Nanda yang seperti biasa. Hari-hari tanpa henti berkutat dengan kertas-kertas tebal yang bertumpuk banyak. Berbagai macam alat tulis seperti stabilo hingga kertas note berwarna-warni menemaninya sebagai pelengkap. Kegigihan dalam mempelajari ilmu tentang manusia, sempat membuatnya stres namun berujung sesaat. Tentu saja harapannya untuk menjadi seorang dokter sangat dijunjung tinggi. Satu alasan yang paling kuat adalah untuk menjadi dokter pribadi sang Kakek yang mendukungnya nomor satu sebagai cucu. Hal lain, dirinya juga ingin mengecek otak Jeon. Kembarannya itu harus dicarikan obat agar berhenti bermain hati perempuan.
Materi Anatomi kini bersimpuh di depannya. Jari kiri yang mengetuk-ngetuk meja sedangkan kanan sibuk memberi coretan warna pada kalimat yang dirasanya penting. Nanda tipe orang yang tidak peduli pada sekitar ketika dirinya sudah menaruh fokus dalam. Meski tempat belajarnya kini adalah kantin, bukan sebuah masalah sebab orang-orang yang menghuni di sana pun tidak menunjukkan keributan selayaknya kantin fakultas lain.
Brak!
Coretan stabilo kuning itu seketika melenceng dari jalur. Nanda terbelak sebelum akhirnya mendongak menatap pelaku yang dengan kurang ajarnya mengganggu ketenangan. Seketika, wajah masam Henan terpampang menjadi pemandangan. Dirinya menyerit.
"Kenapa lagi lo?" tanyanya.
"Jeon mana?"
"Jeon? Di fakultasnya lah! Ngapain cari dia di sini?" Nanda hendak kembali melanjutkan kegiatannya namun terhenti kala Henan sudah duduk berhadapan. "Ada apa lagi? Kenapa sama kembar sinting gue?"
"Pengin belajar main cewek," jawab Henan acuh.
"Gila!" seru Nanda. Sedangkan lelaki yang diteriakinya hanya menatap tak minat. "Ada hal apa sampai lo mau ikutan jadi beringas kayak Jeon?"
Henan menghela napas. Seketika meramas rambutnya dengan begitu kuat. Nanda memandang dengan pandangan bertanya. "Gue stres, Nanda!" sahutnya. "Gue capek sama percintaan yang buat gue kayak orang tolol."
"Kan, lo memang tolol," sanggah Nanda. Henan mencebik membalasnya.
Lelaki itu menyandarkan punggung pada bangku kantin. Wajah lelahnya tertampang sedangkan Nanda sudah tidak peduli dengan kondisinya. Lelaki itu lebih memilih untuk berkutat dengan gambar-gambar organ yang kalau dibayang keluar bisa membuat mual. Henan seketika membuang muka.
"Kali ini ada apa lagi sama Gina?" sahut Nanda tanpa menatapnya. Dirinya jelas tahu, alasan yang membuat Henan menjadi seperti ini apalagi kalau bukan gadis dari Fakultas Sastra itu. Stres karena tugas? Itu sangat mustahil bagi si maniak Shin-chan ini.
"Dia suka sama Mavi," jawab Henan.
Gerakan tangan Nanda berhenti seketika. Kepalanya mengadah dengan pelan. Mengerjap seraya menatap Henan yang bertampang datar. "Bang Mavi?" Lelaki itu mengangguk. "Tapi bukannya dia sudah pacaran sama Abey?" Bahkan gosip pasal Abey pun sampai di Fakultas Kedokteran. Gadis itu benar-benar terkenal satu kampus.
"Belum. Si kutu buku sialan itu tunda tembak Mba Abey karena mau cari tahu cewek yang suka sama dia sejak lama."
"Si Gina?" Wajah frustrasi Henan menjadi jawaban iya. "Terus?" Nanda memilih menunda kegiatan belajarnya demi mendengar curhatan cinta bak drama-drama.
Henan mengusap wajahnya kasar sejenak. "Ini semua karena gue, Nan. Gue capek dengar Mavi ngomong pasal tembak Abey atau gak. Makanya gue sampai keceplosan kasih tahu kalau bukan cuman cewek itu yang suka sama dia."
"Lalu, lo kasih tahu kalau cewek yang suka dia itu Gina?"
Henan menggeleng. "Gue cuman ngomong kalau ada yang suka. Sisanya dia mau cari sendiri. Dan lebih gobloknya lagi, dia ajak Abey untuk cari sama-sama. Lihat, kan? Lebih berengsek mana dia sama kembaran lo?"
