Saat jam istirahat tiba, gadis dengan rambut diikat rendah itu tak beranjak dari tempatnya. Ia memilih melanjutkan hobinya karena memang tidak membawa uang saku untuk membeli makanan. Tidak seperti teman-temannya yang setiap hari bisa jajan, Kani lebih sering tidak mendapatkannya. Namun, dirinya tak berkecil hati karena ia masih bisa menikmati sisa jajanan milik ibunya yang tak kalah enak daripada yang lain. Pun ketika diberi uang saku, Kani lebih memilih untuk menyimpannya.
Sara dan dua temannya terlihat kembali menghampirinya. "Kani, ayo ke kantin sama kami."
Dia menyampaikan jawaban apa adanya dan setelah mendengar alasan penolakan darinya, Tara berujar lirih, "Wis ketebak."
"Yo wis lah kalau dia ndak mau. Kita bertiga aja," sahut Wita yang langsung disetujui oleh Tara.
Sementara Sara masih bergeming seperti memikirkan sesuatu. "Gimana kalau aku traktir? Kan enak itu." Entah kenapa dirinya masih keukeuh untuk mengajak Kani, bukannya mendengarkan dua temannya.
"Maaf ya Sar, aku benar-benar lagi ndak mau keluar. Aku mau nerusin gambarku. Kalian aja." Kani berujar dengan hati-hati.
Sara yang berubah kesal, berdecak pelan. "Ditawarin traktiran kok ndak mau. Sudah sombong, sok rajin pula. Gambar kayak gitu aja semua juga bisa. Emangnya mau diapain itu? Dijual? Iya?! Hahhahha."
Tara dan Wita ikut tertawa mendengar penuturan temannya itu.
"Mana laku gambar kayak gitu."
"Palingan yang beli itu orang yang gak punya kerjaan."
Mereka lanjut menertawai Kani, padahal sebelumnya sudah sempat bersikap baik mengajaknya membeli makan. Namun, karena merasa tersinggung dan memang sudah tabiat mereka yang suka mengganggu orang lain, jadilah menghina lagi.
Tanpa disadari, sesosok laki-laki datang menghampiri mereka.
"Daripada kalian gangguin Kani, mending kalian pergi aja," Suara lelaki itu menginterupsi ledekan Sara dan dua temannya.
Sontak mereka semua menoleh, tak terkecuali Kani. Raut terkejut pun tak luput terlihat.
"Had-Hadrian!"
Setelah berhasil menguasai rasa terkejutnya, Sara bersiap membalas perkataan Hadrian. "Enak aja bilang kami gangguin Kani, lah wong kami itu mau ngajak dia makan. Iya kan, Kani?" Kalimat terakhir diucapkannya sambil menghadap Kani dengan menampilkan senyum yang sarat akan ancaman. Posisinya yang memunggungi Hadrian membuat lelaki itu tidak bisa melihat ekspresinya saat ini.
Sebelum sempat Kani bicara, Hadrian menyahut lagi. "Tapi setelah itu kalian ngejek Kani, kan? Aku sudah tahu dari awal. Kalau orang itu ndak mau ya jangan dipaksa. Hargai keputusan orang lain."
"Kita pergi aja, yuk!" bisik Wita pada Sara yang berada di sampingnya. Sepertinya dia sudah tidak betah apalagi jika harus mendengar lagi nasihat laki-laki yang juga termasuk pintar di kelasnya ini.
"Dasar kalian berdua tuh sama aja." Telunjuknya mengarah pada Hadrian dan Kani secara bergantian. Kemudian mereka bertiga melenggang pergi dengan wajah menekuk.
"Makasih, Hadrian," ucap Kani sembari tersenyum pada seseorang yang sudah membantunya ini.
Hadrian mengangguk. "Sama-sama." Setelah itu dirinya berbalik badan untuk keluar kelas.
Senyum gadis itu tak kunjung menyurut walau sosok Hadrian sudah tak tampak di penglihatannya. Bahkan justru semakin merekah karena mengingat lagi bahwa sosok yang telah menolongnya itu adalah seseorang yang juga disukainya. Ya, Kani menyukai Hadrian. Lelaki berkulit sawo matang dan mempunyai tahilalat kecil di pelipisnya.
Kani menyadari perasaannya sejak kali pertama lelaki itu membantunya. Memang bukan hanya sekali ini Hadrian mengulurkan bantuan untuknya.
Waktu itu ada tugas kelompok yang beranggotakan empat orang. Para murid dipersilakan untuk membentuk kelompok sesuai kehendaknya. Kani yang sudah akan mencari kelompok, tiba-tiba diajak oleh Sara untuk bergabung dengan kelompoknya yang masih tiga orang, yaitu Sara sendiri, Tara dan juga Wita. Akhirnya mau tak mau Kani mengiyakan setelah melihat teman-teman kelasnya sudah mendapat kelompok semua.
Tugas kelompok seyogyanya dikerjakan oleh semua anggota, tapi berbeda dengan kelompoknya. Kani mengerjakan tugas itu seorang diri, sementara yang lain melihat saja dan tidak mau ikut mengerjakan dengan alasan tidak bisa. Dia sudah bilang akan memberi tahu dan mengajari cara menyelesaikan tugas tersebut, tapi mereka tetap tidak mau. Ternyata alasan mereka mengajak Kani dalam kelompok yang sama adalah untuk memanfaatkannya, karena Kani anak yang pintar.
Tenggat mengumpulkan tugas tersebut adalah satu minggu setelah diberikannya soal dari guru. Selama itu banyak dari kelompok lain mengerjakan di sekolah, tentu bersama dengan anggota lengkap kelompoknya. Tak seperti Kani yang lagi-lagi sendirian. Sementara ketiga lainnya malah asyik keluyuran.
Waktu pengumpulan tugas tiba. Kani memberanikan diri untuk melaporkan perbuatan Sara, Tara dan Wita yang tidak berpartisipasi dalam tugas kelompok ini. Mereka yang sudah terlanjur basah, masih sempat-sempatnya mengelak dan balik menyalahkan Kani. Kani yang merasa dituduh tidak-tidak menjadi geram pada mereka bertiga, tapi dia menahannya dengan tetap berusaha untuk tenang.
Gurunya yang hampir terprovokasi oleh kata-kata Sara dan gengnya akhirnya memberikan hukuman untuk ketiga gadis itu. Lantaran Hadrian yang sudah bersaksi bahwa dia melihat sendiri kelakuan Sara dan kawan-kawannya itu pada Kani.
Ketika itu, ia yang tengah kesal jadi merasa hangat karena perlakuan Hadrian, sama seperti yang ia rasakan sekarang. Lalu saat mengetahui Hadrian juga seorang yang pandai dan aktif di kelas, membuatnya semakin mengagumi sosok itu.