"Mavi!"
Pemilik nama yang dipanggil sontak menoleh dengan cepat. Seorang perempuan nampak berlari dengan senyum merekah yang menghiasi wajahnya. Tepat ketika mereka berhadapan, Mavi ikut tersenyum membalasnya.
"Hai, Bey," sapanya.
Gadis itu menambahlebarkan senyumnya hingga deretan gigi putih itu terlihat. "Kelas lo sudah kosong?"
"Iya, kenapa?" Tangan lelaki itu dengan mulus bergerak merapikan anak-anak rambut Abey yang sedikit berantakan sebab larinya tadi. Sedangkan sang gadis nampak tidak masalah dengan itu. Semua sikap manis Mavi padanya sudah sangat sering didapatkan dan menjadi kebiasaan.
Bibir Abey cemberut beberapa senti. "Gue lapar. Hari ini Mr. Ferryd menjelaskan panjang lebar banget kayak rel kereta api. Padahal kelas dia seharusnya gak terlewat dari dua jam," gerutunya.
Mavi membalasnya dengan kekehan singkat. "Mungkin saja semua yang dia ucapkan penting buat nilai mata kuliah lo. Makanya hari ini dia cerewet."
"Saaangat cerewet!" sanggah Abey membuat lelaki itu kembali tertawa kecil.
Interaksi keduanya yang begitu terang-terangan di antara banyaknya mahasiswa berlalu-lalang. Sudah bukan hal aneh lagi mendapat pemandangan seperti itu. Tidak jarang mereka memilih berhenti untuk sekadar menjadi penonton dari drama manis dua anak dewasa itu. Ada yang menaruh iri menatap bagaimana sempurnya kedekatan keduanya. Begitu banyak dukungan yang Mavi dan Abey dapatkan dalam hubungan mereka. Terlebih lagi, keduanya memang anak mahasiswa yang cukup terkenal seantero kampus.
Belum ada yang tahu pasal kabar Mavi yang menunda untuk membuat hubungan dirinya dan Abey melebihi sahabat masa kecil. Para penduduk kampus sekadar tahu kalau hubungan mereka hanya berjalin sweet in partnership, not relantionship. Sosial media yang menjadi ajang pamer bagaimana lengketnya mereka berdua, manusia-manusia yang menatap hanya memasang penuh terkaan akan hubungan mereka tanpa tahu keasliannya.
Mavi dan Abey, dua anak muda yang sudah menjalin pertemanan dari taman kanak-kanak. Selain karena dulunya Mavi adalah anak yang pendiam, berkat kedekatan kedua orang tua membuat mereka menjadi sepasang anak yang sulit dipisahkan. Beranjak dewasa sudah mulai paham akan yang namanya perasaan. Namun, di saat itu Abey lebih memilih untuk tidak menjalin status lebih bersama Mavi karena hubungan persahabatan mereka. Gadis itu tidak ingin mengalami kata putus yang membuat keduanya kemungkinan merenggang. Dan siblings zone berhasil bertahan hanya sampai pada masa mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Persahabatan antara perempuan dan lelaki tidak akan bisa terhindar dari masalah jatuh cinta, baik Abey dan Mavi sekalipun. Meski kisah asmara mereka kandas demi mempertahankan hubungan sahabat dan saudara, berakhir menyerah dengan umur yang kini sudah menginjak masa kuliah. Namun, satu masalah kini yang harus diselesaikan dan mereka kembali terjerat hubungan tak lebih dari teman.
"Jadi bagaimana, Vi? Sudah ketemu belum?" Keduanya kini duduk di taman kampus. Sempat membeli beberapa makanan ringan untuk menuruti permintaan lapar Abey.
Mavi mendesah penuh pasrah. "Belum, Bey. Gue gak ada clue sama sekali buat cari tahu siapa cewek itu," jawabnya. Ikut mencomot sepotong kentang goreng milik Abey tanpa permisi. Bukan masalah, lagi pula dia yang membelinya.
"Sebegitu banget lo pengin tahu?" tanya Abey seraya menyesap cappucino-nya dengan pelan.
"Ya, begitu." Mavi sendiri pun tidak tahu apa alasan dirinya ingin mencari tahu gadis itu dengan sangat. Ada sebuah harapan di dalam diri yang entah apa maksudnya.
"Jawabannya yang jelas dong! Jangan menggantung, gak enak!" seru Abey. Mavi menoleh menatapnya dengan alis berkedut. "Kalau misalkan lo pilih dia daripada gue bagaimana?"
"Mana ada kayak begitu," elak Mavi.
