Pukul 8 malam namun Gina sama sekali
belum sampai di indekosnya. Masih bersama Henan, dirinya terdampar disalah satu
warung kecil penjual mie ayam pinggir jalan. Katanya tempat
langganan Henan. Dia memberi jaminan kalau sekali makan, akan terus berpikir
untuk mampir jika menginginkan.
Namanya anak indekos, tidak tinggal dengan orang
tua melainkan di rumah orang lain, yang mana pula menyerahkan diri sebagai
tanggung jawab orang lain. Gina tahu diri dan tentu saja sudah memberi pesan
kepada kepala indekos kalau dirinya akan pulang terlambat. Aturan yang
mengharuskan penghuni indekos putri itu pulang di bawah jam 9 malam dan tidak boleh lewat. Kalau semisal hal itu terjadi tanpa ada
pemberitahuan, bisa jadi dirinya diusir seketika.
Gina juga sudah menghubungi Sela yang dia yakin
gadis itu pasti sudah berada di indekos. Hanya jaga-jaga kala saja pesannya
yang dikirim kepada kepala indekos tidak sempat dibaca. Berharap, Sela yang
akan memberitahunya dan dirinya tidak akan dikunci dari luar pagar.
"Lo gak apa nih, pulang telat? Bungkus
saja," sahut Henan.
Gina mendongak setelah menatap ponselnya.
"Gak apa. Gue sudah bilang sama kepala indekos. Sekalian jaga-jaga, gue
sudah kasih tahu Sela juga," jawabnya.
Menunggu pesanan mie ayam keduanya datang, tidak
ada kegiatan lain selain keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Sebenarnya
Gina bingung. Bagaimana dirinya dengan gampang ikut duduk berdua saling
berhadapan dengan Henan di warung mie ayam. Padahal dia ini sebenarnya masih
rada anti sama lelaki di depannya. Apalagi mengingat kejadian di masa lalu, awal mereka bertemu sudah saling ribut dan tidak akur. Yang
ada malah terjadi pulang agak malam dengan Henan dan singgah makan sebentar.
Katakan saja ini faktor karena dia lapar sampai tidak sadar kalau keduanya adalah insan yang tidak akur.
"Aduh, gak ada duit," celetuk Henan.
Gina mendongak untuk kesekian kali. "Hah?"
Wajahnya sedikit kaget pasca mendengar ucapan Henan.
Henan balik menatapnya.
"Apa? Kenapa?"
"Lo bilang gak ada duit."
Henan sedikit terdiam sejenak. "Oh, bukan. Gue lagi lihat barang. Niat beli tapi gak ada duit,"
jelasnya. "Bukan gak punya duit buat bayar mie ayam, ya," lanjutnya.
"Kira saja," ucap Gina. Sudah ragu di awal
kalau yang dibilang Henan tidak punya uang untuk bayar pesanan mereka. Meskipun
bayar masing-masing, cuman Gina masih belum rela untuk keluarkan uang perkara
membayarkan Henan makanannya.
"Barang apaan?" tanya Gina. Niat aslinya
dia cuman ingin menghidupkan suasana. Daripada duduk diam cuman menatap ponsel
tanpa ada insiatif melakukan pembicaraan.
"Gak penting. Ngapain lo mau tahu?"
Wajah Gina berubah sungut.
"Cuman mau tahu doang yailah. Pelit, sempit jidat lo."
Henan merotasikan matanya.
"Gak peduli. Nanti lo malah ejek gue kalau lihat barangnya," pukas
Henan.
"Apaan? Gak, lah. Sudah buru, mana coba gue
lihat? Kalau murah gue bantu setengah lo beli, deh," tawar Gina. Dirinya
terkesan memberi pancingan saja terhadap Henan.
"Benaran, nih? Lo bohong gue tinggal pulang
sendiri."
"Iya, benar. Mana coba?" Gina sampai
sudah sedikit mencondongkan badannya untuk bisa melihat barang yang dimaksud
Henan.
Henan akhirnya membalikkan ponselnya. Membiarkan
Gina melihat barang yang dimaksud. Dengan sedikit dehaman singkat yang
canggung, berharap kalau Gina betul-betul tidak menertawakannya perihal barang
yang dilihatnya.
Sejenak Gina menatap, namun hanya kedua alisnya
yang bergerak keatas. Wajahnya terkesan biasa saja tanpa ada maksud niatan.
Hingga kembali duduk di kursinya dengan normal.
"Gue kira apaan," ujarnya.
Henan menatap ponsel dan Gina bergantian dengan
pandangan heran, "Gue kira bakal diejek benaran. Tapi janji lo ya, tadi
bantu gue setengah."
"Pengen banget lo beli? Buat siapa? Adik
lo?" tanya Gina.
Kalau Henan bilang untuk dirinya sendiri mungkin
akan diejek kali ini. "Hmm, mungkin?" Namun dia sedikit meleset.
Alis Gina berkerut. "Maksud?
Setengah-setengah?"
