Kelas Henan baru saja selesai. Lelaki itu keluar bersama dengan teman kelasnya saling merangkul membawa perbincangan yang hangat. Banyak sekelebat tawa yang menggiring mereka. Seperti pancaran sinar matahari di sore hari ini. Tawa Henan nampak begitu lepas dengan penuh semangat.
Di ujung jalan keluar koridor fakultas, Gina berdiri seraya menunduk menatap ujung sepatunya yang tengah bermain bersama kerikil. Di tangan ada sebuah totebag dengan ukuran sedang. Mahasiwa Fakultas Musik yang menatapnya tak banyak memberi sapaan dibalas ramah dari sang empu.
"Eh, Hen. Tuh, di ujung ada yang tunggu kayaknya," tegur teman Henan seraya memberi senggolan siku.
"Itu si Gina, bukan?"
"Siapa lagi memangnya? Kan, cuman doi yang dekat sama Henan. Iya gak, bro?"
"Apa sih, lo semua." Mendapat tawaan dari teman-temannya.
Setelah berpisah pada mereka, dari jarak kurang lebih lima meter Henan menatap gadis itu di tempatnya. Merasa lega kala bayangan buruk pasal Gina nyatanya baik-baik saja. Semuanya terselesaikan dengan begitu tenang. Tidak ada penggemar Abey yang bersikap gila dengan ujaran pembelaan. Keduanya menjalin perdamaian dan tak jarang selalu pergi bersama.
Tapi sekelebat pasal hubungan Gina dan Mavi masih mengganggunya. Terlebih kala mendapat postingan Mavi semalam. Sebuah jam tangan baru dengan deskripsi postingannya yang menandai Gina. Memberi kejelasan akan hadiah ulang tahun paling spesial yang dia dapat. Ditambah lagi dengan instastory yang penuh akan foto keduanya dan menjadi salah satu highlight Mavi. Semalam, kepala Henan mendidih dengan begitu berasap.
Henan ingin melangkah pergi dan melewati gadis itu seakan-akan tak mengetahui keberadaannya. Tapi membayangkan akan Gina yang sudah menunggu membuatnya merasa tak enak. Jadilah kini berdiri di depan dengan pandangan datar bercampur tanya.
"Ngapain?"
Gina mendongak. Seketika senyum manis terbit dalam hitungan detik. Henan terperangah namun dengan sikap diam-diamnya mencoba untuk menahan jeritan. Cukup batinnya saja yang jingkrang-jingkrak.
Posisi sandarannya lantas Gina ditegakkan. "Kelas lo sudah selesai?"
"Menurut lo?" Henan memaki dirinya saat ini. Bukan kesengajaan dirinya ingin menjawab seperti itu. Panutaan maaf tak berhenti menyahut dalam hati.
Gina mengigit bibir bawahnya seraya menatap Henan takut-takut. Dia masih bisa melihat jelas bagaimana raut kesal lelaki di depannya terpampang. Dengan menampung waktu memantapkan diri Gina mencoba membalasnya.
"Henan, gue minta maaf," ujarnya. Wajah memelas dengan gerakan yang gusar. Bahkan meski sudah merasa mampu bersitatap, nyatanya Gina masih dilanda menciut untuk melihat Henan.
Rematan pada tali totebag itu makin kuat. "Maaf karena keegoisan gue selama ini. Gue tahu lo marah besar dan kecewa. Lo pulang ke rumah dan gak balas pesan gue beberapa hari karena itu. Gue mau temui lo tapi sama sekali gak dapat kesempatan karena—"
"Jalan sama Mavi?" potong Henan.
Kepala Gina menggeleng kuat. "Gak! Bukan karena itu."
"Terus kemarin?"
Menelan ludahnya sejenak dan kembali menjawab. "Kemarin itu pintaan Kak Mavi sebagai perpisahan. Gue mana bisa tolak karena pasti bakal bikin dia sedih. Gue mau semuanya jadi lebih baik tanpa menimbulkan musuh, Hen. Gue gak ada taruh maksud lain di sana. Gue gak mau lo salah paham," jelasnya.
"Memangnya kenapa kalau gue salah paham?"
Dalam hati, Henan tidak bisa untuk menahan rasa gembiranya menguap. Ingin sekali segera memeluk gadis di depannya yang tengah memohon. Terlalu menggemaskan sampai Henan mati geregetan sendiri. Tapi dia ingin mengacaukan kelucuan ini. Masih ingin melihat lebih dengan mengabdikan pada retina gelapnya.
Gina mengambil napas yang dihembuskan perlahan. "Henan, maaf karena selama ini gue gak peka. Gue terlalu fokus soal rasa gue ke Kak Mavi sampai gak sadar sama perasaan lo sendiri. Semuanya sudah bilang ke gue tapi bodohnya masih gak percaya soal itu. Gue masih terlalu kaget dan berpikir kalau itu gak mungkin."
Henan berdeham dan melipat dua tangan di dada. Memberi kode bagi gadis itu untuk terus melanjutkan.
"Gue sudah ngomong kok sama Kak Mavi dan kita sudah selesai. Jadi sekarang gue gak punya hubungan sama siapa-siapa." Gina menatap sekilas Henan yang menaikkan sebelah alisnya. Tidak lama kemudian dia mengutuki dirinya sendiri. "Bahasa gue kenapa, sih? Terdengar berharap banget."
Helaan napas kasar itu keluar. Gina sudah bodoh amat. Yang penting dirinya sudah mengatakan semuanya. Kembali sama Henan entah dia mengerti atau tidak.
