Loading...
Logo TinLit
Read Story - Campus Love Story
MENU
About Us  

Celana kulot hitam, kaos abu-abu lengan panjang, dan terakhir sepasang patu putih dengan motif tiga garis hitam. Gina duduk manis di  teras depan indekos sambil memainkan ponsel. Kakinya yang berayun-ayun nyaman yang sesekali bergesekan dengan lantai ubin merah marunPandangannya tidak bisa lepas dari layar datar sebab tengah sibuk bermain di sana, menggunakan waktu kekosongnya seraya menunggu Henan. Jam pada ponselnya sudah menujukkan pukul 4 lewat 10 menit. Gina hanya mengedikkan bahu. Memikirkan pasal lelaki itu mungkin saja masih di jalan saat ini.

Sebenarnya, dirinya masih dilanda kebingungan. Bingung antara pikiran sama hatinya yang tidak pernah satu koneksi kalau sudah membahas perihal Henan. Lebih heran sampai membuatnya uring-uringan tidak jelas.

Seperti tadi pun. Memilih baju yang mau dipakainya sampai harus berpikir keras. Hampir sejam lebih dia lewatkan untuk itu. Belum lagi meladeni diri sendiri perkara ingin pergi atau tidak. Ditambah lagi waktu untuk mandi. Bisa terhitung berapa lama Gina habiskan hanya untuk bersiap-siap. Dan di akhir, dirinya lebih memilih jalur alasan yang lebih logis.

Iya, tujuan Gina mengiakan ajakan Henan untuk menghilangkan bosan. Tidak ada maksud lain.

Suara motor terdengar dari luar gerbang. Gina berdiri bergegas menuju depan. Namun, bukan lelaki yang tengah ditungguinya yang datang, melainkan Sela yang baru saja selesai dari jam kuliahnya. Dengan sekuat tenaga menarik gerbang demi memberi ruang bagi motor temannya masuk di garasi indekos. Baru lepasnya gerbang dibiarkan terbuka lebar sebab dirinya yang akan keluar nanti.

"Rapi banget. Mau ke mana?" tanya Sela. Helmnya sudah dilepas dan menata rambut dari kaca spion.

"Jalan, cari angin," jawab Gina.

Sela menoleh. "Cari angin biar tambah sakit atau bagaimana?"

"Gue sudah baikan. Di kamar terus juga gue ngapain? Makan tidur doang kerjanya. Penggemukan."

"Kan, itu memang kegiatan lo setiap hari."

"Sembarangan!" desis Gina dan mendapat tertawaan dari Sela.

Pip!
Pip!

Suara klakson menyambut keduanya. Menatap pada kendaraan roda dua yang sudah terparkir manis di depan gerbang.

"Apa, nih? Cari angin berdua? Kencan?" selidik pacar Delio.

Gina berdecak. "Bapak lo yang kencan. Cuman cari angin."

"Cari anginnya harus bareng Henan memang?" goda Sela. Memasang wajah penuh keusilan dengan alis yang bergerak naik turun.

Gina tidak ingin meladeni temannya lebih panjang lagi. Dirinya lantas berlalu untuk mengambil helm yang segera dipakai. Baru saat dirinya hendak naik di motor, Henan malah menghalangnya dengan rentangan tangan. Gina mendongak.

"Kenapa cuman pakai kaos? Kan, tadi gue bilang pakai pakaian tebal," ucap Henan.

Gina mengerjap sebelum menatap pakaiannya. "Gak apa. Gue gak selemah itu. Tertiup angin juga gak bakalan terbang," jawabnya.

"Nanti lo masuk angin lagi."

"Gak bakal. Gue juga sudah malas buat ganti. Naik turun tangga lagi buat lo menunggu, capek."

Henan mendesah hingga dirinya turun dari motor. Membuka sadel dan mengeluarkan sebuah jaket denim dari sana. "Pakai," suruh Henan.

"Gue gak apa."

"Pakai, atau gue suruh ganti pakaian?"

Gina memberinya tatapan malas. Dengan sedikit wajah paksa dirinya lantas memakai jaket milik lelaki itu. Nampaknya memang sengaja dibawa karena Henan juga sama sepertinya, sekadar memakai kaos lengan panjang.

"Jangan lupa kalau gue masih di sini, btw," sahut Sela. Bersandar pada tembok pagar sembari bersilang dada. Dari tadi menatap keduanya layaknya menonton drama dadakan. Secara langsung pula.