Mulut Nanda terbuka lebar. Para insan yang tengah berperang dalam kisah asmara benar-benar membuatnya tercengang. Dirinya bahkan sampai terkekeh penuh kagum. Kalau ingin membandingkan dengan materi yang diperlajarinya sekarang, percintaan mereka lebih rumit.
"Kenapa gak suruh Gina ngaku saja biar langsung selesai?" pukas Nanda.
"Gue juga sudah kasih begitu tapi orangnya bersih keras gak mau. Masih taruh harapan ke Mavi peka sama perasaannya. Tambah bego lagi," jawab Henan kesal.
Nanda beranjak dari tempatnya setelah menyuruhkan bagi Henan untuk menunggu. Lelaki itu sedikit berlari untuk membeli sebotol minuman dingin. Setidaknya dengan ini pikiran Henan tidak terlalu kacau dan amburadul
"Minum dulu. Otak lo bisa panas pikir beginian," sahutnya.
Henan menerima dengan senang hati. Selain karena memang butuh, dirinya juga tidak perlu membayar. Soal itu, seketika dirinya ingat kalau memiliki utang pada Gina. Hari di mana gadis itu mengomelinya secara terang-terangan kala sedang sarapan. Lebih membuat hatinya brutal setelah Gina mengatakan masih menaruh suka pada teman indekosnya itu. Henan berdesis kesal mengingatnya.
"Kalau menurut gue, cuman dua pilihan yang bisa lo ambil, Hen," ujar Nanda. Henan diam memasang telinga. "Satu, suruh Gina untuk jujur. Tapi karena gadis itu gak mau maka pilihan terakhir lo yang bilang sendiri ke Bang Mavi."
Kedua mata Henan berkedip lambat. "Gue?" Mendapat jawaban anggukan kepala dari Nanda.
"Lo harus kasih tahu ke Bang Mavi lebih cepat sebelum dia sendiri yang tahu. Ya, meskipun bisa saja lelaki itu memang peka sama perasaan Gina."
"Terus Mba Abey?"
Nanda melipat bibirnya sejenak. "Sebelum lo kasih tahu ke Bang Mavi, coba bicara sama dia dulu. Lo tahu kalau cewek sudah suka sama satu cowok yang sama bakal bagaimana, kan? Yang ada takutnya bisa ribut kalau mereka ketemu," jelas Nanda.
Henan diam untuk memikirkan saran temannya. Ada sekelebat kebenaran tapi entah mengapa perasaan malah ragu untuk melakukan. Tapi jika dirinya terus membiarkan, hal yang paling buruk bisa saja terjadi.
"Gue cuman takut satu hal, Nan. Kalau Mavi tahu Gina suka sama dia, dan ternyata dirinya juga suka sama gadis itu bagaimana? Gue bingung di sana."
"Ah ...." Untuk ini Nanda diam tidak memberikan balasan. Yang dikatakan Henan memang ada benarnya. Tidak ada yang tahu akan perasaan orang-orang. Hari-hari bisa saja berbeda dan Mavi juga mungkin saja bisa menyukai Gina.
Ping!
Selayy:
| Lo di mana? Gue mau ngomong sesuatu.
| Tentang Gina.
"Siapa?"
Henan mendongak. "Sela, pacarnya Bang Delio. Mau ketemu buat ngomong sesuatu katanya," jawabnya seraya menyimpan ponsel kembali dalam saku celana.
"Tentang Gina?" Dan Henan benar-benar merasa beruntung mengenal Nanda. Teman yang memiliki kepekaan luar biasa.
🎗
Di taman yang sama tempat Abey dan Mavi mengumbar kemesrahan. Kini Henan dan Sela yang menempati tempat itu dengan pembahasan yang penuh akan keseriusan.
"Gina bilang lo bocor sama Kak Mavi pasal dia yang suka sama kakak tingkatnya itu," ungkap Sela.
"Gue bocor sedikit. Cuman bilang ada yang suka sama dia sejak lama. Tapi gue gak sebut namanya."
"Kenapa?" Henan justru menyerit. "Kenapa gak ngomong saja biar lebih jelas?"
Henan berkedip. "Lo mau gue langsung kasih tahu begitu?" Dan jawaban Sela adalah mengangguk. Henan mati kutu di tempat. Semua saran yang dia dengar hari ini malah menyuruhnya untuk jujur.
"Hen, gue temanan sama Gina bukan waktu yang singkat. Gue sudah tahu seluk beluk gadis itu kalau suka sama orang. Kak Mavi sudah jadi orang pertama yang buat dia jatuh cinta," jelasnya membuat Henan bungkam. "Awal bertemunya memang lucu, cuman karena salah paham. Tapi Gina tipe orang yang keras kepala. Perlu berkali-kali untuk dikasih tahu biar dia mau dengar."
