Gina yang baru sembuh sekarang malah merasa ingin kembali demam. Dua hari tidak masuk kuliah ternyata bisa membuatnya lebih pening dari panas tinggi. Ada beberapa tugas yang disinggung oleh ketua tingkatnya sewaktu masuk. Dan sungguh, Gina rasanya ingin kabur dengan alasan yang sama seperti dua hari kemarin.
Baiklah, sebenarnya tugasnya tidak terlalu membebankan. Malah Gina menyukainya dan juga alasan masuk jurusan Sastra karena ingin menciptakan satu karya. Hanya saja mendapatkan pemberitahuan tugas selesai sembuh membuatnya merasa jenuh. Senyum paksa setia terbit selama ketua tingkatnya memberi tahu tugas apa yang harus dikerjakan. Sekarang dirinya hanya bisa pasrah menerima. Beranjak keluar dari kelas menuju perpustakaan demi membenahi tugas bejibunnya itu.
"Baru juga dua hari, tugasnya sudah kayak seminggu gue gak hadir," keluhnya.
Gina sempat bertemu dengan dosen pembimbingnya, Bu Brenda. Wanita berumur yang sudah memiliki cucu tapi masih terlihat muda bak anak remaja. Tidak ada pembicaraan spesial. Sekadar wanita itu yang ingin bertemu untuk memberinya sekotak teh herbal. Entahlah, mungkin karena Bu Brenda mendengar kabar dirinya jatuh sakit atau karena wanita itu tidak doyan akan teh.
Koridor yang lumayan sepi sembari menentengi totebag berisi kado dari dosen pembimbing, di depan mata Gina memicing demi menatap seorang perempuan nampak memeriksa tiap kelas yang lewati. Gina tidak pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Bahkan dibilang baru pertama kali menatapnya. Apa dia kakak tingkat? Atau pertukaran mahasiswa?
"Em, permisi." Tepat kini gadis asing itu berdiri di depannya.
Gina mengerjap dan memasang senyum ramah terbaiknya. "Iya?"
"Gue mau tanya. Apa lo kenal sama mahasiswi bernama Aryana Regina?"
"Iya?" Gina makin mengerjap cepat dengan kepala yang sedikit ke depan seperti bebek.
Gadis itu menyelip rambutnya yang menghalang pandangan. "Gue lagi cari dia karena mau ngobrol sesuatu. Lo kenal? Katanya dia anak semester 3 jurusan Sastra."
"Ah …." Ludahnya ditelan dahulu. "Gue Aryana Regina. Lo siapa, ya?"
Senyum lebar dengan dua alis menukik ke atas disertai kedua mata yang membulat. "Oh? Lo Aryana—astaga! Lucu juga gue nanya padahal orangnya sudah berdiri di depan," ucapnya seraya tertawa kecil. Sodoran tangan seketika melayang di udara. "Kenalin, gue Renabey Gasuta. Panggilnya Abey dari jurusan Bahasa Asing."
Gina mendadak diam. Gadis yang selalu disindir Henan pasal dirinya yang tak cocok bersanding dengan Mavi kini berdiri tepat di depannya. Matanya menelisir, benar-benar terlihat seperti ratu kampus. Wajahnya kecil dengan mata yang sedikit bulat layaknya anak beruang. Rambutnya blonde dengan panjang hampir menyentuh pinggang, Gina pikir begitu. Dan tubuhnya, sungguh jika dibandingkan dengan dirinya rasa insecure seketika berteriak. Kalau ingin didefinisi dengan jelas, Abey terlihat seperti boneka Barbie.
"Halo?" Sebuah lambaian bergerak di depan wajah Gina, membuatnya menggeleng singkat. "Lo gak apa?"
"Iya, gue gak apa," jawabnya gelagapan. "Oh, ya. Aryana Regina. Panggilnya Gina." Seraya membalas jabatan tangan yang masih melayang.
Abey tersenyum manis. "Kebetulan sudah ketemu, lo sibuk gak?"
"Gak juga. Mau ngomong apa, ya?"
Gadis cantik itu menatap sekitar sejenak. "Kita bicara di kafe sebelah, yuk!" Belum sempat Gina memberi tanda setujunya, Abey sudah mengapit lengannya untuk diajak keluar.
π
Kafe yang menjadi tempat sejarah bagi Gina dan Sela. Kafe yang mungkin pemilik hingga pelayannya sudah sangat kenal dengan mereka. Tiada absen untuk tidak datang, menjadi tempat pelarian kala keduanya merasa jenuh dengan tugas yang tak henti berdatangan. Atau sekadar duduk manis membicarakan pasal gosip yang tengah panas.
Kali ini Gina datang bersama Abey, gadis cantik yang terkenal dengan julukan Queen of campus. Gina tidak pernah membayangkan ini. Sempat menaruh ekspetasi berbeda dari julukan ratu pasal kesempurnaan gadis yang digosipkan sebagai pacar dari Mavi itu. Rupanya tidak ada bandingan dengan dirinya yang malah terlihat seperti bebek buruk rupa. Sepertinya Gina akan menyisihkan sebagaian uangnya untuk perawatan.
