Tiba di pasar, Kani dan ibu mulai menata dagangannya di salah satu lapak yang biasa digunakan Wening. Gadis itu dengan semangat memindahkan kue-kue yang berada dalam keranjang--yang dibawanya dari rumah-- ke atas meja yang biasa digunakan berjualan.
"Semoga hari ini laris ya, Bu." Kani tersenyum pada ibu.
Ibu membalas dengan anggukan dan senyuman. "Aamiin. Makasih yo nduk, sudah ngerewangi (membantu) ibu."
"Ndak perlu terima kasih lho, Bu. 'Kan memang sudah seharusnya Kani bantuin Ibu."
Wening tersenyum saja mendapat elakan dari anaknya. Mau dijawab dengan kalimat lain pun, sudah pasti Kani tetap dengan dalih tidak mau diucapkan terima kasih.
Sifat keras kepalanya itu yang setiap kali mengingatkan pada mendiang suaminya, karena memang mirip sekali. Dan semoga sifat itu bisa jadi dorongan yang bagus untuk sang anak menggapai cita-cita. Semalam ketika Kani curhat dengannya, dia merasa sedikit terkejut karena melihat sisi lain dari sang anak yang biasanya semangat. Namun, walaupun sempat khawatir dengan kondisi tersebut, beruntunglah anaknya itu cepat tersenyum dan gigih kembali dengan apa yang dikerjakannya.
Dilihatnya saat ini Kani sedang sibuk dengan dunianya. Memang dari awal berangkat tadi, anak itu sudah menyiapkan buku dan alat tulisnya. Katanya untuk menggambar jika sedang tidak ada pelanggan.
Tanpa perlu menunggu lebih lama, datang pembeli pertama hari ini. Orang ini ternyata adalah langganan ibu yang tiap hari selalu datang. Beliau mempunyai kios kecil di rumahnya yang menjual sayur-sayuran dan beberapa jajanan termasuk kue milik Wening. Tentulah ibu sangat akrab dengannya. Di sela-sela melayani penjualan, mereka terlibat percakapan yang seperti pada umumnya ibu-ibu lakukan.
Orang-orang silih berganti mendatangi tempatnya berjualan. Di hari minggu ini, memang lebih banyak yang mengunjungi pasar daripada hari-hari lainnya. Terlihat anak-anak kecil yang mengekori ibunya berbelanja dan berakhir meminta dibelikan jajan. Kue-kue yang dibuatnya menjadi tujuan mereka. Seperti onde-onde, dadar gulung, kue cucur dan yang lainnya. Jajanan tradisional yang masih digemari oleh masyarakat di desa itu dan sekitarnya. Kani pun dengan sigap membantu ibu yang tampak kewalahan.
Sampai ketika ada seorang bocah perempuan yang melontarkan kata-kata cukup mengejutkan.
"Gambarnya bagus." Diangkatnya buku milik Kani yang tergeletak di kursi tempatnya duduk untuk menggambar tadi yang menampilkan sebuah pakaian kecil seukuran anak-anak berikut dengan gambar anak kecilnya.
"Ini punya siapa?" tanya anak itu.
Ibu anak kecil itu yang mengetahui tingkahnya cepat-cepat mendekati dan mengambil bukunya lalu diletakkan kembali pada semula. "Ndak boleh asal ngambil begitu, yo. Belum ijin. Ndak sopan itu namanya." Begitu tutur ibu itu kepada anaknya.
"Wis, ora opo-opo, lha wong cuma dilihat. Itu punya anak saya." Wening menunjuk Kani.
"Gambare Mbak uapik," ucapnya dengan nada yang menggemaskan, khas anak-anak. Yang dipuji tentu tersenyum dan sangat berterima kasih sebagaimana bocah itu juga sangat memujinya.
"Aku jadi pengen baju kayak gitu, Bu." Pandangannya terarah pada sang ibu.
Ibu itu mengusap punggung anaknya berkali-kali bermaksud supaya sang anak berhenti berbicara yang lebih lagi sambil tersenyum kikuk pada Kani dan Wening. Kemudian segera menyelesaikan transaksinya dan membawa pulang anaknya yang terlihat sudah mulai merengek-rengek.
"Ibu baru lihat kamu juga bisa nggambar baju anak," ucap Wening setelah sepasang ibu dan anak itu berlalu.
"Nggih, itu Kani baru nyoba aja, Bu."
"Makin pinter anak'e ibu. Pokoknya ibu akan selalu dukung impianmu ini, nduk."
Kani tersenyum hangat pada Wening. Hatinya merasakan senang luar biasa. "Maturnuwun, Bu."