Loading...
Logo TinLit
Read Story - Campus Love Story
MENU
About Us  

Gina sangat jarang untuk mengambil sarapan di kampus, bahkan terbilang tidak pernah. Tapi hari ini, gadis itu kini duduk sendiri di saat orang-orang mungkin masih bergelung dengan dunia mimpi. Pukul 7 lewat 10 menit pagi, bahkan Sela masih belum menunjukkan diri di jam seperti itu tapi Gina sudah berangkat menuju kampus. Terlalu awal untuk kelasnya yang mulai di jam 8 nanti.

Pesan beruntun Mavi semalam Gina baru membalasnya saat bangun. Matanya sedikit membengkak karena menangis. Hidungnya tiba-tiba dilanda flu. Melewati makan malam dan setengah hari kemarin. Gina bahkan tidak menunjukkan dirinya di depan para teman indekos.

Sempat ingin sarapan bubur tapi mengingat Henan yang mengatakan kalau tukang gerobak langgananya tidak menunjukkan diri dari kemarin membuatnya lari ke sini. Kantinnya juga menyediakan bubur namun tetap saja berbeda meski dirinya juga sempat meminta gula. Rasanya tetap hambar.

Menatap bubur, dirinya jadi teringat pasal Henan. Anak itu sepertinya benar-benar serius dengan ucapannya. Tidak menunjukkan batang hidung atau sekadar melakukan spam seperti hari biasanya. Ponselnya mendadak sepi tak mendapat notifikasi. Bahkan ruang obrolan dirinya dan Henan sudah di pin menjadi yang teratas. Berganti pada Mavi yang justru tenggelam dengan grup khusus mata kuliahnya.

Soal Mavi, dirinya juga tidak mengatakan kalau sudah berangkat di awal pagi. Entahlah, bagi Gina itu tidak terlalu penting. Toh, di fakultas nanti mereka juga akan bertemu.

"Wah, siapa ini yang datang di pagi buta cuman demi semangkok bubur? Pakai gula gak, tuh?"

Gina menoleh, mendapati seorang lelaki tak di kenal yang dengan santainya kini duduk di hadapannya.

Lelaki itu memasang senyumnya. "Gue Thilo, sepupunya Delio pacar teman lo. Sekaligus teman indekos Henan dan cowok lo, Mavi. Sudah jadian, kan?"

Thilo yang menyebutkan Mavi sebagai lelakinya, entah mengapa rasanya hanya biasa-biasa saja. Gina bahkan membalasnya dengan senyum simpul layaknya tak bersemangat.

"Ngomong-ngomong, gue gak salah orang kan, ini? Lo Aryana Regina, kan?" tanya Thilo.

"Iya ... eum, Kak?"

"Iya, gue satu angkatan sama Delio," jawaban yang membuat Gina tersenyum lega. "Rajin banget lo datang jam begini? Ada kelas pagi?"

"Di jam delapan nanti, Kak."

"Itu masih lama. Lo masih bisa molor setengah jam di rumah." Kekehnya di akhir. "Beruntung gue datangnya juga pagi, jadi lo ada teman di sini. Meski fakultas gue ada di seberang sih, tapi gak apa."

Gina hanya mengangguk singkat membalas. Melanjutkan kembali acara sarapannya meski rasa hambar itu tak bisa dia elakkan. Dirinya harus tetap makan demi menghindari maag sebab tak makan malam.

Thilo juga ikutan diam di tempat. Sejenak setelah keluar dari perpustakaan fakultasnya, dirinya berniat jalan-jalan untuk bertamu pada gedung lain. Tak disangka malah bertemu dengan Gina di kantin. Duduk sendiri dengan aura yang murung. Mavi yang pulang semalam dengan perasaan menggebu membuatnya gemas dan kini tahu kalau lelaki itu sudah menjalin hubungan dengan gadis yang duduk di depannya.

"Gina," panggilnya. Gadis itu mendongak menghentikan acara suapan. "Gue ucapkan selamat sudah jadian sama Mavi."

"Terima kasih, Kak," balas gadis itu.

"Tapi tolong bicarakan lagi," lanjut lelaki itu kembali. "Gue bukannya gak mendukung hubungan kalian. Hanya saja, gue gak mau sesuatu terjadi sama lo ke depan nanti. Lo tahu Abey, kan?"

Abey lagi. Nafsu makan Gina tiba-tiba melayang. Bubur di depan sudah tidak memiliki aura kenikmatan meski sudah terasa hambar duluan. Sendok itu lepas dari tangannya dan menunduk.

"Suka sama seseorang itu gak salah. Gak ada yang tahu perasaan akan jatuh sama siapa. Cuman terkadang, karena rasa suka yang sudah menggebu itu membuat kita buta sama keadaan. Gue bukan bermaksud menggurui lo di sini. Gue cuman ingin lo berpikir dan lihat sekeliling. Apa hubungan lo sama Mavi baik untuk sekitar atau justru menimbulkan luka pada yang lainnya?"

