Hujan bukannya makin reda malah makin deras
membanjiri bumi. Gina yang sudah bad mood duluan jadi lebih buruk. Baru saja dirinya bertemu dengan alasan dirinya
menjadi tidak bersemangat. Ditambah dengan langit yang juga nampaknya paham
akan kondisi hatinya saat ini.
Kebohongan yang dilakukannya dengan beralasan
kelupaan buku catatan hanyalah sebuah alibi. Aslinya Gina hanya bermaksud untuk
mendekam diri dalam ruangan hening, kelas yang dia pakai terakhir sebelumnya.
Masa bodoh dengan waktu yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Langit gelap
di luar juga layaknya tak memberi kesempatan untuk menunjukkan waktu sekarang.
Tidak ada cahaya, hanya derasnya suara hujan yang berlomba berjatuhan menyentuh
atap gedung kelasnya.
Gina tidak tahu, Mavi yang dia tinggalkan
sendirian sekitar 5 menit yang lalu sudah pulang atau belum. Rasa
kesal bercampur kecewa berkecamuk di dalam dadanya. Membuatnya keseringan untuk
menghela napas berat. Nasib percintaan yang rupanya begitu rumit dia jalankan.
Suka hanya pada satu pihak, ternyata baru dia sadari rasa sakit dan lelahnya.
"Lagian. Lo terlalu banyak berharap, sih.
Bodoh," tuturnya.
Gina sudah tidak peduli lagi dengan notif pesan
dan telepon yang membanjiri layar ponselnya. Dirinya ingin
melakukan hal yang orang bilang begitu memberatkan namun tidak ada objek yang
ditimbang. Dirinya ingin menggalau saat ini. Apalagi cuaca dingin yang mencekam
dalam ruang hening memberinya sebuah dukungan untuk bersedih-sedih.
"Ini anak! Bukannya jawab telepon malah asik duduk sendirian di sini. Capek banget
gue carinya."
Gina menoleh hanya untuk melihat siapa yang
tiba-tiba datang dan langsung memberinya sebuah ocehan. Yang tidak jauh lain
adalah musuh bebuyutan yang entah sejak kapan keduanya malah terlihat lebih
dekat.
Henan masuk ke kelasnya. Ikut mendudukkan diri
tepat pada bangku yang berhadapan dengan Gina. Gadis itu nampak tidak peduli
dengan keberadaannya. Terlalu sibuk menatap keluar yang entah apa asiknya
menonton perlombaan air jatuh membasahi kaca.
"Kenapa lo?" tanya lelaki itu. Duduk
menghadapnya dengan kedua kaki yang berada pada sisi kursi. Menopang dagu pada
lipatan tangan dan menatap Gina seolah memberi ajakan untuk bercerita.
"Gak kenapa," jawabnya terdengar begitu tidak semangat.
"Lo sudah makan, kan?"
"Hm."
"Terus? Kenapa masih kayak orang yang belum
makan? Atau lo lapar lagi?"
"Gak, Hen."
"Ck! Kenapa, sih?" Hingga Gina hanya memilih untuk diam tidak membalas.
Henan sudah menyelesaikan kelas akhirnya. Sebelum
sempat mampir di kantin fakultas Jeon untuk diajak cerita sedikit. Katanya
mengulur waktu mungkin saja dirinya yang lebih cepat selesai dibandingkan Gina.
Baru saat dirinya ingin ke parkiran namun hujan
mengguyur lebih duluan. Membuat Henan mengurungkan niatnya dan berakhir
berteduh dalam gedung fakultasnya. Menatap nanar ke depan pada halaman yang
mulai penuh akan genangan air hujan.
Beberapa menit setelahnya, dirinya malah mendapat
pesan dari Sela. Awal bingung dari mana anak itu mendapatkan nomornya,
teralihkan pada pertanyaan gadis itu soal keberadaan Gina. Henan hanya
membalasnya dengan sebuah kemungkinan yang masih ada kelas. Namun, berakhir dibantah dengan sebuah fakta kalau kelas Gina hanya berakhir
pukul 2 siang. Yang entah mengapa, malah membuatnya panik
pelimpungan tidak jelas.
Menghubungi nomor Gina beberapa kali namun tidak
mendapat respons. Bahkan dengan beraninya Henan mengumpat dalam
sebuah pesan yang dikirim kepada gadis itu. Meskipun dia tahu akhirnya akan menimbulkan
sebuah keributan layaknya anak-anak lagi. Tapi rasa panik lebih membelenggunya
saat itu. Sebab dirinya yang sekarang merasa bertanggung jawab untuk
menghantarkan gadis itu pulang.
Syukur, Gina tidak jauh-jauh dalam bersembunyi di
kampus. Sangat mudah ditebak setelah dirinya menyebrang ke gedung fakultasnya
dan bertemu Mavi yang sedang sibuk dengan ponsel. Mengatakan kalau Gina kembali
ke kelas sebab melupakan buku catatannya.