"Gue jalan, ya? Nanti gue chat kapan pulang. Jangan kunci pagar sebelum gue balik." Sela memberinya anggukan dan satu acungan jari jempol.

Henan kembali menyalakan motornya sebelum akhirnya berangkat meninggalkan Sela. Memutar arah dan keluar dari blok perumahan tempat indekos Gina berada.

Gina mau jujur, suruhan Henan untuk memakai jaketnya membuatnya hangat. Selain karena merasa lebih tebal, dirinya juga berterima kasih karena rupanya angin sore ini bertiup dengan membawa hawa dingin. Bahkan dirinya sampai memasukkan kedua tangan di saku jaket. Sedikit bergidik untuk menghilangkan sisa-sisa angin yang menerpa.

"Dingin?" sahut Henan.

Gina berdeham seraya memberinya sebuah anggukan. Henan hanya menatapnya melalui kaca spion. Sesekali sebelum dirinya harus kembali menatap jalan.

Gina sedikit maju. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Lo mau ke mana?" tanya lelaki itu balik.

Sang gadis berpikir sejenak. Mencari tempat-tempat nyaman untuk disinggahi di sore hari. Sekarang ini juga jamnya untuk melihat matahari terbenam.

"Jajan?"

"Jajan?" Henan hanya ingin memastikan apa yang diucapkan anak itu. Setelah mendapat anggukan kini Henan yang beralih berpikir untuk mencari tempat yang dimaksud.

Tidak ada pembicaraan yang berlanjut. Henan sibuk fokus membawa motor sedangkan Gina sepertinya nyaman dalam keterdiamannya menyaksikan kota di petang ini.

Kembali lagi soal di mana tempat keduanya ingin berhenti. Masih belum ditentukan karena keduanya nampak lebih menikmati angin sore yang menerpa selama mereka di jalan. Dengan kecepatan yang dibilang lambat, namun memberi kesan santai yang nyaman.

"Henan."

"Hmm?" kepala lelaki itu sedikit menoleh.

Gina tersenyum seraya menggeleng. "Gak kenapa-kenapa."

Henan mengerutkan alisnya. "Kenapa? Ngomong saja. Lapar atau haus? Mau singgah?" tanyanya. Namun, dirinya kembali mendapat gelengan. "Lo kenapa? Butuh sesuatu?" tanyanya lagi. Diam selama berkendara juga membuatnya sedikit bosan. Nanti bisa mendatangkan ngantuk yang membahayakan.

"Gak ada. Cuman mau panggil lo doang," jawab Gina. Yang aslinya juga tidak tahu alasan mengapa memanggil Henan.

Henan diam, tidak memberi balasan apa pun. Dia juga bingung mau jawab seperti apa kalau alasan Gina sendiri hanya berniat memanggil namanya. Satu tangan lelaki itu tiba-tiba terulur ke belakang. Gina menunduk menatapnya, berganti kemudian kepada wajah Henan yang tanpa sengaja didapati dari kaca spion kiri depan.

"Sini tangan,"

"Buat apa?" Namun, Henan hanya menggerakkan jari-jarinya menekuk layaknya tengah menagih.

Dengan wajah yang masih penasaran, Gina dengan mulus memberi tangannya. Baru sesaat dia paham kala telapak tangan keduanya bersentuhan, Henan menariknya ke depan untuk melingkar pada bagian perut.

"Satu lagi," titah Henan. Tapi entah kenapa, Gina tetap patuh sama titahnya.

Henan tersenyum, meskipun dia tahu kalau Gina di belakang tengah dilanda kaget dan gugup. Cara kedua tangan anak itu melingkar di perutnya saja masih terasa kaku. Memberanikan diri dengan memberi sebuah elusan manis layaknya di ruang kesehatan fakultas hari itu. Kali ini berbeda, dengan Gina yang dalam kondisi sadar.

Gadis itu sendiri mencoba untuk memalingkan wajahnya. Berniat untuk tidak menampilkan rasa canggung dengan menatap jalan. Gina gugup saat ini. Apalagi perihal ibu jari Henan yang bergerak naik turun di punggung tangannya. Sedikit merasa geli tapi dirinya suka.

'Kapan sadarnya gue kalau begini? Ya Tuhan, tolong anak gadis-Mu ini.'