Gina mengadah kembali. "Maksud Kakak?"

Thilo memberi senyumnya. "Orang-orang yang dekat sama lo, buka mata sama hati untuk lihat. Ada seseorang yang tengah berjuang buat lo saat ini."

Pagi ini terasa berlalu dengan begitu cepat. Thilo yang memberinya lantunan membuatnya berpikir keras akan orang yang dimaksudkan. Gina ingin menanyakan kembali namun terhambat dengan aksi gengsi yang malah membuat lelaki itu pergi duluan. Tersisa kembali dirinya di kantin yang menghabiskan waktu tanpa sadar hingga jarum jam pada pergelangan tangan sudah hampir menunjukkan pukul 8 tepat.

"Lo ke kampus jam berapa? Gue buka kamar sudah rapi amat," ujar Sela yang mendapat Gina kini mendudukkan dirinya di samping.

"Gue kejar buat sarapan bubur. Tempat langganan gue dari kemarin gak muncul," jawab Gina tanpa menoleh. Terlalu sibuk untuk mengeluarkan seluruh alat persiapan kelas.

Sela juga sudah tidak memberinya balasan. Bukan karena tak ingin, tapi sosok dosen yang sudah memasuki kelas membuatnya enggan dan duduk diam di tempat. Meski pandangannya sangat jelas mendapat Gina dengan wajah anehnya. Hal yang terjadi kemarin benar-benar ingin dia tanyakan.

๐ŸŽ—

Kembali memunculkan diri pada kafe bersejarah Gina dan Sela. Keduanya duduk di tempat biasa sebagaimana mereka ada. Meja yang sudah penuh dengan pesanan dan kini Sela siap menjadi pendengar untuk Gina yang duduk di depan.

"Jadi, ada apa sebenarnya?" Sela membuka pembicaraan dengan menyesap sejenak minumannya.

"Gue bingung, Sel. Gue gak tahu harus senang atau sedih," jawab Gina dengan Sela yang masih diam. "Gue sudah jadian sama Kak Mavi dan harusnya gue senang dengan itu. Tapi lepas dengar Henan kecewa, hati gue rasanya sakit banget."

Sela nampak meringis kala melihat sahabatnya meneguk minuman cokelat seperti alkohol yang memabukkan. Pandangan miris kini lepas. Bukan karena Gina yang curhat pasal sakit hatinya, tapi kepekaannya yang tidak jauh berbeda dengan Mavi.

"Terus?"

"Tadi pagi gue ketemu sama Kak Thilo. Sepupu cowok lo," kata Gina seraya memandang Sela di depan. Mendapat anggukan dan kemudian dia melanjutkan, "Katanya hubungan gue sama Kak Mavi perlu dibicarakan lagi. Ada orang yang sakit hati dan tengah berjuang buat gue. Gue gak paham maksudnya. Lo paham gak, Sel?"

Yang ditanya menghela napasnya. Duduknya kini bersandar pada kursi. "Pepatah bilang, kalau orang yang lagi bertarung sama perasaan bakal berubah jadi orang bodoh. Mau sepintar dan sejenius apa pun, kalau sudah terbawa yang namanya cinta hal itu bakal buat pikirannya jadi gak waras," ungkapnya. "Kayak lo sekarang," sambungan yang membuat Gina menyerit.

Gadis itu ingin mengajukan suara namun ditahan dengan Sela yang mengangkat tangannya tepat di depan wajah. "Ada banyak yang gue pelajari dari kisah asmara lo ini. Satu, jangan pernah berharap sama orang yang susah peka. Dua, jangan taruh harapan sama orang yang gak peka. Ketiga," Sela menjeda. "Jangan sampai tertular virus gak peka. Berbahaya soalnya."

Gina berdecih mendengar kalimat terakhir. Kembali meneguk minumannya hingga tak tersisa.

"Gue lagi serius lo malah ngomong melantur," ucapnya.

"Lah? Siapa yang melantur? Gue bicara fakta. Sekarang ini lo tertular virus Kak Mavi, susah peka!" balas Sela. Gina mendesah memandangnya. "Apa sesusah itu buat lihat dan paham? Apa yang buat lo sampai gak bisa mengerti, huh?"

"Dan apa susahnya untuk ngomong secara jujur?" balas Gina tak ingin kalah.

"Oke, lo mau yang jujur? Henan suka sama lo."

Gina mendadak diam tak berkutik. Ujung kedua alisnya seketika bertemu di tengah. "Lo—maksud lo apaan ngomong begitu?"