Lama dalam keheningan, Henan akhirnya paham maksud
dari kegalauan yang dialami Gina. Tatapan datar tanpa gairah, terlihat seperti
terpaksa menonton ke arah luar.
Henan menegakkan duduknya.
"Gak usah pakai galau segala, elah," sahutnya.
Gina menoleh. Henan paham dengan tatapannya hanya
membalas dengan wajah yang terlebih santai.
"Gak usah digalauin. Gak ada gunanya,"
lanjut lagi.
"Siapa yang galau?" elak Gina.
Mengundang tawa remeh Henan seketika. Membuat gadis itu berdeham canggung.
Tertangkap basah dengan kepekaan Henan.
"Mau ngelak tapi mukanya kentara banget lagi
galau. Haduh, kalau gak bisa berakting mending gak usah deh, Mba," ejek
Henan.
Gina mendesis masih mendapati Henan yang terkekeh
kepadanya. Terlihat menjengkelkan dan rasanya ingin dia robek mulut lelaki itu
segera.
Henan mengubah posisinya. Sedikit menyerong hingga
membuatnya menelengkan kepala untuk kembali melihat wajah Gina. Hanya dibalas
dengan tatapan datar berartikan gadis itu masih kesal padanya.
Henan menarik kepalanya.
"Lagian keduanya memang cocok. Mavi si kutu buku dan Mba Abey queen
of campus." Dirinya menatap Gina, "Kalau bersanding
sama lo bakal jauh banget perbedaannya. Cowok lembek sama cewek
jadi-jadian."
Gina merotasikan matanya. Membiarkan Henan terus
berceloteh tidak jelas sampai membandingkan dirinya dengan si Abey-Abey itu.
Dia tidak peduli dengan siapa gadis yang dimaksud. Mau queen,
apalah, itulah. Dia tidak punya urusan terhadap seterkenal apa gadis itu di
kampus.
Henan menatap Gina dengan sangat dalam. Membaca
raut wajahnya layaknya orang pintar. Bahkan hanya dengan berkedip sesekali
selama beberapa detik. Gina membalasnya karena makin lama dirinya ditatap,
rasanya menjadi makin aneh. Dia sampai berkerut dan bahkan memundurkan sedikit
wajahnya.
"Ngapain, sih? Kenapa liat gue kayak
begitu?" sungutnya.
Henan mengerjap layaknya orang bingung. "Sudah gak boleh dilihat lo? Kan, gue punya mata buat dipakai
melihat. Ya, kali gue buta," jawabnya.
"Tapi gak usah lihat gue kayak begitu juga.
Risih tahu gak." Gina beralih kembali dengan raut kesalnya.
Henan mendesah. Seorang perempuan kalau lagi dalam
keadaan tidak mood bercampur galau, sebelas dua belas dengan keadaan kalau lagi datang
bulan. Apa pun yang dilakukan lawan jenisnya pasti terlihat salah, kayak
sekarang.
"Mau mandi hujan gak?" ajak Henan.
Gina mendelik.
"Kalau lo mau sakit, gak usah ajak-ajak. Gila."
Henan hanya bisa tersenyum menahan amarahnya.
Untung yang dia tangani sekarang ini adalah perempuan. Coba kalau sesama
jenisnya, sudah dia lempar dari jendela lantai dua kayaknya.
"Galak amat, sih." Henan berdiri dari
duduknya. Menimbulkan bunyi berisik gesekan kaki kursi dan lantai ubin putih.
"Ayo!"
Gina mendongak, tapi dengan raut datar dan
terkesan malas. "Ayo apaan? Mandi hujan? Sana sendiri."
"Pulang lah, bodoh. Gue juga ogah mau mandi
hujan."
"Sama saja! Lo suruh gue pulang hujan-hujan
sudah sama kayak mandi hujan lah, bego!"
"Tapi kita niatnya pulang, bukan mandi.
Beda," elak Henan.
"Bodoh banget, sih, Hen! Sama saja! Nanti
juga kalau di jalan gue sama lo basah! Bagaimana, sih?!"
Henan tersenyum miring. "Yaudah, gue tinggal
kalau begitu."
"HENAN!?"
"Apa?"
Gina mengepalkan kedua tangannya di atas meja.
Menatap Henan dengan tatapan menyalang saking kesalnya. Tapi berbalik dengan
lelaki itu yang malah menatapnya dengan wajah santai selayaknya tidak terjadi
apa-apa.
Gina menyerah, memilih tidak menghiraukan Henan
lagi. Terlalu melelahkan untuk membuang emosinya meladeni
anak itu. Perasaannya saat ini sangat tidak bagus untuk diajak ribut. Malah
akan membuatnya makin buruk.
Henan kembali mengambil posisi duduk, namun kali
ini di atas meja tempat kepalan tangan Gina berada. Sejenak gadis itu
memberinya tatapan tajam namun berakhir sebentar. Lelaki itu hanya sekadar
duduk di sana. Membiarkan keduanya kembali dalam raut keheningan. Tidak ada
yang membuka suara selain serunya suara hujan.
