Loading...
Logo TinLit
Read Story - Campus Love Story
MENU
About Us  

Awal pekan kembali menyambut hari. Kembali bangun pagi dan beraktivitas. Sebuah hari di mana hampir seluruh manusia di bumi membencinya. Padahal, hari Senin hanya mengorbankan diri menjadi yang pertama agar Selasa tidak dibenci layaknya dirinya.

Halah, mendrama di pagi hari. Tapi serius ya, kawan. Kita harus bersyukur setiap menyambut hari, jangan mencela.

Pagi ini, Gina masih membungkus diri dibalik selimut hangat. Dirinya masih merasa berat untuk sekadar membuka mata. Sampai di indekos pukul 2 tengah malam bercampur perasaan lelah karena melakukan perjalanan panjang. Dia berniat mengambil absen untuk beristirahat.

Pintu kamarnya terbuka menampilkan Sela yang sudah siap untuk berangkat. Menyibak kain gorden yang menutup jendela besar kamar Gina, membuat gadis itu risih dan lebih ke dalam untuk bersembunyi. Sela hanya menyisakan gorden dalam yang tipis untuk sekadar membiarkan cahaya matahari masuk ke kamar anak itu.

"Bangun, Gina. Ada kelas pagi Bu Yuni," sahut Sela. Untuk hari ini, syukur Sela mendapat kelas yang sama dengannya.

Gadis itu duduk di sisi kasur Gina yang sejajar dengan posisi kepala. Menarik selimut yang menutup badan hanya untuk memperlihatkan wajahnya. Sejenak dirinya terkekeh mendapati Gina dengan wajah polos yang masih menutup mata.

"Bangun, Gina," suruhnya lagi. Namun, tetap saja anak itu tidak menunjukan reaksi apa pun.

Mengambil ide mengganggu tidur Gina dengan menusuk-nusuk pipi berisinya, berharap sang empun terganggu dan membuka mata. Namun, baru saat kulit jari Sela menyentuh kulit pipinya, alisnya justru berkerut.

"Gina, lo demam?" Dari jari telunjuk berubah menjadi telapak tangan yang menyentuh kening. Dan benar saja, rasa panas segera menyambut di sana.

Gina masih senantiasa diam di tempat. Dia tidak merasakan apa pun meskipun mendengar Sela yang mengatakan kalau dirinya demam. Dirinya sendiri tidak tahu menahu soal itu. Yang dia rasa saat ini badannya benar-benar lelah, untuk sekadar bergerak saja terasa berat.

"Gue izinin hari ini. Habis kelas gue langsung kemari. Lo istirahat saja, ya?" tutur Sela.

Untuk kali ini, kedua mata Gina akhirnya terbuka. Menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Beralih ke arah Sela yang masih menampilkan raut khawatirnya. Dirinya bangun mengambil posisi duduk.

"Ibu Yuni ada kuis hari ini, kan?" tanya Gina.

"Sudah, gak usah lo pikirkan soal itu. Sekarang mendingan lo istirahat. Gue kasih izin ke Ibu nanti."

Gina menggeleng. "Gue masuk hari ini. Gak apa-apa kok," jawabnya. Meskipun menampilkan senyum tipisnya tidak merubah pikiran Sela untuk tetap melarang anak itu masuk kelas.

"Muka lo pucat, Gina. Istirahat, ya?" pinta Sela terkahir kali. Bukan jawaban, Gina malah tersenyum makin lebar dan beranjak turun dari kasur. Berjalan pelan menuju kamar mandi untuk membasuh diri.

Sela mendesah berat. Sikap keras kepala Gina memang susah untuk dilawan. Tidak ada pilihan lain selain mengiakan keinginan sahabatnya itu. Setelah memberikan pesan kepada seseorang untuk diminta pertolongan, dirinya kemudian berlalu menuju kamarnya sendiri.

Gina ingin sekali mematuhi titah Sela kala saja kelas hari ini bukan diisi oleh Bu Yuni, dosen yang terbilang tidak pandang bulu kepada setiap mahasiswa. Tidak ikut dalam kegiatan kuisnya kemungkinan akan berdampak pada nilai mata kuliahnya nanti. Benar-benar merepotkan untuk berurusan dengan dosen itu dan Gina tentu saja tidak mau.

Setelah selesai bersiap-siap, sedikit memberi polesan manis untuk menutupi wajah pucatnya. Mengambil tas selempang yang sudah dia sediakan dan berjalan menuju teras seraya menenteng sepatu.

Ada Sela yang berdiri di sisi pintu sembari menatap ponsel. Menoleh ke arah Gina masih dengan wajah khawatirnya. "Lo yakin ke kampus hari ini, Gin?"

"Gue gak apa, Sel. Cuman capek doang," jawabnya sembari menunduk, fokus memakai sepatu.

"Yaudah, kalau begitu. Tapi lo jangan bawa motor hari ini. Berangkat sama gue."