"Apanya? Lo minta yang jujur, kan? Itu sudah gue jawab jujur. Henan suka sama lo. Masih gak paham lagi?" Sela nampak mulai memasang wajah penuh kejengahan. Duduknya kini bersimpuh tangan di atas meja. "Gina gue Sayang, dengar, ya. Gak bakal ada laki-laki yang meskipun menjengkelkan tapi perhatian selain karena dia sayang sama lo. Henan, cowok yang buat lo jengkel hampir setiap hari tapi bersamaan itu juga kepeduliaannya selalu ada buat lo. Alasannya apa lagi kalau bukan karena suka?"

"Ya ... mungkin karena sifatnya memang sudah begitu. Gak tahu." Gina ingin mengelak tapi dadanya justru bergerumuh hebat. Mengalihkan perhatian dengan menjilat bibirnya yang terasa kering tiba-tiba.

Sela tersenyum. "Sekarang gue tanya. Lo senang gak jadian sama Kak Mavi? Gak ada yang  mengganjal? Hati lo benar-benar suka dan sesenang itu?"

 Senang? Gina tentu saja senang setelah mendapat status sebagai kekasih kakak tingkat itu. Tapi perasaan sakit hatinya lebih banyak dari itu.

"Jawab yang jujur. Lo tahu cewek lebih suka pakai perasaan, kan? Jangan bawa logika lo dulu kali ini. Otak lo lagi koslet. Biarkan perasaan lo yang bicara," sahut Sela.

Pupil mata Gina bergerak gelisah. Menolak bersitatap dengan Sela yang masih setia menunggu jawabannya. Dirinya tengah mencoba memanggil seluruh keyakinan. Seperti yang dikatakan, logika tengah dia singkirkan. Gina ingin mendengar perasaannya berbicara. Sesenang itukah dirinya? Apa ini hubungan yang dia inginkan?

Kepala Gina lantas mendongak membalas tatapan Sela. "Gue ...." Tatapan binar itu yang menjadi jawabannya sekarang. Sela tersenyum.

๐ŸŽ—

"Henan? Dia gak masuk dari kelas pertama. Katanya izin."

"Dia ada kasih tahu gak alasan izin kenapa?"

"Gak tuh. Cuman katanya dia sudah kasih tahu sama dosen yang bersangkutan jadi gue gak tahu alasan lebihnya."

"Ah, begitu, ya. Makasih."

Gina berlalu meninggalkan lorong kelas anak Fakultas Musik. Selepas dari kafe, gadis itu berniat untuk menunggu jadwal kelas mililk Henan. Sayangnya hampir mendapat setengah jam hingga koridor fakultas itu kosong, dirinya tak menemukan Henan sama sekali. Dan sekarang baru tahu kalau lelaki itu tidak datang ke kampus satu hari penuh ini.

"Gina, aku cari dari tadi kamu malah di sini." Mavi mendatangkan diri dengan napas yang sedikit tersendat. "Ngapain di sini? Cari Henan?"

"Ah, iya Kak," jawab Gina.

"Henan katanya lagi pulang. Semalam pamit sama orang di indekos."

"Pulang?" Mavi memberi anggukan kepalanya. Membuatnya berpikir apakah kepulangan Henan karena sebab dirinya yang menerima ajakan Mavi menjadi sepasang kekasih.

Mavi yang menatap wajah murung Gina sedikit memiringkan kepalanya. Ingin melihat lebih jelas wajah diam gadis itu. Semenjak kemarin, pesan hingga panggilannya hanya dibalas dengan seadanya saja. Menimbulkan banyak persepsi akan perasaan gadis itu yang sebenarnya.

"Gina," panggil Mavi. Gadis itu seketika menoleh. "Kamu gak apa? Mau cerita sesuatu?"

Kedua mata Gina berkedip pelan. Kepalanya kemudian menggeleng. "Aku gak apa, Kak. Cuman ...."

"Kangen Henan?"

Kangen? Gue kangen Henan?

Mavi memasang senyum tipisnya dan mengusap kepala gadis itu. "Ayo pulang. Sudah mau menjelang malam." Menarik gadis itu pergi hingga keparkiran tanpa menyadari seseorang yang tengah menatapnya dari jarak yang membentang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perfect Love INTROVERT
10910      2027     2     
Fan Fiction
Konstelasi
941      490     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Shymphony Of Secret
727      459     1     
Romance
Niken Graviola Bramasta โ€œAku tidak pernah menginginkan akan dapat merasakan cinta.Bagiku hidupku hanyalah untuk membalaskan dendam kematian seluruh keluargaku.Hingga akhirnya seseorang itu, seseorang yang pernah teramat dicintai adikku.Seseorang yang awalnya ku benci karena penghinaan yang diberikannya bertubi-tubi.Namun kemudian dia datang dengan cinta yang murni padaku.Lantas haruskah aku m...
When the Winter Comes
61455      8305     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
Our Perfect Times
1566      951     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Flower With(out) Butterfly
449      309     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Gantung
824      520     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Archery Lovers
5082      2103     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
Little Spoiler
1109      668     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Life
327      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu