Loading...
Logo TinLit
Read Story - Campus Love Story
MENU
About Us  

Hujan bukannya makin reda malah makin deras membanjiri bumi. Gina yang sudah bad mood duluan jadi lebih buruk. Baru saja dirinya bertemu dengan alasan dirinya menjadi tidak bersemangat. Ditambah dengan langit yang juga nampaknya paham akan kondisi hatinya saat ini.

Kebohongan yang dilakukannya dengan beralasan kelupaan buku catatan hanyalah sebuah alibi. Aslinya Gina hanya bermaksud untuk mendekam diri dalam ruangan hening, kelas yang dia pakai terakhir sebelumnya. Masa bodoh dengan waktu yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Langit gelap di luar juga layaknya tak memberi kesempatan untuk menunjukkan waktu sekarang. Tidak ada cahaya, hanya derasnya suara hujan yang berlomba berjatuhan menyentuh atap gedung kelasnya.

Gina tidak tahu, Mavi yang dia tinggalkan sendirian sekitar 5 menit yang lalu sudah pulang atau belum. Rasa kesal bercampur kecewa berkecamuk di dalam dadanya. Membuatnya keseringan untuk menghela napas berat. Nasib percintaan yang rupanya begitu rumit dia jalankan. Suka hanya pada satu pihak, ternyata baru dia sadari rasa sakit dan lelahnya.

"Lagian. Lo terlalu banyak berharap, sih. Bodoh," tuturnya.

Gina sudah tidak peduli lagi dengan notif pesan dan telepon yang membanjiri layar ponselnya. Dirinya ingin melakukan hal yang orang bilang begitu memberatkan namun tidak ada objek yang ditimbang. Dirinya ingin menggalau saat ini. Apalagi cuaca dingin yang mencekam dalam ruang hening memberinya sebuah dukungan untuk bersedih-sedih.

"Ini anak! Bukannya jawab telepon malah asik duduk sendirian di sini. Capek banget gue carinya."

Gina menoleh hanya untuk melihat siapa yang tiba-tiba datang dan langsung memberinya sebuah ocehan. Yang tidak jauh lain adalah musuh bebuyutan yang entah sejak kapan keduanya malah terlihat lebih dekat.

Henan masuk ke kelasnya. Ikut mendudukkan diri tepat pada bangku yang berhadapan dengan Gina. Gadis itu nampak tidak peduli dengan keberadaannya. Terlalu sibuk menatap keluar yang entah apa asiknya menonton perlombaan air jatuh membasahi kaca.

"Kenapa lo?" tanya lelaki itu. Duduk menghadapnya dengan kedua kaki yang berada pada sisi kursi. Menopang dagu pada lipatan tangan dan menatap Gina seolah memberi ajakan untuk bercerita.

"Gak kenapa," jawabnya terdengar begitu tidak semangat.

"Lo sudah makan, kan?"

"Hm."

"Terus? Kenapa masih kayak orang yang belum makan? Atau lo lapar lagi?"

"Gak, Hen."

"Ck! Kenapa, sih?" Hingga Gina hanya memilih untuk diam tidak membalas.

Henan sudah menyelesaikan kelas akhirnya. Sebelum sempat mampir di kantin fakultas Jeon untuk diajak cerita sedikit. Katanya mengulur waktu mungkin saja dirinya yang lebih cepat selesai dibandingkan Gina.

Baru saat dirinya ingin ke parkiran namun hujan mengguyur lebih duluan. Membuat Henan mengurungkan niatnya dan berakhir berteduh dalam gedung fakultasnya. Menatap nanar ke depan pada halaman yang mulai penuh akan genangan air hujan.

Beberapa menit setelahnya, dirinya malah mendapat pesan dari Sela. Awal bingung dari mana anak itu mendapatkan nomornya, teralihkan pada pertanyaan gadis itu soal keberadaan Gina. Henan hanya membalasnya dengan sebuah kemungkinan yang masih ada kelas. Namun, berakhir dibantah dengan sebuah fakta kalau kelas Gina hanya berakhir pukul 2 siang. Yang entah mengapa, malah membuatnya panik pelimpungan tidak jelas.

Menghubungi nomor Gina beberapa kali namun tidak mendapat respons. Bahkan dengan beraninya Henan mengumpat dalam sebuah pesan yang dikirim kepada gadis itu. Meskipun dia tahu akhirnya akan menimbulkan sebuah keributan layaknya anak-anak lagi. Tapi rasa panik lebih membelenggunya saat itu. Sebab dirinya yang sekarang merasa bertanggung jawab untuk menghantarkan gadis itu pulang.

Syukur, Gina tidak jauh-jauh dalam bersembunyi di kampus. Sangat mudah ditebak setelah dirinya menyebrang ke gedung fakultasnya dan bertemu Mavi yang sedang sibuk dengan ponsel. Mengatakan kalau Gina kembali ke kelas sebab melupakan buku catatannya.

Lama dalam keheningan, Henan akhirnya paham maksud dari kegalauan yang dialami Gina. Tatapan datar tanpa gairah, terlihat seperti terpaksa menonton ke arah luar.

