Semuanya kembali pada keadaan semula. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak ada yang berubah. Hanya dua anak manusia ini saja yang terlalu banyak tingkah dan drama. Kemarin seharian penuh tak bertemu, Jeon yang melapor Gina jalan pulang bersama Mavi, kini kembali terlihat dekat bersama Henan dengan keributan yang membuat Sela, Delio, sampai Jeon geleng-geleng kepala.
"Salah lo lah! Kan, gue sudah kasih tahu buat singgah dulu. Lo sih, main asal terobos," sahut Gina dengan kesal.
"Kalau kita singgah yang ada bakal telat. Lo gak lihat sekarang jam berapa?" balas Henan. "Lagian itu cuman cimol lima ribu. Nanti bisa beli lagi. Gak bakal lari akangnya."
Gina cemberut. "Tapi kan, lo bisa pelan-pelan. Gak main asal gas kayak tadi. Kiranya gue gak kaget apa?"
"Lonya saja yang terlalu ringan. Disuruh rajin makan gak mau. Ditiup angin terbang lo nanti."
"Pengin gue betot kepala lo lama-lama. Dari tadi ngebantah gue terus."
"Lo bukan Mama gue. Jelas punya hak buat ngebantah."
"Henan, kebetulan di sini luas. Gelut yuk?" Gina sudah mulai kesal.
"Gue sayang sama lo. Gak mau lo luka-luka." Gina berdecih mendengarnya. "Gak usah banyak omel. Masih pagi. Sudah sarapan belum? Tadi gue lihat tukang bubur gak ada hari ini," cercos Henan seraya melepas pengait helm Gina.
Gina menyingkirkan rambut yang sejenak menutup mata. "Hari ini gue gak minat sarapan. Tadi cimol gue sudah jadi bentuk mau makan pagi tapi lo jatuhkan," jawabnya.
Henan seketika menatapnya diam. "Cimol itu bukan untuk sarapan. Gak usah pakai acara gak minat. Benaran mau jadi manusia kertas?"
Plak!
"Akh!"
"Makan tuh, manusia kertas," sindir Gina. Melepas helm yang kemudian digantung di kaca spion motor Henan.
Pagi ini Gina kembali berangkat ke kampus bersama lelaki itu. Lumayan hemat bensin tapi kasihan juga kalau motor hadiah dari Bunda menganggur di indekos. Lain kali dirinya akan ke kampus duluan. Masa bodoh sama Henan yang menjemput dan stay di depan gerbang.
Sedangkan Henan hanya mampu menatap kepergian Gina seraya mengelus helm yang masih terpasang. Mulutnya monyong-monyong mengumpati gadis itu dengan kalimat sayang. Dan dibalik pertengkaran keduanya di area parkir, ketiga manusia itu senantiasa berdiri menonton aksi mereka.
Kini Gina berdiri di depan ketiganya. Menatap secara bergantian dengan pandangan heran. "Kalian ngapain berdiri di sini? Tunggu siapa?" tanyanya.
"Gak tunggu siapa-siapa. Cuman nonton drama pagi doang," jawab Sela. Gina makin menyerit dibuatnya.
"Sudah baikan? Kemarin Henan gak marah-marah sama lo kan?" Kali ini Jeon yang membuka suara.
"Gak tuh. Biasa saja. Cuman dia buang roti bakar gue semalam. Ck! Padahal lagi enak-enaknya makan malah dibuang." Seketika Gina kembali kesal mengingat nasib roti bakar penuh kemalangan.
"Kenapa dibuang?" Delio bertanya.
Wajah Gina kembali sungut. "Gak tahu! Gak jelas anaknya. Cuman karena makanan itu dibeli sama Kak Mavi malah dibuang. Gak sopan banget," gerutunya.
Ketiganya saling bertukar pandang seketika. Kini Sela menghela napas penuh kejengahan. "Gin, lo gak ketularan penyakit Kak Mavi, kan?" Gina berkedip kemudian menggeleng. "Iya, lo sudah ketularan. Lo gak peka," ujar Sela.
Namun, gadis itu masih saja menunjukkan raut kepolosan penuh tanda tanya. Jeon angkat tangan dan berlangsung pamit menuju fakultasnya. Disusul Delio kemudian setelah menyempatkan diri meninggalkan sebuah kecupan manis pada pipi Sela. Gina bergidik menatap. Pasangan yang terlalu terang-terangan.
"Sudah, gak usah lo pikirkan masalah itu dulu. Sekarang ayo masuk! Atau lo tunggu Henan yang antar?"
Kepala Gina seketika menggeleng kuat. "Gak, gak! Gue gak mau."