Henan tidak melanjutkan untuk menjawab pertanyaan
Gina karena mie ayam pesanan mereka sudah datang. Asap mengepul tanda makanan
mereka yang benar-benar baru. Bau kuah yang menyeruak masuk ke dalam indera
penciuman Gina membuatnya menelan ludah. Apalagi setelah melihat visual dari
makanannya. Kayaknya dia yakin soal ucapan Henan. Bahkan lelaki yang duduk di
depannya ini sudah tersenyum miring. Merasa bangga setelah berhasil mematahkan
pikiran negatif Gina pasal mie ayam di warung ini.
"Silahkan Mba, Mas," ucap penjualnya
seraya meninggalkan keduanya kembali untuk menyediakan pesanan yang lain.
Henan hanya mengangguk sebentar sebelum meracik
makanannya. "Gak ada gula ya, di sini. Cuman garam sama pitsin,"
sahut Henan.
Gina berdecak mendengar ucapan Henan yang
terdengar menyindir. "Ya, kali gue makan mie ayam pakai gula.
Gila lo," balasnya.
"Ya, siapa tahu? Lo kan, doyan gula."
"Bacot, Henan."
Dan Gina memilih mengalah untuk tidak meladeni
Henan. Meninggalkan tawa kecil dari lelaki itu.
Gina yang sibuk meracik hanya bisa ditatap oleh
Henan. Memperhatikan setiap bahan yang di masukkan ke dalam mie gadis tersebut
yang kemudian diaduk. Sesekali Gina mencoba racikannya dengan ujung sendok yang
dipegangnya.
Merasa diperhatian, gadis itu lantas membalas tatapan Henan. "Kenapa lo liat
gue terus?" ucapnya.
"Gak kenapa," jawab Henan dan dirinya
beralih memakan miliknya. Diikuti Gina yang hanya mengedikkan bahunya
setelahnya ikut menyantap miliknya juga.
Keduanya makan dalam diam. Nampak begitu menikmati
hidangan tanpa ada niat untuk membuka pembicaraan. Sepertinya mereka terlalu
fokus untuk menghabiskan makanan. Dibanding untuk berbicara, menikmati makanan
dalam diam lebih menenangkan nampaknya.
Henan mengunyah dan mendongak. Menatap Gina yang
makan dengan sangat lahap. Bahkan tak sering dirinya mengunyah sembari
mengangguk kepala. Dalam bahasa tubuh perempuan, itu pertanda apa yang dimakan
menurutnya sangat enak.
Tapi lain yang menangkap pandangannya. Gina tidak
mengikat rambutnya saat ini sehingga nampak terurai dan sedikit memberikan
kesulitan saat anak itu makan. Mana rambut yang dimilikinya juga lumayan
panjang.
"Mas, ada karet gelang gak?"
"Oh, ada, Mas. Mau berapa?"
"Satu saja."
Dan dengan mudahnya Henan mendapat karet gelang.
"Nih, ikat rambut lo. Nanti masuk dalam mangkok, kotor," sahut Henan.
Karet gelangnya sudah dia sodorkan pada Gina di depan.
"Tolong lo yang ikat boleh gak? Tangan gue
sudah kotor. Nanti kena rambut, lengket," pinta Gina.
"Dih? Menyusahkan."
Namun begitu, Henan tetap bangkit dari duduknya
untuk berjalan ke arah belakang Gina. Mengumpulkan rambut gadis itu dalam satu
genggaman yang kemudian dililitkan dengan karet gelang. Meskipun nampaknya
tidak terlalu rapi, setidaknya ini membebaskan Gina dari helai-helai halus yang
menempel tiap dia ingin menyuap.
"Thanks." Henan hanya memberi dehaman singkat dan kembali duduk.
Milik Henan sudah habis lebih dulu. Meninggalkan
Gina yang masih sibuk mengunyah dengan lambat. Benar-benar ditunggu sampai
gadis itu selesai makan. "Makan lo lambat banget," ujar Henan.
"Ini namanya menikmati," balas Gina.
"Menikmati muka lo. Lonya saja yang ngunyah
lambat kayak nenek-nenek. Masih ada gigi kan, lo?"
Gina berdesis.
"Sembarangan!" Hingga keduanya kembali hening dalam sejenak. Henan
yang memeriksa jam pada ponselnya dan kembali menatap ke arah Gina.
"Kenal Mavi dari mana?" tanyanya.
"Kan, satu fakultas bego? Bagaimana,
sih."
"Berarti lo kenal bang Jeffry?"
Alis Gina berkedut.
"Siapa Jeffry?"
"Dia juga kakak tingkat dari fakultas lo
bego."
"Ya, mana gue tahu!"
"Mavi lo kenal karena bilangnya satu
fakultas, giliran yang lain gak. Bagaimana, sih?"
Gina hanya diam menatap Henan. Lain dengan lelaki
itu yang kini menatapnya jengah. "Benaran janji kan, lo tadi? Gue mau
pesan kalau yang lo bilang mau," sahutnya lagi.
"Apaan? Miniatur Shin-chan?" Henan
mengangguk pelan. "Buat siapa dulu? Kalau adik lo ya,
gue mau-mau saja bantu," jawab Gina. Membersihkan mulutnya dengan selembar
tisu dan meneguk air.
