung atau mencari cuan dengan mengambil kerja sampingan.
Sama seperti Gina tentu saja. Kesempatan libur panjang dia pakai dengan acara kumpul keluarga. Terlebih lagi karena kepulangan abangnya dari negara seberang. Menetap di rumah hampir sebulan lamanya baru kembali ke indekos. Tak jarang juga Henan datang ke rumah untuk sekadar bertamu dan mengobrol bersama abangnya. Kedua anak lelaki itu menjalin hubungan yang begitu dekat layaknya saudara. Gina juga sempat singgah di rumah kakak ipar Henan. Walau hanya bermalam sehari cukup menyenangkan bagi dirinya yang suka bermain dengan anak kecil.
Kembali ke indekos bertemu Sela dan penghuni lainnya. Mereka sempat mengadakan girls party dengan bakar-bakaran. Kemudian menjelang beberapa hari, tak banyak di antaranya mengajukan pamit. Entah pulang kampung maupun pindah indekos.
"Gak ada acara sama teman yang lain, Hen?"
"Pada sibuk semua," jawab Henan tanpa mendongak.
Hari libur kali ini berada di perpustakaan kota tempat Mavi pernah membawa Gina. Hubungannya bersama Henan juga sudah terhitung masuk bulan. Namun, bahasa yang digunakan masih sama. Tidak memakai embel panggilan aku dan kamu yang katanya terkesan roamtis penuh kasih sayang.
Henan bilang dia ingin memberi kenyamanan. Kalau Gina suka dengan sebutan nonformal layaknya teman, dirinya tidak mempermasalahkan. Meski terkadang Henan suka menggodanya dengan panggilan Sayang. Demi apa pun, itu adalah bentuk bagaimana lelaki itu benar-benar menaruh hati penuh pada sang pacar.
Kepala Henan seketika mengadah kala selesai dengan permainannya. Menemani Gina yang berpacaran dengan buku tebal di depan, sudah hampir 2 jam mereka di perpustakaan dengan dua buku yang bertumpuk di atas meja. Dan selama itu juga, Henan menghabiskan waktu menunggunya dengan bermain game.
Tanganya menjadi topangan dagu. "Belum selesai?"
Mata Gina sejenak menatapnya sebelum turun kembali kebacaan. "Kenapa? Sudah lapar?"
"Sedikit," jawab Henan jujur.
Lelaki itu kembali mengambil ponselnya dan membuka kamera. Memfokuskan lensa pada Gina yang fokus membaca novelnya. Beberapa jepretan yang berhasil diambil tanpa mengganggu kegiatan gadis itu. Sudah menjadi hal biasa bahkan Henan memiliki album tersendiri khusus berisi potret kekasihnya.
"Gina." Yang dipanggil tidak memberi jawaban. "Gina," panggil Henan sekali lagi namun dengan jawaban yang sama.
"Sa—"
"Kenapa?"
Henan tersenyum miring setelah panggilannya terpotong. Lantas membangkitkan diri dan berpindah duduk di samping gadis itu. Menjatuhkan kepalanya di bahu kiri seraya ikut menatap deretan kalimat yang panjang di atas lembar kertas.
"Gak capek baca tulisan doang?" tanyanya.
"Gak, sudah biasa."
"Sudah tiga novel dengan itu ngomong-ngomong. Kepala gak pusing?"
"Gak, Henan. Sekarang diam. Gue jadi gak bisa masuk diceritanya," tegur gadis itu. Membuat Henan berhasil mengatup mulut meski sempat menghela napas.
Tempat mereka aman dari kerumunan orang-orang. Henan jadi bisa lebih leluasa dalam menempeli gadis itu. Dan kini posisi kepalanya berganti menjadi dagu yang bertopang pada bahu. Menjadikan pipi lembut Gina sebagai pemandangannya saat ini.
Sempat ada keraguan di sana tapi kalau dipikir-pikir, Henan tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Jadi batinnya lantas terdorong untuk mencuri sebuah kecupan pelan di sana. Hanya sebentar sebelum dirinya menegakkan duduk dan menatap ponselnya. Seakan kejadian tadi bukan apa-apa untuknya.
"Selesai itu kita pergi makan," katanya santai.
Lain dengan Gina. Jari yang hendak mengganti halaman lantas terhenti setelah merasakan bibir lembap Henan itu di pipinya. Untuk pertama kali, selain Abang yang tiada bosan mengecupi wajah berisinya, kini bertambah Henan yang tanpa pamrih juga ikut menciumnya.