"Bukan mana ada. Bisa saja, Vi." Abey mengumpulkan seluruh rambutnya yang terurai untuk diikat. Hari ini terasa panas padahal angin bertiup dengan sepoi-sepoi. "Gue di sini rela banget loh, Vi. Kita sudah menaruh janji dari lama. Tapi karena lo penasaran yang buat gue jadi ikutan, terkadang gue pikir kalau keputusan itu justru malah buat gue jadi kelihatan kayak orang bego," jelasnya. Wajah Abey seketika memasang raut serius. "Lo sebenarnya sayang gak sama gue?"
"Kok lo nanya yang sudah jelas jawabannya?"
"Kalau begitu janji betul-betul sama gue. Selepas lo tahu siapa gadis yang suka sama lo, janji kalau cuman mau minta maaf karena gak peka sama perasaannya. Janji?"
Mavi menatap lekat wajah gadis itu di depannya. "Gue gak jelas banget ya, Bey?"
"Sangat!" sungut gadis itu. Mavi malah tertawa mendengar balasannya. "Jangan ketawa. Gue serius!" Namun, hal itu tidak membuat lelaki tampan itu terhenti.
"Iya, iya," jawab Mavi. "Gue janji sama lo. Tenang saja," ucapnya seraya menepuk puncuk kepala Abey dengan Sayang. Gadis itu sempat memberinya decihan halus yang kemudian menyuapi mulut.
"Lo ngomongnya ringan banget. Gak tahu saja perasaan digantung kayak begini tuh, gak enak," gerutunya kembali.
Mavi yang sudah terlanjur gemas lantas mencubit kedua pipi anak itu. "Iya, Renabey. Makanya kita cari sama-sama biar cepat selesai. Seandainya di sini gak ramai sudah gue gigit lo di tempat." Namun, Abey membalas ucapannya dengan bibir yang bergerak meledek.
Tempat mereka memang ramai akan mahasiswa lain yang ikut berteduh dari terik panas. Kembali mengumbar kemesrahan yang membuat orang-orang iri menatap. Termasuk rasa cemburu yang kini menggebu di dalam dada Gina. Gadis itu, dari jarak yang sangat jauh berdiri mematung sedari tadi menatap Mavi dan Abey. Di pelukannya terdapat beberapa buku. Makin mengerat dengan bibir bawah dalam yang digigit kuat.
Gina sedari tadi mencari sosok Mavi di fakultas. Ada satu pembahasan materi yang ingin dia tanyakan kepada lelaki itu. Namun, begitu mendapat Mavi dan Abey yang sudah duduk bersama membuatnya mengurungkan niat untuk sekadar menyapa. Rasa tidak suka itu ada tapi ucapan mundur lebih menekannya. Maka sebelum kehadirannya diketahui oleh pasangan manis itu, Gina berlalu pergi dengan hati yang bergetar.
🎗
"Lo gak apa, Gin? Sakit?" Gina memberikan gelengan pada pertanyaan Sela.
Selepas dari aksi kaburnya, Gina bertemu dengan Sela yang baru saja keluar dari gedung Fakultas Kedokteran. Tidak seorang diri, tentu saja bersama sang kekasih, Delio. Sela yang mendapat raut temannya sedang tidak dalam kondisi bagus lantas meminta pamit dari lelaki terkasih. Dan kini, mereka berdua duduk berhadapan di kafe bersejarah yang selalu dikunjungi.
Sela menghela napasnya. Menatap Gina yang sedari tadi hanya diam tak bersuara. Makanan yang dipesannya pun hanya sekadar ditatap tanpa minat. Minumannya juga hanya diaduk-aduk tanpa semangat.
"Lo kenapa? Ada masalah lagi sama Henan? Atau ada yang ganggu lo di fakultas?" tanya Sela lagi. Butuh banyak batas kesabaran untuk menghadapi Gina dalam mode seperti ini.
Sela menyeruput minumannya dengan sedikit kasar. Kalau sudah seperti ini, ada dua pilihan yang sangat ingin dia lakukan. Pertama, memukul gadis itu dan kedua, berdiri menuju toilet untuk membasahi tangannya lalu menyentakkan jari di depan gadis itu agar segera sadar. Atau mungkin tambahan pilihan yang ketiga, benar-benar sudah tidak tahan lagi dirinya akan menghubungi Henan. Kepala Sela menganggung sejenak dengan ide yang terakhir.
"Sel," Gina akhirnya bersuara. Walau terdengar lemah penuh tanpa minat. Sela kini memasang seluruh perhatiannya pada gadis itu. "Hati gue sakit," rengeknya dan mendongak.
Sela mengerjap menatap gadis berstatus temannya ini. Wajahnya tertekuk dengan bibir yang melengkung ke bawah. Alisnya bahkan ikut menurun makin menunjukkan raut kesedihan.