"Kalau makin dipikir, nanti lo makin gak
suka," sahut Henan seketika.
Satu tangan milik anak itu melayang tanpa izin
menyentuh puncuk kepala Gina. Pemilik kepala bahkan biasa-biasa saja tanpa ada
niatan untuk menyingkirkannya. "Belum juga jadian sudah galau duluan. Kan,
masih ada kesempatan buat berjuang. Menyerah, nih?"
Gina masih senantiasa diam kala telapak tangan
milik Henan mulai bergerak pelan mengusap kepalanya. Sedikit memberinya
ketenangan yang dia sendiri heran mengapa bisa terjadi.
Seperti sebuah sihir ajaib. Perlahan, hujan di
luar nampak mulai meredakan jatuhnya. Henan tersenyum, bersamaan dengan sebuah
sinar matahari yang muncul dari balik sela awan. Gina terenyuh. Kehangatan
menjalar menguasai tubuhnya. Kepalanya mendongak ke samping yang mendapati
Henan tengah tersenyum manis, memberi kesan layaknya sebuah bunga matahari.
"Orang-orang terdekat gue sering panggil gue Fullsun," ucapnya. "Itu karena gue berisik dan memang selalu terang
setiap waktu," lanjutnya. Gina terdiam untuk menyimak.
"Orang bilang, gue punya kutukan yang
berhubungan sama matahari. Gue gak tahu maksudnya apa. Cuman banyak kejadian
yang entah kebetulan atau bukan sering muncul kayak begini," jelasnya.
"Orang tua gue juga bilangnya gitu. Sampai Mama tanam bunga matahari di
belakang rumah sudah modelan kayak kebun saking banyaknya. Katanya, biar
kondisi rumah tetap terang dan hangat karena gue gak ada."
"Belagu," potong Gina.
"Serius!"
Tangan Henan turun dari kepala Gina. Membuat gadis
itu sedikit merasa kecewa. Entah apa yang merasukinya hingga dengan berani
mengangkat tangan lelaki itu untuk kembali pada tempat semula.
"Padahal baru saja bilangin gue belagu. Doyan
gue elus kan, lo?"
Gina menggigit bibir tipisnya, lantas menepis
tangan anak itu. Henan terkekeh sejenak dan mengubah posisinya turun dari atas
meja. "Ayo, pulang. Keseringan galau gak bagus. Banyak keriput
nanti."
"Alibi gak masuk akal," elak Gina. Namun, dirinya tetap membenahi diri dengan memperbaiki posisi kursi yang
didudukinya.
"Lo mah, gak pernah percaya sama gue."
"Orang modelan kayak lo susah buat gue
percaya." Gina membenarkan posisi tasnya. "Ayo,
deh. Keburu hujan lagi."
"Gak bakal. Kan, lo sudah lebih baik
perasaannya? Yang ada, sedikit lagi bakal malam. Mie ayam mau gak?" dengan
gerakan alis yang bergerak naik-turun seraya menggoda Gina.
"Kemarin sudah," tolak Gina. "Ayo
deh, Hen! Gue mau lanjut baca novel kemarin."
Henan berdecak singkat. Gadis itu kembali
menyindir pasal novel di waktu dirinya tengah mencoba membuat gadis itu
melupakan Mavi.
Selintas, senyum tipis Henan terukir di wajahnya.
Hanya dengan menatap Gina yang sibuk mengoceh dan menariknya perihal lambat
berjalan membuatnya senang hingga bahkan tertawa dalam hati.
"Kaki lo kenapa, sih? Keseleo? Padahal jalan
tadi lancar baik-baik saja. Cepat deh, Hen!" ketus Gina.
"Haduh, iya-iya. Ribut banget sih, kayak
emak-emak. Ini gue jalan, nih."
"Ayo, buru!"
"Mie ayam dulu tapi."
"Gak mau. Kemarin sudah, nanti berat badan
gue naik."
"Mana ada? Alasan saja lo."
Gina berhenti dan berbalik ke arah Henan. "Sampai lo masih ngoceh gak jelas, gue tendang tulang kering lo,
Hen," ancamnya. Bukannya merasa takut, namun justru terlihat lucu di mata
Henan.
"Lo garang gak, lucu iya," kekehnya pelan. "Yaudah, lain kali saja kalau begitu. Eh, tapi? Kemarin kita gak makan bubur, ya? Besok saja deh, makan bubur. Terus besoknya lagi makan mie ayam. Atau ganti-ganti hari makannya? Oke, kan? Bagus kita deal, ya," cercos Henan.
Keduanya berakhir kembali ribut saling beradu mulut di sepanjang koridor fakultas hingga ke parkiran. Cuaca yang berubah menjadi langit senja, berterima kasih kepada matahari yang sudah dengan baiknya mengabulkan doa Henan untuk membuat Gina merasa hangat kembali.