"Ini ambil!" Benda di tangan itu kemudian disodorkan cepat pada Henan. "Kata Kak Mavi lo gak punya koleksi yang itu. Ck! Uang gue raup ratusan cuman gara-gara Shin-chan. Padahal mau gue pakai beli novel baru."
Henan yang menerima dan membuka bingkisannya lantas tersenyum. Lain dengan Gina yang malah menatapnya kesal.
"Senang lo? Mahal itu! Awas saja gak lo rawat baik-baik. Perlu taruh di kotak kaca. Boneka dari China itu asal lo tahu," ucapnya setengah menggerutu.
Mahasiswa musik itu seketika mengadah. Wajah sok tampang kerennya masih terpampang. Ingin sekali Gina menamparnya untuk berhenti berpura-pura. Cukup bagi gadis itu memotong harga dirinya demi si maniak Shin-chan ini.
Namun, sedari tadi Henan hanya diam seraya terus menatapnya. Alis Gina lantas mengerut menatap lelaki itu naik turun.
"Apa?" tanyanya.
Tangan Henan yang memegang bingkisan seketika maju ke depan. "Gue kasih balik," katanya. Raut kaget Gina seketika muncul kepermukaan. "Gue gak terima hadiah buat bujukan."
"Kok ...."
"Ambil," sahut Henan kembali. Menggerakkan benda di tangannya memancing untuk berpindah tangan.
"Lo semarah itu, Hen?" suara Gina memelan.
"Lo bayangkan saja kecewa gue bagimana. Bayangkan kalau lo di posisi gue."
"Tapi gue sudah minta maaf. Gue bahkan sudah selesaikan semuanya demi lo. Gue juga sudah jujur sama perasaan gue sendiri. Terus kenapa ...." Tenggorokannya tercekat. Untuk melanjutkan kalimatnya saja sudah kesusahan. "Gue harus apa biar lo bisa maafin gue, Hen?"
"Bilang coba," ucap Henan. "Coba bilang suka sama gue. Atau gak panggil Sayang. Pasti bakal luluh."
Air mata yang membendung ditahan sedari tadi itu seketika kembai ke dalam dan menghilang. Dibalik wajah Henan yang tersenyum lebar, Gina melambungkan tangannya memukul bahu lelaki itu. Bukannya merasa bersalah, Henan malah melepas tawanya yang justru terdengar menjengkelkan.
"Ih! Henan! Diam lo!" Gina makin kesal kala anak di depannya masih terus tertawa. "Tahu! Gue kesal sama lo! Sudahlah!"
Gina yang hendak beranjak lantas di tahan. Henan menggiringnya untuk melangkah bersama meski sisa tawa kejahilannya masih ada. Rotasi mata malas Gina berikan untuk lelaki itu. Seharusnya dari awal dia sudah tahu kalau Henan hanya bercanda dan menggodanya. Sial sekali. Masih untung dirinya tidak menangis sungguhan.
"Kasih pulang sini bonekanya. Katanya tadi gak mau," pukas Gina.
"Gak boleh. Sudah di kasih ke gue mana boleh diminta lagi," tolak Henan.
"Situ sendiri yang tolak tadi. Sini! Buang-buang duit saja." Gina bersusah payah mengambil alih bingkisan Henan namun lelaki itu punya tangan yang lebih panjang hingga membuatnya jauh dari gapaian.
"Tapi benaran sudah putus sama Mavi, kan?" Henan mengalihkan topik dengan langkah kaki keduanya yang berjalan pelan.
Kepala Gina mengangguk. "Sudah. Gue sama Abey juga baikan damai. Kemarin disuruh temani dia ke mal buat salon. Habis dua jam waktu gue cuman duduk di kursi tunggu dia selesai."
"Kenapa gak ikut salon juga?"
"Gak doyan. Mending baca novel."
Henan berdecih." Novel terus."
"Daripada lo? Shin-chan terus," balas Gina tak mau kalah.
Keduanya nampak begitu asik sampai di parkiran kampus. Menjadi pusat perhatian bagi mahasiswa yang lewat dengan artian pandangan yang berbeda. Banyak yang menaruh gemas hingga keheranan akan hubungan pasti keduanya. Namun, mendapat penekanan akan gosip yang beredar kalau sebenarnya Gina dan Mavi hanya sebatas teman membuat mereka menyimpulkan kalau gadis itu aslinya adalah kekasih Henan.
Lihat saja bagaimana akrabnya dua manusia itu. Tidak memandangi tempat menciptakan keributan dengan sebab alasan yang kurang masuk akal. Tapi anehnya mereka semua justru menikmatinya.
"Dramanya sudah selesaikah? Happy ending?" Jeon yang berdiri di bawah pohon rindang dekat pintu keluar gedung Fakultas Sastra hanya menatap jengah pada dua sejoli yang masih ribut di depan sana.
"Baguslah kalau sudah selesai. Gue gak perlu pusing lagi kasih ceramah dua manusia gak peka itu," jawab Sela. Dirinya lantas berpaling menatap Jeon. "Lo sendiri kapan melepas jomlo?"
"Kenapa? Lo mau gue pacari?"
Sela seketika bergidik. "Manusia sinting! Pantas banyak yang gak mau. Buaya darat." Lebih memilih meninggalkan lelaki itu ketimbang dirinya benar-benar menjadi korban playboy dari Jeonanda Ardinata. Membayangkanya saja Sela sudah tidak mampu.