"Lo mau pesan apa?" sahut Abey seraya membolak balik halaman menu.
Gina tertunduk menatap buku menu yang dimiliki sendiri. "Gue waffle pancake tanpa madu sama lemon ice tea."
"Oke!"
Abey yang memberitahu pesanan Gina dengan miliknya pada pelayan. Sejenak Gina mengeluarkan dompetnya untuk membayar pesanan namun sudah lebih dulu dari Abey yang memberikan sebuah kartu. Lagi-lagi tambahan nilai yang membuatnya merasa tidak ada apa-apanya.
"Tenang saja, gue traktir."
National damage!
Gina hanya tersenyum kikuk membalas ucapannya.
Suasana mendadak menjadi canggung. Sejatinya Gina tidak tahu ingin memulai pembicaraan dari mana. Terlalu terpukau dengan cantiknya Abey yang duduk manis seraya memainkan ponselnya. Kini hanya jarinya yang bergerak mengetuk-ngetuk meja. Memalingkan pandangan kesegala arah demi mengurangi rasa canggung yang melanda.
Abey tiba-tiba meletakkan ponselnya di atas meja. Gina melirik bersama dengan Abey yang kini juga menatapnya.
"Jadi, ini pertama kalinya kita ketemu, ya?" Abey membuka pembicaraan.
"Iya." Gina mengangguk pelan. Entah mengapa rasanya seperti disidang karena telah ketahuan melakukan kejatahan. Kaki di bawah tiba-tiba bergerak gelisah.
Sebuah kekehan mendadak lepas dari gadis cantik itu. Menatap gelagat Gina justru terlihat lucu baginya. "Gak usah gugup. Gue santai orangnya. Tegang banget," ucapnya. "Gue gak bakal apa-apain. Cuman mau ngajak ngobrol santai doang."
Hal yang justru makin membuat Gina gugup adalah tujuan maksud gadis itu mengajaknya untuk mengobrol. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan saking merasa was-was.
"Gue dengar lo dekat sama Mavi."
Tentu Gina harusnya tidak merasa masalah kalau Abey membawa nama Mavi dalam pembicaraan mereka. Hubungan keduanya sudah sangat jelas dan diketahui satu kampus.
"Gak dekat-dekat banget, sih. Cuman kalau ada yang gak gue paham, disuruh tanya ke dia. Makanya orang bilang gue dekat padahal gak. Sebatas senior junior doang kok," jelas Gina. Semoga saja tidak memberi kesalahpahaman.
Abey mengangguk dengan wajah manisnya lalu berdesis sejenak. "Lo sudah dengar berita ini gak? Soal Mavi yang mau nembak gue cuman gak jadi."
"Hah?" Mulut Gina masih setia terbuka selepas lantunan pertanyaan Abey.
Pembicaraan ingin kembali dilanjutkan namun sejenak tertunda dengan kehadiran pesanan mereka yang telah datang. Lepas mengucapkan terima kasih dan mencicipi satu suapan awal, Abey kembali berbicara.
"Soal kedekatan gue sama Mavi lo tahu, kan?" Gina mengangguk dengan sendok dalam mulut. "Menurut lo, hubungan gue sama Mavi itu kayak bagaimana?" Tangan mulus itu kembali meloloskan satu buah suapan.
Gina meletakkan sendoknya di atas piring. "Pacaran?"
"Kan, tadi sudah gue bilang kalau Mavi nunda buat tembak gue."
"Terus?"
Abey bersandar pada kursinya sembari melipat tangan di dada. "Gue sama Mavi sudah kenalan sejak umur lima tahun, alias TK. Lo bisa bayangkan bagaimana lamanya kedekatan gue sama dia. Terhitung berapa tahun sekarang? Bahkan gue sekarang sekampus lagi sama dia, sefakultas walau beda jurusan."
Gina sepertinya mengambil paham maksud mengajak ngobrol Abey. Dirinya akan menjadi pendengar kisah antara lelaki pujaannya dengan seorang ratu cantik. Beruntung dirinya memiliki makanan, sebagai pelampiasan nanti kalau misalkan batinnya sudah tidak tahan menahan kecemburuan.
"Hari itu Mavi datang temui gue. Gue kira bakal nembak seperti yang dia bilang. Eh, ternyata malah ngajak gue buat jadi detektif," ucap Abey.
"Detektif?" Abey mengangguk, Gina menyerit.
"Mavi kasih tahu ke gue soal Henan yang bilang kalau ada satu cewek yang suka sama dia sejak lama." Gina yang hendak menyendok waffle-nya seketika diam di tempat. Perlahan kepalanya terangkat. "Dia jadi penasaran sama orang yang Henan sebut jadi minta nunda buat jadikan gue pacar. Dan bodohnya, gue juga penasaran sama cewek itu."