"Gue anak bungsu."
Gina yang seketika tersedak medengarnya. "Sorry," ucapnya. "Terus buat siapa? Lo?"
Henan diam tidak bereaksi. Sudah dia bilang, kalau
dia jujur sekarang kemungkinan untuk diejek pasti terjadi. Dia sudah pernah
merasakan hal seperti ini makanya kebiasaan banyak pakai alasan buat
menyangkal.
"Lo suka Shin-chan?" tanya Gina lagi.
Membuat Henan makin tersudut. Ingin menjawab tapi malu duluan.
"Tinggal jawab susah banget nampaknya.
Berarti lo suka ya, sama itu kartun Jepang? Kebetulan, di indekos gue punya
bonekanya."
Kedua mata Henan sedikit membulat. Memajukan
sedikit posisi badannya setelah mendengar ucapan Gina. Mengundang wajah remeh
dari gadis itu.
"Lo punya?"
Gina mengangguk.
"Ketemu di area parkir mal. Kayaknya ditinggal sama yang punya,"
jelas Gina.
"Punya gue itu!" seru Henan seketika.
Orang-orang yang masih ada di warung lantas menoleh. Gina malah berdecak rasa
ingin menampar lelaki ini.
"Gak usah ngegas bodoh! Dilihat orang,"
ketus Gina.
Tapi nampaknya Henan tidak perduli sama sekali.
"Bonekanya dalam kotak kado gak?"
"Iya, dalam kotak kado."
"Nah, betul sudah. Itu punya gue. Gue
cari-cari beberapa hari ini sampai bolak balik mal nyatanya ada sama lo."
"Oh, jadi itu sebabnya lo ketemu gue di mal
hari itu? Kenapa gak nanya? Haduh, begonya."
Henan akhirnya bisa bernapas lega sekarang. Boneka
Shin-chan yang dicari-carinya akhirnya ketemu. Tidak sia-sia dirinya membuang
uang perkara boneka baru itu. Dari raut mukanya saja, Henan sudah nampak
senang. Membuat Gina yang menatapnya cuman geleng kepala.
"Umur lo masih bocah rupanya. Doyan
Shin-chan," pukas Gina.
"Gak jadi deh, buat yang tadi. Gue minta
boneka gue saja yang ada sama lo, hehe," nyengirnya.
"Hmm."
Gina beralih siap-siap untuk segera pulang. Jam
juga sudah ingin menunjukkan pukul setengah 9
malam. Harus cepat pulang.
Henan beralih untuk membayar saat Gina sibuk
dengan ponselnya. Kala gadis itu selesai dengan kegiatan dan hendak membayar,
malah tercengo kala mendengar Henan sudah membayar makanannya juga. Dirinya
jadi menghela napas kasar. Niatnya cukup berurusan dengan boneka Shin-chan
malah merambat dengan pasal dibayarkan.
Ketika mesin motor Henan tengah dipanaskan, Gina
kembali lagi untuk bermain sosial media. Membuka aplikasi yang menampakkan
banyak foto-foto keseharian orang lain.
"Haduh ya, Tuhan. Kenapa malam ini gue harus
dipandangkan dengan hal penuh akan perbucinan? Ckckck," ujar Henan.
Gina tahu yang dimaksud Henan, karena dia juga
melihat postingan yang sama. Sesaat, dia hanya bisa tersenyum kecut sembari
menelan ludah pahit. Dadanya tiba-tiba merasa sesak dan mood-nya
mendadak hilang.
"Ayo, keburu malam sekali," panggil
Henan. Namun, alih jawaban yang di dapatnya Gina malah diam
sembari terus menatap ponselnya.
"Woi! Ayo!
Nanti lo dimarahi sama kepala indekos," panggilnya lagi namun tetap dengan
jawaban yang sama.
Henan mendesah berat dan turun dari motornya untuk
mendekat. Dia ingin membuka suara tapi pandangannya beralih pada postingan foto
yang dilihat oleh Gina sedari tadi. Foto yang baru saja sempat dia beri
komentar beberapa detik yang lalu.
Kembali menatap wajah Gina berulang dan bergantian
dengan postingan itu. Kepalanya berputar dan mengambil kesimpulan, membuat
kedua alisnya bergerak ke atas. Lantas, jari Henan melayang untuk menekan
postingan itu dua kali dan menciptakan gambar hati berwarna merah.
Gina terkejut atas apa yang dilakukan Henan dan
beralih menatapnya. "Ih, bodoh! Kenapa di-like, sih?!" kesalnya.
"Daripada lo liat terus gak di-like,
yaudah gue yang like," balas Henan. Gina
mendengkus masih kesal dan hanya ditatap diam oleh Henan. "Marahnya nanti
saja, deh. Mending sekarang pulang daripada lo kena semprot sama kepala indekos
lo."
Gina tidak menjawab, hanya berjalan mendahului
lelaki itu untuk segera naik di motornya. Henan menghela napas beratnya sekali
sebelum akhirnya ikut naik di kendaraannya dan menarik gas dengan kecepatan yang normal.
'Suka sama si bucin semangka rupanya.'