"Kalau gak nyaman lepas saja, Gin," sahut Henan. Bahkan tangan yang layaknya kunci memegang tangan Gina sudah melayang untuk memegang stir satunya.

Sepertinya Gina terlalu jelas memperlihatkan rasa canggung dan tidak nyamannya. Tapi dia kecewa sekarang, perkara Henan tidak melakukan elusan lembut itu lagi. Sekarang, gengsi harus dia buang jauh-jauh. Dirinya suka maka harus dia dapatkan. Dirinya menggeleng, perlahan memperbaiki posisinya di belakang hingga berakhir dengan kepala yang bersandar di salah satu bahu Henan. Mempererat penyatuan jarinya-jarinya dan kali ini benar-benar terlihat seperti memeluk lelaki di depan, tanpa paksaan.

"Ini nyaman, Hen," pukasnya.

"Gue tahu." Dengan senyum bangganya yang merekah. Gina menoleh mentapnya demi memberi decakan kecil sebelum kembali meletakkan kepalanya lagi.

"Singgah makan, ya? Sedikit lagi gelap. Gue ingat lo punya penyakit maag."

Gina kembali mengangkat kepalanya, namun dengan posisi dagu yang tertopang pada bahu Henan. "Lo tahu tempat nasi goreng yang enak, gak?"

"Lo pengin?" Gina mengangguk. "Sari laut doyan?"

"Apa saja, intinya nasi goreng. Yang enak tapi."

"Oke, gampang kalau soal enak." Dan Gina tersenyum lagi. Ikut sibuk menatap jalan dan juga langit yang perlahan mulai menggelap.

Kalau dilihat-lihat, Henan tidak seburuk itu. Ada banyak kejutan yang bisa dia dapatkan dari lelaki yang awalnya adalah musuh bebuyutannya ini. Dia tidak tahu, perkara dari makan bubur yang dibilang aneh itu bisa membawanya hingga dalam keadaan seperti ini. Mereka justu malah terlihat makin dekat dari hari ke hari.

"Gina."

"Iya?"

Keduanya saling bersitatap melalui kaca spion. "Jangan sakit lagi," sahut Henan.

"Siap," jawab Gina. Berakhir dengan jari telunjuknya yang menyentuh tahi lalat Henan di pipi. Sepertinya dia sudah hapal dengan setiap letak bintik hitam itu.

"Tahi lalat terus."

"Hehe. Lagian ini unik, loh. Dari pipi sampai di sini, nih. Modelnya kayak rasi bintang." Seraya menekan-nekan leher Henan.

"Iya, tahu. Tapi gak usah ditusuk juga bagian lehernya." Saking terasa geli, Henan sampai menyembunyikan leher pada dua bahu yang terangkat.

"Jadi gelinya di sini, ya?" Gina malah tersenyum jahil.

"Jangan aneh-aneh. Ini masih di jalan. Gue gak mau celakain anak orang," Henan memperingati. 'Sekalian gue gak mau lo kenapa-kenapa,' dan Henan masih menjadi pecundang untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Iya, gak."

Dan kegaiatan memeluk terus berlangsung dengan diiringi obrolan ringan. Sesekali tertawa atau bahkan Gina memberi lelaki itu sebuah cubitan di pinggang. Lebih parahnya kala gadis itu sudah memukul helm Henan hingga membuat kepalanya bergetar. Parakan sifat galak yang masih belum bisa dilepaskan dan sepertinya Henan tidak boleh melupakan itu.

🎗

Sesuai permintaan, kini keduanya berhenti di salah satu tempat makan pinggir jalan yang bersampingan dengan laut. Sari laut yang Henan beri rekomendasi Gina tanamkan rasa percaya sepenuhnya. Anak lelaki itu memang pintar mencari tempat makan yang enak. Bahkan mie ayam yang pertama kali keduanya makan bersama berhasil membuatnya ketagihan.

"Untung gue bawa jaket. Begini menggigil lagi lo pulang," pukas Henan kala menarik kursi demi membuatnya duduk bersampingan.

Gina menoleh. "Iya, makasih. Ngomel mulu perasaan. Lo bukan Bunda gue."

"Gue kasih tahu loh. Ngeyel." Tangan Henan dengan ringgannya memberi jitakan pada kepala. Membuat gadis itu cemberut dengan tatapan tajam. "Selepas ini, nasi goreng Kang Mumut bakal jadi langganan lo juga."