"Lo gak dijemput?"

Sela menggeleng. "Pakai helm lo dan kita berangkat. Kalau rasa pusing kode gue biar kita berhenti, oke?" Gina hanya mengangguk. Meski masih merasa lemah, tapi tidak ada pilihan lain selain menahannya sekarang. Setidaknya, cukup untuk sampai kelas Bu Yuni saja.

Gina benar-benar sampai di kampus dengan wajah menahan sakit. Masih mencoba untuk terlihat baik-baik saja meskipun Sela tahu kalau dirinya tengah memaksa. Setelah memakirkan motornya, keduanya lantas segera masuk ke gedung fakultas untuk megikuti kelas.

Sejenak sebelum mereka menaiki tangga, Henan tidak sengaja lewat di depan keduanya. Meskipun tidak saling bersitatap, tapi mata elang lelaki itu menampilkan paham.

"Oit! Kelas pagi ya, kalian?" sapa Henan.

Sela dan Gina berhenti di tempat. Masih terbilang ada waktu sepuluh menit untuk masuk kelas, mereka menyempatkan diri untuk menjawab sapaan Henan. Meskipun dari yang terlihat, Henan lebih memberikan seluruh atensinya pada Gina.

"Iya, Hen. Lo ngapain di sini?" tanya Sela.

"Habis ketemu teman," jawabnya. Matanya masih belum teralihkan pada Gina. "Lo kenapa?"

Merasa kalau pertanyaan itu bertuju padanya, Gina lantas membalas menatap. "Hah? Gak. Gak kenapa," jawabnya.

Tetapi Henan tidak percaya dengan jawabannya. Dirinya berjalan untuk melihat lebih dekat dan benar saja Henan tahu kalau gadis ini tengah berbohong. "Lo sakit? Ngapain ke kampus?"

Sela tersenyum senang. Henan benar-benar bisa diandalkan. Membuat Gina bungkam mati kutu seketika. Bahkan untuk sekadar menatap lelaki itu saja dia enggan. "Gue gak kenapa-kenapa." Namun, masih saja dirinya memilih untuk mengelak.

"Sudah ayo, Sel. Keburu telat." Gina lantas berlalu meninggalkan kedua anak itu dengan menaiki tangga lebih dulu.

"Lo gak ada kelas hari ini kan, Hen? Minta tolong banget," pinta Sela.

"Iya, tenang saja. Gue tetap di kampus sampai dengar kabar anak itu tumbang." Mendapat jawbaan anggukan kepala dari anak gadis itu kemudian berlalu pergi menyusul Gina.

Memang benar adanya. Jadwal hari Senin Henan hanya berisi kelas-kelas kosong. Dirinya ke kampus hari ini hanya untuk bertemu dengan seorang teman yang meminta tolong. Setelah mendapat pesan dari Sela juga pagi tadi, tidak ada pilihan lain juga untuk tetap menahan diri berada di kampus.

"Dasar keras kepala," gumamnya.

Sembari menunggu, Henan memilih menuju kantin fakultas ini. Kalau diingat-ingat, dirinya tidak pernah mencicipi makanan di sini. Mungkin saja ada sesuatu yang akan membuatnya tertagih.

"Loh? Hen? Ngapain di sini?" Kebetulan lagi dirinya bertemu dengan Mavi. Padahal di indekos tadi keduanya sudah bertemu. Jujur saja, Henan sudah bosan melihat wajah lelaki berkacamata ini.

"Habis ketemu teman, singgah makan," jawab Henan.

"Gak ada kelas?" Henan memilih menjawab dengan gelengan kepala. "Oh iya, Hen. Gue pilih nunda buat tembak Abey," sahut Mavi. Dirinya bahkan sudah ikut mengambil tempat duduk berhadapan dengan Henan.

"Kenapa?" Henan mendongak menunda suapan.

"Soal ucapan lo kalau ada satu cewek yang suka sama gue. Gue mau cari tahu dia siapa."

Henan membeku di tempat. Seketika ada perasaan tidak terima terbesit di hatinya. Menolak Mavi untuk membuat lelaki itu mencari tahu siapa orang  yang dimaksudkannya.

"Terus, Mba Abey lo bagaimanakan? Kasih menggantung?"

Mavi menggeleng. "Gue sudah bicara sama dia. Abey bilang gak apa, malah mendukung gue buat cari cewek itu dulu."

Henan membanting sendok yang dipegangnya. Tatapannya datar menatap Mavi saat ini. "Lo apa-apaan, Vi? Lo bilang sama Mba Abey soal itu? Gila lo?"

"Kenapa? Toh, dia bilang gak masalah."

"Bukan perihal dia bilang gak masalah, tolol. Lo itu ... Ah! Pusing gue!"

