Gina baru selesai bersiap untuk berangkat ke
kampus. Sialnya, masih dengan naik kendaraan umum sebab motor yang dipinjam
teman indekosnya belum juga dipulangkan. Gina sudah berjanji untuk tegas dengan
tetangga indekos. Terlalu lembek hanya akan membuatnya terlihat lemah dan
gampang dibodohi.
Sela sudah berangkat duluan. Hari ini lagi dia
dapat kelas yang berbeda dengan gadis itu. Tadi Sela memberinya kunci motor
menyuruh untuk memakai motor miliknya berangkat ke kampus. Tapi
Gina tidak enakan, takut ada apa-apa di jalan jadi menolaknya. Meski sempat
dipaksa tapi Gina tetap bersih keras menolak.
Baru memutuskan ingin naik apa, ponselnya malah
berbunyi dan menimbulkan notif pesan masuk. Gina menyerit karena mendapat pesan
dari nomor asing yang tidak dikenal.
+62-0606-2000 :
| Buru turun, gue di depan.
| Yang cepat, ya, Nona :)
| Nanti kulit eksotis gue terkelupas kepanasan di sini.
"Siapa ini? Sembarangan banget chat orang pagi-pagi. Gak jelas," pukas
Gina. Tidak memperdulikan pesan itu dan akhirnya beranjak turun dari lantai
kamarnya.
Baru ketika dirinya selesai memakai sepatu di
teras depan indekos, berjalan mendekat pagar dan hendak keluar, Gina malah mendapati
Henan yang duduk tenang di atas motornya.
"Lah? Hen? Lo ngapain di sini?"
herannya.
Henan menoleh.
"Lama amat. Dandan lo?" ucapnya. Ponsel dalam genggamannya lantas
disimpan dalam kantung celana. "Buru naik. Ada kelas pagi gue,"
titahnya.
Gina memberikan telapak tangannya, memasang raut
muka masih belum paham kenapa anak ini bisa ada di sini pagi-pagi.
"Bentar, jawab dulu kenapa lo ada di sini?"
tanyanya ulang.
"Haduh, pakai ulur waktu segala. Lihat jam,
deh. 30 menit lagi masuk kelas. Buruan naik saja
kenapa?" keluhnya. "Nanti gue cerita di jalan. Buru naik, jangan lupa
helm," suruhnya lagi.
Karena tidak ingin memperpanjang uluran waktu
memang, Gina lantas mendengarkan titah Henan dengan segera. Mengambil helm
miliknya yang untung tidak ikut dipinjam keluar kota. Baru lekasnya naik di motor lelaki itu dan berangkat.
Dalam perjalanan pun hanya diam. Ucapan Henan yang
katanya akan bercerita di jalan nampaknya tidak ada. Gina jadi mendengkus soal
itu. Tapi lumayan juga, dirinya tidak harus mengeluarkan uang pagi-pagi lagi
untuk ke kampus.
Sedangkan Henan yang tengah fokus menyetir
sesekali menatap Gina dari balik kaca spion motornya. Raut wajah gadis itu yang
nampak masih merasa heran perihal dirinya yang tiba-tiba berada di depan
gerbang indekos putri. Dia hanya tersenyum singkat sebelum kembali menatap
jalan.
"Henan."
"Hm."
Gina sedikit mendekatkan dirinya. "Lo yang chat gue tadi, ya? Dapat nomor gue dari siapa?" tanyanya.
"Tahu dari mana kalau gue yang chat?"
"Feeling, sih. Soalnya kan, chat-nya
bilang dia sudah di bawah. Jadi gue pikirnya memang lo." Henan tidak
memberi jawaban soal ucapan Gina. Sudah terlalu jelas memang dan untungnya anak
ini memang peka.
"Minta sama siapa lo nomor gue?"
"Sama Mavi."
Kedua alis Gina terangkat, mencoba untuk
memperjelas pendengarannya. "Kak Mavi? Kapan?"
"Gue teman seindekos sama dia. Cowok Sela
juga, Bang Delio sama sepupunya," jelas Henan.
"Ohh."
Mendapati lampu merah, keduanya kembali diam.
Henan yang asik menatap jalan di depan sedangkan Gina hanya menatap sekeliling.
Cuaca pagi tepat jam delapan, matahari sudah lumayan tinggi tapi entah mengapa,
Gina malah menginginkan hujan hari ini. Mungkin bawaan mood-nya.
"Ada unsur apa lo jemput gue? Gak minta
imbalan kan, lo?" sahut Gina.
Henan sedikit memalingkan wajahnya, membuat Gina
memundurkan kepala. Sedikit kaget karena Henan tiba-tiba saja menoleh.
"Daripada buang duit, mending gue yang
jemput. Searah juga, meskipun jaraknya agak jauh," katanya.
"Ketimbang imbalan, ini mah, rasa terima kasih gue. Untung boneka
Shin-chan kemarin ada sama lo. Jadi tenang gue," lanjutnya.