Gadis berjaket denim itu menggeser kursinya untuk lebih dekat. "Oh, ya? Seenak itu?" Henan mengangguk. Jarinya menyelip sehelai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga sang empu.

Mata Gina penuh akan binar harap. Perkara makanan enak memang dirinya tidak bisa lepas dari itu. Enak itu nomor satu untuk kenyamanan perutnya. Masalah harga mahal atau murah, restoran atau pinggir jalan, itu belakangan. Beruntung dirinya bisa kenalan sama Henan, si raja jajan.

Menunggu pesanan keduanya datang sembari menatap laut di bawah langit gelap. Baik Henan maupun Gina tidak ada yang membuka suara setelah aksi binar penuh harap pasal nasi goreng Kang Mumut.

Tapi Henan berpaling. Ketimbang menatap laut gelap tak jelas kelihatannya, wajah Gina lebih indah untuk dipandangi. Entah berapa lama dirinya bertahan hingga gadis itu tanpa sadar ikut menoleh menatapnya. Kedua alisnya bergerak ke atas seakan menanyakan kenapa namun Henan hanya memberinya gelengan kepala.

'Gue pengin bilang kalau lo cantik.'

"Henan."

Yang dipanggil berkedip seketika memanggil kesadaran. "Hm? Ya? Kenapa?"

Gina malah terkekeh. "Lo yang kenapa? Tegang amat mukanya. Kayak habis keciduk."

"Gak. Gak kenapa-kenapa. Kenapa manggil gue?"

"Ya, lonya kenapa lihat gue kayak begitu? Mana gak berkedip pula," jawab Gina. "Gue cantik, ya?"

'Iya, pakai banget.'

"Hidih! Narsis sekali cewek satu ini. Gue cuman menghayal doang kebetulan liatnya ke muka lo," cibirnya.

Gina yang memutar badannya kembali menatap laut sejenak meninggalkan decakan, "Padahal tinggal bilang iya doang susah banget nampak. Gak seru lo, ah!" Satu tangannya kini menopang dagu.

Henan diam cukup lama dan mengedip lambat. "Iya."

Gina kembali menatapnya. "Hm?"

"Iya gue bilang," Henan mengulang.

Alis gadis di depannya malah berkedut. "Iya apaan?"

Pandangan Henan berubah malas. "Sudahlah! Lambat." Membuang muka pada laut di depan demi tidak menunjukkan kegugupan yang tengah dia rasakan.

Lain dengan Gina yang menatapnya penuh heran. Kedua bahunya yang bergerak ke atas sejenak hingga akhirnya pesanan yang ditunggu datang. Gina siap menambah daftar makanan yang akan menjadi langganan. Henan membawa kebahagiaan doyan makan enak tapi takut juga pasal berat badan yang bertambah. Intinya makan saja dulu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Boy
1779      687     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.
graha makna
4994      1634     0     
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku
ALACE ; life is too bad for us
1034      624     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
Di Paksa Nikah
724      384     0     
Romance
Jafis. Sang Putra Mahkota royal family Leonando. Paras tampan nan rupawan. Pebisnis muda terkemuka. Incaran emak-emak sosialita untuk menjadi menantunya. Hingga jutaan kaum hawa mendambakannya untuk menjadi pendamping hidup. Mereka akan menggoda saat ada kesempatan. Sayangnya. Sang putra mahkota berdarah dingin. Mulut bak belati. Setiap ada keinginan harus segera dituruti. Tak bisa tunggu at...
Fallen Blossom
545      350     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Tentang Hati Yang Mengerti Arti Kembali
629      413     4     
Romance
Seperti kebanyakan orang Tesalonika Dahayu Ivory yakin bahwa cinta pertama tidak akan berhasil Apalagi jika cinta pertamanya adalah kakak dari sahabatnya sendiri Timotius Ravendra Dewandaru adalah cinta pertama sekaligus pematah hatinya Ndaru adalah alasan bagi Ayu untuk pergi sejauh mungkin dan mengubah arah langkahnya Namun seolah takdir sedang bermain padanya setelah sepuluh tahun berlalu A...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
671      456     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Good Guy in Disguise
669      487     4     
Inspirational
It started with an affair.
Melody Impian
612      421     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...