Henan menegakkan duduknya. "Gak usah pakai galau segala, elah," sahutnya.

Gina menoleh. Henan paham dengan tatapannya hanya membalas dengan wajah yang terlebih santai.

"Gak usah digalauin. Gak ada gunanya," lanjut lagi.

"Siapa yang galau?" elak Gina. Mengundang tawa remeh Henan seketika. Membuat gadis itu berdeham canggung. Tertangkap basah dengan kepekaan Henan.

"Mau ngelak tapi mukanya kentara banget lagi galau. Haduh, kalau gak bisa berakting mending gak usah deh, Mba," ejek Henan.

Gina mendesis masih mendapati Henan yang terkekeh kepadanya. Terlihat menjengkelkan dan rasanya ingin dia robek mulut lelaki itu segera.

Henan mengubah posisinya. Sedikit menyerong hingga membuatnya menelengkan kepala untuk kembali melihat wajah Gina. Hanya dibalas dengan tatapan datar berartikan gadis itu masih kesal padanya.

Henan menarik kepalanya. "Lagian keduanya memang cocok. Mavi si kutu buku dan Mba Abey queen of campus." Dirinya menatap Gina, "Kalau bersanding sama lo bakal jauh banget perbedaannya. Cowok lembek sama cewek jadi-jadian."

Gina merotasikan matanya. Membiarkan Henan terus berceloteh tidak jelas sampai membandingkan dirinya dengan si Abey-Abey itu. Dia tidak peduli dengan siapa gadis yang dimaksud. Mau queen, apalah, itulah. Dia tidak punya urusan terhadap seterkenal apa gadis itu di kampus.

Henan menatap Gina dengan sangat dalam. Membaca raut wajahnya layaknya orang pintar. Bahkan hanya dengan berkedip sesekali selama beberapa detik. Gina membalasnya karena makin lama dirinya ditatap, rasanya menjadi makin aneh. Dia sampai berkerut dan bahkan memundurkan sedikit wajahnya.

"Ngapain, sih? Kenapa liat gue kayak begitu?" sungutnya.

Henan mengerjap layaknya orang bingung. "Sudah gak boleh dilihat lo? Kan, gue punya mata buat dipakai melihat. Ya, kali gue buta," jawabnya.

"Tapi gak usah lihat gue kayak begitu juga. Risih tahu gak." Gina beralih kembali dengan raut kesalnya.

Henan mendesah. Seorang perempuan kalau lagi dalam keadaan tidak mood bercampur galau, sebelas dua belas dengan keadaan kalau lagi datang bulan. Apa pun yang dilakukan lawan jenisnya pasti terlihat salah, kayak sekarang.

"Mau mandi hujan gak?" ajak Henan.

Gina mendelik. "Kalau lo mau sakit, gak usah ajak-ajak. Gila."

Henan hanya bisa tersenyum menahan amarahnya. Untung yang dia tangani sekarang ini adalah perempuan. Coba kalau sesama jenisnya, sudah dia lempar dari jendela lantai dua kayaknya.

"Galak amat, sih." Henan berdiri dari duduknya. Menimbulkan bunyi berisik gesekan kaki kursi dan lantai ubin putih. "Ayo!"

Gina mendongak, tapi dengan raut datar dan terkesan malas. "Ayo apaan? Mandi hujan? Sana sendiri."

"Pulang lah, bodoh. Gue juga ogah mau mandi hujan."

"Sama saja! Lo suruh gue pulang hujan-hujan sudah sama kayak mandi hujan lah, bego!"

"Tapi kita niatnya pulang, bukan mandi. Beda," elak Henan.

"Bodoh banget, sih, Hen! Sama saja! Nanti juga kalau di jalan gue sama lo basah! Bagaimana, sih?!"

Henan tersenyum miring. "Yaudah, gue tinggal kalau begitu."

"HENAN!?"

"Apa?"

Gina mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Menatap Henan dengan tatapan menyalang saking kesalnya. Tapi berbalik dengan lelaki itu yang malah menatapnya dengan wajah santai selayaknya tidak terjadi apa-apa.

Gina menyerah, memilih tidak menghiraukan Henan lagi. Terlalu melelahkan untuk membuang emosinya meladeni anak itu. Perasaannya saat ini sangat tidak bagus untuk diajak ribut. Malah akan membuatnya makin buruk.

Henan kembali mengambil posisi duduk, namun kali ini di atas meja tempat kepalan tangan Gina berada. Sejenak gadis itu memberinya tatapan tajam namun berakhir sebentar. Lelaki itu hanya sekadar duduk di sana. Membiarkan keduanya kembali dalam raut keheningan. Tidak ada yang membuka suara selain serunya suara hujan.

"Kalau makin dipikir, nanti lo makin gak suka," sahut Henan seketika.

Satu tangan milik anak itu melayang tanpa izin menyentuh puncuk kepala Gina. Pemilik kepala bahkan biasa-biasa saja tanpa ada niatan untuk menyingkirkannya. "Belum juga jadian sudah galau duluan. Kan, masih ada kesempatan buat berjuang. Menyerah, nih?"