Henan menyerah. Mavi benar-benar bodoh soal perkara asmara. Bagaimana bisa dirinya mengatakan ini semua bukan masalah sedangkan mereka membawa masalah perasaan? Mavi sendiri malah bingung di tempat. Merasa bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun.

Dua jari yang memijit pangkal hidungnya sebelum akhirnya kembali menatap Mavi. "Dengar ya, sialan. Gak usah ikut jejaknya si Jeon. Lo gak cocok buat jadi pemeran kayak dia," ketusnya. Mavi hanya diam mendengarkan.

"Lo paham gak sih, arti bukan masalah dari yang Mba Abey bilang? Lo habis kasih dia harapan dengan bakal nembak, terus tiba-tiba putar haluan, menunda cuman gara-gara ingin mencari tahu siapa cewek yang suka sama lo sejak lama? Sadar, Mavi," jelasnya. "Lo bilang cinta sama dia, Sayang sama dia. Cuman karena gue bilang ada cewek yang suka sama lo dari lama tiba-tiba lo mundur? Tahu gak kalau sekarang lo beranjak menjadi cowok berengsek?"

"Gue cuman mau cari tahu cewek yang lo maksud."

"Iya, tahu. Tapi kenapa sampai perlu lo nunda buat tembak Mba Abey, Vi?" sungut Henan cepat. "Terus nanti saat lo sudah tahu siapa cewek yang suka sama lo, Mba Abey mau lo apakan? Tinggal, begitu?" lanjutnya.

Mavi kembali terdiam. Menatap Henan yang dengan begitu menggebunya memberi arahan. Sembari mencerna setiap kalimat yang anak muda itu lontarkan, menciptakan satu pernyataan yang mengganjal.

"Lo suka sama Abey ya, Hen?"

Tolong beri Henan alat keras untuk menghantam wajah Mavi sekarang. Dirinya benar-benar sudah berada dititik emosi yang tinggi. "Lo ngomong apa lagi kali ini, Vi?" lelahnya.

"Lo marahi gue dan terus tuntut kalau gue salah. Lo suka sama Abey, kan?"

Henan tersendat untuk berucap. "Sumpah, Vi. Di mana omongan orang-orang yang bilang lo pintar? Sekarang malah kayak lo orang paling tolol gue lihat."

"Gue cuman butuh jawaban dari pertanyaan gue, Hen."

"Terserah, Vi. Gue capek berurusan sama masalah percintaan lo. Sekarang lo malah kasih gue pertanyaan yang gue gak tahu lo ambil kesimpulan dari mana. Menyerah gue."

"Ternyata lo memang suka."

"Terserah lo."

Henan lelah. benar-benar lelah. Dirinya tidak tahu kalau dampak dari yang dirinya keceplosan hari itu akan seperti ini. Dirinya sudah sangat lelah dengan jalan pikiran Mavi. Anak itu benar-benar tengah berkamuflase menjadi Jeon kedua. Jeon saja sudah cukup membuatnya lelah, ditambah lagi sosok kutu buku yang perlahan ikut berubah. Ingin rasanya Henan menghilangkan kedua orang itu dari pandangannya.

Dibalik keterdiaman keduanya, tiba-tiba saja ponsel milik Henan bergetar panjang. Menampilkan nama Sela pada layar ponselnya yang tengah dalam mode memanggil.

"Ha—"

"HENAN! GINA PINGSAN!!"

"HAH?!"

"Gak usah hah hoh hah hoh! Buru sini ke kelas!"

"O-Oke gue ke sana sekarang."

Setelah panggilan terputus Henan dengan segera bangkit dari tempat untuk menuju kelas Gina. Tidak memperdulikan Mavi yang menatapnya dengan wajah heran karena raut paniknya.

"Dengar ya, Vi. Gue mau lo pikir dua kali soal keputusan lo. Jangan bertingkah bodoh kalau lo gak mau rasakan kehilangan. Gue sarankan itu." Dan Henan benar-benar berlalu meninggalkan kantin dan Mavi yang masih duduk diam di tempatnya.

"Gue gak bodoh, Hen. Gue tahu apa yang gue lakukan," gumam Mavi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Between the Flowers
659      363     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...
HOME
300      223     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Monday
289      226     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Mengejar Cinta Amanda
1782      1065     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
The Ruling Class 1.0%
1359      564     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
Koude
3336      1195     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Jual Jimat Anti Corona
319      197     1     
Short Story
Desaku mendadak ramai akhir-akhir ini. Rumah kakek tua yang disebut-sebut sebagai dukun sakti, kini dipadati pasien karena spanduk "Jual Jimat Anti Corona" terpajang di depan rumahnya. Ya Gusti, musibah macam apa lagi ini?
KataKu Dalam Hati Season 1
5074      1354     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
My Lovelly Doll
577      403     3     
Short Story
\"Diam dan memendam menunggu saat terbaik untuk menciptakan momen terindah.\"
Comfort
1235      536     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.