"Ya, ampun. Perkara boneka lo doang
rupanya," pukas Gina, membuat Henan hanya menyengir manis di depan.
Motornya kembali berjalan, tinggal melewati
perempatan dan mereka tiba di halaman kampus. Masih terlalu pagi tapi sepertinya
memang banyak yang dapat kelas awal hari ini. Henan dan Gina bahkan sudah
berapa hari hampir dapat jadwal jam kelas yang sama.
Motornya diparkir di area yang sesuai. Gina turun
dan segera membuka helm. Jangan tanya mengapa beberapa orang yang lewat menatap
keduanya. Tahu saja, Henan ini lumayan anak yang banyak dikenali di kampus.
Apalagi mendapati dirinya yang datang dengan seorang gadis tak dikenal.
Gina cukup risih ditatap seperti itu. Dan karena
memang dirinya peka juga telinganya masih tajam. Meskipun mereka yang lewat
sudah berbicara dengan suara yang kecil, Gina masih dengan jelas bisa
mendengarnya.
"Masih pagi padahal sudah mulai saja gue
dapat gibah," ujar Gina.
Henan menoleh setelah merapikan rambutnya.
Bergantian menatap orang-orang yang lewat.
"Oh, sudah biasa. Ini karena lo datang ke kampus bareng gue,"
ucapnya.
"Ha ha, rupanya gue nebeng sama orang famous di kampus, ya? Iyain saja," ledek Gina.
"Serius. Lo kalau tanya mereka pasti kenal
gue. Baru tahu lo gue famous di kampus?"
Gina hanya merotasikan matanya malas. Memberi
Henan helmnya dan segera untuk masuk ke dalam gedung kampus. Henan mengulum
bibirnya dan menggantung helm milik gadis itu di antara jok motor.
"Wuih! Siapa ini yang pagi-pagi sudah datang bawa
gandengan?" Jeon datang dengan tampang kayak anak berandal sambil mengemut
permen.
Henan menatapnya dari ujung bawah hingga atas.
Setelahnya berdecak sembari menggeleng. Tampilan Jeon yang
betul-betul jauh berbeda dengan saudara kembarnya, Nanda.
"Gaya lo, Je. Habis tawuran di mana lo,
hah?" sindir Henan.
Jeon terkekeh.
"Sembarangan. Ini faktor gue buru-buru antar Nanda. Sialan banget, padahal
lagi enak tidur malah diguyur air," jawabnya.
Henan tertawa singkat. Memang Nanda kalau perihal
membangunkan Jeon harus pakai banyak akal. Kalau tidak, kembarannya pasti hanya
membalas menjawab iming-iming sudah bangun padahal masih sibuk bergelayut
dengan dunia mimpi.
"Memang lo gak ada kelas pagi?"
"Ada, tapi di jam sepuluh nanti," Jeon
mendesah. Merapikan kamejanya yang tidak beraturan dan nampak kusut. Bahkan
menyisir rambutnya dengan modal jari. "Padahal gue sudah ada niatan tidur
sebelum jam kelas, hadeh," keluhnya.
Henan hanya bisa memberi Jeon tepukan penyemangat
pada bahu.
🎗
"Lo berangkat sama Henan? Serius?
Dijemput?"
Gina mendorong kepala Sela dengan jari
telunjuknya. Anak ini terlalu histeris perkara dirinya yang datang ke kampus
dengan Henan. "Ya, begitu. Gue mana kaget dapat dia ada di bawah. Jadi
yaudah, sekalian," jawab Gina.
Sela malah tertawa seperti seorang Santa. Gina berkerut dengan kelakuan aneh temannya ini.
Untung saja kekasihnya seoang anak calon dokter, Gina tidak perlu jauh-jauh
mencari konsultan untuk penyembuhan.
"Bagus, deh. Kan, adem lihat lo berdua akur.
Gak ribut terus kayak kucing sama tikus," pukas Sela.
Kelas Sela sudah selesai tepat pukul 12 siang ini. Sedangkan Gina masih harus berlanjut hingga pukul 2. Benar-benar kelas yang panjang, padahal keduanya punya jadwal hari yang
sama.
Langit kayaknya mendengar doa Gina pagi ini. Awan
mendung sudah nampak berkumpul memenuhi langit. Hawa dingin pun mulai menerpa
kulit, bertiup halus sampai membuat merinding. Tapi bodohnya, permintaan Gina
berbalik dengan cara berpakaiannya. Hanya berbalut kameja putih dan celana
kulot. Karena memang perkiraan cuaca yang menyatakan panas, tapi langit
mendengar doanya dan mengganti cuaca.
"Padahal panas pagi tadi. Mendung banget
tiba-tiba," ujar Sela. Dia juga ikutan heran tapi untung memakai pakaian
yang cukup tebal.
