"Ibu," panggil Kani sambil menghampiri wanita yang tengah duduk santai di kursi teras rumah.
"Iyo, nduk. Ada apa?"
Kani menunjukkan beberapa kertas yang terdapat lukisannya di situ. "Coba lihat, Bu. Gambarnya Kani bagus atau jelek?"
"Ya sudah pasti bagus tho," jawab Wening.
"Apa karena ini punya anaknya Ibu, Ibu jadi bilang bagus, begitu ya."
"Orang lain pun kalau lihat gambarmu ini sudah pasti bilang bagus." Ibu meyakinkannya.
Gadis itu tak menyahut lagi. Sang ibu yang menyadari anaknya seperti sedang memikirkan sesuatu itu menepuk pelan pundak Kani.
"Kenapa, nduk? Cerita saja sini sama ibu."
Kani memandang ibunya. Wening yang ditatap, menganggukkan kepala untuk mengisyaratkan putrinya agar bercerita. Lalu terlihat Kani menarik napas dan mengembuskannya pelan sebelum memulai ceritanya.
"Tadi ada yang jelek-jelekin gambar Kani. Mereka bilang semua orang pasti bisa gambar kayak gini." Matanya mengarah pada kertas-kertas yang dipegangnya.
"Kani tahu, Bu. Pasti ada yang bisa gambar seperti punya Kani. Mungkin juga lebih bagus." Mulutnya tercekat setelah mengatakan kalimat akhir itu.
Kali ini ibu memeluknya dari samping seolah memberikan kekuatan padanya untuk melanjutkan cerita. Dalam pelukan sang ibu, Kani mendongak dan membalas pelukan tersebut dengan lebih erat.
"Kani bukannya mau dipuji, Bu. Tapi Kani juga sedih kalau diejek." Matanya terlihat sudah berkaca-kaca.
Ibu yang masih bergeming sengaja tidak berucap dari tadi karena ingin mendengar Kani bercerita hingga selesai. Dan saat ini, ketika sang anak tak mengucapkan apa pun lagi, barulah waktunya untuk berbicara.
"Nduk ... sekarang ibu tanya. Kamu nggambar seperti itu tujuannya untuk siapa dan buat apa?" Ibu bertanya pelan pada Kani yang sudah melonggarkan pelukan untuk berhadapan dengannya.
"Untuk Kani sendiri dan Ibu. Supaya karya-karya Kani bisa terkenal dan membanggakan Ibu," jawabnya.
Ibu tersenyum mendengar jawaban itu. "Nah, itu. Mereka ndak ada sangkut pautnya sama cita-citamu tho?"
Kani menggeleng.
"Kalau begitu dibiarkan saja. Toh nanti mereka capek sendiri kalau kamu ndak gubris. Anggap saja mereka sebagai motivasi, supaya kamu bisa terus mengasah kemampuan dan akhirnya bisa sukses."
Gadis itu terdiam mencerna ucapan demi ucapan yang dilontarkan ibunya.
"Kamu ndak perlu membalas mereka dengan kata-kata, tapi cukup balas dengan perbuatan saja. Artinya kamu buktikan kalau diri kamu ini ndak seperti yang mereka katakan," lanjut Wening.
Perlahan kedua sudut bibirnya saling menarik membentuk sebuah senyuman. Sepertinya dia mulai memahami maksud ibu. Ibunya benar, cukup fokus pada mimpinya saja supaya bisa membungkam mulut-mulut jahat mereka. Kani memeluk Wening lagi sambil mengucapkan terima kasih dan berjanji akan selalu semangat menggapai cita-citanya.
***
Hari minggu ini, saat langit masih gelap, Kani dan ibu sedang menata kue-kue yang akan dijual di pasar.
"Kani ikut Ibu jualan ke pasar ya." Gadis itu menawarkan pada Wening di sela-sela kegiatannya.
"Hm ... memangnya kamu ndak capek, nduk? Kan sudah sekolah enam hari, sekarang ditambah mau bantuin di pasar."
Kani menggeleng sebagai jawaban. "Justru karena sekarang Kani ndak sekolah, jadi bisa bantuin Ibu. Biasanya kan ndak."
"Yo wis yen iku karepmu. Ibu terserah saja," putus ibu.
Setelah mendengar nasihat dari ibu kemarin, Kani yang merasa sangat berterima kasih jadi ingin meringankan beban sang ibu. Wanita yang selalu ada bersamanya di kala senang dan susah. Dirinya bersyukur sekali bisa lahir dari seorang wanita kuat seperti Wening, yang bisa menjadi sosok ibu, bapak dan juga teman untuknya.
Semakin bertambah umur, dirinya semakin paham akan kesulitan-kesulitan yang dialami ibunya. Terkadang dia merasa kasihan melihat ibu yang seperti itu. Dan karena rasa itu membuatnya ingin membanggakan ibunya supaya tak perlu bersusah payah lagi.