"Gue tahu itu," sela Henan. Helaan napas berat seketika lepas dari bilah bibirnya.
"Gue masih gak percaya sebenarnya kalau Gina masih menyimpan perasaan itu. Gue kiranya sudah gak. Berita Abey sama Mavi yang tenar satu kampus, gue kira Gina bakal menyerah setelah tahu itu. Tapi apa? Dia masih paksa diri."
Sela masih ingat kejadian semalam yang membuatnya harus menceramahi teman indekosnya selama hampir 1 jam. Keras kepala yang tidak bisa diberi bantahan untuk paham, suara Sela hampir lenyap karenanya. Gina selalu memberi banyak kata andai yang penuh harapan. Membalasnya dengan kata mungkin kembali dilawan dengan kata bisa saja. Perlu banyak persiapan bantahan untuk bisa membuat gadis itu menyerah tapi sayangnya, Sela angkat tangan. Makanya dia melakukan pertemuan ini dengan Henan untuk membahasnya sekaligus meminta tolong.
"Lo sudah dekat sama Gina, Hen. Hadir lo selama ini bisa buat gadis itu lupa sama Kak Mavi. Omongan gue mungkin kesannya terlalu jahat. Tapi bakal lebih jahat lagi kalau gue biarkan sahabat gue menjadi perusak hubungan orang lain. Lo paham yang gue maksud, kan?" Henan berdeham menjawab. "Gue minta tolong sama lo. Kasih tahu Kak Mavi soal Gina. Percintaan orang bego ini kalau makin lama dibiarkan bakal makin gila. Gue stres dibuatnya," gerutu Sela.
"Lo gak lihat modelan gue kayak apa? Tugas gue bahkan ada yang lewat deadline karena kepikiran. Sial," desis lelaki itu.
Di saat Henan dan Sela sibuk berdiskusi pasal masalah Gina, Jeon mendatangkan diri dengan pandangan heran. Sembari mengemut es kiko di dalam mulut, lelaki itu berjalan perlahan mendekati keduanya.
"Ada apa ini? Kalian berdua selingkuh?" sahutnya.
Sela yang memandang seketika mencibir dengan satu pukulan mendarat di lengan lelaki itu. Lain dengan Henan yang malah menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan begitu sinis.
"Muka lo yang selingkuh. Situ yang buaya malah nuduh orang," kata Sela.
"Santai dong. Gue cuman tanya," balasnya seraya mendudukkan diri tanpa permisi. "Ngomong-ngomong kalian lagi bahas apa? Serius banget nampak."
"Lo mendingan gak usah tahu. Gue gak mau nanti semua rencana gue jadi berantakan karena lo," kata Henan.
Jeon berdecih singkat dan kembali mengemut esnya. "Lo jahat banget sama teman, Hen. Sudah gak percaya lagi sama gue?" rengeknya. Henan malah menatapnya dengan pandangan jijik. "Tapi gue bisa tebak kok. Kalian pasti bahas pasal Gina sama Bang Mavi. Iya, kan?"
Kedua anak itu seketika saling pandang. Sela menatap Jeon dengan wajah kagetnya. "Kok lo bisa tahu?" dan Henan hanya bisa diam menyetujui ucapannya.
Jeon memasang penuh kebanggaannya. "Tahu dong! Gue dilawan. Masalah percintaan mah, gue ahlinya," celetuknya penuh percaya diri.
"Aish ... ngomong saja langsung sialan," kesal Henan. Tampang Jeon benar-benar membuatnya jengkel sekarang. Mana lelaki itu hanya membalasnya dengan kekehan pelan.
"Gue sempat ketemu tadi di parkiran pas mau pulang. Gue dengarnya Bang Mavi ngajak dia jalan." Es kiko rasa anggur yang sudah habis kini di lempar masuk ke tempat sampah yang sedikit berjarak dari tempat.
"Ajak ... jalan?" Henan memastikan.
Kepala Jeon mengangguk. "Gue gak dengar lebih lanjut sih, mereka mau ke mana. Karena gue buru-buru masuk lagi ke fakultas. Ditelepon sama dosen yang mata kuliah gue bermasalah, hehe."
Meski Jeon menampilkan nyengirnya untuk mengundang kelucuan, tidak membuat Henan merubah ekspresi penuh kekesalan. Sela di tempat jelas tahu akan aura yang di keluarkan lelaki itu. Sedangkan Jeon kini kembali bungkam dengan pandangan polos penuh bertanya-tanya. Hitungan detik, Henan lantas melongos begitu saja. Sela menghela napas berat dan Jeon masih dengan wajah bodohnya.