Kepalanya menoleh pelan. Memegang pipi bekas Henan melakukan aksinya. "Lo ngapain, Hen?"
"Hm?" Lelaki itu lantas menoleh dengan dua alis terangkat. Menatap wajah yang sudah memerah bak kepiting rebus dengan begitu kontras. Kekehannya lepas kemudian. "Pertama kali, ya?" ucapnya.
"L-Lo ...."
Senyum Henan lantas terbit dengan begitu lebar. "Bagus kalau pertama kali. Itu artinya gue jadi orang pertama yang cium pipi lo." Lelaki itu seketika mencodongkan badannya. Menepis jarak wajah yang membuat Gina terbelak dan memundurkan dirinya. "Nanti setelah nikah baru turun ke sana," bisiknya.
"A-Apa, sih?!" Tangan Gina mendorong tubuh lelaki itu untuk menjauh. Terlalu berbahaya dan dirinya sudah tidak mampu menahan gejolak panas pada wajah hingga lehernya.
Henan kembali tertawa kecil dan melayangkan usapan lembut pada kepala gadis itu. "Lanjut lagi atau mau pinjam saja novelnya?"
"Gak jadi!" Buku itu malah ditutup kasar dan Gina berdiri. "Ayo pulang! Gue lapar," lepas sahutannya gadis itu lantas berlalu dengan cepat meninggalkan Henan yang termangu.
🎗
Apa yang dilakukan oleh sepasang kekasih saat berkencan? Kalau bukan jalan-jalan ya, nonton film. Sama seperti Gina dan Henan. Lepas dari kencan di perpustakaan kini berpindah di biosok mal. Tidak perlu menanyakan film apa yang akan mereka tonton..
Kembali menjadi bagian dalam bangku penonton. Kali ini dengan dua jagung berondong di pangkuan. Mereka punya masing-masing meskipun belum pasti kalau milik Gina akan habis.
Layar tancap kembali menampilkan sosok anak kecil berbaju merah dengan teman-temannya. Suara berat, nyaring, cempreng, dan berbagai sifat bodoh anak-anak menjadi tontonan untuk kesekian kalinya mereka menonton. Bioskop sepertinya tengah mengadakan acara tertentu sampai terus menayangkan kartun asal Jepang ini.
Tapi Gina tidak menaruh perhatian lebih pada film ini—lagi. Meskipun matanya senantiasa menatap ke depan, bukan berarti dirinya menikmati tontonan itu. Sekadar menemani Henan meski sempat terkekeh juga kala adegan lucu muncul di layar lebar. Namun, ekspresi lelaki di sampingnya justru lebih menarik perhatian.
"Henan."
"Hm?"
"Nunduk sedikit. Gue mau ngomong sesuatu."
Gina tersenyum manis kala wajah Henan sudah lebih dekat dengannya. Membalas perbuatan lelaki itu di perpustakaan yang entah keberanian dari mana itu datang. Sang empu yang menadapat kejutan jelas diterjang kaget bukan main. Bahkan sampai berhasil mengalihkan pandangan dengan mata yang membulat sempurna. Menatap Gina yang malah tertawa kecil dengan ekspresinya.
"Biasa saja dong, mukanya. Nih, makan." Jagung berondong dipaksa masuk ke mulut Henan tidak membuat lelaki itu kembali menatap layar.
Layar kemudian menjadi hitam. Orang-orang sudah berjalan keluar. Film selesai dan Gina juga membenahkan dirinya. Memeriksa barang-barang yang mungkin saja tertinggal. Baru lepas itu keluar bersama Henan yang mengekor di belakang.
Hening menyelimuti kala keduanya jalan beriringan. Antara Gina yang menatap sekitar dan Henan diam karena jiwanya masih belum pulang dengan sempurna.
"Iya kan, Hen?" Gina menoleh karena sedari tadi gadis itu berbicara, Henan nampak diam. "Hen? Henan?"
"Ah? Oh? Iya, kenapa?"
Gina menyerit dan berhenti melangkah. Membuat Henan menjadi ikut terhenti karenanya. "Lo kenapa? Sudah capek? Kita pulang saja kalau begitu."
"Gak, gue gak apa."
"Terus kenapa diam dari tadi? Pikir sesuatu?"
"Gue baik-baik saja. Cuman melamun sedikit," jawabnya. Namun, tatapan diam Gina yang tak berpaling masih menaruh kecurigaan. "Serius, gue gak apa."