"Sakit kenapa?"
"Gue patah hati."
"Hah?"
"Gue …." Gina bingung ingin melanjutkan kalimatnya bagaimana. Yang terjadi kini, dirinya hanya ingin menangis saking sesaknya yang dirasakan. Dan benar saja, matanya mulai memanas karena cairan bening itu sudah terbendung.
Sela mengambil selembar tisu yang langsung diberikan pada Gina. Dirinya masih sedikit heran akan alasan gadis itu tiba-tiba merasa sedih dan patah hati.
"Gue terlalu bodoh taruh harapan besar sama dia. Padahal sudah sangat jelas kalau gue gak ada apa-apanya bersanding sama gebetannya," jelas Gina dengan lirih. Matanya kini tertutup akan lembaran tisu yang diberikan Sela tadi.
"Siapa? Henan?"
Brak!
Sela tersentak seketika kala Gina malah menggebrak meja dengan tiba-tiba. Wajah gadis itu seketika menjadi garang dan menatapnya tak suka.
"Bisa gak jangan sebut nama manusia gila itu? Ini gak ada hubungannya sama dia!"
"O-Oke. Gue cuman tanya, kalem sister," ucap Sela menenangkan. Pengalihan dengan meneguk kembali minumannya.
Mood Gina mendadak hilang. Perkara Sela yang menyinggung nama Henan membuat dirinya menjadi kesal setengah mati. Dia masih menaruh dendam terhadap lelaki yang telah bocor pada Mavi. Ditambah lagi dengan utang bayaran bubur yang belum dibayar. Lelaki itu mendadak hilang dari pandangannya.
"Lo patah hati karena siapa? Setahu gue, lo gak punya orang yang lagi disuka kecuali …." Mata Sela seketika terbelak. Badannya sedikit maju ke depan. "Kak Mavi?" bisiknya.
Wajah murung itu kembali. Dan dari sana, Sela bisa tahu permasalahan Gina. Gadis itu masih ingat soal pertemuannya dan kakak kelas itu. Sejenak dia ingin tertawa, tapi menatap keadaan perempuan di depannya menjadi diiurungkan. Dirinya tidak ingin mendapat masalah.
"Ya, bagaimana, Gin? Lo kan, tahu sendiri dekatnya Kak Mavi sama Abey. Satu kampus pun juga sudah tahu pasal hubungan mereka. Bahkan sebelum lo ketemu sama dia waktu itu," ungkap Sela.
Gina menghela. "Apa gue sejelek itu, Sel?"
Sela hampir dibuat tersedak karena pertanyaan yang diluar nalar. "Lo ngomong apaan, sih? Siapa yang bilang lo jelek?"
"Henan," jawab Gina dingin seketika. Wajahnya pun kembali menjadi datar.
"Ah, dia …." Sela berdeham canggung sejenak. "Semua cewek itu cantik, Gin. Lo gak boleh insecure sama orang lain. Setiap manusia sudah ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing."
"Tapi Abey gak ada kekurangannya. Sempurna kayak boneka Barbie."
"Boneka Barbie malah gak ada sempurnanya. Cuman boneka plastik gak berdaging maupun bertulang. Otak saja gak ada. Mukanya kalau gak di gambar mata sama mulut sudah sama kayak warna kulitnya. Ngapain iri sama boneka aneh itu?"
Gina mengusap wajahnya kasar mendengar lantunan Sela. Memang tidak ada salahnya, tapi maksudnya bukan boneka seperti itu.
"Sudahlah. Di kampus bukan cuman Kak Mavi doang yang laki-laki. Masih banyak. Tuh, ada Jeon. Eh, tapi lo gak boleh sama dia. Terkenal buaya mana mantannya ada di setiap fakultas," celetuk Sela. "Atau biar lo sama kayak gue itu ada si Nanda. Dia juga lumayan tampan, walau lebih tampan pacar gue. Atau yang paling dekat sama lo, deh. He—"
"Gak!" potong Gina cepat. "Gue gak suka Henan dan sampai kapan pun gak akan suka," tegasnya dengan wajah serius.
Sela mencebik. "Halah! Hampir tiap hari jalan mustahil lo gak bakal suka sama dia. Gak ada yang bisa tahan sama perasaan. Hubungan dekat antara cewek sama cowok itu gak bisa lepas soal saling suka."
"Lo ngedoakan?"
"Bukan, cuman mengatakan hal yang akan terjadi di sama depan," jawab Sela dengan wajah songongnya. Gina membalasnya dengan cibiran sebelum makanan yang tak disentuhnya kini menjadi korban kekerasan.
"Gue suka Henan? Huh! Mimpi."