Gina kembali menunduk. Berhasil menyuapi diri dengan makananannya. Dirinya memasang raut untuk tetap terlihat tenang. "Kenapa diiyakan? Gak takut kalau nanti Kak Mavi malah suka sama cewek yang dia cari?" Untuk sekarang, Gina ingin mencoba untuk terlihat lebih percaya diri. Bukan salahnya, panutan Abey sendiri yang memberi kesempatan soal Mavi yang mungkin bisa saja suka padanya.
"Iya juga, ya? Kok gue gak pikir ke sana?" Abey meminum sejenak latte ice-nya. "Tapi gue percaya sama Mavi kok. Dia bilang mau minta maaf selepas tahu siapa cewek yang suka sama dia. Sisi yang bikin jengkel dari Mavi tuh, gak peka. Bikin stres!"
Gina hanya bereaksi dengan kekehan singkatnya. Ucapan Abey benar, dirinya terlalu banyak menaruh harap. Mavi tidak mungkin menyukainya. Seorang gadis biasa yang menuduh lelaki itu semena-mena di masa orientasi masahasiswa lalu. Sekarang malah berlagak sombong dengan kedekatan yang dia anggap manis itu. Mavi tentu saja hanya akan meminta maaf padanya. Meminta maaf sebab tidak paham dari segala jenis kode reaksi yang membuatnya tidak peka.
"Gue mau minta tolong sama lo." Lamunan Gina buyar seketika. "Karena lo dekat sama Mavi, gue mau minta tolong buat bantu cari tahu siapa cewek yang suka sama dia."
Mendadak runtuh. Kali ini memang perasaan Gina benar-benar dipaksa untuk tidak dilanjutkan.
"Gue cuman bisa minta tolong sama lo karena lo doang yang dekat sama Mavi selain gue. Lo tahu perasaan digantung itu kayak bagaimana, kan? Gak enak, terlalu banyak berharap yang cuman bikin overthinking. Jadi please, ya? Lo mau bantu gue, kan?"
Gina diam menatap bagaimana wajah cantik itu mengajukan mohon padanya. Berani bersumpah, lelaki mana pun pasti tidak akan tega begitu melihatnya. Maka dirinya hanya bisa menghela napas. Entah Abey paham atau tidak dari maksud helaannya yang jelas, bendera menyerah sudah terlihat di depan mata.
π
Dalam kamar indekos, Gina sibuk berkutat mengerjakan tugas. Hari sudah malam dan saat ini menunjukkan pukul setengah 8. Dalam ruang heningnya Gina mencoba memasang konsentrasi. Sialnya, kepalanya malah beradu dengan lantunan permintaan Abey pasal siang tadi.
Tangan yang bergerak menulis itu seketika berhenti. Gina menatap tulisannya lama dan baru sadar kalau segala kata yang tertera di atas kertas adalah ucapan Abey yang terngiang dalam kepala. Pulpen itu seketika lepas dengan dilempar. Mendarat entah di mana, Gina tidak peduli.
"Aiishhh!!"
Kini telapak tangannya mengusap wajah dengan begitu kasar. Di sela-sela jari kedua matanya mengintip. Membaca satu-persatu kata sialan Abey yang dia tulis. Tangannya turun yang kini menampilkan senyum miring penuh kekesalan.
"Minta tolong katanya? Gila saja! Katanya terkenal sepenjuru kampus. Katanya dekat sama Kak Mavi, tahu segala hal tentang cowok itu. Terus, ini apa? Minta tolong katanya? Ha ha ha, lucu lo!"
Buku tulis itu lantas ditutup dan disimpan secara paksa. Masa bodoh dengan tugasnya, dia bisa kerjakan itu lain waktu. Pakai alasan masih belum sepenuhnya sehat juga pasti dimaklumi.
Gina menatap pada luar jendela. Kamar tetangga di sebelah tidak ada bagus-bagusnya. Selalu gelap seperti tidak ada orang yang menetap. Dengan cibikan Gina berdiri dari kursi demi menarik kain gorden untuk menutupnya. Malam ini segala rupa membuatnya kesal setengah mati. Bahkan pada kain gorden yang tidak memiliki salah sama sekali menjadi korban kekesalannya dengan dipukul-pukul.
"Henan …." Satu nama lelaki yang kini terlintas di kepalanya. "Benar! Henan! Anak itu," geramnya kemudian. "Ngapain pakai bocor segala, sih? Tahu dari mana dia gue suka sama Kak Mavi? Dia gak pernah tanya, tuh. Apa gue terlalu jelas, ya? Aarrghh! Sudahlah! Terserah! Bodoh amat!"
Sela yang baru melewati depan kamar Gina hanya bisa mengedikkan bahunya. "Biasa, anak baru jatuh cinta," ucapnya. Melanjutkan jalan menuju dapur untuk mengambil masker timun.