"Gak mau diantar tapi belum pergi juga. Aslinya lo lagi tunggu gue, kan?" Henan tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Tangan kanan yang bermain dengan seenak jidat merangkul bahunya.
"Lo apa-apaan, sih?" Risihnya seraya menyingkirkan lengan Henan.
"Dasar tsundere. Dirangkul gak mau, sekali dipeluk ketagihan."
Gina memememelotot. "Sejak kapan gue doyan dipeluk sama lo? Ngaur!"
Henan hanya membalasnya dengan kekehan. Mengapit kedua pipi gadis itu hingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Gina berteriak meminta Henan melepaskan namun sama sekali tak dihiraukan.
Sela menghela napas. Dirinya membuang pandangan kala menjadi nyamuk di awal pagi. Lantas setelah itu, pandangannya tanpa sengaja menangkap sosok Mavi yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki itu diam tak bergeming. Berganti menatap Henan dan Gina yang masih berseteru di sampingnya kemudian kembali menatap Mavi lagi. Gadis itu paham kalau sejatinya lelaki itu sedari tadi melihat keduanya.
Dehaman kuat lantas lolos dari Sela. Berhasil membuat anak Adam dan Hawa itu berpaling menatapnya. "Eh, Gin. Gue duluan, ya? Baru ingat kalau ada urusan sama teman gue," ujarnya berbohong. Tatapannya yang menatap Henan kemudian memberi gerakan kecil dengan ujung mata.
Henan mencoba memahami dari gerak-gerik maksud Sela. Kala otaknya baru terkoneksi, dirinya lantas beralih pandang. Dan kali ini, Henan berhasil melakukan kontak mata dengan Mavi yang masih setia di tempatnya.
"Ah, ya, sudah kalau begitu. Nanti gue ke kelas sendiri," jawab Gina.
"Gak ada sendiri. Gue antar," celetuk Henan. Memutuskan kontak matanya bersama Mavi dan kembali merangkul Gina membuatnya menjadi lebih dekat.
Gina yang ingin kembali protes lantas dibuat bungkam setelah mendapat cubitan pada hidungnya. Lain Sela yang kini mengangguk kemudian melepas pamit untuk segera berlalu.
"Gue bukan anak SD yang harus ditemani ke kelas," protes Gina. Wajah gadis itu mengerut tak suka pada Henan yang selalu main semaunya.
"Memang. Tapi lo cewek gue yang jadi kewajiban buat diantar ke kelas," balas Henan.
"Ngomong apa, sih?" Gina makin bersungut. Henan hanya membalasnya dengan senyuman sebelum berlalu mengantar gadis itu ke kelasnya. Melewati Mavi tanpa merasa peduli akan kehadirannya.
"Vi, ayo!" Abey seketika muncul di samping lelaki itu. Menatap Mavi heran sedari tadi diam kala memandang jauh ke depan. "Vi? Lo gak apa?" Tangan gadis itu melambai di depan wajahnya.
Mavi mengerjap kemudian. "Ah, sudah? Ke kelas sekarang?" Senyum tipisnya terbentuk di wajah.
Abey mengangguk seraya senyum lebar. Tangannya bergerak merangkul lengan Mavi hingga keduanya berlalu dari sana.
Bukan tidak tahu, itu hanya terlalu kontras. Di saat Mavi diam memandangi kepergian Henan dan Gina, gadis itu melihatnya dari arah belakang. Dirinya menghela dalam batin. Sudah seharusnya dirinya tidak menyetujui pasal penundaan Mavi hari itu. Sekarang, konsekuensi Mavi akan berpaling mulai muncul kepermukaan.
🎗
Sepertinya taman kampus yang dekat dengan perpustakaan mulai menjadi tempat kumpul bagi Gina dan kawan-kawan. Untuk gadis itu sendiri baru terbilang pertama kali. Dirinya sangat jarang menginjakkan diri di sana. Tapi setelah Sela yang mengajaknya, rasa nyaman itu seketika menyeruak. Duduk di bawah pohon rindang dengan bangku beton. Angin yang bertiup melambai menyentuh dedaunan mengantarkan rasa ngantuk saking sejuknya.
Kali ini sangat ramai dari biasanya. Kalau kemarin-kemarin hanya Sela dan Gina, kini baik Jeon dan Nanda juga ikut mendudukkan dirinya di sana. Entah bagaimana bisa Jeon membawa kembarannya yang super duper sibuk itu untuk bergabung. Bahkan kala mereka sudah duduk bersama pun, Nanda tidak melepas tumpukan kertas berisi materi kedokterannya dari perhatian.
"Lo ngapain bawa Nanda ke sini? Gak kasihan? Dia lagi serius belajar tahu, Je," tegur Gina.