Gina masih senantiasa diam kala telapak tangan milik Henan mulai bergerak pelan mengusap kepalanya. Sedikit memberinya ketenangan yang dia sendiri heran mengapa bisa terjadi.

Seperti sebuah sihir ajaib. Perlahan, hujan di luar nampak mulai meredakan jatuhnya. Henan tersenyum, bersamaan dengan sebuah sinar matahari yang muncul dari balik sela awan. Gina terenyuh. Kehangatan menjalar menguasai tubuhnya. Kepalanya mendongak ke samping yang mendapati Henan tengah tersenyum manis, memberi kesan layaknya sebuah bunga matahari.

"Orang-orang terdekat gue sering panggil gue Fullsun," ucapnya. "Itu karena gue berisik dan memang selalu terang setiap waktu," lanjutnya. Gina terdiam untuk menyimak.

"Orang bilang, gue punya kutukan yang berhubungan sama matahari. Gue gak tahu maksudnya apa. Cuman banyak kejadian yang entah kebetulan atau bukan sering muncul kayak begini," jelasnya. "Orang tua gue juga bilangnya gitu. Sampai Mama tanam bunga matahari di belakang rumah sudah modelan kayak kebun saking banyaknya. Katanya, biar kondisi rumah tetap terang dan hangat karena gue gak ada."

"Belagu," potong Gina.

"Serius!" Tangan Henan turun dari kepala Gina. Membuat gadis itu sedikit merasa kecewa. Entah apa yang merasukinya hingga dengan berani mengangkat tangan lelaki itu untuk kembali pada tempat semula.

"Padahal baru saja bilangin gue belagu. Doyan gue elus kan, lo?"

Gina menggigit bibir tipisnya, lantas menepis tangan anak itu. Henan terkekeh sejenak dan mengubah posisinya turun dari atas meja. "Ayo, pulang. Keseringan galau gak bagus. Banyak keriput nanti."

"Alibi gak masuk akal," elak Gina. Namun, dirinya tetap membenahi diri dengan memperbaiki posisi kursi yang didudukinya.

"Lo mah, gak pernah percaya sama gue."

"Orang modelan kayak lo susah buat gue percaya." Gina membenarkan posisi tasnya. "Ayo, deh. Keburu hujan lagi."

"Gak bakal. Kan, lo sudah lebih baik perasaannya? Yang ada, sedikit lagi bakal malam. Mie ayam mau gak?" dengan gerakan alis yang bergerak naik-turun seraya menggoda Gina.

"Kemarin sudah," tolak Gina. "Ayo deh, Hen! Gue mau lanjut baca novel kemarin."

Henan berdecak singkat. Gadis itu kembali menyindir pasal novel di waktu dirinya tengah mencoba membuat gadis itu melupakan Mavi.

Selintas, senyum tipis Henan terukir di wajahnya. Hanya dengan menatap Gina yang sibuk mengoceh dan menariknya perihal lambat berjalan membuatnya senang hingga bahkan tertawa dalam hati.

"Kaki lo kenapa, sih? Keseleo? Padahal jalan tadi lancar baik-baik saja. Cepat deh, Hen!" ketus Gina.

"Haduh, iya-iya. Ribut banget sih, kayak emak-emak. Ini gue jalan, nih."

"Ayo, buru!"

"Mie ayam dulu tapi."

"Gak mau. Kemarin sudah, nanti berat badan gue naik."

"Mana ada? Alasan saja lo."

Gina berhenti dan berbalik ke arah Henan. "Sampai lo masih ngoceh gak jelas, gue tendang tulang kering lo, Hen," ancamnya. Bukannya merasa takut, namun justru terlihat lucu di mata Henan.

"Lo garang gak, lucu iya," kekehnya pelan. "Yaudah, lain kali saja kalau begitu. Eh, tapi? Kemarin kita gak makan bubur, ya? Besok saja deh, makan bubur. Terus besoknya lagi makan mie ayam. Atau ganti-ganti hari makannya? Oke, kan? Bagus kita deal, ya," cercos Henan.

Keduanya berakhir kembali ribut saling beradu mulut di sepanjang koridor fakultas hingga ke parkiran. Cuaca yang berubah menjadi langit senja, berterima kasih kepada matahari yang sudah dengan baiknya mengabulkan doa Henan untuk membuat Gina merasa hangat kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A D I E U
2195      879     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.
IMPIAN KELIMA
473      353     3     
Short Story
Fiksi, cerpen
Trying Other People's World
198      166     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
I'il Find You, LOVE
6265      1705     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
After Feeling
6164      1946     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Satu Nama untuk Ayahku
8808      1854     17     
Inspirational
Ayah...... Suatu saat nanti, jikapun kau tidak lagi dapat kulihat, semua akan baik-baik saja. Semua yang pernah baik-baik saja, akan kembali baik-baik saja. Dan aku akan baik-baik saja meski tanpamu.
Good Art of Playing Feeling
413      306     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Renjana: Part of the Love Series
264      217     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.
Something about Destiny
174      149     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
GLACIER 1: The Fire of Massacre
893      646     2     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....