"Kalau ada apa-apa bilang. Jangan diam."
"Iya, Sayang. Yuk, lanjut. Mau ke mana sekarang? Makan?" Mereka lantas kembali melanjutkan jalan.
Gina menggeleng. "Mau beli novel."
"Lagi?"
"Apanya yang lagi? Gue selama ini belum beli novel baru tahu! Karena banyak kejadian ini itu yang harus diurus jadi lupa," sungutnya. Bibirnya maju beberapa senti. Tangan yang bergandengan diayun dengan tinggi-tinggi.
"Jadi beli novel sekarang? Singgah sama aunty?" Dan Gina memberinya anggukan semangat dengan senyum lebar.
Baru saja mengambil beberapa langkah untuk menuju eskalator Henan menariknya sedikit ke belakang. Gina baru saja ingin melayangkan protes namun diurungkan kala menatap sekumpulan anak pelajar yang menerobos jalan. Beruntung lelaki itu menariknya dengan segera. Jika tidak, Gina mungkin sudah berguling-guling di sana karena para pelajar yang nampak bodoh amat sama sekitar.
Sampai pada lantai tempat toko Tante Gina. Daru ujung depan nampak kalau kerlap-kerlip toko itu masih terang benderang. Menyegerakan diri sebelum pintu kaca itu tertutup rapat.
"Aunty!" seru Gina yang membuat seluruh manusia di dalam menoleh padanya. Tanpa peduli gadis itu melangkah masuk dan mendekati saudari dari bundanya itu.
"Ada apa ini? Sama siapa kamu kemari?"
"Menurut aunty siapa lagi kalau bukan si maniak Shin-chan," jawab Gina. Tak lama Henan memunculkan dirinya di belakang.
"Kencan terus ya, kalian. Dasar anak muda," sindir tantenya. Gina hanya mendelikkan bahu menjawab.
Gadis itu lantas sibuk memilih novel yang hendak dibeli. Henan sendiri hanya menjaga dengan mengikuti ke mana anak itu pergi. Menempel ke sana kemari tanpa peduli tatapan saudari Bunda Gina yang menatap dari tempat pembayaran. Tersenyum lucu sembari mengingat kisah masa lalu.
"Gina, novel atau gue?" sahut Henan seketika.
Gina yang memilah buku lantas terhenti dan mendongak ke samping. "Pertanyaan apa itu?"
"Ya, pertanyaan. Novel atau gue?" ulangnya.
Gadis itu kini menghadapkan dirinya pada Henan. "Kalau begitu gue balik tanya. Shin-chan atau gue?" balasnya seraya bersedak dada.
Henan berdecak kasar. "Mana ada pertanyaan kayak begitu?"
"Loh? Apa bedanya sama pertanyaan lo tadi coba? Hm?"
"Beda."
"Gak."
"Beda"
"Gak."
Keduanya lantas terdiam dan saling bertatap sengit. Saling memicing hampir semenit hingga Henan yang melangkah maju memeluk Gina. Menaruh dagu di atas kepalanya sedangkan gadis itu ikut membalas merengkuh pinggang.
"Jangan jadikan hobi sebagai perdebatan buat menentukan. Lo tahu kalau gue suka sama lo. Cinta bahkan," pukas Henan.
Gina tersenyum. Kepalanya lantas mendongak dan membuat Henan menunduk membalas tatapannya. "Jadi di antaranya gak bisa milih, nih?"
"Bukan gak bisa. Lo sama hobi gue beda. Shin-chan selingan, lo prioritas."
Senyum keduanya makin melebar. Menebar keromantisan tanpa sadar kini menjadi pusat perhatian. Para pelanggan baik yang kebetulan masuk atau menumpang membaca buku mendadak berhenti dari kegiatan. Bahkan Tante Gina yang hendak melayani mereka pun tak bisa melakukan apa-apa.
"Tolong pacarannya lihat tempat," tegur wanita itu.
Henan dan Gina seketika menoleh meski enggan untuk melepas pelukan satu sama lain. Menampilkan nyengir tanpa dosa dan kembali melanjutkan keromantisan. Membuat mereka yang ada di sana menghela napas berat.
"Babe."
"Hm?"
"I love you."
"I love the man who’s maniac Shin-chan, but still makes me his priority."
Henan tersenyum. "Siapa?"
"Henandika Tatum."