Jeon memandang hanya menaikkan kedua bahunya. Lain pada Nanda yang menatap gadis itu penuh dengan senyum ramah. "Gak apa, Gin. Gue juga suntuk kalau belajar cuman bolak-balik kantin kelas. Butuh tempat baru yang lebih segar biar otak gue penuh juga," katanya.
"Tapi kelas lo bagaimana? Kalau ada yang terlewat?" Gantian Sela yang bertanya.
"Aman. Gue hapal jam kelas kok." Lelaki itu memandang jam pada pergelangan tangannya sejenak. "Masih ada dua puluh menit sebelum masuk. Gue santai dulu bareng kalian."
"Santai konon kalau masih bergelut sama itu gambar organ-organ," sahut Henan.
"Bekicot laut mending diam. Lo tuh, gak diajak." Henan mencibir balasan Nanda.
Banyak topik pembicaraan yang mereka bahas di sana. Mulai dari hal yang mengejutkan sampai yang paling lucu hingga membuat tawa kedua gadis itu terlepas dengan begitu lantang. Kisah di mana Henan yang semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama salah memakai seragam olahraga karena buru-buru ke lapangan. Berakhir memakai celana anak-cheerleaders sebab tertukar dan main asal pakai. Kesadaran yang belum terkumpul kala itu benar-benar membuatnya malu. Ditambah dengan Nanda yang membocorkan bagaimana tampilan Henan kala itu dengan menunjukkan foto dari ponselnya. Di saat Tuhan menutup aib Henan, ada sahabatnya yang membongkar tanpa sungkan.
Kala mereka dengan begitu asiknya bercerita, satu manusia hadir dengan begitu santainya. Senyum lebar tepampang di wajah. Makin mendekatnya anak itu, membuat satu orang yang duduk di sana kini menampilkan rasa malu-malu. Henan berdesis melihatnya.
"Hai, gue boleh gabung gak?"
"Boleh dong, Bang. Masa gak? Sini duduk." Jeon bergeser demi menyisakan tempat pas bagi Mavi untuk duduk.
"Kalian kelihatannya seru banget. Sampai kedengaran di koridor sana," ujar Mavi seraya menunjuk jalan lorong yang dilewati tadi.
Nanda menyengir. "Lagi nostalgia sama kelakuan Henan waktu SMP, Bang. Tahu saja kan, anak ini gak ada bedanya waktu masih sekolah. Berandalan, mana beringas pula."
Henan mencebik ucapan Nanda. "Sembarangan kalau ngomong. Gue justru murid paling aktif kalau lo lupa."
"Iya, aktif begal sana sini. Aktif masuk ruang BK. Aktif hormat di depan tiang bendera. Aktif terlambat. Aktif dihukum gak kerja tugas. Terus, aktif apa lagi?" Nanda menjulurkan lidahnya meledek Henan. Sedangkan lelaki itu sudah bersiap ingin melepas sepatunya untuk dilempar pada wajah menjengkelkan Nanda.
Mavi terkekeh. "Sudah tahu kalau itu, mah," katanya. "Gue cuman sebentar kok di sini. Mau pinjam Gina doang. Boleh?"
"Gina?" Mavi mengangguk pada Nanda.
"Ya, silahkan, Bang. Gak ada yang la—" Belum selesai Jeon berucap mulutnya sudah dibekap oleh Sela di sampingnya. Gadis itu tersenyum canggung.
Kini semua pasang mata menatap Gina di tempat. Gadis itu mendadak gelagapan dengan kelopak mata yang bergerak cepat.
"Gue, Kak?" tanyanya seraya menunjuk diri.
"Memang Gina di sini siapa lagi kalau bukan lo?" Wajah manis Mavi kini terpatri. Gina yang malu-malu, Henan yang masam.
"Ah ... boleh," jawabnya yang di akhiri dengan anggukan singkat.
Mavi sudah berdiri dari tempatnya, menunggu Gina yang beranjak dan mengampiri. Kala sudah dekat dan ingin berlalu pergi, Henan tiba-tiba ikut tidak duduk lagi. Menahan gadis itu hingga membuat keduanya berhenti.
"Henan, gue—"
"Ngomong di sini." Lelaki itu bahkan tidak memperdulikan Gina sama sekali. Pandangannya masih lurus pada Mavi dengan begitu datar.
Gina mendadak diam di tempat. Bingung akan reaksi Henan yang di luar perkiraan. Ada sekelebat pertanyaan juga was-was kala nuansa lingkup mereka sekarang ini kurang mengenakkan. Bahkan Sela dan anak kembar juga ikut berdiam diri di bangkunya.
"Yang jelas, drama percintaan bego ini akan selesai. Meski harus ribut dulu," gumam Sela.