"Pulang nanti naik apa, Sel?"
"Diantar Delio," jawab Sela cepat.
"Lo gak kasihan sama cowok lo? Dia kan,
semester lima sekarang. Gak sibuk emang?" ujar Gina. Membayangkan
bagaimana padatnya kelas mahasiswa Fakultas Kedokteran membuatnya pusing
seketika.
"Sibuk, lah!" sungut Sela. "Asal lo
tahu saja, sih. Pas dia sudah nyamper buat jemput, gue kasih ceramah panjang.
Gue juga gak mau diantar jemput kayak gini. Tapi mau bagaimana, Gin? Itu cowok
cerewetnya melebihi Mama gue masa?" jelas Sela. Bahkan raut wajahnya
sangat mendukung saat ia bercerita.
"Oh, ya?"
"Iya! Ibarat kalau lo cerita sepuluh kata,
dia sudah ratusan, mungkin. Bisa pecah kepala gue kalau dengar dia ngomel.
Padahal yang harusnya ceramah kan, gue?" gerutu anak itu.
"Tapi cinta dong, ya?"
Mendadak wajah Sela menjadi sumringah. Gina hanya
menggelengkan kepalanya. "Kelihatan banget, ya?" dan Sela yang
menggaruk pipinya. "Kalau sudah lama berhubungan, pasti sudah kebal soal
kelemahan masing-masing, Gin. Gue yang dengar ceramah panjang Delio, meskipun capek tapi gue juga paham itu bentuk dia sayang sama gue."
"Gue jomblo, Sel. Gak usah kasih penjelasan
soal begituan," elak Gina. Mendapat decihan
singkat dari Sela.
🎗
Hujan benar-benar turun membasahi bumi. Bukan
turun dalam modelan rintik, sangat deras hingga menimbulkan sedikit banjir.
Genangan air juga sudah memenuhi halaman depan kampus.
Sudah 10 puluh menit Gina berdiri
menunggu hujan mereda, sendirian tanpa ada orang-orang. Sela sudah pulang sejak
dia masuk kelas akhir hingga berakhir jam 2
ini. Henan? Dia tidak tahu menahu soal kelas anak itu. Yang dia tahu, helmnya
masih terjaga di motor lelaki itu. Mau ke fakultas sebelah pun harus
menyebrang. Bisa-bisa dirinya basah dan masuk angin.
"Gina? Belum pulang?"
Sudah hujan, mood tidak enak, malah ketemu dengan alasan mood-nya buruk. Luar
biasa kuat Gina tengah diuji menahan diri sekarang.
"Iya, Kak. Tunggu hujannya reda," jawab
Gina. Setengah mati menahan untuk tidak menatap ke samping lelaki ini.
"Dijemput?"
"Enggak."
"Terus? Diantar?"
"Gak tahu juga."
"Lah?"
Gina hanya memohon, semoga lelaki di sampingnya
ini cepat pergi. Mentalnya sekarang sudah benar-benar amburadul. Perkara
postingan kemarin yang dilihatnya.
"Kemarin tumben like postingan gue. Kepencet?"
Ingin rasanya Gina melebur berbaur bersama
genangan air. Kenapa malah membahas postingan yang membuatnya uringan seperti
orang patah hati?
"Ah, iya. Gak sengaja kepencet karena
lewat," jawab Gina. Dirinya juga mengumpati Henan karena anak itu yang
membuatnya berada dalam obrolan menjengkelkan ini.
"Btw, itu pacar ya, Kak? Kok, baru
tahu?" Gina hanya ingin tahu kebenaran untuk melanjutkan perasaannya atau
tidak.
"Belum, sih. Masih gebetan," jawab
lelaki itu. "Tapi gak lama lagi gue bakal nembak dekat hari,"
lanjutnya.
Lelaki itu menoleh ke arah Gina. "Doain, ya? Kali saja doa lo manjur. Gak kayak Henan cuman
misuh-misuh doang ke gue."
"Iya Kak, pastilah. Siapa sih, yang bakal
tolak Kak Mavi? Orangnya pintar begini." Dan senyum itu hanya terlintas kecut.
"Begitu, ya? Makasih, deh." Mavi memberinya cengiran senang.
"Eh, Kak, maaf, ya. Gue baru ingat kelupaan
buku catatan di kelas. Gue tinggal, ya?"
"Oh, iya, gak apa. Hati-hati."
Itu hanya sebuah alasan. Gina tidak ingin merasakan sakit yang berlebihan. Lebih baik pergi daripada harus mendengar cerita panjang yang bisa saja membuatnya menangis di tempat. Gina cuman bisa memilih sadar, status keduanya cuman sebatas adik dan senior. Sisanya, hanya dirinya yang menyukai sepihak.
"Sialan. Gue baru tahu rasa suka sepihak sesakit ini." Dan demi apa pun, mungkin langkah mundur memang pilihan yang tepat untuknya.